Gracia Paramitha, 070710415
Ketika pasar bebas tak dapat terbendung dan pembentukan regionalisme tiap daerah yang terdapat di setiap benua mulai berkembang, maka globalisasi memang sedang merajalela dalam perekonomian dunia. Jika memandang keadaan modern saat ini, sudah tak dapat dipungkiri lagi bahwa sesungguhnya negara-negara yang masih berdiri harus menelan “material” klasik yang kian melaju pesat, yang tak lain dikenal dengan sebutan neoliberalisme. Sebagai teori yang makin kontemporer, paham liberalisme yang sangat mengakar pada kehidupan historis ekonomi ini mulai diterima dan dilaksanakan setiap negara. Krisis finansial Amerika Serikat yang marak terjadi pun mampu memberikan dampak yang signifikan bagi negara lain di seluruh penjuru bumi. Lantas, apakah paham liberalisme yang disebarluaskan oleh AS ini mampu bertahan dan tetap menjadi solusi absolut terhadap permasalahan ekonomi? Sejauh manakah raksasa liberalisme mampu menaklukkan “hati” negara lain untuk menganut dan memberlakukan paham tersebut?
Latar belakang Liberalisme
Secara historis, Liberalisme muncul sebagai reaksi perlawanan terhadap sikap penganut paham Merkantilis pada pertengahan abad XVIII. Di Perancis, ahli ekonomi menyebut gerakan ini sebagai gerakan physiocrats yang menuntut kebebasan produksi dan berdagang. Di Inggris, ahli ekonomi Adam Smith menjelaskan dalam bukunya (the Wealth of Nations 1776) mengenai keuntungan untuk menghapus pembatasan-pembatasan dalam perdagangan. Selain itu, ahli ekonomi dan para pelaku bisnis menyuarakan oposisi mereka terhadap semakin tingginya bea pabean yang menjadi penghalang serta mengusulkan negosiasi perjanjian dagang dengan kekuatan-kekuatan asing. Perubahan sikap ini mendorong ditandatangani sejumlah persetujuan liberalisasi perdagangan (Anglo-French Agreement 1786) dan mengakhiri perang ekonomi antara kedua negara.
Berdasarkan the New Lexicon Websters’s Dictionary of the English Language, liberalisme berasal dari kata liberal yang bermakna menganggap baik kebebasan individu, reformasi sosial, dan penghapusan atas pembatasan-pembatasan dalam ekonomi. Dengan demikian, liberalisme telah dipandang sebagai sebuah ideologi atau pandangan filsafat yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama dan menerapkan sistem pasar yang bebas dan terbuka. Kebebasan individu dijamin melalui mekanisme pasar. Lain halnya perspektif liberal dalam ekonomi, merupakan pandangan yang mendorong kebebasan pasar dan minimalisasi peran negara. Oleh sebab itu, perspektif liberal menempatkan individu sebagai fokus utama dalam ekonomi agar dapat meningkatkan efisiensi dan memaksimalisasi keuntungan. Argumentasi ini diperkuat dengan suatu premis yang sangat mendasar dalam perspektif liberal bahwa konsumen perseorangan, perusahaan, atau rumah tangga merupakan basis dari perekonomian masyarakat. Individu-individu dianggap rasional dan berusaha untuk memaksimalisasi atau memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan tingkat biaya serendah-rendahnya.
Kaum liberalis memahami ekonomi politik internasional sebagai suatu aplikasi teori dan metodologi ekonomi internasional yang memisahkan interaksi antara ekonomi dan politik. Adanya peran kuat dan aktif dalam mekanisme pasar telah memudarkan otoritas pemerintah sebagai aktor utama negara. Ekonomi dan politik itu adalah dua arena yang seharusnya dipisahkan dan masing-masing beroperasi menurut aturan-aturan serta logika-logikanya sendiri. Karena orang-orang liberal percaya bahwa faktor-faktor ekonomi merupakan determinan dari semua proses sosial, maka menurut mereka fenomena ekonomi politik internasional dapat di jelaskan dengan berbagai teori yang ada dalam ilmu ekonomi.
Peran dan Pengaruh Liberalisme Terhadap Perekonomian Dunia
Dalam perkembangan ekonomi modern, perspektif liberalisme mulai bercampur dengan asas-asas demokrasi yang pada akhirnya memunculkan teori neoliberalisme yang dipelopori oleh Friedrich von Hayek (1899 –1992). Walaupun perkembangan neoliberalisme telah menduduki perekonomian internasional, esensi-esensi historis liberal tetap menjadi pemegang kendali kehidupan ekonomi politik saat ini. Mengutip pernyataan John Madison yang berbunyi : “jika manusia adalah malaikat, maka pemerintahan dan demokrasi tidak diperlukan”. Pernyataan tersebut mengingatkan sesuatu bahwa sebagai manusia yang tidak sempurna secara utuh, maka kebebasan dan toleransi perlu dijunjung tinggi. Sama halnya dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Rizal Malarangeng : ”Kalau ingin mempengaruhi orang, gunakan akal pikiranmu, gunakan persuasi, dalam sebuah konteks besar yang dinamakan free market of ideas. Hal itu pula yang harus diterapkan dalam sosial, politik ekonomi, dan agama”
Dari dua pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa eksistensi paham liberalisme dalam mempengaruhi ekonomi politik internasional begitu melesat semenjak Perang Dunia II. Hal ini dibuktikan dengan kesuksesan India membuka pintunya bagi penetrasi dan mengubah ekonomi genetiknya ke arah ekonomi pasar. Demikian pula apa yang terjadi di Cina, yang menyadari bahwa kondisi lebih mengerikan akan terjadi jika ekonomi pasar diganti dengan ekonomi yang sentralistik. Dampak yang ditimbulkan bukan hanya merujuk pada kegagalan ekonomi, tapi juga diikuti dengan tragedi manusia yang luar biasa.
Selain itu, pengaruh dan peran liberalisme terhadap ekonomi politik internasional dapat terlihat pada pelaksanaan KTT ASEAN+3 yang menciptakan regionalisme secara ekonomis dan politis. Sudut pandang optimis yang terdapat pada ekonomi liberal mulai berlaku pada negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur yang melakukan tahap integrasi ekonomi berupa: mekanisme Preferential Trade Agreement (PTA), Free Trade Area (FTA), Custom Union (CU), Common Market (CM), dan Economic Union (EU). PTA terjadi jika negara-negara anggota sepakat untuk mengurangi pengenaan tingkat tarif terhadap impor dari masing-masing negara anggota. FTA lebih progresif dibandingkan dengan PTA karena berfokus pada kesepakatan untuk mengenakan tingkat tarif nol terhadap seluruh impor dari negara anggota. Sementara CU berarti FTA ditambah dengan kesepakatan untuk memiliki kebijakan eksternal bersama. CM merupakan kesepakatan untuk membebaskan lalu lintas produk dan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja. Sedangkan EU adalah kesepakatan yang sangat progresif di mana kesepakatan yang dihasilkan mencakup harmonisasi kebijakan ekonomi makro dan mikro di negara-negara anggota.
Dampak lain dari model liberalisasi ekonomi sebagaimana menjadi gagasan negara-negara maju adalah terlalu dominannya peranan lembaga-lembaga keuangan, yang sebagian besar bergerak disektor distribusi. Lembaga keuangan, dalam konteks ekonomi tradisional, sebenarnya tidak lebih dari para pedagang, yang bekerja lebih berdasarkan spekulasi daripada pertimbangan ekonomi murni. Para lembaga keuangan adalah pemain utama di berbagai pasar bursa dunia. Hal yang menarik dalam memahami lembaga keuangan ini adalah “mereka membeli tetapi bukan konsumen, dan mereka menjual tetapi bukan produsen”. Akibatnya, perekonomian dunia bergerak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan spekuatif, dengan melihat aspek-aspek non ekonomi dari setiap transaksi.
Lembaga-lembaga keuangan seperti Lehman Brothers dan Merrill Lynch telah membawa kekuatan ekonomi sekaligus politik. Walaupun mereka bergerak berdasarkan prinsip-prinsip liberalisme ekonomi, namun terdapat gejala hipokrisi dalam aktivitas ini. Sejak lama, para analis ekonomi dan politik internasional meyakini adanya hubungan saling menguntungkan antara kalangan swasta (yang didominasi oleh lembaga keuangan dunia) dengan elit politik di negara-negara maju untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi --dan juga politik-- suatu negara untuk mendukung perekonomian dunia yang liberal.
Liberalisme : Prospek Ideal Ekonomi Politik Internasional?
Dalam perkembangannya, perspektif liberal memfokuskan kepada tiga permasalahan yang dipandang sebagai faktor-faktor penentu dalam perekonomian global yaitu lack of resources dalam perekonomian, lack of international trade, dan permasalahan government intervention.
Berdasarkan permasalahan tersebut, liberalisme masih memiliki titik kelemahan yang tertutupi oleh pemikiran dektruktif kreatif. Pertama, penerapan liberalisme dalam perekonomian dunia dapat membuat dunia ke dalam tatanan yang cenderung tidak adil. Liberalisasi berbagai sektor perekonomian akan menciptakan persaingan bebas dalam pasar dunia. Artinya, disaat persaingan bebas terjadi, maka negara-negara yang memiliki tingkat perekonomiannya relatif tinggi akan semakin kuat, sedangkan yang memiliki tingkat perekonomiannya relatif rendah akan semakin lemah. Misalnya dalam hal impor, ketika kebijakan liberalisasi diterapkan, maka produk-produk dalam negeri akan terancam keberadaannya. Harga produk-produk impor yang lebih murah akan diiringi dengan meningkatnya permintaan terhadap produk-produk tersebut. Sehingga permintaan produk-produk dalam negeri cenderung menurun, bahkan tidak lagi dapat berproduksi alias “bangkrut”. Kebangkrutan produksi ini akan menyebabkan semakin banyaknya pengangguran yang dapat menimbulkan gejolak sosial.
Kedua, liberalisme akan menciptakan suatu hubungan ketergantungan antara negara yang kaya dengan negara yang miskin. Salah satu contohnya adalah kebijakan privatisasi BUMN suatu negara yang dibeli oleh negara asing sebagai suatu konsekuensi dari liberalisasi. Karena negara “menganggap” dirinya tidak mampu lagi mengelola dan membiayai proses produksi BUMN tersebut. Padahal BUMN umumnya merupakan badan atau perusahaan-perusahaan yang berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak. Sehingga tidak menutup kemungkinan pengaruh negara asing akan sangat kuat terhadap negara tersebut. Lebih dari itu, kecenderungan penjajahan dalam bentuk baru bisa saja terjadi.
Ketiga, di dalam sistem mekanisme pasar akan timbul kekuatan monopoli yang merugikan. Dalam mekanisme pasar tidak selalu terjadi persaingan sempurna di mana harga dan jumlah barang ditentukan oleh permintaan pembeli dan penawaran penjual yang banyak jumlahnya. Keempat, sistem perekonomian liberal cenderung membawa ketidakstabilan. Ketidakpastian harga maupun nilai kurs yang cenderung tidak teratur memperbesar ketidakpastian dalam ekonomi.
Jika kita melihat fenomena krisis finansial global yang terjadi pada Amerika Serikat, telah menunjukkan adanya krisis perkembangan liberalisme sebagai prospek ideal ekonomi politik internasional. Sebuah tragedi AS yang semakin memusnahkan politik hegemoninya ini bersumber pada keyakinan akan ekonomi tanpa regulasi dan internasionalisasi persaingan ekonomi. Ekonomi yang semakin memperingati kebebasannya malah berbalik memohon ampun pada negara agar segera memperbaiki perekonomian nasional. Merkantilisme pun mulai diberlakukan kembali dengan cara mengintervensi kepemilikan terhadap perusahaan swasta. Bahkan, Indonesia mengatasi krisis yang berdampak global ini melalui paket bail out yang dikucurkan oleh pemerintah kepada Bumi Resources. Hubungan antara negara dan perusahaan-perusahaan multi nasional yang selama ini seolah tampak dalam konteks independen, ternyata dipenuhi dengan preferensi-preferensi yang diberikan oleh pemerintah (sebagai representasi negara) kepada perusahaan-perusahaan tertentu, yang memiliki kapasitas politik yang memadai.
Solusi krisis finansial global tak hanya diselesaikan dengan asumsi-asumsi merkantilisme saja. Peran negara yang selama ini terhenti sebelum timbulnya krisis harus dimaksimalkan dengan pemerataan dan keadilan rakyat yang tertuang dalam sistem sosialisme ala Karl Marx. Peningkatan struktur ekonomi yang berdampak adil pada rakyat lebih diprioritaskan daripada keuntungan privat organisasi korporat seperti MNC ataupun TNC. Contoh konkrit yang dapat dilakukan oleh warga AS adalah pemberian dana stimulus terhadap institusi sosial milik pemerintah dan minimalisasi pajak masyarakat sipil.
Sampai saat ini, liberalis, merkantilisme, dan marxisme tetap menjadi perspektif utama terhadap permasalahan ekonomi politik internasional. Ketiga pendekatan tersebut bisa ditunjang dengan aliran-aliran pinggiran yang sebenarnya tidak boleh diremehkan. Adanya perspektif ekonomi-religi yang diusung sistem ekonomi syariah mampu mematahkan kekuasaan liberalisme, seperti pernyataan kuat Rahbar (Pemimpin Tertinggi Revolusi Iran) : ”krisis ekonomi Barat adalah bukti dekadensi ideologi liberal demokrasi.” Adanya unsur spiritual yang memasukkan Alqur’an dan sunnah ke dalam sistem ekonomi telah memverifikasi dinamika ekonomi politik suatu negara. Hal terbaru yang menginspirasikan ekonomi-militer adalah programp eluncuran roket Korea Utara pada tanggal 5 April lalu. Peristiwa kontroversial ini setidaknya mampu menyadarkan arogansi AS terhadap perkembangan ekonomi politik negara dunia ke-3. Secara tidak langsung, kebijakan militer yang diterapkan Korea Utara mampu mempengaruhi keadaan ekonomi nasional sekaligus internasional. Berbagai solusi telah dipaparkan secara jelas, yang menjadi pertanyaan adalah : solusi manakah yang paling efektif dan dapat diimplementasikan pada setiap negara di dunia? Tentu, jawaban yang muncul beraneka ragam dan bergantung pada kompleksitas internalisasi suatu negara.
REFERENSI :
Buku
Gilpin, Robert. Theories of Political Economy of International Relations.1987 .New Jersey : The Princeton University Press. pp.26-31.
Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Mikroekonomi. 1999. Jakarta: Rajawali Press. Hal. 46
The New Lexicon Webster’s Dictionary of the English Language
Internet
http://www.britannica.com/eb/article-233673?query=Anglo-French%20Agreement%201786&ct=, diakses pada tanggal 21 April 2009 pk 18.00 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/13/00254845/menelanjangi.liberalisme, diakses pada tanggal 21 April 2009 pk 18.00 WIB
http://www.poppysw.staff.ugm.ac.id/file/02-Perspektif%20EPI.pdf, diakses pada tanggal 21 April 2009 pk 18.00 WIB
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/ekonomi-politik-pembangunan, Diakses pada tanggal 20 April 2009 pk 19.00 WIB
http://www.kedai-kebebasan.org/berita/demokrasi/article.php?id=309, Diakses pada tanggal 20 April 2009 pk 19.00 WIB
http://www.kbomaluku.com/content/view/685/45/, Diakses pada tanggal 20 April 2009 pk 19.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar