Selasa, Maret 30, 2010

PROSPEK STRUKTURALISME TERHADAP MARXISME

Jurnal THI III, 1 April 2009
PROSPEK STRUKTURALISME TERHADAP MARXISME
(Oleh : Gracia Paramitha, 070710415)

Marxisme merupakan salah satu pandangan mainstream dalam teori hubungan internasional yang sangat dipelopori oleh Karl Marx. Sebagai tokoh radikal dan kontroversial terhadap perkembangan kapitalisme dunia, nama Marx pada akhirnya diabadikan sebagai sebuah teori bersejarah yang mampu mengedepankan kesetaraan dan kebebasan berdasarkan sistem kelas antagonis, yakni: kaum borjuis dan proletat. Pada pertengahan tahun 1840, Marx mengakui bahwa adanya ekspansi kapitalisme akan mengeliminir keberadaan divisi kelas antar kedaulatan nation-state dan mampu mendominasi sistem negara internasional. Melihat realita tersebut, Marx juga percaya bahwa adanya revolusi politik akan menghapus tatanan kapitalis dan menciptakan masyarakat sosialis dunia. Jika dilihat dari pandangan rasionalis, Hedley Bull menganggap marxisme sebagai bentuk revolusi yang berfokus pada kekacauan horizontal antara dua pergerakan kelas sosial yang mampu menyalahgunakan konsep nation-state dan masyarakat internasional.
Asumsi dasar perspektif marxisme dalam hubungan internasional ialah adanya proses penyatuan human race melalui dinamika globalisasi kapitalis dan kapitalisme ini dianggap sebagai driving forces dalam tingkat interdependensi internasional.Analisis globalisasi dan fragmentasi di dalam tradisi Marxist dikenal sebagai paradigma kelas dan produksi di mana tingkat pereduksiannya bergantung pada dimensi ekonomi dari keadaan sosial yang secara politis maupun normatif berpengaruh terhadap perpolitikan dunia. Jika direlevansikan dengan keadaan saat ini, adanya teori marxisme mampu melewati masa bipolaritas dengan meningkatkan dampak globalisasi dunia dan fragmentasi (perpecahan) etnis yang bertentagan dengan struktur negara secara internasional.
Latar belakang kehidupan manusia di era Marxisme adalah sikap perjuangan dan kegigihan kuat untuk memenuhi kebutuhan dasar secara material, memahami kekerasan alam, mengendalikan sistem sosial ekspolitatif, dan mengatasi renggangnya hubungan antar anggota masyarakat. Permasalahan utama yang dihadapi ketika itu adalah munculnya pengasingan, eksploitasi, dan kerenggangan relasi antar manusia. Pengasingan diartikan sebagai kondisi di mana human race melampaui batas kemurahan hati seorang manusia, eksploitasi sendiri adalah kondisi kelompok tertentu secara langsung mengontrol dan mengeruk keuntungan absolut dari kekuasaan pekerja satu dengan yang lainnya. Sedangkan kerenggangan bermaksud keretakan sebuah relasi yang berdampak permusuhan antara kelompok budaya atau nasional yang terpecah belah. Akar penyebab kasus ini ialah adanya kesenjangan kelas antara kaum borjuis dan proletariat yang saling berselisih dan hidup secara konfliktual. Selain itu, motif produksi seringkali dijadikan pijakan dasar munculnya ”kejahatan ekonomis dan sosialis” layaknya globalisasi kapitalis sehingga penindasan terhadap kaum lemah (proletat) pun kian terpuruk.
Dalam sistem internasional, marxisme membawa pengaruh kuat bagi perekonomian dunia di mana kesetaraan dan kebebasan setiap elemen masyarakat mutlak tuk dijunjung tinggi. Dalam buku The Communist Manifesto, Marx dan Engel mengutarakan bahwa globalisasi merupakan implikasi terhadap strategi revolusioner di mana nasionalisme di setiap bangsa kian punah seiring dengan adanya persaingan pasar bebas dan kekuatan hegemoni kapitalis dunia. Untuk itu, penetapan pondasi dan struktur kaum proletat harus lebih diutamakan daripada kaum borjuis. Perjuangan revolusioner ini telah mejadi goal utama untuk menciptakan masyarakat global yang dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, adanya keraguan bahwa periode 1840 Marx dan Engel yakin akan adanya diplomasi sangat membuka peluang dan keleluasaan dalam meningkatkan keahlian berpolitik seiring dengan perkembangan globalisasi kapitalis. Hal ini disebabkan oleh adanya ikatan relatif entitas masyarakat terhadap logika internal perubahan.Marx menganggap bahwa kebijakan diplomatis merupakan kepentingan tersier atau sekunder dibandingkan isu-isu produksi. Artinya, globalisasi dan dinamika perdamaian sistem internasional mulai berkembang dalam aspek masyarakat dan ekonomi daripada aspek politis suatu negara yang cenderung bersifat kekerasan. Kedua, pentingnya rasa nasionalisme pada masa revolusi 1848 telah menyadarkan rakyat untuk berperan besar terhadap pemberontakan yang membawa transisi kapitalisme menuju sosialisme. Nasionalisme dikampanyekan oleh Marx dan Engel sebagai refleksi usaha untuk merespon pengasingan kapitalisme, ekspolitasi sekaligus fenomena keregangan antar kelompok nasional. Ketiga, di samping munculnya peperangan dan hubungan internasional di akhir abad 18, marxisme gagal untuk mengapresiasi signifikansi teori tersebut pada orientasi masyarakat dan politik secara kritis. Pembangunan versi Marx dan Engel didasarkan atas pertimbangan signifikansi kegigihan komunitas nasional dan semakin renggangnya kelompok nasional dalam teori dan praktik sosialisme. Namun, adanya disparitas antar kelompok ini justru menjadi boomerang bagi kelangsungan hidup mereka. Angan hidup bersama dan setara pun pupus karena kegagalan sistem sosialisme yang dipicu oleh kelompok berkuasa (borjuis).
Yang menjadi agenda utama kaum marxis adalah adanya pemahaman terhadap kemungkinan komunitas sosialis yang akan menggantikan proses pengasingan, ekspolitasi, dan kerenggangan melalui asas kebebasan, kooperasi, dan pengertian karakteristik dunia yang diikuti arus globalisasi dan fragmentasi. Sementara itu, aktor yang berperan penting dalam menjalankan susunan agenda tersebut ialah seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Dalam hal ini, baik pihak borjuis maupun proletat harus bekerjasama dan mementingkan asas kesetaraan agar stabilitas dan perdamaian dunia segera tercapai. Jika salah satu mendominasi, akan timbul hegemoni-hegemoni negara ataupun peran sang aktor dalam mengatur sistem perpolitikan internasional.
Teori marxisme telah mendapat beberapa kritik dari teori sebelumnya, terutama dari kalangan realis.Kaum realis mengidentifikasi salah satu kelemahan fundamental dari pemikiran marxisme,yaitu adanya reduksi dalam menginterpretasikan negara. Marxis terlalu sering menekankan bahwa negara bermain dalam proteksi pengaturan kelas dari ancaman kompetitor eksternal dan kelas subordinat. Yang menjadi kendala utama ialah marxis tidak memperkirakan pentingnya kontrol monopoli negara sebagai instrumen kekerasan dan otoriter dalam menghadapi ancaman dan berpartisipasi dalam tindakan represif semisal peperangan Tiga aspek utama yang perlu dipertimbangkan kembali oleh kaum marxis ialah konsep nasionalisme, negara, dan peperangan. Kaum realis dan neorealis masih yakin akan eksistensi sistem anarki internasional sampai saat ini.
Selain itu, ada pula kritikan dari teori kritis yang dipelopori oleh Habermas, Frankfurt School. Habermas mengklaim bahwa kaum marxis telah mengabaikan struktur independen dari pembelajaran moral praktis di mana keadaan manusia dikembangkan dengan skill etis dalam menciptakan tatanan masyarakat yang bermartabat. Atas dasar inilah, muncul pergerakan marxisme baru atau yang biasa disebut neomarxisme.
Menurut Hazel Smith, sumbangan terbesar Marxisme terhadap studi hubungan internasional terletak pada pengembangan (development) teori internasional yang saat ini didefinisikan sebagai strukturalisme atau neo-marxisme. Neo-marxisme memberikan analisis yang luas tentang kelas sebagai faktor utama di dalam hubungan internasional, hubungan ekonomi (economic relationships) sebagai dinamika utama (the key dynamics) dan keadilan dan kesetaraan internasional sebagai landasan normatif terpenting. Perbedaan utama yang dimiliki oleh neo-marxisme terhadap marxisme klasik adalah kemampuannya yang lebih konseptual dan metodologis dalam menggunakan teori-teori yang disusun oleh Marx, Hegel dan Lenin. Penetrasi neo-marxis ke dalam disiplin ilmu hubungan internasional memberikan tiga sumbangan teoritis utama yaitu:
a. studi pembangunan dan dependensi
Teori ini menyatakan bahwa terjadi dominasi struktural atas negara-negara pinggiran yang dieksploitasi oleh negara-negara pusat. Mereka melihat terdapat ketidakseimbangan pertukaran antara negara-negara pusat (core countries) dan negara-negara pinggiran (periphery countries). Objek kajian teori-teori dependensi terutama adalah pengalaman negara-negara Amerika Latin yang mengalami kemiskinan dan keterbelakangan (underdeveloped) walaupun telah merdeka sejak awal abad XIX. Smith menulis kritik utama yang diberikan marxisme di dalam teori-teori dependensi adalah tentang kapitalisme. Perdebatan berlangsung di seputar argumen historis tentang the nature of transition dari feodalisme ke kapitalisme di Eropa.
b. pendekatan world system
Sumbangan terpenting Wallerstein adalah tentang pemikirannya mengenai ‘sistem dunia’. Wallerstein memahami ‘sistem dunia modern’ (modern world system) sebagai perkembangan, ekonomi kapitalis dunia yang saling bertautan, yang tumbuh dalam bentuk modern pada abad ke XVI. Sistem dunia ini yang juga dipahami sebagai sistem ekonomi dunia merupakan level analisa utama Wallerstein. Ia menggunakan interpretasi yang luas mengenai pemahaman Marx tentang esensi kapitalisme. Konsepsi Wallerstein tentang kapitalisme ditopang oleh gagasan mengenai ekspansi perdagangan internasional.
c. Pengaruh neo-gramscian di dalam sub-kajian ekonomi-politik internasional
Smith tidak memberikan penjelasan yang panjang tentang pengaruh neo-gramscian di dalam kajian internasional. Namun ia menjelaskan ada sejumlah teoritisi yang berupaya menggunakan gagasan Gramsci tentang ‘hegemoni’ sebagai penjelas tentang bagaimana sebuah kekuatan utama, semisal Amerika Serikat, mempertahankan dominasi mereka di dalam sistem internasional.
Dengan munculnya pendekatan strukturalis, prospek ekonomis dan politis semakin tidak terpisahkan tanpa melupakan unsur kultural dan moral suatu bangsa. Tentunya, nilai utopis dari marxis telah mengalami pengapuran sehingga implementasi nilai strukturalis lebih aplikatif dan teknis. Strukturalisme telah dijadikan perspektif inovatif bagi keberlanjutan ekonomi politik internasional dalam mengatur suatu sistem dunia yang damai dan stabil. Strukturalisme secara konstruktif membawa prospek baik dan mengntungkan bagi dinamika marxisme.

DAFTAR PUSTAKA

Barry, P 2002, 'Structuralism', Beginning theory: an introduction to literary and cultural theory, Manchester University Press, Manchester, pp. 39-60
Bull, Hedley, The Anarchical Society : A Study of Order in World Politics (London, 1997)
Linklater, Andrew. Theories of International Relations: Marxism. 1996. America, St.Martin’s Press.pp 119-144
Smith, Hazel. Marxism and International Relations Theory. 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar