Minggu, Oktober 31, 2010

Demokrasi dan Ekonomi Global

Review Artikel Jagdish Bhagwati. 2004. Democracy at Bay
Satu pembukaan yang manis oleh Jagdish Bhagwati dalam mengutip ungkapan Shakespeare yaitu “integration and world economy (trade with all nations) will give freedom of domestic action.” Globalisasi dan demokrasi merupakan dua konsep yang menimbulkan beragam kompleksitas namun memiliki satu untaian erat. Globalisasi bisa digunakan sebagai alat pengukuran kedaulatan yang akhirnya berujung pada interdependensi positif atau kenyataan pahit yang berbasis pada rezim otoriter. Sedangkan demokrasi pun menimbulkan dua stigma, idealisme untuk menyamaratakan status sosial setiap masyarakat atau fakta hitam berbagai aktor untuk terus ”memperjuangkan” kebebasan individunya.
Keterkaitan globalisasi dan demokrasi bisa terjadi secara langsung maupun tak langsung. Kelangsungan relasi globalisasi dengan demokrasi terlihat pada modernisasi petani rural dalam hal teknologi pangan yang lebih maju sehingga memunculkan aktor-aktor independen untuk mengaspirasikan kebebasan atas nama demokrasi. Dengan dukungan globalisasi teknologi (komputer digital, dsb) serta pasar asing, setiap rakyat mampu mengekspresikan pendapat mereka secara eksplisit.
Sedangkan proses tidak langsung terdapat pada proposisi ilmuwan politik AS yang bernama Seymour Martin Lipset. Argumen Lipset (1959) yaitu dampak dari perkembangan ekonomi akan meningkat secara demokratis melalui aspek sosial (edukasi, kesetaraan sosial, dan perubahan struktur kelas). Hipotesis Bhagwati yang pertama dari argumen Lipset ialah kemakmuran ekonomi memproduksi/menghasilkan variasi kelas menengah. Kehadiran kelas tersebut diyakini mampu membawa efektivitas terhadap demokratisasi politik. Bukti konkritnya ialah sudah banyak kaum borjuis yang menyuarakan aspirasi politik beserta dukungan pasar. Hipotesis kedua ialah globalisasi menurunkan kemiskinan dan mendemokratisasi aspek penting dari kemunculan kelas menengah. Studi kasus perdagangan AS dengan Cina merupakan justifikasi penting dari Presiden Bill Clinton dan George W. Bush, yang menyatakan "trade with China will increase the enterpreneurial class then democracy will come". Selain itu, nampak pula pada konsep Glasnot (kebebasan politik dan demokrasi) sebelum perestroika (restrukturisasi ekonomi) di Rusia.
Banyaknya kelas menengah perlu memperhatikan kebebasan media massa, stabilisasi norma, dan kesehatan, dan keamanan. Negara demokrasi yang ditunjang dengan kelas menengah ialah Cili dan Brazil, sedangkan kasus Indonesia serta Korea Selatan pasca krisis moneter (1997-1998) menggaungkan demokrasi tanpa campur tangan kelas menengah. Namun, konsepsi penting ini sering dibantah oleh kaum otoritarian seperti Barrington Moore yang menyatakan bahwa negara Jepang mampu transisi ke demokrasi dengan munculnya kelas menengah sosial karena ada "kompromi" dengan rezim lama (kuno). Sedangkan Lawrence Kaplan berseru bahwa kelas menengah Cina terkooptasi dengan rezim otoriter yang susah terdemokrasi secara cepat. Andrew Nathan menambahkan, hampir semua organisasi independen (institusi, yayasan, konsultan) punya 'hubungan khusus' dengan parta politik ataupun birokrat. Mismanagement globalisasi pun akhirnya menimbulkan collapse pada India di tahun 1960-1970.
Bhagwati tidak hanya mengangkat sisi liberal dari demokrasi, dia juga menunjukkan keunikan dari sosial dmeokrat dalam konteks pemilihan presiden Salvador Allende di Cili tahun 1973 dan Lula da Silva di Brazil (2003). Mereka punya misi untuk memberhentikan aliran kapital masif, memperkuat ekonomi makro dan reformasi finansial ke arah yang cenderung radikal (sayap kiri atau sosialisme). Revolusi 1917 di Uni Soviet juga menginspirasi E.H. Carr untuk menciptakan "socialism in one country" yang terus menyerukan internasionalisme hingga melahirkan sosok Manley di Jamaika, Soekarno di Indonesia, Nasser di Mesir, dan Nkrumah di Ghana.
Hipotesis penutup menarik untuk disimak secara seksama. Bhagwati menuturkan bahwa keterbukaan ekonomi akan memperkuat postwar liberal levels of total speding dan mendukung penuh social spending. Total spending sukses diberlakukan saat Margareth Thetcher dan Ronald Reagan memimpin. Mereka memelihara progresivitas negara dalam menmprioritaskan anggaran kebutuhan sosial seperti: edukasi, kesehatan, kemakmuran,dll). Semakin tinggi kemampuan untuk memenuhi total dan social spending, semakin besar pula peluang untuk meningkatkan insentif. Hal ini diperkuat dengan konsep liberal international order oleh Karl Polanyi dan John Ruggie yang biasanya disebut dengan embedded liberalism. Embedded liberalism berarti politisi memperkuat social spending untuk memoderat social of economic openess dan domestic spending. Dampak positif berikutnya yakni keterbukaan ekonomi dalam lingkup global mampu memperkaya sektor publik dan pendapatan nasional suatu negara.
Konklusi dari tulisan Democracy at Bay ini tertuju pada kasus World Trade Organization (WTO) as Democratic Deficit. WTO merupakan negosiasi dagang asing, memiliki kantor skretariat yang kecial dan beberapa panitia khusus, serta mempunyai Dispute Settlement Mechanism jika terjadi kerusuhan atau komplain masif. Yang membedakan kondisi WTO saat ini dengan sebelumnya ialah semakin banyaknya nongovernmental organization yang berpartisipasi dan membuat forum khusus dengan negara anggota WTO. Problem yang terus dihadapi WTO di kemudian hari ialah negara maju selalu ribut soal pemberian 'hak eksklusif' pada NGO sementara General Agreement on Trade and Tariffs (GATT), nama kuno WTO, tidak pernah membuat legal binding settlement mechanism untuk menjawab masalah tersebut. Bhagwati memang tidak memberikan justifikasi konkrit dalma konteks ini, dia lebih mendeskripsikan ranah kehidupan liberal WTO dan demokratisasi NGO dalam menanggapinya.

OPINI PRIBADI
Mengacu pada artikel Bhagwati yang berjudul "Democracy at Bay", demokrasi saat ini telah berafiliasi positif dengan globalisasi. Kemajuan teknologi dan informasi menumbuhkan independensi dari setiap individu untuk beraspirasi secara demokratis. Demokrasi sendiri merupakan progress baru yang terbentuk dari adanya ekonomi global yang terbuka dan peningkatan social-total spending. Bhagwati berasumsi dari konsep John Ruggie yang menyatakan bahwa kehadiran liberal international economic order memberikan ruang bebas penuh bagi setiap orang untuk membentuk embedded liberalism (pengambilan keputusan ekonomi domestik dalam ruang lingkup global). Perjanjian multilateral di NAFTA ataupun WTO menunjukkan elemen penting sebuah nonstate actor dalam menanggapi kebijakan ekonomi internaisonal selama ini. (Jagdish Bhagwati, 2004)Namun, kendala yang perlu diperhatikan ketika negara ke-3 mengusung ajaran demokrasi namun tidak dapat bertahan lama setelah intervensi negara kolonial hilang dan terus dilanda krisis.
Globalisasi dapat meningkatkan kualitas demokrasi di saat kerangka ekonomi ditonjolkan. Sesuai dengan argumen Bhagwati, semakin besar linking globalization semakin tinggi peluang mencapai kemakmuran dan mendemokratisasi kelas menengah. Perdagangan bebas dijadikan patokan utama untuk memproduksi aset penting dari demokrasi. Meluasnya jaringan kelas menengah mampu menguatkan suatu negara untuk menjamin stabilitas sosial masyarakat dan kepekaan untuk bersuara. Contoh konkritnya ialah negara bersistem Welfare di daerah Skandinavia (Denmark, Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Eslandia). Pemberian pajak tinggi pada rakyat sebanding dengan jaminan sosial dan fasilitas umum yang sangat memadai,sehingga proses partisipasi dalam demokrasi menjadi kondusif.
Berdasarkan pada artikel Bhagwati, erosi demokrasi belum sepenuhnya terlihat dalam globalisasi. Contoh sistem perdagangan di Cina yang semula tertutup menjadi sangat terbuka dengan ekonomi global dan mempraktikkan aplikasi demokrasi ekonomi. Walaupun Cina masih melakukan pembangunan ekonomi lebih dahulu, proses demokrasi secara lambat laun akan terimplementasi dalam kebijakan politis. Kali ini saya tidak begitu sependapat dengan Bhagwati, melihat banyaknya negara gagal atas nama demokrasi. Kasus Somalia, pelanggaran hak asasi manusia atas nama demokrasi di Myanmar, serta penolakan Jonas Savimbi dalam kekalahan pemilu di Angola merupakan rentetan fakta yang tidak dapat terelakkan dari raksasa demokrasi.
Prospek akuntabilitas dalam globalisasi semakin menantang negara untuk berupaya keras dan lebih berhati-hati mengimplementasikan demokrasi. Zakaria dalam tulisan Marc F. Plattner (2005) mengajukan adanya liberalisme konstitusional melalui pemerintahan yang terpilih secara bebas. Demokrasi ala pemilu atau biasa disebut demokrasi elektoral tidak semata-mata mensukseskan kemajuan dan kesetaraan sosial suatu negara. Partisipasi dan kontestasi politik bagi rakyat kadangkala harus berenturan dengan kepentingan politis elite. Untuk menyiasatinya, Robert A. Dahl memiliki alternatif baru bagi demokrasi yang bernama poliarki. Sebagai demokrasi skala global, sistem poliarki memiliki tiga karakteristik utama, yakni: pemilihan umum yang berlangsung secara bebas, adil, dan frekuentif (1); bebas untuk berekspresi (2); dan tersedianya sumber informasi alternatif dan independen (3). (Robert A. Dahl, 1998) Dengan demikian, globalisasi dan demokrasi dapat terjalin secara konsisten dan strategis, sesuai dengan persepsi masyarakat global. \

Referensi:

Bhagwati, Jagdish. 2004. "Democracy at Ba"y dalam buku In Defense of Globalization. New York: Oxford University Press. Chapter 8. hal 92-105
Dahl, Robert. A. 1998. "On Democracy". Yale University Press
Plattner, Marc. F. 2005. "Liberalisme dan Demokrasi" dalam buku Amerika dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 193-209

Bio-Teknologi Global : “Patenisasi” Kekayaan dan Kearifan Lokal

Penyebaran Teknologi Biodiversitas Global dan Realita Kritis Masyarakat India
Teknologi merupakan pintu gerbang globalisasi untuk terus bertumbuh dan berkembang pesat. Tidak hanya informasi, teknologi sosial seperti pangan dan biodiversitas pun turut bersaing ketat dan berusaha me’humanisasi’ sisi lain dari nuansa alam. Namun, progresivitas positif ini akhirnya harus berbenturan dengan kepentingan komoersial suatu ekonomi hingga mengancam ekualitas lokal dan memperebutkan hak kekayaan intelektual setiap orang.
Vandana Shiva merupakan tokoh non-konvensional yang sangat bersentuhan dengan komunitas akar rumput (grassroots). Pemaparan inovatifnya tercermin ketika menggambarkan situasi panas masyarakat India dalam memperjuangkan hak kekayaan intelektual, biodiversitas nasional, dan perkembangbiakan tunas/benih yang dihasilkan pada Dunkel Draft Text, putaran Uruguay, tahun 1993. Sebetulnya, ini merupakan efek multitude yang sudah berakar sejak Mahatma Gandhi mennyerukan ”First Quit India Movement” terhadap kolonialisme Inggris tahun 1942 dan ”Salt Satyagraha (berjuang demi kebenaran)”. Fenomenologi studi India merupakan realita penting dalam memaknai penyebaran teknologi dan globalisasi.
Penyebaran teknologi global dipandang skeptis oleh Shiva, khususnya dalam memprotet kehidupan tragis kaum petani dalam mendapatkan hak kekayaan intelektualitas sesungguhnya. Semenjak globalisasi pertanian dan industrialisasi pangan berkembang pesat, komersialitas komoditas alam dan biodiversitas semakin ditingkatkan. Perusahaan multinasional selalu berupaya monopolistik dan mengeklaim bahwa pengetahuan (dari Barat khususnya) dan intelektualitas harus diprivatisasi, ditunjang dengan perjanjian perdagangan bebas serta proteksi terhadap plant breeder dan patents.
Sejak General Agreement on Trade and Tariffs (GATT) mengumandangkan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs), rakyat India semakin geram akan asumsi ‘konyol’ dari forum global tersebut. Asumsi umumnya ialah hanya kaum ilmuwan yang disponsori perusahaan multinasional yang mendapat hak kekayaan intelektualitas dan kompensasi berkelanjutan. Perdebatan sengit antara belahan Utara-Selatan menimbulkan disparitas opini bahwa area biodiversitas bukan lagi mencakup masalah transfer teknologi (dari Negara maju/Utara ke Negara berkembang/Selatan), tapi sudah menjadi landasan dialog antarkultur.
Sayangnya, dialog interkultur tersebut tidak bersifat win-win solution karena unilateralisasi AS dalam merumuskan Dunkel Draft pasal 27akhir yang berbunyi “…However, parties shall provide for protection of plant varieties either by patent or any effective sui generic system or any combination thereof. This provision shall be reviewed four years after entry into force of this agreement.” Gareth Porter pada studi US and the Biodiversity Convention menyatakan bahwa “adequate and effective protection” dalam Konvensi Biodiversitas AS pasal I6 telah menjadi pengantar untuk perjanjian multilateral TRIPs, putaran Uruguay, GATT. Ciri khas AS dalam bernegosiasi dan perumusan perjanjian, dia selalu lihai mempersuasi negara lain untuk menggunakan istilah “shall, effective, atau appropriate”. Arti sederhananya, AS sebagai negara adikuasa tidak akan berani berjanji dan berkewajiban penuh untuk mempertanggungjawabkan kesepakatan utuh (win-win solution). Apakah globalisasi teknologi sudah berubah menjadi hegemonisasi hak property intelektual AS? Bukankah ini sama saja dengan ’mematenkan’ kematian biodiversitas negara berkembang sehingga terpaksa masuk dalam jerat neraka sistem Intellectual Property Rights ala US-GATT?

Tantangan dan Prospek Aksesibilitas Bio-teknologi

Globalisasi jelas memperluas akses untuk mengembangkan teknologi, termasuk rekayasa genetika. Akan tetapi, rekayasa ini tidak semata-mata menjungjung aspek sustainabilitas yang positif dan cenderung mengejar profit semaksimal mungkin. Biodiversitas dan ilmu pengetahuan yang semula dapat ditukar secara bebas karena intellectual common menjadi terhimpit dalam kerakusan korporat transnasional  petani menjadi supplier tunas utama bagi perusahaan multinasional, petani menjadi kompetitor dalam inovasi dan sumber genetik, petani negara berkembang hanya menjadi konsumen (budak) dari industrialisasi produk dan teknologi perusahaan multinasional. Dengan berlimpahnya akses eksploitasi intelektualitas negara belahan Utara terhadap biodiversitas sumber di negara belahan Selatan, maka kebebasan semakin berbalik menjadi kehancuran manusia dan alam. Akibat terpuruknya, kaum elite dari Utara terus menekan kaum primitif-Selatan untuk membayar royalti (utang) intelektualitas mereka.
Permasalahan akses bioteknologi menjadi kronis ketika GATT memberikan 3 kategori ketat tentang IPRs:
a. restriksi perubahan dari hak umum menjadi hak privat  hak kekayaan intelektual hanya diakui sebagai hak privat. Pengetahuan, ide, maupun inovasi dari kaum petani akan menjadi deintelektualisasi masyarakat sipil yang nantinya berujung pada sistem monopolistik korporat
b. biodiversitas hanya akan diorganisasikan kembali jika pengetahuan dan inovasi menghasilkan profit (keuntungan)
c. kebijakan TRIPs menegaskan bahwa hanya perusahaan multinasional yang berhak menginovasi biodiversitas untuk meninggikan pembagian pasar global dan perdagangan internasional
Melihat restriksi ’unik’ di atas, tidak bisa diragukan lagi bahwa globalisasi bioteknologi semakin mencekik kreativitas dan investasi petani negara berkembang dalam mendomestikssai, mengembangbiakkna, dan mengkonservasi biodiversitas. Organisasi yang bernama International Protection of New Varities of Plants (UPOV) tahun 1991 telah ‘mendorong’ negara berkembang untuk memberikan royalti khusus terhadap breeder dan patents yang ada di negara belahan Utara. Realita yang menjadi akibat buruk, Peru di tahun 1962 sudah berkontribusi sebesar US $8 juta/tahun ke AS untuk bioteknologi tomat.
Prospek akses teknologi di era globalisasi semakin suram ketika jurang sosial terus terbentuk. Bioteknologi sebagai rekayasa genetika baru menjadi prinsip hukum kebiasaan yang sebenarnya tidak memulai dari nol, melainkan mencuri suatu internalisasi kehidupan, merelokasi satu gen tertentu untuk menjadi ’kehidupan lain’ (sistem organisme baru). Dari 127 sumber genetik, 81 di antaranya dipegang oleh negara industrial (International Agricultural Research Centres) sedangkan 17 lainnya milik negara berkembang  petani AS mendapat nilai tambah untuk gandum, padi, dan kacang sebesar US$ 680 juta dari petani negara berkembang, biotek sorgum India diserahkan ke AS sebesar US$ 12 juta/tahun, perlindungan genetik Ethiopia sebesar US$ 150 juta/dekade, dan ladang barley Turki sebesar US$ 150 juta/tahun. Inikah esensi dari globalisasi teknologi? Sampai kapan negara berkembang merengek dan ’berutang’ ke AS?

OPINI PRIBADI
Secara pribadi, saya sepaham dan seperjuangan dengan Vandana Shiva. Banyak argumen-argumen Shiva yang menginspirasi saya untuk terus memperjuangkan keadilan, baik itu keadilan humanisme maupun keadilan ekologis. Prospek globalisasi teknologi, khususnya dalam bio-teknologi semakin menutup masa depan cerah dunia. Menariknya, Shiva menyimpulkan prospek bioteknologi sebagai berikut : “GATT has replaced Church and Dunkel plays the role of the Pope in conferring regimes of rights without consultingthe original custiduans and owners.” Rezim hak kekayaan intelektual memang menjadi duri ekonomi, ekologi, dan social negara-negara berkemabang. Tanggung jawab besar yang seharusnya bisa diminimalisir menyengsarakan kaum petani, herbalist, dan generasi muda di negara belahan Selatan.
Solusi inovatif untuk mnyiasati kesenjangan bioteknologi tersebut ialah diberlakukannya asylum technology (suaka teknologi). Istilah asylum sebenarnya dirintis oleh PBB, dalam 1951 Convention Relating to the Status of Refugees dan 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees. Perjanjian tersebut mendasari legislasi nasional yang berfokus pada suaka politik. Setiap pengungsi/migrant (baik karena peperangan ataupun bencana alam) adalah seseorang yang berada di luar territorial negara mereka (sementara stateless) berhak mendapatkan tempat perlindungan. Tempat perlindungan tersebut bebas dari ras, nasionalisme, religi, opini politik, atau kelompok sosial tertentu. (Peter Fell dan Debra Hayes, 2007) Berangkat dari ide tersebut, penulis memiliki harapan bahwa setiap negara (yang akan dibantu PBB) mampu membuat suaka teknologi dalam bentuk badan hukum kessetaraan bioteknologi. Penulis mengusulkan bahwa anggota yang mendirikan harus berasal dari setiap belahan (baik Utara maupun Selatan) dan dari berbagai pihak (khususnya kaum bawah). Suaka ini bisa bermula dari perjanjian mutualisme antara negara maju dan berkembang kemudian menentukan standard umum dalam menyelaraskan hak kekayaan intelektual dan sumber biodiversitas. Agar pembangunan suaka teknologi berkelanjutan, setiap negara harus menerapkan fungsi 3E (ekonomi, ekologi, dan etika teknologi). Ketiga konsep tersebut tersinspirasi dari konsep ”Seed Satyagraha” yang menjelaskan bahwa perjuangan demi kebenaran harus memberikan informasi jujur tentang perdagangan bebas, anti kekerasan, dan metode demokrasi ala Gandhi. Kepentingan korporat dan penduduk diharapkan mampu berkesinambungan secara efektif dan kondusif.

Referensi:
Fell, Peter dan Hayes, Debra. 2007. What are they doing here? A critical guide to asylum and immigration. Birmingham, Venture Press
Shiva, Vandana .Biodiversity and Intellectual Property Rights
Shiva, Vandana. Intellectual Property Rights, dari http://www.psrast.org/vashipr.htm. Diakses tanggal 29 Mei 2010

DI BALIK GLOBALISASI KULTUR

Review artikel Robert holton, Globalization’s Cultural Consequences
Sistem globalisasi sejatinya memberi dampak yang sangat berpengaruh terhadap perubahan sosial. Kapitalisme, perkembangna teknologi, masyarakat, dan perluasan ideologi semakin menentukan arus dan batasan kultur. Era globalisasi pada tahun 2000 sendiri mencakup aktivitas lintas batasan dan internaisonalisme, termasuk ekspansi global yang terjadi pada tahun 1913. Titik keunikan dari perubahan global kotemporer terletak pada bentuk-bentuk integrasi baru dna interdependensi. Dimensi dan batasan fundamental pun tidak menentukan masa depan dari perubahan sosial.
Secara epistemologi, Raymond William (1976: 87) menyatakan bahwa culture merupakan salah satu istilah kompleks dalam literatur Inggris. Secara konotatif, kultur berarti ruang lingkup yang menitikberatkan nilai-nilai dan kepercayaan tertentu daripada aktivitas praktis dan disposisi. Sama halnya dengan Clifford Geertz’s, definisi culture memberikan sebuah pedoman/kepercayaan yang melampaui aktivitas khusus dan praktik. Selain itu, culture juga bermakna “an historically transmitted pattern of meanings embodied in symbolic forms by means of which men [sic] communicate, perpetiate, and develop their knowledge about and attitudes towards life”.
Berbicara tentang kultur, proses globalisasi diidentifikasi sebagai usia perubahan dalam suatu tatanan masyarakat. Untuk memudahkan identifikasi pengaruh globalisasi terhadap kultur, Robert Holton telah mengklasifikasi 3 tesis yang memunculkan konsekuensi dari globalisasi kultur, yakni:
a. Homogenisasi
Satu pandangan umum yang melekat antara konsep globalisasi dan kultur adalah dengan meleburkannya ke dalam suatu perangkat praktis sebuah kultur yang bersifat konvergen. Artinya, ada satu nilai kultur yang teradopsi dan terafiliasi dengan sistem globalisasi sehingga terjadi proses keseragaman budaya (standardisasi). Istilah “Coca-Colonization” atau “McDonaldization” menjadi identitas khusus dari homogenitas yang mengakui adanya cerminan antara globalisasi ekonomi dan globalisasi kultur. Homogenisasi akhirnuya disamaartikan dengan Westernisasi maupun Amerikanisasi. Mekanisme dari perubahan ini berawal dari adanya penyebaran eknomi pasar da strategi perusahaan multinasional secara luas dan masif.
Film-film Hollywood pun menjadi magnet tersendiri bagi seluruh masyarakat global.Contoh nyata dari homogenisasi dapat terlihat sejak perkembangan informasi dan teknologi komunikasi mulai berkembang pesat pada tahun 1950. Microsoft, Motorola, Yaoo, ataupun Amazon.com telah menjadi magnet khusus bagi suatu produk tertentu seperti Coca Cola. Komunikasi mengenai produk pun dapat dipahami secara cepat melalui jaringan internet, website yang sudah terkoneksi dengan server. Bahkan, sejarah Nazi sampai Puritanisme dapat dengan mudah dan cepat dicari tanpa harus pergi ke tempat tujuan. Dimensi kedua yang menjadi isu utama homogenitas ialah integrasi kaum elit sedunia mengenai edukasi, ekonomi, dan politik masyarakat Barat. Sejak dahulu sampai saat ini, teori dan filosofi Barat selalu menjadi patokan utama dalam mencari ilmu pengetahuan. Harvard, Oxford, hingga Sorbonne pun menjadi produk nyata pemikiran Barat yang sejalan dengan jaringan fungsional dalam organisasi internasional, seperti: Perserikatan Bangsa-Bangsa, World Bank, dsb.
Namun, dengan adanya dinamika dalam globalisasi kultur, terdapat sejumlah kelemaham. Pertama, asosiasi menngenai globalisasi kultur antar negara Barat slaing tumpang tindih. Pemikiran Barat selama ini selalu diidentikkan dengan kemenangan dan kehebatan negara AS. Padahal perusahan multinasional tidak selamanya menjadi leading sector, sudah disaingi ketat oleh perusahaan seperti Benetton dengan slogan terkenalnya “United colors of Benetton” (menghilangkan standardisasi produk).
b. Polarisasi
Keterbatasan homogenitas dalam globalisasi era kontemporer ini telah memunculkan tanda-tanda polarisasi. Konsep ini menggerakkan adanya pembangunan kultur global secara kondusif. Interkoneksi global dan interdependensi menjadi stigma khas polarisasi yang diberi modifikasi kerjasama silang kultur, urbanisasi, dan toleransi internasional. Perubahan teknologi semakin memicu etnonasionalisme. Bennedict Anderson (1994:326) menyebut istilah penyebaran etnis penduduk sebagai ”long distance nationalism” dan hal itu tidak berpengaruh penting terhadap globalisasi kultur sebagai identitas transnasional.
Lain halnya dengan konsep Samuel Huntington. Menurutnya, polarisasi yang ada dalam globalisasi kultur telah memiliki kurensi yang tersebar luas. Contoh kasus yang digunakan ialah konflik antara kaum Barat dengan kemunculan kaum Islam dan Konfusianis. Sedangkan Benjamin Barber (1995) mengartikan polarisasi sebagai konflik antara McWorld dengna jihad, yang nantinya mampu memicu timbulnya tribalisme dan fundamentalisme kultur. Pendekatan polarisasi terhadap globalisasi kultur menyatakan dua konsep/cerita yang kuat dan saling berhubungan dalam dunia kontemporer.
c. Hybridisasi
Hybridisasi atau sinkrenisasi telah dilatarbelakangi oleh adanya perubahan dan pergerakan kultur yang disebabkan oleh migrasi, pekerjaan lintas batas, kolonisasi, dan kondisi lemah dari antar kultur. Ide dari hybridisasi telah sukses dikembangkan pada aspek musikalitas (jazz atau musik dunia), literatur dan seni kontemporer, kehidupan religius dan spiritual. Namun, skala dan ruang lingkup yang terkandung di dalamnya susah diukur. Hal ini disebabkan oleh adanya ambiguitas antar status orientasi kultur.
Konsep hybridisasi berpijak pada filosofi kosmopolitan yang memiliki asas toloeransi, etika moral, pluralis, universalis, dan kebersamaan.menurut Hannerz, kosmopolitanisme adalah fitur yang merangkum orientasi pluralisme dari kultur-kultur pusat yang siap menyatu/melebur dengan kultur lain dan bersaing dengan divisi kultur lainnya. Sehingga, kultur tidak serta merta diartikan sebagai pedoman nilai, sikap saja tetapi lebih mendalami suatu pemikiran. Kosmopolitanisme juga bermakna adanya pemasukan kultur global yang baru ke dalam kultur nasional tanpa menghilangkan esensi dasar dari kultur tersebut. Dengan demikian, hybridisasi tidak selamanya menguasai kemurnian dari budaya masyarakat yang telah lama diakui dan diyakini.

OPINI PRIBADI
Setelah membaca artikel Robert Holton, saya menyimpulkan bahwa globalisasi tidak serta merta memusnahkan esensi dasar dari suatu budaya. Globalisasi memiliki usia, begitu halnya dengan kultur yang semakin ‘didewasakan secara matang’. Tiga metode yang disajikan oleh Robert Holton seakan memberikan tantangan dan peluang yang mampu menentukan masa depan sebuah budaya. Jika dilihat dari homogenisasi, saya lebih melihatnya sebagai negasi terhadap adanya fundamentalisme budaya. Namun, homogenisasi ini berdampak buruk bagi kreativitas masyarakat yang sudah lama tertanam. Sedangkan polarisasi cenderung bersifat kompleks karena terbentuk polar-polar yang berbeda dan menimbulkan clash of civilization. (Samuel Huntington, 1996) Hybridisasi memang menjadi penengah tapi tidak selamanya menjamin stabilitas budaya lama dan baru.
Saya memposisikan diri bahwa globalisasi tidak meningkatkan ketegangan kultur. Alasan utamanya ialah teori Thomas Friedman (2005) yang menyatakan bahwa arus informasi dan teknologi net yang berkemabang pesat telah menyetarakan status sosial manusia (flatteners). Di dalam bukunya yang berjudul The World is Flat menunjukkan adanya esensi universalisme dan unity yang secara positif mempengaruhi pola pikir masyarakat modern dan terbuka. Bahkan, Emmanuel Kant juga menyatakan dalam bukunya Prepetual Peace bahwa kosmopolitanisme yang tercermin dalam hybridisasi telah memberikan kedamaian bagi seluruh dunia. Kultur merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa seorang manusia. Jika manusia memiliki perspektif positif, nilai humanis yang damai, dan saling berkerjasama, maka konflik kepentingan antar satu kultur dengan kultur lainnya segera terminimalisir. Kehadiran facebook, twitter,ataupun situs jejaring sosial lainnya merupakan bukti adanya internet yang bisa digunakan sebagai aplikasi menarik dalam mempromosikan suatu kultur. Jepang juga menjadi contoh negara yang sangat terbuka dengan perkembangan globalisasi dan modernisasi dari Amerika tanpa menghilangkan identitas dasar kultural dari Dewa Matahari. Ketegangan anatar kultur dapat segera teratasi apabila setiap manusia memiliki kontrol karakteristik yang efektif dan peka (peduli) dengan arah futuristik globalisasi.

REFERENSI:
Anderson, Bennedict. 1994. Exodus. Critical Inquiry.
Barber, Benjamin. 1995. Jihad vs McWorld. New York: Ballantine Books
Friedman, Thomas. 2005. The World is Flat. SAGE Publicaitons
Holton, Robert. 2006. Globalization’s Cultural Cosequences. SAGE Publications
Huntington, Samuel. 1996. The Clash of Civilizations and the Remarking of World Order. New York: Simon and Schuster
Kant, Emmanuel. Perpetual Peace