Minggu, Oktober 31, 2010

Bio-Teknologi Global : “Patenisasi” Kekayaan dan Kearifan Lokal

Penyebaran Teknologi Biodiversitas Global dan Realita Kritis Masyarakat India
Teknologi merupakan pintu gerbang globalisasi untuk terus bertumbuh dan berkembang pesat. Tidak hanya informasi, teknologi sosial seperti pangan dan biodiversitas pun turut bersaing ketat dan berusaha me’humanisasi’ sisi lain dari nuansa alam. Namun, progresivitas positif ini akhirnya harus berbenturan dengan kepentingan komoersial suatu ekonomi hingga mengancam ekualitas lokal dan memperebutkan hak kekayaan intelektual setiap orang.
Vandana Shiva merupakan tokoh non-konvensional yang sangat bersentuhan dengan komunitas akar rumput (grassroots). Pemaparan inovatifnya tercermin ketika menggambarkan situasi panas masyarakat India dalam memperjuangkan hak kekayaan intelektual, biodiversitas nasional, dan perkembangbiakan tunas/benih yang dihasilkan pada Dunkel Draft Text, putaran Uruguay, tahun 1993. Sebetulnya, ini merupakan efek multitude yang sudah berakar sejak Mahatma Gandhi mennyerukan ”First Quit India Movement” terhadap kolonialisme Inggris tahun 1942 dan ”Salt Satyagraha (berjuang demi kebenaran)”. Fenomenologi studi India merupakan realita penting dalam memaknai penyebaran teknologi dan globalisasi.
Penyebaran teknologi global dipandang skeptis oleh Shiva, khususnya dalam memprotet kehidupan tragis kaum petani dalam mendapatkan hak kekayaan intelektualitas sesungguhnya. Semenjak globalisasi pertanian dan industrialisasi pangan berkembang pesat, komersialitas komoditas alam dan biodiversitas semakin ditingkatkan. Perusahaan multinasional selalu berupaya monopolistik dan mengeklaim bahwa pengetahuan (dari Barat khususnya) dan intelektualitas harus diprivatisasi, ditunjang dengan perjanjian perdagangan bebas serta proteksi terhadap plant breeder dan patents.
Sejak General Agreement on Trade and Tariffs (GATT) mengumandangkan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs), rakyat India semakin geram akan asumsi ‘konyol’ dari forum global tersebut. Asumsi umumnya ialah hanya kaum ilmuwan yang disponsori perusahaan multinasional yang mendapat hak kekayaan intelektualitas dan kompensasi berkelanjutan. Perdebatan sengit antara belahan Utara-Selatan menimbulkan disparitas opini bahwa area biodiversitas bukan lagi mencakup masalah transfer teknologi (dari Negara maju/Utara ke Negara berkembang/Selatan), tapi sudah menjadi landasan dialog antarkultur.
Sayangnya, dialog interkultur tersebut tidak bersifat win-win solution karena unilateralisasi AS dalam merumuskan Dunkel Draft pasal 27akhir yang berbunyi “…However, parties shall provide for protection of plant varieties either by patent or any effective sui generic system or any combination thereof. This provision shall be reviewed four years after entry into force of this agreement.” Gareth Porter pada studi US and the Biodiversity Convention menyatakan bahwa “adequate and effective protection” dalam Konvensi Biodiversitas AS pasal I6 telah menjadi pengantar untuk perjanjian multilateral TRIPs, putaran Uruguay, GATT. Ciri khas AS dalam bernegosiasi dan perumusan perjanjian, dia selalu lihai mempersuasi negara lain untuk menggunakan istilah “shall, effective, atau appropriate”. Arti sederhananya, AS sebagai negara adikuasa tidak akan berani berjanji dan berkewajiban penuh untuk mempertanggungjawabkan kesepakatan utuh (win-win solution). Apakah globalisasi teknologi sudah berubah menjadi hegemonisasi hak property intelektual AS? Bukankah ini sama saja dengan ’mematenkan’ kematian biodiversitas negara berkembang sehingga terpaksa masuk dalam jerat neraka sistem Intellectual Property Rights ala US-GATT?

Tantangan dan Prospek Aksesibilitas Bio-teknologi

Globalisasi jelas memperluas akses untuk mengembangkan teknologi, termasuk rekayasa genetika. Akan tetapi, rekayasa ini tidak semata-mata menjungjung aspek sustainabilitas yang positif dan cenderung mengejar profit semaksimal mungkin. Biodiversitas dan ilmu pengetahuan yang semula dapat ditukar secara bebas karena intellectual common menjadi terhimpit dalam kerakusan korporat transnasional  petani menjadi supplier tunas utama bagi perusahaan multinasional, petani menjadi kompetitor dalam inovasi dan sumber genetik, petani negara berkembang hanya menjadi konsumen (budak) dari industrialisasi produk dan teknologi perusahaan multinasional. Dengan berlimpahnya akses eksploitasi intelektualitas negara belahan Utara terhadap biodiversitas sumber di negara belahan Selatan, maka kebebasan semakin berbalik menjadi kehancuran manusia dan alam. Akibat terpuruknya, kaum elite dari Utara terus menekan kaum primitif-Selatan untuk membayar royalti (utang) intelektualitas mereka.
Permasalahan akses bioteknologi menjadi kronis ketika GATT memberikan 3 kategori ketat tentang IPRs:
a. restriksi perubahan dari hak umum menjadi hak privat  hak kekayaan intelektual hanya diakui sebagai hak privat. Pengetahuan, ide, maupun inovasi dari kaum petani akan menjadi deintelektualisasi masyarakat sipil yang nantinya berujung pada sistem monopolistik korporat
b. biodiversitas hanya akan diorganisasikan kembali jika pengetahuan dan inovasi menghasilkan profit (keuntungan)
c. kebijakan TRIPs menegaskan bahwa hanya perusahaan multinasional yang berhak menginovasi biodiversitas untuk meninggikan pembagian pasar global dan perdagangan internasional
Melihat restriksi ’unik’ di atas, tidak bisa diragukan lagi bahwa globalisasi bioteknologi semakin mencekik kreativitas dan investasi petani negara berkembang dalam mendomestikssai, mengembangbiakkna, dan mengkonservasi biodiversitas. Organisasi yang bernama International Protection of New Varities of Plants (UPOV) tahun 1991 telah ‘mendorong’ negara berkembang untuk memberikan royalti khusus terhadap breeder dan patents yang ada di negara belahan Utara. Realita yang menjadi akibat buruk, Peru di tahun 1962 sudah berkontribusi sebesar US $8 juta/tahun ke AS untuk bioteknologi tomat.
Prospek akses teknologi di era globalisasi semakin suram ketika jurang sosial terus terbentuk. Bioteknologi sebagai rekayasa genetika baru menjadi prinsip hukum kebiasaan yang sebenarnya tidak memulai dari nol, melainkan mencuri suatu internalisasi kehidupan, merelokasi satu gen tertentu untuk menjadi ’kehidupan lain’ (sistem organisme baru). Dari 127 sumber genetik, 81 di antaranya dipegang oleh negara industrial (International Agricultural Research Centres) sedangkan 17 lainnya milik negara berkembang  petani AS mendapat nilai tambah untuk gandum, padi, dan kacang sebesar US$ 680 juta dari petani negara berkembang, biotek sorgum India diserahkan ke AS sebesar US$ 12 juta/tahun, perlindungan genetik Ethiopia sebesar US$ 150 juta/dekade, dan ladang barley Turki sebesar US$ 150 juta/tahun. Inikah esensi dari globalisasi teknologi? Sampai kapan negara berkembang merengek dan ’berutang’ ke AS?

OPINI PRIBADI
Secara pribadi, saya sepaham dan seperjuangan dengan Vandana Shiva. Banyak argumen-argumen Shiva yang menginspirasi saya untuk terus memperjuangkan keadilan, baik itu keadilan humanisme maupun keadilan ekologis. Prospek globalisasi teknologi, khususnya dalam bio-teknologi semakin menutup masa depan cerah dunia. Menariknya, Shiva menyimpulkan prospek bioteknologi sebagai berikut : “GATT has replaced Church and Dunkel plays the role of the Pope in conferring regimes of rights without consultingthe original custiduans and owners.” Rezim hak kekayaan intelektual memang menjadi duri ekonomi, ekologi, dan social negara-negara berkemabang. Tanggung jawab besar yang seharusnya bisa diminimalisir menyengsarakan kaum petani, herbalist, dan generasi muda di negara belahan Selatan.
Solusi inovatif untuk mnyiasati kesenjangan bioteknologi tersebut ialah diberlakukannya asylum technology (suaka teknologi). Istilah asylum sebenarnya dirintis oleh PBB, dalam 1951 Convention Relating to the Status of Refugees dan 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees. Perjanjian tersebut mendasari legislasi nasional yang berfokus pada suaka politik. Setiap pengungsi/migrant (baik karena peperangan ataupun bencana alam) adalah seseorang yang berada di luar territorial negara mereka (sementara stateless) berhak mendapatkan tempat perlindungan. Tempat perlindungan tersebut bebas dari ras, nasionalisme, religi, opini politik, atau kelompok sosial tertentu. (Peter Fell dan Debra Hayes, 2007) Berangkat dari ide tersebut, penulis memiliki harapan bahwa setiap negara (yang akan dibantu PBB) mampu membuat suaka teknologi dalam bentuk badan hukum kessetaraan bioteknologi. Penulis mengusulkan bahwa anggota yang mendirikan harus berasal dari setiap belahan (baik Utara maupun Selatan) dan dari berbagai pihak (khususnya kaum bawah). Suaka ini bisa bermula dari perjanjian mutualisme antara negara maju dan berkembang kemudian menentukan standard umum dalam menyelaraskan hak kekayaan intelektual dan sumber biodiversitas. Agar pembangunan suaka teknologi berkelanjutan, setiap negara harus menerapkan fungsi 3E (ekonomi, ekologi, dan etika teknologi). Ketiga konsep tersebut tersinspirasi dari konsep ”Seed Satyagraha” yang menjelaskan bahwa perjuangan demi kebenaran harus memberikan informasi jujur tentang perdagangan bebas, anti kekerasan, dan metode demokrasi ala Gandhi. Kepentingan korporat dan penduduk diharapkan mampu berkesinambungan secara efektif dan kondusif.

Referensi:
Fell, Peter dan Hayes, Debra. 2007. What are they doing here? A critical guide to asylum and immigration. Birmingham, Venture Press
Shiva, Vandana .Biodiversity and Intellectual Property Rights
Shiva, Vandana. Intellectual Property Rights, dari http://www.psrast.org/vashipr.htm. Diakses tanggal 29 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar