Review artikel Robert holton, Globalization’s Cultural Consequences
Sistem globalisasi sejatinya memberi dampak yang sangat berpengaruh terhadap perubahan sosial. Kapitalisme, perkembangna teknologi, masyarakat, dan perluasan ideologi semakin menentukan arus dan batasan kultur. Era globalisasi pada tahun 2000 sendiri mencakup aktivitas lintas batasan dan internaisonalisme, termasuk ekspansi global yang terjadi pada tahun 1913. Titik keunikan dari perubahan global kotemporer terletak pada bentuk-bentuk integrasi baru dna interdependensi. Dimensi dan batasan fundamental pun tidak menentukan masa depan dari perubahan sosial.
Secara epistemologi, Raymond William (1976: 87) menyatakan bahwa culture merupakan salah satu istilah kompleks dalam literatur Inggris. Secara konotatif, kultur berarti ruang lingkup yang menitikberatkan nilai-nilai dan kepercayaan tertentu daripada aktivitas praktis dan disposisi. Sama halnya dengan Clifford Geertz’s, definisi culture memberikan sebuah pedoman/kepercayaan yang melampaui aktivitas khusus dan praktik. Selain itu, culture juga bermakna “an historically transmitted pattern of meanings embodied in symbolic forms by means of which men [sic] communicate, perpetiate, and develop their knowledge about and attitudes towards life”.
Berbicara tentang kultur, proses globalisasi diidentifikasi sebagai usia perubahan dalam suatu tatanan masyarakat. Untuk memudahkan identifikasi pengaruh globalisasi terhadap kultur, Robert Holton telah mengklasifikasi 3 tesis yang memunculkan konsekuensi dari globalisasi kultur, yakni:
a. Homogenisasi
Satu pandangan umum yang melekat antara konsep globalisasi dan kultur adalah dengan meleburkannya ke dalam suatu perangkat praktis sebuah kultur yang bersifat konvergen. Artinya, ada satu nilai kultur yang teradopsi dan terafiliasi dengan sistem globalisasi sehingga terjadi proses keseragaman budaya (standardisasi). Istilah “Coca-Colonization” atau “McDonaldization” menjadi identitas khusus dari homogenitas yang mengakui adanya cerminan antara globalisasi ekonomi dan globalisasi kultur. Homogenisasi akhirnuya disamaartikan dengan Westernisasi maupun Amerikanisasi. Mekanisme dari perubahan ini berawal dari adanya penyebaran eknomi pasar da strategi perusahaan multinasional secara luas dan masif.
Film-film Hollywood pun menjadi magnet tersendiri bagi seluruh masyarakat global.Contoh nyata dari homogenisasi dapat terlihat sejak perkembangan informasi dan teknologi komunikasi mulai berkembang pesat pada tahun 1950. Microsoft, Motorola, Yaoo, ataupun Amazon.com telah menjadi magnet khusus bagi suatu produk tertentu seperti Coca Cola. Komunikasi mengenai produk pun dapat dipahami secara cepat melalui jaringan internet, website yang sudah terkoneksi dengan server. Bahkan, sejarah Nazi sampai Puritanisme dapat dengan mudah dan cepat dicari tanpa harus pergi ke tempat tujuan. Dimensi kedua yang menjadi isu utama homogenitas ialah integrasi kaum elit sedunia mengenai edukasi, ekonomi, dan politik masyarakat Barat. Sejak dahulu sampai saat ini, teori dan filosofi Barat selalu menjadi patokan utama dalam mencari ilmu pengetahuan. Harvard, Oxford, hingga Sorbonne pun menjadi produk nyata pemikiran Barat yang sejalan dengan jaringan fungsional dalam organisasi internasional, seperti: Perserikatan Bangsa-Bangsa, World Bank, dsb.
Namun, dengan adanya dinamika dalam globalisasi kultur, terdapat sejumlah kelemaham. Pertama, asosiasi menngenai globalisasi kultur antar negara Barat slaing tumpang tindih. Pemikiran Barat selama ini selalu diidentikkan dengan kemenangan dan kehebatan negara AS. Padahal perusahan multinasional tidak selamanya menjadi leading sector, sudah disaingi ketat oleh perusahaan seperti Benetton dengan slogan terkenalnya “United colors of Benetton” (menghilangkan standardisasi produk).
b. Polarisasi
Keterbatasan homogenitas dalam globalisasi era kontemporer ini telah memunculkan tanda-tanda polarisasi. Konsep ini menggerakkan adanya pembangunan kultur global secara kondusif. Interkoneksi global dan interdependensi menjadi stigma khas polarisasi yang diberi modifikasi kerjasama silang kultur, urbanisasi, dan toleransi internasional. Perubahan teknologi semakin memicu etnonasionalisme. Bennedict Anderson (1994:326) menyebut istilah penyebaran etnis penduduk sebagai ”long distance nationalism” dan hal itu tidak berpengaruh penting terhadap globalisasi kultur sebagai identitas transnasional.
Lain halnya dengan konsep Samuel Huntington. Menurutnya, polarisasi yang ada dalam globalisasi kultur telah memiliki kurensi yang tersebar luas. Contoh kasus yang digunakan ialah konflik antara kaum Barat dengan kemunculan kaum Islam dan Konfusianis. Sedangkan Benjamin Barber (1995) mengartikan polarisasi sebagai konflik antara McWorld dengna jihad, yang nantinya mampu memicu timbulnya tribalisme dan fundamentalisme kultur. Pendekatan polarisasi terhadap globalisasi kultur menyatakan dua konsep/cerita yang kuat dan saling berhubungan dalam dunia kontemporer.
c. Hybridisasi
Hybridisasi atau sinkrenisasi telah dilatarbelakangi oleh adanya perubahan dan pergerakan kultur yang disebabkan oleh migrasi, pekerjaan lintas batas, kolonisasi, dan kondisi lemah dari antar kultur. Ide dari hybridisasi telah sukses dikembangkan pada aspek musikalitas (jazz atau musik dunia), literatur dan seni kontemporer, kehidupan religius dan spiritual. Namun, skala dan ruang lingkup yang terkandung di dalamnya susah diukur. Hal ini disebabkan oleh adanya ambiguitas antar status orientasi kultur.
Konsep hybridisasi berpijak pada filosofi kosmopolitan yang memiliki asas toloeransi, etika moral, pluralis, universalis, dan kebersamaan.menurut Hannerz, kosmopolitanisme adalah fitur yang merangkum orientasi pluralisme dari kultur-kultur pusat yang siap menyatu/melebur dengan kultur lain dan bersaing dengan divisi kultur lainnya. Sehingga, kultur tidak serta merta diartikan sebagai pedoman nilai, sikap saja tetapi lebih mendalami suatu pemikiran. Kosmopolitanisme juga bermakna adanya pemasukan kultur global yang baru ke dalam kultur nasional tanpa menghilangkan esensi dasar dari kultur tersebut. Dengan demikian, hybridisasi tidak selamanya menguasai kemurnian dari budaya masyarakat yang telah lama diakui dan diyakini.
OPINI PRIBADI
Setelah membaca artikel Robert Holton, saya menyimpulkan bahwa globalisasi tidak serta merta memusnahkan esensi dasar dari suatu budaya. Globalisasi memiliki usia, begitu halnya dengan kultur yang semakin ‘didewasakan secara matang’. Tiga metode yang disajikan oleh Robert Holton seakan memberikan tantangan dan peluang yang mampu menentukan masa depan sebuah budaya. Jika dilihat dari homogenisasi, saya lebih melihatnya sebagai negasi terhadap adanya fundamentalisme budaya. Namun, homogenisasi ini berdampak buruk bagi kreativitas masyarakat yang sudah lama tertanam. Sedangkan polarisasi cenderung bersifat kompleks karena terbentuk polar-polar yang berbeda dan menimbulkan clash of civilization. (Samuel Huntington, 1996) Hybridisasi memang menjadi penengah tapi tidak selamanya menjamin stabilitas budaya lama dan baru.
Saya memposisikan diri bahwa globalisasi tidak meningkatkan ketegangan kultur. Alasan utamanya ialah teori Thomas Friedman (2005) yang menyatakan bahwa arus informasi dan teknologi net yang berkemabang pesat telah menyetarakan status sosial manusia (flatteners). Di dalam bukunya yang berjudul The World is Flat menunjukkan adanya esensi universalisme dan unity yang secara positif mempengaruhi pola pikir masyarakat modern dan terbuka. Bahkan, Emmanuel Kant juga menyatakan dalam bukunya Prepetual Peace bahwa kosmopolitanisme yang tercermin dalam hybridisasi telah memberikan kedamaian bagi seluruh dunia. Kultur merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa seorang manusia. Jika manusia memiliki perspektif positif, nilai humanis yang damai, dan saling berkerjasama, maka konflik kepentingan antar satu kultur dengan kultur lainnya segera terminimalisir. Kehadiran facebook, twitter,ataupun situs jejaring sosial lainnya merupakan bukti adanya internet yang bisa digunakan sebagai aplikasi menarik dalam mempromosikan suatu kultur. Jepang juga menjadi contoh negara yang sangat terbuka dengan perkembangan globalisasi dan modernisasi dari Amerika tanpa menghilangkan identitas dasar kultural dari Dewa Matahari. Ketegangan anatar kultur dapat segera teratasi apabila setiap manusia memiliki kontrol karakteristik yang efektif dan peka (peduli) dengan arah futuristik globalisasi.
REFERENSI:
Anderson, Bennedict. 1994. Exodus. Critical Inquiry.
Barber, Benjamin. 1995. Jihad vs McWorld. New York: Ballantine Books
Friedman, Thomas. 2005. The World is Flat. SAGE Publicaitons
Holton, Robert. 2006. Globalization’s Cultural Cosequences. SAGE Publications
Huntington, Samuel. 1996. The Clash of Civilizations and the Remarking of World Order. New York: Simon and Schuster
Kant, Emmanuel. Perpetual Peace
Tidak ada komentar:
Posting Komentar