Minggu, November 14, 2010

SELUK BELUK POLITIK LUAR NEGERI

Variasi Makna Kebijakan (Politik) Luar Negeri
Dalam merumuskan definisi politik luar negeri, tidak ada satu pengertian tunggal dan tepat. Pengertian dasar yang patut diperhatikan dalam pemahaman politik luar negri ”action theory” atau kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan pada negara lain untuk mencapai kepentingan tertentu.(Perwita, 2006: 22) Salah satu cara mudah untuk memahami konsep politik luar negri adalah memisahkan unsur politik dan luar negri. Politik adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman dalam bertindak, sedangkan konsep luar negri berkaitan dengan kedaulatan dan ”wilayah” suatu negara terhadap negara lain.
Rosenau mengartikan politik luar negeri sebagai upaya negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitas untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternal.Henry Kissinger, seorang akademisi sekaligus praktisi politik luar negri AS mengutarakan bahwa ”foreign policy begins when domestic policy ends.” (Hanrieder, 1971) Lain halnya dengan Holsti (1987) yang mengatakan bahwa kebijakan luar negeri digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasional.
Penulis ingin menegaskan secara kuat bahwa studi politik luar negeri bersifat siklus atau saling berkesinambungan. Seperti yang dikemukakan oleh Marijke Breuning (2004), analisis politik luar negeri merupakan salah satu studi yang bersifat eclectic. Artinya, pola perkembangan politik luar negeri mengarah kepada arus evolusi yang bersifat gradual. Tahap demi tahap perkembangan ini akan dijelaskan lebih rinci di sub-topik berikutnya yang berjudul generasi inisiatif, generasi pertama,dan generasi kedua.
Kompleksitas Politik Luar Negeri
Walaupun studi politik luar negeri bersifat siklus, ruang lingkup yang tersedia tidak terbatas. Komprehensivitas dan kompleksitas yang terkandung di dalamnya terungkap oleh James Rosenau (1987) bahwa politik luar negeri merupakan ilmu disiplin yang bridging (menjembatani/berhubungan dengan disiplin lain) sehingga ruang lingkup yang ada tidak terbatas. Area isu dan aspek yang dibahas pun sangat luas, mulai dari politik (hard politics-low politics); ekonomi; sosial budaya; dsb.
Rosenau bersama Charles F. Hermann (1987) dkk juga memiliki tiga argumen penting sebagai alasan kompleksnya politik luar negeri, yaitu:
a. Banyaknya pemahaman politik luar negeri yang sangat variatif.
Ada sejumlah definisi politik luar negeri yang tidak bisa dihilangkan. Kenaekaragaman definisi ini terjadi karena munculnya multiple scholars yang menunjukkan kausal-kausal tertentu dan disertai dengan pengalaman historis mereka. Misalnya, Henry Kissinger berhak mengartikan politik luar negeri sebagai kepanjangan politik domestik karena beliau berada pada masa Amerika berkuasa dan punya internalisasi yang berpengaruh kuat di dunia.
b. Daur/fase politik luar negeri tidak selalu konstan.
Breuning (2004) memang kuat menyatakan bahwa politik luar negeri berada dalam satu siklus, serta berhubungan dengan berbagai aspek. Namun, arus yang terjadi dalam siklus ini ditanggapi oleh Rosenau (1987) bahwa siklus tidak selalu bersifat konstan/stabil. Kadangkala politik luar negeri harus berhadapan dengan benturan-benrutan/konstelasi politik internasional yang akhirnya menekan posisi suatu negara. Contohnya saja ketika negara AS mengecam peluncuran roket Taepodong Korea Utara 2008 lalu, kepentingan nasional Kim Jong Il yang sangat komunis dan isolatif akhirnya bertabrakan dengan kolektivitas di PBB. Akibatnya, banyak negara lain ikut menolak hubungan diplomatic dengan Korea Utara.
c. Adanya berbagai dimensi historis dari suatu Negara yang terus berpengaruh dan berhubungan
Setiap negara pasti memiliki konteks sejarah yang sangat lekat dengan kebijakan luar negeri. Bahkan, sejarah kuno dengan sejarah yang baru saja terjadi bisa saja tetap digunakan sebagai kepentingan nasional sebuah negara. Cina mungkin sudah tidak tertutup seperti dahulu. Zona perdagangan bebas sebagai jalur ekonomi terbuka dipilih Cina untuk mengikuti arus globalisasi. Namun, sistem politik Cina tetap terkendali oleh pemerintah pusat (sentralis).
Munculnya Generasi Inisiatif
Maksud dari adanya generasi inisiatif ialah titik kemunculan awal konsep politik luar negeri itu terbentuk. Di dalam buku Valeri Hudson (2007) yang berjudul Foreign Policy Analysis, Classic and Contemporary Theory, beliau mengatakan bahwa politik luar negeri merupakan salah satu area studi di hubungan internasional yang memiliki suatu kerangka dasar. Kerangka ini terambil dari sebuah aksi, reaksi, dan interaksi manusia sebagai pengambil keputusan terhadap dunia internasional. Akibatnya, pendekatan antropologis (verstehen) menjadi pintu pembuka dalam perumusan konsep politik luar negeri.
Esensi tradisional dari generasi insiatif ialah adanya uniteralisme aktor yang cenderung dikonsepsikan kepada sikap suatu negara. Sentralisme negara sebagai otoritas legal masih terus diberlakukan bahwa hanya negaralah yang berkewenangan khusus untuk membuat kebijakan luar negeri. Selain itu, Valerie Hudson (2007) menyederhanakan introduksi politik luar negeri ke dalam 2 bagian, yakni: eksplanandum (unit yang dijelaskan) dan eksplanan (unit yang menjelaskan). Di dalam eksplanandum, politik luar negeri muncul sebagai aksi sekaligus keputusan. Keputusan terbentuk dari entitas (pengaruh) luar dan internalisasi (kebutuhan domestik) yang berdampak pada pihak lain. Pada era kontemporer, politik luar negeri selalu dievaluasi dan dimodifikasi dengan keputusan lainnya untuk meminimalisir non purposeful action (implementasi kebijakan semu) dan non foreign policy desicion.
Sedangkan di bagian eksplanan, politik luar negeri dikategorikan sebagai proses (decision making) dan aktor (decision makers). Manfaat dari riset ini yaitu untuk menemukan kemungkinan korelasi konsep “agent structure” dalam teori hubungan internasional, membuka konsep kuno/generalisasi negara sebagai penguasa utama kebijakan luar negeri, serta mengkaitkan studi politik luar negri dengan studi lainnya seperti perbandingan politik dan kebijakan publik.
Diferensiasi dan Korelasi antara Generasi (Masa) Pertama dengan Generasi Kedua
Ada penjelasan menarik dari Laura Neack dkk (1995) mengenai transformasi politik luar negeri dari masa ke masa. Sebagai studi yang bersifat evolusioner (berada dalam satu siklus), politik luar negeri terbagi menjadi dua fase utama, yakni fase generasi pertama dan fase generasi kedua. Fase generasi pertama lebih menjelaskan tentang konsep perbandingan politik luar negeri sedangkan fase generasi kedua membahas tentang analisis kebijakan luar negeri. Uniknya, dua fase tersebut masih memiliki relasi yang berkesinambungan, tidak terpisahkan, dan memliki pola pikir yang hampir sama.
Karakteristik fase generasi pertama (1954-1993) ialah dominasi individu sebagai sistem level analisis kebijakan luar negeri. Individu di sini lebih diartikan sebagai aksi sebuah negara yang bersifat uniter/tunggal, rasional, dan nasional. Kedua, konsep politik luar negeri belum mengakar ke dasar teori hubungan internasional. Ketiga, belum ditemukannya kontribusi perbandingan politik terhadap definisi politik luar negeri. Keempat, tidak ada penghubung antara dunia internasional dengan perbandingan politik sebagai orientasi teori dan konsep. Kelima, studi perbandingan politik luar negeri masih dikuasai oleh tokoh-tokoh studi politik seperti: Nazi (oleh Adolf Hitler) di Jerman, fasisme (oleh Mushollini) di Italia, dll. Keenam, studi ini cenderung memiliki perspektif positivisme, yang membuat kerangka pra-teori secara sistematis, saintifik, dan kuantitatif. (Rosenau, 1966)
Perbedaan generasi kedua (1993-sekarang) dari generasi pertama yakni isu yang diangkat sebagai analisis politik luar negeri lebih beragam dan cenderung masuk low political issues (ekonomi, sosial, lingkungan). Sejak Perang Dingin berakhir, landasan teori dan metodologi untuk membuat analisis politik luar negeri mulai berkembang secara luas dan variatif. Akibatnya, terjadi kerangka alternatif sebagai penghubung perbandingan politik dengan area internasional. Kompleksitas dan konsistensi hubungan tersebut semakin teruji oleh faktor domestik dan proses pengambilan keputusan. Tak heran jika scholars yang berada di masa ini memiliki parameter kontekstual yang bersifat multiple.
Opini Pribadi
Secara keseluruhan, penulis setuju dengan argumen Breuning (2004) bahwa studi politik luar negeri bersifat siklus, saling berhubungan dan berkesinambungan dengan studi lainnya. Evolusi dari fase generasi pertama dan kedua menjadi bukti otentik bahwa evolusi politik luar negeri eksis dan sedang berlangsung. Namun, penulis juga enggan menolak bahwa politik luar negeri di era kontemporer mengalami kompleksitas yang tinggi dan berkali lipat masalahnya. Rosenau (1987) dengan jelas mengemukakan bahwa politik luar negeri menjadi fenomena kompleks karena banyaknya elemen yang membentuk kepentingan nasional. Hal ini diperkuat dengan adanya aspek internal suatu negara yang “across border” . Hal ini membutuhkan kreasi inovatif dan pemikiran alternatif dari para pengambil keputusan.
Fenomena perubahan iklim menjadi isu penting bagi dunia internasional. Berbagai diplomasi dan negosiasi telah diupayakan dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertajuk Conference of Parties. Namun, jalan kesepahaman dan win-win solution tak juga ditemukan karena disparitas tinggi antara kepentingan nasional negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Politik luar negeri AS pun semakin tersudutkan oleh desakan negara kepulauan kecil yang terancam masa depannya. Protokol Kyoto menjadi perjanjian semu karena sampai saat ini AS belum meratifikasinya. Dengan demikian, hasil dari kebijakan luar negeri semakin susah diimplementasikan dan permasalahan semakin kompleks.
Sebagai penutup, penulis menyimpulkan bahwa konsep politik luar negeri terus berkembang secara dinamis dan fluktuatif. Efektivitas dari implementasi kebijakan luar negeri pun semakin kompleks karena bergantung pada situasi dan konteks internasional saat itu.



REFERENSI
Breuning, Marijke. (2004) “Bringing ‘Comparative’ Back to Foreign Policy Analysis”, International Politics, (41), pp. 618-628
Hanrieder,Wolfram F.1971.Comparative Foreign Policy :Theoretical Essays. New York: David McKay Co, hal 22
Hudson, Valerie M. (2007) Foreign Policy Analysis, Classic and Contemporary Theory, Rowman & Littlefield.
Neack, Laura & Hey, Jeanne A.K. & Haney, Patrick J. (1995) Foreign Policy Analysis, Continuity and Change in Its Second Generation, Prentice Hall
Perwita, Anak Agung B. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, hal 47
Rosenau, James.N. 1987. “Introduction: New Directions and Recurrent Questions in the Comparative Study of Foreign Policy”, in Charles F. Hermann, Charles W. Kegley Jr., James N. Rosenau, eds., New Directions in the Study of Foreign Policy .Boston: Allen & Unwin. pp. 1-2.
Russet, Bruce dan Starr, Harvey.1988. World Politics : The Menu for Choice.2nd ed. New York: W.H.Freeman and Co, hal 190-193

GLOBALISASI MEDIA dan POLITIK LUAR NEGERI

Hakikat Dasar Media dan Opini Publik
Secara harfiah, media telah menjadi sarana komunikasi yang informatif dan interaktif dengan publik. Citra konvensioal media sendiri mampu meramu dan menggaris warna kehidupan masyarakat yang kompleks menjadi komprehensif. Media memberikan penyajian berita yang menarik untuk diperhatikan, sehingga masyarakat memiliki varian opini. Media mampu menjadikan masyarakat sebagai obyek informasi yang terus berpengaruh dan berkembang secara dinamis. Dengan demikian, korelasi antara media dan masyarakat semakin erat bagaikan kumbang dan bunga.
Namun, posisi media di masa tradisional (khususnya zaman Perang Dunia) seringkali termarginalkan oleh kekuasaan politik dan absolutism militer sebagai modal sebuah negara. Negara menolak kebebasan pers, mengurangi porsi media sebagai sumber berita, dan menganggap “tabu” media dalam mengurus suatu kebijakan. Dengan kata lain, media diabaikan sebagai aktor berpengaruh bagi pemimpin politik suatu negara.






Sumber: Dugis, V 2010
Berdasarkan gambar di atas sebelah kiri, terlihat bahwa ketiadaan media sebagai aktor komplementer proses kebijakan negara semakin nyata. Media belum menjadi penting untuk disimak mengingat bahwa pemerintah negara masih bersifat absolut, berdaulat, terpaku pada kepemimpinan seorang penguasa. Kasus Perang Dingin I dan II menceritakan secara jelas bahwa negara tetap menjadi pelaku utama dalam hubungan internasional dan tidak mempertimbangkan sumber publik seperti media.
Sedangkan gambar di sebelah kanan mencerminkan adanya perubahan yang terjadi pada sistem pembentukan kebijakan. Realitas peristiwa yang terjadi menimbulkan suatu citra tersendiri yang nantinya menentukan terbentuknya suatu kebijakan. Dalam membentuk suatu agenda utama, media mampu membingkai kerangka asumsi publik yang dikomunikasikan dengan pemerintah. Lingaran media ini mendukung adanya rezim komunikasi politik, menstruktur ekonomi politik suatu negara, memperluas struktur organisasi dan jaringan informasi, dan menyebarkan nilai-nilai penting sebuah berita yang biasanya menjadi ikon khususdari media tersebut.
Seiring dengan pesatnya arus globalisasi, transformasi media semakin maju dan didukung penuh oleh kehadiran teknologi informasi. Hakikat dasar yang semula menjadi sumber berita setidaknya bergeser menjadi suatu kapabilitas yang fleksibel, menganggap publik sebagai subyek sekaligus obyek (users and doers). Ideologi, kultur, sistem politik yang tercipta dalam sebuah media semakin bergerak ke arah ekonomi bisnis positif dan progresif.
Taksonomi Media Global dan Kebijakan Luar Negeri
Tidak dapat dipungkiri bahwa studi yang mengkaji globalisasi media terhadap pembentukan kebijakan luar negeri masih terbatas dan langka. Walaupun begitu, era globalisasi teknologi telah menunjukkan adanya eksistensi media komunikasi global yang terus mengarah lebih maju. Efektivitas komunikasi global dari media mengungkap bahwa hubungan internasional tidak lagi bersifat koersif, tapi lebih mengedepankan asas atraktif, memicu opini publik dari berbagai isu dan peristiwa. Akibatnya, media secara implicit turut andil dalam pandangan keluar sebuah kebijakan atau kebijakan luar negeri.
Pada dasarnya, politik luar negeri memiliki dua konsep utama, yaitu: policy making dan interaction-phase. Di dalam policy making, aktor pembuat kebijakan memperhatikan kebijakan, pilihan/opsi politik, dan taktik yang akan digunakan. Sedangkan interaction-phase menjelaskan bahwa politik luar negeri yang tercipta dipengaruhi oleh seperangkat posisi dan permintaan sehingga dibutuhkan strategi negosiasi untuk menemukan solusi bersama yang kondusif. (Gilboa, 2002)
Agar media mampu berperan secara efektif, Eytan Gilboa (2002) telah mengklasifikasi tipe dan fungsi media dalam kebijakan luar negeri. Berikut tabelnya:
Type of Actor Activity Context Concept
Controlling actor Replacing policy makers Humanitarian
military intervention CNN effect theory
Constraining actor Constraining policy
makers Decision making Real time policy
Intervening actor Becoming mediator International mediation international
political brokerage
Instrumental actor Promoting negotiations
and agreements Conflict resolution Media diplomacy
Sumber: Gilboa, Eytan 2002
Untuk tipe pertama, media berperan sebagai aktor pengotrol kebijakan. Artinya, media bersikap sebagai katalisator (penyeleksi) terhadap sumber-sumber yang digunakan sebagai bahan kebijakan. Tipe ini sangat dipengaruhi oleh konsep CNN effect theory, yang mencuat tahun 1990an saat Amerika mengekspansi berita asing (kasus Somalia, Saddam Hussein, Perang Teluk, dsb) secara global. James Baker (1995) pernah mengemukakan bahwa CNN effect menyebabkan premis kuatnya kapasitas komunikasi global dalam berevolusi dan mendorong lahirnya sebuah kebijakan luar negeri. Seperti yang diutarakan oleh James Baker bahwa kapasitas komunikasi global mampu mendorong sekaligus menekan sebuah kebijakan luar negeri. Keputusan AS dalam mengintervensi militer di Somalia untuk hal humaniter adalah contoh riil kebijakan diplomatis yang terbungkus rapi oleh berita media (Livingston dan Eachus, 1995).
Sedangkan fungsi constraining lebih menunjukkan adanya satu pembatas otoritas negara dalam membuat kebijakan. Sifat constraining media muncul ketika penyiaran berita global mengganggu alur proses pembuatan kebijakan, kinerja birokrat, dan para pemimpin reorder prioritas. Akibatnya, mereka tidak merasa terpaksa untuk mengikuti kebijakan tertentu dari media. Media pun akhirnya mampu membatasi langkah kinerja sentral diplomat dalam hubungan internasional. Seperti yang dikemukakan Bush dalam krisis Teluk (1990-1991), “I learn more from CNN than I do from the CIA” (Friedland, 1992:7-8) Karena adanya tuntutan zaman dan keterbukaan pesan komunikasi global, media perlu diberi standard analisis kompromi dan rekomendasi professional. Syarat ini masuk dalam tipe media sebagai intervening actor. Gurevitch (1991: 187-188) menyatakan bahwa media telah memiliki peran jurnalistik baru, yaitu “international political brokers”. Artinya, media bisa diajak untuk melobi dan membantu permasalahan negara secara interaktif kepada masyarakat.
Kategori peran media yang terakhir ialah instrumental actor. Ebo (1996:44) berpendapat bahwa “the use of the media to articulate and promote foreign policy”. Artinya, media digunakan para pemimpin untuk mengekspresikan kepentingan mereka dalam bernegosiasi, membangun kepercayaan diri, dan memobilisasi dukungan publik melalui sebuah perjanjian. (GIlboa, 1998:62-63) Henry Kissinger menggunakan sinyal media dan tekanan dalam kasus perang Arab-Israel tahun 1973 melalui “shuttle diplomacy”. Seiring perkembangan, terminologi baru diplomasi ditujukan untuk mendorong kekuatan negosiasi dengan media dan berbicara langsung antar penguasa tinggi di dunia. Akibatnya, muncul istilah Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) seperti pada acara peacemaking Arab-Israel.
Tantangan Media Global: Bagaimana Menjawab Korporasi Kebijakan Luar Negeri?
Menanggapi artikel Eytan Gilboa (2002), ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi dan dilakukan oleh media. Pertama, kepentingan media seringkali berbenturan dengan kepentingan politis negara sehingga sulit menemukan obyektivitas suatu berita. Negara bisa saja memberikan ‘insentif’ khusus pada media tertentu dalam menyiarkan sebuah isu. Dengan kata lain, media mampu menunjukkan ambiguitas isu yang menimbulkan benturan opini publik. Kedua, media yang berkembang pesat selalu memberikan inovasi dan mengembangkan investasi besar bagi ‘kesejahteraan’ kaum kapitalis. Korporasi media dan privatisasi isu menjadi gejolak politik yang tak bisa dibendung oleh negara. Bila kondisi ini terus terjadi, bagaimana nasib publik dan sikap negara dalam menjawab ‘korporasi’ kebiajakan luar negeri? Akankah media terus berkiprah dalam pembentukan kebijakan luar negeri?
Referensi
Cohen, Y. 1986. Media Diplomacy, Cass, London
Dayan, D & Katz,E. 1992, Media Events:The Live Broadcasting of History, Harvard University Press, Cambridge
Dugis, V. 2010, The Role of Public and Media on Foreign Policy
Ebo, E. 1996. Media Diplomacy and foreign policy: Toward a theoretical framework, NJ Ablex, Norwood
Eytan Gilboa. 2002, Global Communication and Foreign Policy, International Communication Association, Boston
Friedland, L. 1992, Covering the world: International television news services, Twentieth Century Fund Press, New York
Gurevitch, M. 1991, The Globalization of Electronic Journalism, Edward Arnold, London. Hal 178-193

INFORMATION TECHNOLOGY REVOLUTION AND SUSTAINABILITY

Babak Awal Revolusi Teknologi Informasi
Semula, Manuel Castells sudah berargumen kuat bahwa kini manusia berada di dalam gradualisme zaman yang terinterval oleh transformasi “material culture”. (Fischer, 1992) sejalan dengan Castells, Melvin Kranzberg menulis konsep “The Information Age” sebagai elemen teknis dari masyarakat industri. Sedangkan Daniel Bell (1976) mengatakan bahwa titik dasar revolusi teknologi informasi terletak pada penggunaan pengetahuan ilmiah yang dilakukan secara reproducible. Nicholas Negroponte (1995) sendiri punya pendapat bahwa proses transformasi teknologi mampu membentuk interface (penghubung) antara teknologi dengan informasi yang didapat, dihasilkan, disimpan, dan ditransmit secara digital/digitalisasi. Setidaknya, para pakar tersebut memiliki pandangan bahwa revolusi teknologi informasi memang terjadi dan bersifat gradual (perubahan mendasar, bertahap, dan terstruktur).
Secara historis, revolusi teknologi diungkapkan Melvin Kranzberg dan Carroll Pursell sebagai karakter yang pervasive (penetratif), yang menyerap faktor internal/endogen dari aktivitas manusia. Contohnya, biological engineering dihasilkan dari struktur dasar informasi manusia berupa DNA. Sistem yang bekerja di dalamnya mengelola informasi yang diturunkan ke generasi berikutnya. Perlakuan inovatif terhadap manusia ini merupakan bagian dari teknologi informasi karena tidak terfokus pada ilmu pengetahuan dan informasi biologis, tapi lebih mengarah ke aplikasi yang meneruskan pengetahuan dan informasi dengan penggunaan inovasi-inovasi. (Hall dan Preston, 1988)
Proses umum revolusi teknologi informasi terdiri daritiga bagian, yakni: automation of tasks, experimentation of uses, dan reconfiguration of applications. (Bar, 1990) Menurut terminologi Rosenberg (1982), proses pertama dan kedua lebih mengarah kepada learning by using, lebih memaksimalkan produktivitas manusia sebagia sumber teknologi (information to act on technology) seperti penemuan mesin uap James Watt, ilmu pengetahuan tentang hokum gravitasi Isaac Newton,dsb. Sedangkan proses terakhir, manusia lebih mempelajari teknologi secara praktis (technology to act on information), sehingga konsep learning by doing ini menjadikan informasi sebagai komoditas.

Diferensiasi dari Revolusi Agrikultur dan Industri
Revolusi Agrikultur dimulai sejak tahun 1700 di Inggris. Di tahun 1750, Inggris pula yang menjadi tonggak utama pasar agrikultur di seluruh dunia. Tanah Pada saat itu, segala kekayaan alam dan keindahannya telah dikelola dan dikuasai oleh daya produktif manusia., tanaman, dan binatang digunakan secara maksimal oleh manusia untuk pembangunan awal. Pembuatan pupuk, pembuatan sengkedan, pertanian, peternakan, dan perikanan menjadi mata pencaharian utama masyarakat tradisional. Teknik hidroponik, monokultur, dikultur, pembibitan sampai panen sudah biasa dijalankan oleh mereka. Bisa dikatakan bahwa manusia sebagai penguasa tunggal dalam mengerahkan potensi alam yang tersedia secara berlimpah. Namun, hasil agrikultur ini harus dibagi pada tuan tanah dan penggarap tanah. Para pemilik tanah dengan leluasa mendikte tenaga kerja mereka secara paksa sehingga menimbulkan kapitalisme ekonomi serta arus migrasi yang besar.
Memasuki tahun 1800an, revolusi industri terjadi secara masif dan eksploitatif. Dominasi manusia telah beralih sedikit demi sedikit menuju dominasi mesin/teknologi. Revolusi industri sendiri terbagi menjadi dua fase, yaitu: fase pertama yang berangkat dari ekstensifikasi informasi yang diolah menjadi sebuah pengetahuan dan fase kedua (sekitar tahun 1850) yang dikarakteristikkan pada peran ilmu pengetahuan terhadap inovasi-inovasi teknologis. Aktor utama dalam revolusi ini ialah para buruh dan pemilik modal sehingga mengembangkan paham kapitalisme lalu menciptakan kelas-kelas. Castells dalam hal ini sepakat dengan paham Marxis bahwa kapitalisme telah memiliki daya kuat dalam melakukan revolusi, termasuk revolusi teknologi informasi.
Castells melihat penyebaran teknologi bukan secara ekspansif, melainkan melalui immediate application. Artinya, teknologi informasi lebih membawa kepada arus percepatan relasi antara teknologi dan manusia. Aktor tidak lagi bersifat ekonomi-materialis (buruh dan pemilik) tapi lebih kepada users dan doers. Kedua konsep tersebut bisa digunakan sekaligus sehingga sistem informasi akhirnya berjalan secara otomatis. Contohnya ialah ketika Bill Gates menciptakan Windows lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia. Microsoft, Apple, dan produk teknologi informasi lainnya merupakan buah teknologi mutakhir yang mengedepankan teknologi sebagai akses informasi secara praktis dan dinamis. Revolusi teknologi informasi mencakup penemuan microchip/microelectronics, komputerisasi, dan telekomunikasi di mana inovasi dan penggunaan inovasi terakumulasi secara efektif.

Globalisasi dan Revolusi Teknologi Informasi: Kunci Sustainabilitas?
Arus pasar dari teknologi informasi semakin tak terbendung. Globalisasi informasi yang semula berkembang pesat di abad 20 ini, telah menjadi revolusi khusus bagi pembangunan sebuah negara. Seperti dikatakan oleh Aydalot (1985), sinergi yang terkumpul dalam sebuah teknologi informasi bernama “milleux of innovation”, yang menginteraksikan sistem produktivitas manusia dengan ide yang terdapat di daerah sekelilingnya. Lalu Mokyr menegaskan bahwa inovasi teknologi tidak dapat menjadi informasi yang terisolasi. Dengan kata lain, informasi yang berkemabang oleh teknologi ini mengalami perluasan secara global (globalisasi). Apakah yang harus dilakukan oleh globalisasi dalam revolusi teknologi informasi?
Menurut Castells, globalisasi yang terjadi harus mampu memfasilitasi arus teknologi informasi secara holistik sekaligus spesifik. Artinya, relasi antara informasi dan teknologi mampu bersifat fleksibel, menghasilkan networking logic, serta mampu membuat highly integrated system with specific technologies. (Freeman, 1988) Di dalam teknologi informasi, ada interaksi dinamis antara pengguna dan jaringan yang tersalur, memiliki perkembangan tingkat kecepatan (upgrade) yang termodifikasi secara cepat, sekaligus bersifat adaptif terhadap lingkungan sosial. Mulgan (1991) mengatakan bahwa jaringan dalam teknologi informasi tidak hanya diciptakan untuk komunikasi saja, tetapi juga menentukan posisi keluar dari jalur komunikasi yang ada.
Fenomena pemanasan global menjadi salah satu isu yang terakomodasi oleh adanya revolusi teknologi informasi. Seluruh elemen/entitas turut menyaksikan gambar lapisan ozon berlubang, es di kutub mencair, perubahan iklim, kekeringan, banjir, serta badai tak menentu secara cepat. Koneksi internet ini akhirnya dihadapkan pada suatu pilihan: terbuang secara sia-sia atau terkelola secara hemat, siklus, berkelanjutan? Green IT merupakan salah satu website yang mensosialisasikan peran penting sustainabilitas terhadap teknologi informasi. (Why Green IT? http://www.greenit.net/whygreenit.html . Diakses tanggal 27 September 2010) Berlabel “eco-profile”, web ini berusaha memberikan konsep penghematan energi listrik dalam mengoperasi teknologi informasi. (Lihat gambar di balik)

Sumber: http://www.greenit.net/products_greenitroadmap.html. Diakses tgl 27 September 2010
Negara-negara di Eropa seperti Swiss dan Jerman telah berusaha membuat kebijakan energi berkelanjutan yang bernama recycle, repair, re-use, upgrade. Salah satu contoh realisasinya ialah membuat tema "Sustainability in the Information Society” dalam komunitas yang disebut Empa Academy Science Forum. (Martina Peter, 2002) Dengan demikian, globalisasi dan teknologi informasi bisa menjadi partner kunci dalam menerapkan konsep keberlanjutan.
Globalisasi telah berevolusi layaknya teknologi informasi. Teknologi informasi akan bergerak dinamis positif dengan globalisasi apabila memperhatikan penuh aspek ekonomi, etika-moral, dan lingkungan. Globalisasi dapat bergerak secara berkelanjutan (sustainable) dengan arus teknologi informasi.

REFERENSI
Castells, Manuel. 1996. “The Information Technology Revolution”,dalam The Rise of Network Society. Oxford: Blackwell Publisher. hal 29-65
Green IT Roadmap. http://www.greenit.net/products_greenitroadmap.html. Diakses tanggal 27 September 2010
Peter, Martina. 2002. Information Technology-the key to Sustainability. Empa Academy Science Forum, dalam www.empa.ch. Diakses tanggal 27 September 2010
Why Green IT? http://www.greenit.net/whygreenit.html. Diakses tanggal 27 September 2010


KULTURISASI OPINI DUNIA dan TANTANGAN MEDIA GLOBAL

Fokus argumen Peter Stearn: Ekspansi, Inovasi, dan Limitasi
Sebuah argumen menarik dari Peter N. Stearns (2005) menyatakan bahwa kekuatan (kapasitas) dan kultur telah menjadi faktor pemicu utama dalam memobilisasi topik/persoalan masyarakat. Kalimat pembuka tersebut juga memperkuat premis mengenai opini publik yang telah mengglobal karena adanya transformasi peradaban dunia. Hal ini didasari oleh tiga alasan konseptual utama, yakni: ekspansi, inovasi, dan limit (batasan dan hambatan). Ekspansi yang dimaksud lebih menceritakan catatan kronologis kemunculan dan pengaruh era Westernisasi sejak tahun 1860-1930 terhadap peradaban Rusia, Amerika Latin, Jepang, Timur Tengah, dan Cina. Perluasan paradigma Barat ini lantas menimbulkan suatu inovasi kultur tersendiri dan mampu membentuk opini masyarakat secara global. Seiring dengan berkemabangnya teknologi informasi berupa media cetak, inovasi yang dihasilkan tetap mengalami hambatan serius. Akibatnya, pergerakan Barat mendapat limit yang bersinggungan dengan tradisi kuat sebuah negara bangsa.
Tulisan Peter N. Stearn lebih berfokus pada eksistensi opini dunia dan peran transformasi peradaban (perubahan kultural) terhadap pembentukan opini publik global. Secara komprehensif, Stearn menjelaskan bahwa ekspansi peradaban Barat dilatarbelakangi oleh peristiwa 80 tahun gerakan anti perbudakan abad 18 dan bencana yang terjadi pasca Perang Dunia II. Momen tersebut menjadi bukti nyata bahwa hakikat opini publik sudah lahir secara tradisional oleh karena banyaknya konflik kekerasan, penyelewengan sosial, serta gerakan khusus seperti Nazi dan Fasis yang didukung dengan semangat moral yang tinggi. Namun, semenjak Konvensi Jenewa terbentuk dadi tahun 1860, berdirinya Palang Merah Internasional, dan terselenggarakannya pemberian hadiah Nobel tahun 1901, opini public kian diapresiasi dan mengalami perkembangan pesat hingga membentuk opini dunia.
Peluang untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang berkualitas kian terbuka lebar sejak imperialisme Barat berekspansi besar-besaran. Bahkan, teknologi media jurnalistik semakin mengundang intrik banyak pihak hingga mampu membongkar sisi lain peradaban. Spoof Mikado dari Jepang, pembunuhan bayi dan ketidakadilan hak wanita di India, prostitusi di Amerika Latin dan Jepang, patronisasi Rusia, absolutismesistem hukum Islam yang ‘menomorsatukan’ wanita di Timur Tengah, sampai isu pemasungan kaki wanita di Cina menjadi hasil inovatif nyata dari jerih payah Barat dalam menguak ekslusivitas peradaban luar serta mengajarkan asas kebebasan, misionari Kristiani, dan standard pembentukan opini global. Dengan kata lain, imperialisme Barat mengarah kepada modernitas, masyarakat modern, dan era reformasi.
Indikator sukses tidaknya opini dunia dari transformasi peradaban di atas ialah akses geografis dan tingkat perkembangan isu yang beredar. Pada akhir abad 19, opini dunia menjadi sangat krusial karena adanya tindakan lynching di Ameika Serikat. Aksi tersebut dipengaruhi oleh asas diskriminasi rasial dan konflik internal. Oleh karena itu, sejumlah tokoh anti-lynching membuat petisi internasional dan mengundang media massa sebagai wadah informatif protes mereka. Perubahan gradual terjadi dan berdampak pada kebijakan federal pemerintah hingga mencetus adanya tanggung jawab moral secara legal (dibentuk undang-undang mengenai hak asasi manusia). Solidaritas dan inklusivitas dari kekerasan menjadi standard utama dalam pembentukan opini dunia.
Walaupun opini dunia mampu menciptakan progresivitas gerakan universal/ tindakan kolektif, faktor transformasi perdaban ternyata punya hambatan. Menjadikan manusia yang bermartabat dan berargumen secara intelektual tidak semata terlepas dari persoalan nasional. National shame dan national disgrace menjadi hambatan utama ketika opini dunia mencuat dan tenggelam secara tiba-tiba. Perselisihan internal dan gejolak yang timbul akibat gesekan kultur merupakan ‘penyakit’ massa yang harus diperhatikan masyarakat global.

Respon Personal: Bagaimana Tantangan Media Global?
Penulis sependapat dengan pernyataan Stearn yang menjunjung aspek peradaban dalam pembenutkan opini dunia. Asas sosial dan kultural memang menjadi landasan penting yang sudah mendarah daging di dalam mindset masyarakat. Namun, Stearn belum menjelaskan bagaimana kontribusi media dalam dinamika peradaban dan opini publik. Isu kesetaraan gender, penghormatan hak asasi manusia menjadi sangat dominan dan kurang menjelaskan eksistensi media dalam perumusan opini dunia. Selain itu, alur tulisan Stearn yang campur terkadang menyebabkan penulis kehilangan esensi dari perubahan zaman masyarakat dalam membentuk opini dunia.
Sebagai pelengkap, penulis menambahkan argumen Herman dan Chesney (1997) yang menjelaskan tentang peran penting ideologi kapital korporat global dalam perkembangan media global. Ada empat faktor utama yang mempengaruhi ideologi tersebut, di antaranya:
a. Kemampuan pasar dalam mengalokasi sumber daya yang tersedia secara efisien dan menyediakan cara pengorganisasian kehidupan ekonomi.
Ekspansi imperialisme Barat memang tidak terbendung. Perjalanan bisnis geografis yang berbasis pasar ini harus mampu menyediakan stabilitas sistem ekonomi. Sumber daya dan kapasitas yang ada juga ditunjang dengan investasi aktif, yang biasa disebut “favorable climate of investment”.
b. Intervensi negara
Ketika pasar berkembang, negara tidak semata-mata tertidur dan duduk manis. Sebagai regulator, pemerintah tetap perlu memberikan rezim ekonomi terkendali, menciptakan “public good” dan mengurangi kadar “market failure”. Posisi negara diharapkan sinergis dengan perkembangan kapital industri media secara global.
c. Prinsip pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan
Dengan adanya stabilitas pasar dan intervensi negara yang terkendali, maka tingkat pertumbuhan ekonomi nasional akan berdampak positif pada kemajuan industri media global. Agar tetap aman, pembangunan ekonomi terus didukung asas berkelanjutan yang bersifat non-inflationary. Asas tersebut dijadikan pedoman penting bagi keberlangsungan kapitalisme informasi dan opini publik.
d. Privatisasi
Seiring dengan kuatnya arus globalisasi informasi, kapasitas pasar semakin berkembang pesat secara masif dan global. Adanya perdagangan bebas senantiasa menjadikan sebuah produk/properti menjadi lebih privat. Dengan demikian, komodifikasi opini publik dan industri media menjadi suatu komoditas komersial yang tidak dapat digunakan secara kolektif.
Cooperative Advantage dan Sustainable Development
Pemaparan di atas telah menjawab eksistensi opini dunia dan perkembangan industri media global. Namun, gelombang raksasa kapitalisme global dalam bentuk Foreign Direct Investment dan pasar bebas sebenarnya memberikan tantangan penting bagi media global. Industri komunikasi global ini harus menghadapi sekaligus menjawab dua permasalahan keamanan manusia di masa depan. Pertama, bagaimana teknologi informasi baru ini merestrukturisasi hubungan sosial masyarakat global. Kedua, bagaimana prospek indutri komunikasi global menanggapi hakikat dan otonomi manusia secara pribadi.
Untuk menjawabnya, penulis memiliki ide alternatif yang bernama cooperative advantage dan sustainable development. Cooperative advantage merupakan pemikiran responsif terhadap konsep ekonomi utama competitive advantage, yang mengerahkan kemampuan kerjasama dan mutual commons. (Hazel Handerson, 2002) Artinya, setiap individu mampu berpikir rasional positif mengenai esensi kerjasama yang berlandaskan kepercayaan kolektif dan transparansi secara holistik. Rekonseptualisasi kapitalisme kasino global pun menjadi bentuk cooperative advantage yang menghilangkan asas uang sebagai praktik ekonomi absolut.
Arus opini dunia dan perkembangan industri media global perlu diatur secara institusional berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan yang terbentuk saat Earth Summit di Rio de Janeiro 1992 ini menjunjung tinggi aspek 3e: environment, economics, ethics. (Emil Salim, 2005) Keuntungan industri media global setidaknya dibagi dengan pemberdayaan kapasitas masyarakat dan membangun komitmen etis bagi keberlangsungan hidup manusia. Dengan begitu, prospek media global bersinergi kondusif dengan pembentukan opini dunia.

REFERENSI:
Handerson, Hazel. 2002. “Building Win-Win World”. Batam Centre: Interaksara
Herman, E.S dan R.W Mc Chesney. 1997. “The Rise of the Global Media”, dalam The Global Media: The New Missionaries of Corporate Capitalism, London: Cassel. Pp 10-40
Salim, Emil. 2005. “Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan Hidup”. Jakarta: Gramedia
Stearns, Peter N. 2005. “World Opinion Expands Its Range”, dalam Global Outrage: The Impact of World Opinion on Contemporary History, Oxford: Oneworld Publication. Pp 39-55