Minggu, Juli 12, 2009

STRATEGI ASEAN COMMUNITY DALAM MENJAMIN STABILITAS LINGKUNGAN BERKELANJUTAN

ABSTRACT

This paper purpose to analyze roles of ASEAN Community for esuring environmental sustainability. Throughout the process, the paper also aims to elaborate the nexus between the discourse of ASEAN’s regionalism and environmental issues. Thus, ASEAN need to solve global environmental problems such as climate change so that regionalism could stabilize and create global environmental governance. One concrete solution which would be made is ASEAN’s ecology.
Recently, ASEAN Community has been ratified two years ago. Facing from Viantiane Convention in 2007, the time that ASEAN targeted for realizing ASEAN Community is 2015. For six years more, ASEAN actually has shown better regional cooperation, especially integrative regionalization. This kindly progress would strengthen more strategic aspects for saving the environment, combating the climate change problem. The concept of ASEAN’s ecology could be a leader to spread more regional ecology, which would be emerge into global ecology. Because of the dense population, ASEAN has added value to empower human resource development by living and thinking green. This index still can comparable with other regional organisation, even can correlate with Asian Pacific. Hence, the progressive regionalism of ASEAN could be increased from strategic concepts of ASEAN Community.

Key words : ASEAN Community, environmental sustainability, climate change problem, integrative regionalization, and ASEAN’s ecology






















Pendahuluan

Perubahan Iklim : Ancaman Menuju Keamanan Kolektif dan Inisiatif dalam ASEAN Community
Perubahan iklim merupakan salah satu dampak nyata dari fenomena pemanasan global. Secara historis, perubahan iklim telah menjadi isu utama dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil, sejak tahun 1992. Konvensi Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) merupakan salah satu konvensi yang tercantum dalam Agenda 21, yang terinsipirasi dari Protokol Kyoto tahun 1997 (kesepakatan global pertama kali mengenai perubahan iklim). Maksud dan tujuan utama dari konvensi tersebut adalah untuk menjaga kestabilan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir sehingga terjaminnya ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan.
Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), pada tahun 2030, sejumlah 2000 pulau akan tenggelam karena meningkatnya permukaan air laut sebagai akibat pemanasan global.(Armely Meiviana: 2004) Seperti yang dikatakan oleh Kemal Dervis (Petugas UNDP) dalam pernyatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 5 Juni 2007 :
“…Bagi penduduk miskin, perubahan iklim merupakan masalah hidup dan mati. Ini merupakan tantangan lingkungan, serta salah satu ancaman terhadap pembangunan manusia. Bagaimana kita sebagai masyarakat dunia beradaptasi dengan hal ini, meredakan percepatannya dan bertanggung jawab atas resiko strategi pembangunan menjadi faktor penting dalam kemajuan pembangunan, termasuk usaha mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDG)...” (http://www.undp.or.id/pubs/docs/ANN%20REP%20UNDP%20ID.pdf, diakses tanggal 15 Juni 2009)
Berdasarkan latar belakang tersebut, timbul itikad baik dari Association of South East Asian Nations (ASEAN) dengan tujuan untuk menjamin stabilitas lingkungan hidup yang berkelanjutan. Dengan mewujudkan ASEAN Community 2015, ASEAN telah berjalan semakin mantap untuk menentukan arah dan tindakan tepat bagi keselamatan lingkungan hidup. Sesuai dengan tiga pilar utamanya berupa : ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-cultural Community, upaya penyelamatan lingkungan hidup yang bersumber pada fenomena perubahan iklim telah dicantumkan secara mendasar ke dalam setiap program tersebut. Dengan demikian, ancaman lingkungan yang terjadi dalam perubahan iklim telah ditransformasi secara positif menjadi langkah inisiatif dan kolektif dari setiap negara anggota ASEAN. Yang menjadi rumusan masalah ialah :
1. Mengapa isu lingkungan hidup menjadi acuan utama dalam program ASEAN Community?
2. Sejauh mana ASEAN Community mampu mengupayakan strategi-strategi dalam menjamin stabilitas lingkungan hidup?
3. Bagaimana dampak stabilitas lingkungan hidup ASEAN Community terhadap regionalisme ASEAN di masa depan?

Kronologi ASEAN Community
Sudah hampir 42 tahun ASEAN berdiri. Organisasi yang berada di kawasan Asia Tenggara ini terbentuk sejak tanggal 8 Agustus 1967, yang memiliki 10 negara anggota (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, Brunei Darussalam).
Tabel 1. Data Anggota ASEAN dan Tanggal Bergabung
Brunei Darussalam 8 Januari 1984
Kamboja 30 April 1999
Indonesia 8 Agustus 1967
RRD Laos 23 Juli 1997
Malaysia 8 Agustus 1967
Myanmar 23 Juli 1997
Filipina 8 Agustus 1967
Singapura 8 Agustus 1967
Thailand 8 Agustus 1967
Vietnam 28 Juli 1995
Sumber: http://www.13theaseansummit.sg/asean/index.php/web/documents/documents/aseaneconomic_blueprint, diakses tanggal 20 Juni 2009

Pada saat KTT Bali Concord II tahun 2003 diadakan, terbesit visi 2020 yang pada akhirnya memunculkan konsep Komunitas ASEAN (ASEAN Community). Aspek ekonomi, politik-keamanan, dan sosial-budaya yang menjadi pilar utama komunitas ASEAN telah disepakati setiap negara anggota untuk direalisasikan melalui Rencana Aksi (Plan of Action) dalam KTT ASEAN 10 di Viantiane, Laos, tahun 2004. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada saat pertemuan ASEAN di Cebu, Filipina 2007, pencapaian komunitas ASEAN semakin kuat dan stabil dengan hadirnya “Cebu Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by 2015”. Dengan kata lain, jangka waktu realisasi komunitas ASEAN telah dipercepat, dari tahun 2020 menjadi 2015. (http://www.deplu.go.id/download/asean-selayang-pandang2007.pdf,diakses tanggal 20 Juni 2009)
Perkembangan ASEAN Community semakin jelas terlihat dengan adanya piagam ASEAN. Landasan konstitusional ASEAN yang baru saja terbentuk pada tahun 2007 ini mencerminkan bahwa ASEAN telah memiliki status hukum yang sah dan mendapat legitimasi dari setiap kalangan masyarakat Asia Tenggara. Jika dikaitkan dengan perspektif teoritis Andrew Hurrel, berdirinya ASEAN Community telah mencapai kriteria akhir, yakni regional cohession.(Andrew Hurrel : 2002) Empat kriteria sebelumnya seperti : regionalization, regional awareness and identity, regional inter state cooperation, sampai state promoted regional integration telah dicapai karena kebijakan regional ASEAN mampu meletakkan fungsi-fungsi kohesivitas dan integrasi secara menyeluruh. Berdasarkan pada Piagam ASEAN pasal 11, ASEAN Community berusaha meningkatkan pondasi kohesif pada regionalisme ASEAN di mana kesadaran terhadap integrasi, identitas regional, dan solidaritas telah ditanamkan bersama melalui interkasi kumulatif. (http://www.aseansec.org/10371.htm, diakses tanggal 17 Juni 2009) Adanya prasayarat untuk memprioritaskan kesadaran untuk bekerjasama dan saling menghormati mampu menjadi prinsip kuat ASEAN Community dalam membangun karakter komunitas, pemerintah, maupun masyarakat sipil.
Alasan mendasar komunitas ASEAN memilih program lingkungan hidup sebagai salah satu acuan utama dalam kebijakan regional ialah adanya keinginan utama ASEAN untuk menjadi kawasan yang bersih dan hijau, dengan mengacu prinsip-prinsip mekanisme pembangunan yang berkelanjutan, ramah lingkungan serta melakukan pengelolaan sumber daya alam secara lestari. (http://www.deplu.go.id/download/asean-selayang-pandang2007.pdf, diakses tanggal 20 Juni 2009) Dengan adanya visi tersebut, ASEAN semakin kokoh dalam membentuk program-program penyelamatan lingkunga hidup, khususnya mengenai kawasan hutan di Asia Tenggara. Mengingat bahwa hutan di Asia Tenggara termasuk salah satu paru-paru dunia, maka penting sekali untuk dijaga dan dilindungi secara maksimal tanpa menyebabkan kasus kejahatan lingkungan lintas batas seperti kabut asap yang terjadi di Kalimantan sejak tahun 1997.

Strategi ASEAN Community dalam menjamin stabilitas lingkungan yang berkelanjutan
Secara formal, kerjasama ASEAN di bidang lingkungan hidup dimulai sejak tahun 1978, ditandai dengan dibentuknya ASEAN Experts Group on the Environment (AEGE) di bawah Committee on Science and Technology (COST). Pembentukan wadah tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kerjasama yang sudah dirintis sejak tahun 1971 melalui Permanent Committee on Science and Technology. AEGE diberi mandat untuk mempersiapkan ASEAN Environmental Programme (ASEP). Seiring dengan makin meluasnya lingkup kerjasama lingkungan hidup di kawasan ASEAN, pada tahun 1990 dibentuk ASEAN Senior Officials on the Environment (ASOEN) yang mengandung enam Kelompok Kerja: (http://www.deplu.go.id/download/asean-selayang-pandang2007.pdf, akses 20-6-2009)
a. Penanganan Polusi Lintas-Batas;
b. Konservasi Alam;
c. Lingkungan Hidup Kelautan;
d. Pengelolaan Lingkungan Hidup;
e. Ekonomi Lingkungan; dan
f. Informasi Lingkungan, Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran Publik.
Mekanisme konsultasi formal yang dipergunakan negaranegara ASEAN untuk membahas masalah-masalah lingkungan tidak hanya terbatas pada ASOEN saja tapi juga Pertemuan Tingkat Menteri Lingkungan (ASEAN Ministerial Meeting on Environment/AMME).
Setiap pilar ASEAN Community telah membahas agenda penyelamatan lingkungan hidup. Sesuai dengan kaidah masing-masing pilar, lingkungan hidup mampu menjadi acuan program mereka, antara lain:
1. ASEAN Security Community  Kerjasama di Bidang Pemberantasan Kejahatan Lintas Negara
Kerjasama ASEAN dalam rangka memberantas kejahatan lintas negara (transnational crime) pertama kali diangkat pada pertemuan para Menteri Dalam Negeri ASEAN di Manila tahun 1997 yang mengeluarkan ASEAN Declaration on Transnational Crimes. Sebagai tindak lanjut dari deklarasi di atas, kerjasama ASEAN dalam memerangi kejahatan lintas negara dilaksanakan melalui pembentukan Pertemuan Para Menteri ASEAN terkait dengan Pemberantasan Kejahatan Lintas Negara (ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime/AMMTC).
Kasus kabut asap di daerah Kalimantan dan Sumatra merupakan salah satu kejahatan transnasional dalam bidang lingkungan hidup. Kebakaran hutan yang mampu mengganggu keamanan negara lain (Malaysia dan Singapura) ini mulai didengungkan oleh media secara regional sejak tahun 1997. Dalam periode 1-30 Juli 2006, berdasarkan Data Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer, di Provinsi Riau terdeteksi sejumlah 1.419 titik api, yang terdiri dari: lahan masyarakat (55,39%), kawasan HTI (23,82%) dan perkebunan (20,79%). Karena adanya polemik yang sengit antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura, maka ASEAN turut menyelesaikan sengketa mereka dengan dibentuknya ASEAN Haze Technical Taks Force; Sub-Regional Fire Fighting Arrangements; ASEAN Regional Haze Action Plan (ARHAP); dan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) pada tahun 1990.


2. ASEAN Economic Community  bidang pangan, pertanian, dan kehutanan
Kerjasama lingkungan hidup yang dilakukan ASEAN dalam ranah ASEAN Economic Community mencakup sektor komoditi dan sumber daya alam, seperti : sektor pangan, kehutanan, dan pertanian. Tujuan diadakan kerjasama tersebut ialah menambah daya saing produk pangan dan kehutanan, meningkatkan food security agreement, dan meningkatkan posisi ASEAN dalam forum internasional.
Forum kerjasama yang telah dibentuk ialah ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry (AMAF). AMAF didukung oleh Task force dan expert groups yang bertugas untuk menentukan rencana implementasi kegiatan dalam periode waktu tertentu. Dalam rangka pengimplementasian Ha Noi Plan Action (HPA) di bidang pertanian, pangan dan kehutanan, para Pemimpin negara-negara ASEAN pada tahun 1998 telah menyetujui dokumen Strategic Plan of Action Cooperation in Food, Agriculture, and Forest for the 1999-20041. Rencana aksi tersebut kemudian direview kembali pelaksanaannya pada 2004 sekaligus dilanjutkan dengan Strategic Plan of Action Cooperation in Food, Agriculture, and Forest for the 2005-2010. (http://www.deplu.go.id/download/asean-selayang-pandang2007.pdf, diakses tanggal 20 Juni 2009)

3. ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC):
Tujuan ASEAN Socio-Cultural Community mencantumkan agenda lingkungan hidup ialah mendorong terciptanya kawasan ASEAN yang bersih dan hijau (to create a clean and green ASEAN) serta menjamin kelangsungan proses pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Karena adanya sentuhan humanistik dan kultural, ASCC memasukkan 11 sub elemen ke dalam program lingkungan hidup, yakni :
D1. Addressing global environmental issues
D2. Managing and preventing transboundary environmental pollution / Managing transboundary haze and other environmental pollution
D3. Promoting sustainable development through environmental education and public participation
D4. Promoting Environmentally Sound Technology (EST)
D5. Promoting quality living standards in ASEAN cities/urban areas
D6. Harmonizing environmental policies and databases
D7. Promoting the sustainable use of coastal and marine environment
D8. Promoting Sustainable Management of Natural Resources andBiodiversity
D9. Promoting the Sustainability of Freshwater Resources
D10. Responding to Climate Change and addressing its impacts
D11. Promoting Sustainable Forest Management (SFM)
(slide power point dalam Seminar Cetak Biru Komunitas Sosial-Budaya ASEAN tanggal 10 September 2008)

Ekologi ASEAN : Wacana baru ASEAN Community dan Implementasinya terhadap Ketahanan Lingkungan Hidup
Sebagai organisasi regional yang cukup mantap, ASEAN Community merupakan bentuk konkrit dari regionalisme Asia Tenggara yang semakin integratif. Dalam menciptakan stabilitas lingkungan hidup yang berkelanjutan, perlu dibentuk suatu komunitas khusus di ASEAN yang disebut dengan ekologi ASEAN. Konsep ekologi ini diperkuat dengan adanya asumsi perspektif atau teori lingkungan hidup yang bernama ecocentrism atau deep ecology system. Ekosentrisme dikemukakan oleh Aldo Leopold, berfokus pada komunitas biotik sebagai satu keseluruhan biosfer dan stabilitas komposisi ekologis. Land ethic dan good environmental management telah menjadi kunci utama dalam pandangan filosofis ini. (Leopold : 1949)
Selain itu, pembangunan ekologi ASEAN harus didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan yang mengkorelasi aspek ekologis (tanggung jawab lingkungan hidup), sosial (nilai dan norma yang berlaku), dan ekonomi (keuntungan bisnis yang mutualis). Pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi. (Emil Salim : 2003)
Ekologi ASEAN merupakan ide baru yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap keamanan lingkungan global, terutama menunjukkan posisi Asia Tenggara di mata internasional. Strategi ini bukan hanya merupakan wacana saja, tetapu lebih merupakan landasan konkrit dan teknis untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan terhindar dari efek pemanasan global. Ekologi ASEAN dapat terbentuk jika setiap masyarakat ASEAN memiliki kesadaran tinggi terhadap keanekaragaman hayati yang satu, berada dalam iklim yang sama, dan menikmati udara yang sama. Kesatuan inilah yang nantinya dapat dijadikan teladan positif bagi kawasan lain, sehingga akan menimbulkan efek terbentuknya ekologi global (bersatunya ekologi setiap kawasan). Dengan demikian, tantangan ASEAN untuk menjadi lembaga regional semakin besar untuk menunjukkan adanya spirit untuk bekerjasama dan memiliki rasa nasionalisme secara regional, yakni nasionalisme ASEAN (imagined communities).
Untuk mendukung konsep ekologi ASEAN, prinsip yang tak jauh berbeda dengan ASEAN Community pun sinkron dengan konsep ECO-Community. ECO-community merupakan sebuah komunitas ekologis yang bisa diterapkan secara regional. Di kalangan Asia Tenggara, setiap pengambil kebijakan negara dapat membentuk beberapa komunitas ekologis yang dapat mempercepat pembangunan lingkungan hidup secara stabil dan berkelanjutan. Aktor yang menjalankan komunitas inn beragam, tak menutup diri dari golongan apa pun serta bergerak ke ranah yang lebih sosial (pergerakan masyarakat). Hal ini dimaksudkan untuk memperluas jaringan pengambil keputusan ASEAN, tidak hanya berasal dari kalangan elite politik tetapi juga dari pemuda, pebisnis, buruh, dan anggota masyarakat lainnya. ECO-Community dapat berjalan baik jika diberlakukan aturan atau norma kolektif untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan, seperti misalnya : penggunaan perabot daur ulang, pembangunan rumah dengan ventilasi yang banyak (tanpa menggunakan AC), pengelolaan sampah mandiri di setiap rumah tangga, dsb. Tatanan masyarakat yang berlaku harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan latar belakang kehidupan mereka. Semakin besar pertumbuhan ECO-Community, semakin kuat pula efektivitas dan efisiensi yang dihasilkan ekologi ASEAN.

Tantangan Regionalisme ASEAN di Masa Depan




























Data yang terambil dari Asian Development Bank ini menunjukkan generalisasi perkembangan negara di dunia berdasarkan PDB (produk domestik bruto). Jika dilihat secara populasi, Asia Tenggara yang termasuk dalam benua Asia memiliki keunggulan dalam kepadatan penduduk, dengan jumlah 3,112 miliar pada tahun 2005 dan diprediksikan tahun 2020 sebesar 3,515 miliar. Analisis yang didapat dari data tersebut terbagi menjadi dua segi : segi positif dan negatif. Secara positif, tingkat kepadatan penduduk dan angka pertumbuhan yang tinggi mampu meningkatkan persaingan daya beli secara global. Artinya, tingkat konsumsi di daerah Asia jauh lebih banyak daripada Eropa atau Amerika. Hal ini terlihat dari jumlah paritas daya beli Asia mencapai US $ 15,514 miliar pada tahun 2005 dan US $ 32,120 miliar pada tahun 2020. namun, keberhasilan ini tidak selamanya mendatankan keuntungan bagi kemakmuran mereka. Walaupun secara kuantitatif Asia menang dalam kependudukan, PDB per kapita Eropa dan Amerika lebih unggul, yakni mencapai US $ 18 miliar dan US $ 19 miliar di tahun 2005. Maka, tak mengherankan bila upah tenaga kerja di Asia jauh lebih rendah (murah) ketimbang tenaga kerja AS dan Eropa yang secara jumlah lebih sedikit.
Secara spesifik, jika dilihat angka PDB di Asia Tenggara, negara pendiri ASEAN seperti Malaysia, Singapura, Indonesia, Thailand, dan Filipina mampu memberikan kontribusi tinggi bagi tingkat PDB di Asia. Total penduduk kelima negara tersebut di tahun 2005 bekisar 400 juta jiwa, sedangkan total penduduk di Asia Tenggara mencapai 502,4 juta jiwa. Berarti, presentase penduduk Asia Tenggara merupakan 16% dari seluruh penduduk Asia, angka yang cukup baik bagi pembangunan Asia yang berkelanjutan. Dikaitkan dengan pembangunan berwawasan lingkungan hidup yang berkelanjutan, masyarakat ASEAN mampu memberikan nilai-nilai positif berupa semangat untuk peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Semakin banyak orang sadar lingkungan, semakin cepat tingkat pencegahan terhadap bahaya perubahan iklim. Regionalisme di Asia Tenggara pun akan berkembang semakin baik dalam kinerjanya mengupayakan penyelamatan lingkungan hidup. PDB mampu mempengaruhi tingkat kohesifitas dan integritas masyarakat ASEAN terhadap stabilitas lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Meskipun ASEAN belum termasuk kategori regionalisme yang utuh dan kuat seperti Uni Eropa, tak menutup kemungkinan bahwa Asia Tenggara memiliki daya kompetitif lebih maju dibandingkan regionalisme di Asia lainnya. Dengan dibangunnya komunitas ASEAN 2015, maka kawasan Aisa Tenggara semakin menunjukkan potensi regional yang mampu memberi keuntungan positif bagi regionalisasi dunia. Integrasi dan kohesi regional yang tercipta tak lepas dari area kerjasama dan intensitas hubungan ASEAN dengan kawasan lain. Untuk dapat menganalisis struktur regionalisme ASEAN dan implikasi hubungan eksternalnya, perlu mempelajari peta forum regional dan transregional Asia yang tertera dalam diagram 10 : arsitektur ekonomi.

Bagan yang tertera dalam diagram 10 menggambarkan kerangka sistematis kerjasama regional ASEAN (sebagai inti) dengan regionalisasi Asia lainnya. Analisis yang dapat dinilai dari kerangka tersebut bersumber dari teori regionalisme : teori level domestik dan interdependensi. (Andrew Hurrel : 2002) Teori level domestik biasa disebut dengan teori konvergen, di mana negara berperan sebagai aktor utama (core actor). Setiap kebijakan yang diambil oleh negara tertentu, akan ditransformasi dan disinkronisasi dengan kebijakan negara lain yang ada dalam suatu kawasan.
Di dalam kawasan Asia Tenggara, ASEAN berupaya untuk menjembatani langkah-langkah aktif dari setiap negara anggotanya dalam menunjang kadar atau nilai integrasi regional yang terjalin. Setelah memperkuat struktur dan koneksivitas secara internal, ASEAN juga memperkuat jaringan kerjasama dengan negara Asia lainnya, seperti yang tertera dalam bagan (ASEAN +3, EAS, SAARC, dll). Kontribusi penting dari ASEAN yang berpengaruh terhadap kerjasama eksternal (India, Cina, Jepang, Korea Selatan) ialah kawasan hujan tropis di Asia Tenggara yang berjumlah 16% dari total hujan tropis dunia. (http://www.greenpeace.org/seasia/id/news/greenpeace-melindungi-hutan, diakses tanggal 18 Juni 2009) Dalam pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan, hutan tropis berperan penting dalam menjaga keseimbangan iklim, mengatur tersedianya pasokan air dan memelihara ekosistem termasuk manusia. Sekitar 150 juta masyarakat adat tinggal dan bergantung pada hutan, mereka harus mendapatkan masa depan yang terjamin, sehingga mereka dapat tetap menjaga hutan.
Teori interdependensi juga tak kalah penting dalam hubungan regional dan transregional ASEAN. Sebagai salah satu kawasan yang termasuk Macan Asia, ASEAN memiliki relasi sinergis dengan kawasan lain, tak terkecuali dengan Uni Eropa, AS melalui pertemuan ASEM atau APEC. Ketergantungan yang dicapai ASEAN dan kawasan eksternal memiliki interaksi dinamis dan strategis karena ketersediaan sumber daya (baik alam maupun manusia) terjangkau. Namun, kendala yang mungkin dapat menjadi titik kritis dinamika hubungan mereka adalah kemampuan untuk mempertahankan efektivitas dan keseimbangan kerjasama. Artinya, sistem tumpang tindih ekonomi, kesenjangan sosial, penyebaran poopulasi yang tidak merata mampu mempengaruhi kredibilitas dan kapabilitas setiap kawasan. Dampak yang perlu dihindari yaitu niat dan kepentingan pribadi negara tertentu dalam menghegemoni atau mengeksploitasi kekayaan negara lain, atau bahkan kawasan lain.
Integrasi yang terjalin antar negara anggota ASEAN tidak menutup kemungkinan adanya afiliasi dari satu kawasan dengan kawasan lainnya (Asia Timur, Asia Selatan,Asia Tengah, Eropa, dan Amerika). Namun, pengendalian sistem pemerintah regional perlu dikembangkan secara optimal, khususnya kebijakan mengenai pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Stabilitas ekologis yang terbentuk dalam ekologi ASEAN senantiasa memberikan peluang dan tantangan Asia Tenggara dalam menjamin pembangunan paru-paru dunia dan meyakinkan masyarakat internasional untuk peduli terhadap lingkungan.


Kesimpulan
Kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan strategis karena kekayaan alam dan jumlah tenaga kerja sangat berlimpah dan beraneka ragam. Fenomena perubahan iklim dan pemanasan global pun turut mengancam keberadaan mereka sehingga ASEAN turut mencantumkan isu pembangunan lingkungan hidup berkelanjutan dalam visi ASEAN Community 2015. Dengan hadirnya ASEAN Community 2015, kesejateraan dan keselamatan lingkungan hidup lebih terjamin, ekologi ASEAN pun dapat tercapai, dan posisi kawasan Asia Tenggara pun semakin diperhitungkan bagi kawasan transregional (Uni Eropa, Amerika Serikat, Asia Timur,dsb).





DAFTAR PUSTAKA


Buku

Hurrell,Andrew. Regionalism in Theoretical Perspective eds. Fawcett, Louise, and Andrew Hurrell. 2002. Regionalism in World Politics. Oxford University Press. pp 37-73
Masripatin, Nur. Apa Itu REDD(Reducing Emissions from Deforestation
and Forest Degradation in Developing Countries)? 2008, diakses melalui Laporan UNFCCC 2008 : COP-13 decision on REDD
Meiviana, Armely dkk. Bumi Makin Panas: Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. 2004. Jakarta : Pelangi
Salim, Emil. “Membangun Paradigma Pembangunan” dalam makalah Peluncuran Buku dan Forum Diskusi Mengenai Hasil-Hasil dan Tindak Lanjut KTT Pembangunan Berkelanjutan. 2003. Jakarta
Taylor, Paul W. Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics. 1998 New Jersey : Princenton Press University. page. 13

Internet

http://www.deplu.go.id/download/asean-selayang-pandang2007.pdf, ASEAN Selayang Pandang, DIrektorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia 2007, diakses tanggal 20 Juni 2009
http://www.13theaseansummit.sg/asean/index.php/web/documents/documents/aseaneconomic_blueprint, ASEAN (2007). ASEAN Economic Community Blueprint, diakses tanggal 20 Juni 2009
http://www.gp-ansor.org/berita/negara-asean-diminta-cari-solusi-atasi-asap.html, Negara ASEAN Diminta Cari Solusi Atasi Asap. 13 Oktober 2006, diakses tanggal 20 Juni 2009
http://haze.asean.org/news/1024040565/back=media/ASEAN+SIGNS+AGREEMENT+TO+TACKLE+, ASEAN Signs Agreement to Tackle Haze, Environment Division of ASEAN Secretariat. 14 Juni 2002, diakses tanggal 20 Juni 2009
http://aric.adb.org/emergingasianregionalism/pdfs/KRA%20Indonesia.pdf, Kebangkitan Regionalisme Asia : Kemitraan Bagi Kemakmuran Bersama. 2008. Asian Development Bank, diakses tanggal 18 Juni 2009
http://www.greenpeace.org/seasia/id/news/greenpeace-melindungi-hutan, Melindungi hutan dapat mencegah perubahan iklim - ASEAN harus segera bertindak, 1 Maret 2009, diakses tanggal 18 Juni 2009
http://www.aseansec.org/10371.htm, ASEAN Declaration on Environmental Sustainability. 20 November 2007, diakses tanggal 17 Juni 2009
http://www.undp.or.id/pubs/docs/ANN%20REP%20UNDP%20ID.pdf, Laporan Tahunan edisi 2007.Lingkungan Yang Berkelanjutan. diterbitkan oleh United Nations Development Programme. Juni, 2008. hal 12-15, diakses tanggal 15 Juni 2009

MENELUSURI JEJAK MULTI NATIONAL CORPORATION

Abstract
Multi National Corporation (MNC) is known as transnational capitalist class which enlarges actors in international economy. This corporation has grown rapidly along with the hegemony of core countries (such as: United States of America, England, France, etc). The more they spread out their industry, the much suffering for developing and under developed countries. The situation of international economics becomes unstable, MNCs has transformed from object into subject of economical improvements. It means that liberalism and neoliberalism get to show up their competency to rebuild and control all aspects. However, the great MNC doesn’t always help the lower actors. People and environment was frequently the main victim of their operation. Therefore, MNCs should recovered by the state, have internal protection, and make tight policy by nationalism or mercantilism perspective. MNC is defined as object of government’s interest. Does neoliberalism always perceive its success? How about the financial crisis in US? Why don’t the developing countries integrate and destruct the hierarchy of “free market”?
Key words : Multi National Corporation (MNC), nationalism, state, neoliberalism, free market

Pendahuluan
Dari 100 ekonom terbesar di dunia, sejumlah 51 berasal dari korporat. Sementara itu, 49 ekonom dunia berasal dari negara (core actor). Parahnya lagi, Amerika Serikat telah menguasai 200 perusahaan terbaik di dunia dengan 82 cabang (41% jumlah MNC sedunia) sedangkan Jepang hanya memiliki 41 cabang (setengah dari jumlah MNC AS). Potensi golongan kapitalis transnasional ini jelas tidak membuahkan hasil yang signifikan bagi perekonomian internasional, justru menghambat pergerakan ekonomi kelas “menengah ke bawah”. Jika memandang keadaan modern ini, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sesungguhnya negara-negara yang masih berdiri harus menelan “material” klasik yang dikenal dengan sebutan neoliberalisme.
Kasus MNC minyak bernama Shell baru saja menghidupkan sengketa wilayah perbatasan Malaysia-Indonesia. Sejak tahun 2008, Shell telah menemukan tambang emas bagi kesejahteraan korporasinya. Kandungan minyak di dalamnya diperkirakan sebesar 421,61 juta barel dan gas alam sekitar 3,3 triliun kaki kubik. Hal inilah yang membuat Royal Dutch (rekan bisnis Malaysia) berunding kembali dengan pemilik perusahaan Eunocal (MNC minyak Italia sekaligus rekan bisnis Indonesia), yang sudah sejak lama menguasai daerah Ambalat.
Lain halnya dengan kolusi di Freeport-McMoRan. James "Jim Bob" Moffett (`bos' perusahaan tambang emas terbesar di dunia) memberikan keterangan di Kejaksaan Agung, 4 November 1998 untuk mempertanggungjawabkan problem lingkungan yang terjadi di Irian Jaya. Berbagai ikan tradisional dan kekayaan ekologis yang ada di sungai Akjwa terkontaminasi oleh racun merkuri, tembaga dari PT Freeport. Ironisnya, perusahaan asing tersebut masih saja berdiri kokoh dengan menggaji James sebesar US $42 juta dan tidak ada ganti rugi bagi suku Amungme (penduduk sekitar lahan Freeport). Terlalu ‘baik’ jika MNC dikatakan sebagai korporat bisnis mutualistik.
Menanggapi peristiwa yang terpaparkan di atas, ada tiga pertanyaan penting yang akan menjadi rumusan masalah, yakni : Mengapa MNC bisa berkembang dan berkuasa di negara berkembang? Sejauh mana peran negara dalam mengendalikan kinerja MNC? Bagaimana dampak MNC mampu membangkitkan spirit dan strategi negara untuk merekonstruksi kebijakan nasional?

Perkembangan fenomenal MNC
Secara definitif, MNC ialah perusahaan yang mengontrol dan mengatur pembentukan produksi lebih dari dua negara. Menurut Theodore Cohn, titik keunggulan MNC berada pada satu sistem pembayaran bebas di negara tujuan, biasa disebut Foreign Direct Investment (FDI). Motif utama MNC mampu bertumbuh pesat di negara berkembang dipengaruhi oleh dua faktor utama : permintaan dan biaya. Faktor permintaan biasanya ditandai dengan adanya keinginan menguasai pangsa pasar atas produk yang dihasilkan dan memaksimalkan profit yang didapat. Adanya transfer of resource antara negara maju dan negara berkembang didukung oleh kerjasama interaktif melalui MNC. Namun, negara maju yang unggul di bidang kemanusiaan dan teknologi seringkali memperdaya negara berkembang dengan membayar upah tenaga kerja yang rendah dan mengeksploitasi kekayaan alam. Sedangkan faktor biaya berbicara tentang bagaimana MNC menurunkan biaya produksi agar dapat memaksimalkan profit dan menjaga daya saing internasional.
Sampai tahun 1998, sekitar 63.000 MNC terus membuahkan anak perusahaan sebanyak 690.000. Tingkat perkembangan perusahaan tersebut memang menyenangkan ‘sang pemilik’ (khususnya negara maju), tapi tidak untuk negara yang sedang berkembang (memegang prinsip nation-state). Ketika kecanggihan teknologi dan besarnya amunisi militer AS mampu membius Cina, India, Indonesia(penduduk terpadat), tanpa disadari mereka kehilangan kekayaan alam dan tenaga kerja secara masif. Kepentingan bisnis MNC dianalogikan seperti pemanis ternikmat yang pada akhirnya menjerumuskan negara tujuan ke dalam penderitaan social (kemiskinan, tingginya angka kematian, utang dalam negri melonjak, dan potensi nasional terkuras habis). Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan proteksi terhadap industri domestik berupa : tarif impor bagi produk asing, larangan impor atas produk yang bisa dihasilkan industri lokal, penetapan hukum yang mengatur kualitas produk sebagai jaminan konsumen. Sebagai pedoman, berikut empat strategi negara ideal versi Weber :
Tipe Ideal
Strategi Negara Perspektif Waktu Orientasi Risiko Kebijakan-Kebijakan yang khas
1. Defeatist Orientasi masa lalu Sesedikit mungkin Fokus : keamanan, kebijakan pasif dan defensif, kepatuhan yang kaku
2. Free Rider Orientasi masa kini Risiko tinggi dengan biaya murah Fokus : mengalihkan biaya domestik pada negara lain, indeksasi subsidi pertanian
3. Maintenance Orientasi sekarang, jangka menengah di masa depan Terbatas dengan biaya sedang Fokus : kooptasi perubahan, pedoman gaji dan harga secara sukarela, kebijakan fiskal dan moneter ketat
4. Enterpreneurial Masa depan Risiko besar dengan biaya tinggi Fokus : mencapai prestasi, produktivitas, dan inovasi masa depan tanpa diketahui pihak lain (rahasia), penghapusan subsidi

Bangkitnya konsep Corporate Social Responsibility : Politisasi MNC?
Pencemaran nama baik MNC kian terhapus sejak implementasi kebijakan Corporate Social Responsibility (CSR). Konsep yang sudah diusung oleh AS sejak 1920an ini dianggap mampu menguntungkan potensi negara dunia ke-3 (seakan-akan penyelamat perekonomian negara berkembang). Schermerhorn secara singkat mendefinisikan CSR sebagai kewajiban dari suatu perusahaan untuk bertindak dalam cara-cara yang sesuai dengan kepentingan perusahaan tersebut dan kepentingan masyarakat secara luas. Adapun prinsip CSR yang harus dipenuhi oleh semua MNC, yaitu: economic responsibilities, legal responsibilities, ethical responsibilities, dan philanthropic responsibilities.
Argumen menarik datang dari Thomas Petit, yang menyatakan bahwa manusia mengalami berbagai permasalahan sosial akibat kinerja bisnis MNC dan manajer harus menerapkan kebijakan perusahaan sebagai solusinya. Ungkapan ini mengandung kewajiban positif sekaligus proses perubahan yang mencurigakan. Upaya MNC membenahi problem sosial dan lingkungan tidak diikuti dengan itikad baik dan ketulusan hati. Fakta membuktikan bahwa perusahaan Shell setuju membayar US$15,5 juta kepada keluarga aktivis Nigeria yang dieksekusi tahun 1995, tapi tidak menyatakan bertanggungjawab atas masalah tersebut. Inikah yang disebut tanggung jawab MNC terhadap masyarakat? Kepentingan terselubung dan politisasi yang dilakukan MNC bisa saja memutarbalikkan perjanjian yang disepakati MNC utama dan negara tujuan.

Radang Kebebasan yang Terinfeksi oleh Managerial Power of Keyness
Konstruksi pendirian MNC secara pesat dinilai Robert Gilphin bahwa mereka tergantung sekaligus menjalankan kepentingan nasional Amerika Serikat untuk menyebarkan doktrin liberalisme seperti perdagangan bebas. Akan tetapi, bila merujuk pada kenyataan sekarang, krisis finansial yang disebabkan oleh kritisnya subprime mortgage justru membelenggu virus-virus liberalisme.
Berdasarkan permasalahan tersebut, liberalisme masih memiliki titik kelemahan yang tertutupi oleh pemikiran destruktif kreatif. Pertama, penerapan liberalisme dalam perekonomian dunia dapat membuat dunia ke dalam tatanan yang cenderung tidak adil. Liberalisasi berbagai sektor perekonomian akan menciptakan persaingan bebas dalam pasar dunia. Kedua, liberalisme akan menciptakan suatu hubungan ketergantungan antara negara yang kaya dengan negara yang miskin. Ketiga, di dalam sistem mekanisme pasar akan timbul kekuatan monopoli yang merugikan. Dalam mekanisme pasar tidak selalu terjadi persaingan sempurna di mana harga dan jumlah barang ditentukan oleh permintaan pembeli dan penawaran penjual yang banyak jumlahnya. Keempat, sistem perekonomian liberal cenderung membawa ketidakstabilan. Ketidakpastian harga maupun nilai kurs yang cenderung tidak teratur memperbesar ketidakpastian dalam ekonomi.
Sebagai kaki tangan pemerintah, ada alasan mendasar bagi keberadaan MNC di level nasional, antara lain : MNC merupakan lembaga bisnis lintas negara yang membutuhkanstabilitas sosial dalam setiap negara di mana mereka beroperasi, hampir semua MNC tergolong organisasi nasional yang berperan dalm skala global, semakin gigih MNC berjuang untuk pengendalian pasar, semakin besar kontribusi dan dukungan yang diberikan oleh negara.
Radang kebebasan liberalis sudah terinfeksi oleh ekspansi manajerial John Maynard Keyness. Kapitalisme akumulatif yang terjadi pada akhir abad 19 telah menginspirasi Keyness untuk melakukan redistribusi surplus, pembentukan regulasi, serta pemberian insentif. Berpijak pada kapabilitas manajerial Ford, Keyness menyarankan adanya upaya preventif dari pemerintah untuk segera merehabilitasi kemerosotan ekonomi negara berkembang melalui kerangka konseptual yang bernama distribution of wealth, state-supervised class between capitalists and workers. Dengan demikian, stabilitas relasi antara negara dan pasar dapat terpelihara. Yang terpenting lagi, setiap negara mampu berkompetisi secara sehat dan bijak hingga nantinya tercipta balance of power ekonomi internasional.
Prospek Green-economics : Transformasi Strategi Negara (Modernization  Sustainable Development)

Kontroversi penggunaan kaidah CSR dalam kebijakan MNC sebenarnya dapat diluruskan kembali dengan berlandaskan prinsip green-economics. Bagan yang terbentuk di atas merupakan pondasi awal penerapan teori sustainable development. Mengutip dari perkataan Prof. Emil Salim, pembangunan berkelanjutan harus mengintegrasi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan (bisnis) dalam setiap pembangunan nasional. Kunci kohesif ketiga elemen tersebut terletak pada etika. Etika yang diraih harus menyeimbangkan kerangka berpikir dengan ketulusan hati (integritas).Bila modernisasi diikuti oleh teori evolusi dan pembangunan (developmentalism), pembangunan berkelanjutan lebih merupakan revolusi konstruktif dan revitalisasi obyek.
Jika dikaitkan dengan perspektif merkantilisme, kajian fungsional green-economics dapat dirangkai dengan supremasi pemerintah. Perlindungan kekayaan nasional, tindakan isolasionis (Korea Utara), dan pelatihan strategis sumber daya manusia, dan pemulihan ekonomi domestik merupakan bagian penting dalam kerangka merkantilisme. Salah satu negara yang telah menghubungkan sustainable development dengan merkantilisme ialah Cina. Dana yang begitu besar rela dikeluarkan negara Tirai Bambu tersebut demi mengembangkan teknologi energi alternatif dan reduksi penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuels).

Penutup
Perusahaan multi nasional merupakan elemen pokok kepentingan negara. Namun, perkembangan MNC tidak harus menjadi kemelut hitam negara-negara berkembang sehingga mereka tidak mampu bergerak bebas dalam memberdayakan potensi ekonomi nasional. Peham merkantilisme senantiasa menjadi obat rehabilitatif yang mampu meredakan hegemoni liberalisme (perdagangan bebas). Agar ekonomi nasional mampu bertahan secara stabil, diperlukan strategi pembangunan berkelanjutan yang mengkoneksikan apek bisnis, social, dan lingkungan. Tanpa melupakan penerapan konsep CSR, MNC mampu berdiri dengan intervensi pemerintah dan kebijakan protektif kekayaan nasional.



DAFTAR PUSTAKA

Buku
Carbaugh, Michael J. 2000. International Economics. Edisi Ketujuh. Cincinnati : South Western College Publishing
Carroll, Archie B. 1996. Business and Society : Ethics and Stakeholder Management, 3rd edition. Ohio : South-Western College Publishing, pp 31-32
Cohn, Theodore H. 2003. Global Political Economy : Theory and Practice. Edisi Kedua. New York : Addison Wesley Longman, pp 321
Gilphin, Robert. 1999.”US Power and the Multi National Corporations”.dalam Nikolaus Zahariadis. Contending Perspectives in International Political Economy. Fort Worth : Harcourt Brace College Publishers. Hal 24-26
Isaak, Robert A. 1995. Ekonomi Politik Internasional. Yogyakarta : PT Tiara Wacana, hal 187
Oatley, Thomas. 2004. International Political Economy: Interests and Institutions in the Global Economy. New York :Pearson, Longman, pp171
Sukirno, Sadono. 1999.Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: Rajawali Press. Hal. 46


Internet
Darliaz, Irfani. Y (2005). Analisa Kasus Ambalat, melalui http://mukhtar-api.blogspot.com/2009/06/kasus-ambalat.html. Situs diakses tanggal 2 Juli 2009
No name(1998) Freeport Cemari Lingkungan melalui http://www.minihub.org/siarlist/msg01234.html. Diakses tanggal 2 Juli 2009
no name. http:/surabayawebs.com/.../raksasa-minyak-shell-setuju-membayar-155-juta-dolar-as-kepada-keluarga-aktivis-yang-dihukum-gantung/, diakses tanggal 2 Juli 2009
Schermerhorn, John..2005.Management. New York: John Wiley & Sons, Inc melalui http://www.personal.psu.edu/kez5001/CSR.htm, diakses pada tanggal 2 Juli 200

Jumat, Mei 22, 2009

EMERGING ASEAN YOUNG LEADERS ON INTEGRATING ONE ASEAN’s ECOLOGY

By : Gracia Paramitha

First of all, I would like to convey my highest appreciation for ASEAN members because they struggle to unite into one community, one vision, and one identity. Likewise, Indonesia also has got initiative ideas to empower youth roles on building ASEAN Communities 2015, which is certainly defined as ASEAN-Indonesia youth ambassador 2009. It is greatful that I could explain and share my contribution to discuss about ASEAN Socio-Cultural Community, especially in environmental sustainability. There are three keywords which can improve the importance of youth role in ASEAN, such as : powerful influence, inclusive passion, and visionary ideology. Based on that point, my motivation to join this competition is I would strongly encourage all young people in ASEAN to create one ASEAN’s ecology. As an emerging leader in ASEAN, it supposed to be pride and optimistic towards biodiversity in South East Asia countires. All of them are located in the same climate, same air, same creatures. They are just the same geographical condition, which is essential to unite and mutually cooperate. If I were ASEAN-Indonesia youth ambassador 2009, I would like to make techno-structural breakthrough for ASEAN’s ecology, which means that every ASEAN youth will do relate social (people-oriented), economy (profit-oriented), and environment aspects (planet-oriented). Crucial point of it is how ASEAN youth have great commitment on integrating their minds and hearts. There will be more multi-track diplomacy from youth to youth which has been identified in South East Asia Youth Environment Network (SEAYEN) Conference 2007, part of United Nations Framework on Climate Change Conference (UNFCCC) in Bali. The practical action to implement that breakthrough is each ASEAN youth must join with 4 “ECOs”  “ECOtainment”, “ECO-nsciousness”, “ECO-community, and “ECO-sustainability”. For the details, I would elaborate them in next paragraphs. This essay will explain about : the overview of ASEAN Community (1), approaches to environmental sustainability (2), definition of 4 “ECOs”  concrete action from youth in integrating one ASEAN’s ecology (3), and conclusion (4).
When ASEAN was established on 8th August 1967, there were so many aspects that they built. Economic issues, security and threat, social-culture, political interest, environmental preserves, and of course its identity. As a regional integration, ASEAN has done to bridge all of them into third essential pillars, such as : ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, and ASEAN SocioCultural Community. It has been proven by Bali Concorrd II, a meeting that was held on 7th October 2003 which purpose to form ASEAN Community 2020. This vision wasn’t only characterized the new identity of ASEAN but also integrate their main interest to solve the problem primarily. Based on ratified ASEAN Charter, environmental issues has been informed into ASEAN SocioCultural Community. Facing from its blue print, ensuring environmental sustainability is one of key element to develop one great ecology. It has stregthen by the agenda of environmental sustainability, such as :
D 1 Addressing global environmental issues
D 2 Managing and preventing transboundary environmental pollution
D 3 Promoting sustainable development through environmental education and public participation
D 4 Promoting Environmentally Sound Technology (EST)
D 5 Promoting quality living standards in ASEAN cities / urban areas
D 6 Harmonizing environmental policies and databases
D 7 Promoting the sustainable use of coastal and marine environment
D 8 Promoting sustainable management of natural resources and biodiversity
D 9 Promoting the sustainability of freshwater resources
D 10 Responding to Climate Change and addressing its impacts
D 11 Promoting sustainable forest management (SFM)
Environmental sustainability was followed by sustainable development, which the development encourage social, environmental, and economy aspects. According to Hegley Jr 1992, sustainability development has imperative strategies, such as :
a. oriented to economic, social, and environmental purposes
b. observe the ecological boundaries on material consumption and stregthen qualitative development for individual and society (equal distribution)
c. support, cooperation, and conservation from government which is realized by their coordinative policy
d. it depends on education, planning, and political process which is transformed, open, and fair management
e. integrate social and environmental costs from the effect of economic development
The result of COP 14 in Poznan declares that World Bank is major polluter (only from economics) of global warming problem. Therefore, it is important to enhance visible businesses from economists, acceptable values from sociologists, and responsible obligation from environmentalists. It’s absolutely concluded into the ethic of environment, which is called as ecocentrism theory. The ecocentric ethic was conceived by Aldo Leopold and recognizes that all species, including humans, are the product of a long evolutionary process and are inter-related in their life processes. The writings of Aldo Leopold and his idea of the land ethic and good environmental management are a key element to this philosophy. Ecocentrism focuses on the biotic community as a whole and strives to maintain ecosystem composition and ecological processes. The term of its ethics is called as deep ecology movement, which is focused on all of creatures in the world and reach global interests in all ecology communities. Ecocentrism has linear relation with biocentrism, which is asked moral responsibilities for biological realities.
Previously, I have explained a little bit about techno-structural breakthrough (long term planning and significance) for ASEAN youth. As an important decision-maker in ASEAN’s policy, youth could contribute on integrating one ASEAN’S ecology by 4 “ECOs”. First point is “ECOtainment”. Ecotainment includes infotainment, entertainment, and edutainment aspects. Uniquely, those are related into environmental or ecological issues. This is my own concept which is dedicated into my project proposal on Climate Change Programme with British Council. I was chosen by British Council to share environmental activities on “Project Management and Leadership Training” in Bogor, 20th-31st August 2008. It was an interesting event because the participants (came from 12 different countries) had common diferentiated responsibilities and respective capabilities on climate change problems. On 4th June later, I am going to hold special brainstorming show which correlate entertainment and environmental issues. The purpose of the event is to celebrate world environmental day on 5th June by expressing their potential performance, especially in arts. Socialization of environmental issues could be performed by arts, like : music, painting, poetry, lyric, dance, or even puppets. This is also the realisation of my project, which the main point is “entertain the earth first, then entertain your self!” Second, I would create “ECO-nsciousness” to all ASEAN youth. Before we do more for environment, we have to aware and get big consciousness about ecological issues. This is added into the joint statement of 4th TUNZA-South East Asia Youth Environment Network in July 2008. As the continuous project of SEAYEN 2007 in, they deal with collective role on climate security which shout out :”Kick our habits first! Start to change ourselves first/with simple habits to sustainable lifestyles in daily life (i.e. planting trees, reducing Co2 emissions)”.Third, by realizing ASEAN Community 2015, it is supposed to build “ASEAN ECO-community”. This communal relation could foster one ASEAN’s ecology. One of the concrete example is building ASEAN University Network and that members have ASEAN University Youth Summit which is recently held in September 2008. Fourth, ASEAN’s ecology could not stable if there was no sustainable efforts. After create awareness, community, and education on ecology, it is finally make “ECO-sustainability”. The way to continue this programme is connect with all youth in ASEAN via media. Internet has facilitated us variety of websites, friend networks (facebook, friendster,etc), and blogs. So, it is no doubt or difficulty to expand communication skills beyond the country. The positive impact that I’ve perceived is moment of “Asian Pacific Inter Faith Youth Camp 2008 (APIFYC) on Climate Change”. This event was held by Tunas Hijau Club in July 2008 and consisted of 75 young participants from 11 countries. As a coordinator of event, I’m used to get borderless connection by internet. I started to search some environmentalist websites, write some blogs in Tunas Hijau’s website, and invite people to join with APIFYC 2008. This event is also kindly supported by Indonesia-Ministry of Foreign Affairs and Surabaya’s Government.
All of those activites is especially dedicated for youth role and capacity. For preserving the global environmental problem like climate change, it is important to get youth action as the leader of change. I believe that ASEAN’s leader could be coalescing for integrating one sustainable ecology, a place where we get to actualize social responsibility. No matter what had happened, we still have new hope for new life. Emerging young leader should be highly aware to care the environmental, have inclusive integrity, and equal commitment between heart and mind. There is no excuse and no time for some body. Let’s do it by starting the phrase “I am, you are, we are…!” ASEAN young leaders must prepare and decide to do more for the earth.

FORMULASI KRITIS KONSTRUKTIVISME

Jurnal THI VIII , 13 Mei 2009

FORMULASI KRITIS KONSTRUKTIVISME
Gracia Paramitha, 070710415

Ketika pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi fenomena sensasional di seluruh belahan dunia, maka reaksi yang timbul pun tak kunjung berhenti. Bahkan, AS pun berseru keras dalam mempublikasikan isu pemanasan global. Melalui citra Al Gore, peristiwa ini pun beredar pesat seiring dengan perkembangan globalisasi dan teknologi mutakhir. Tak lama kemudian, Indonesia turut berkontribusi dalam menggalakkan politik lingkungan global. Dengan hadirnya Pak Rahmat Witoelar sebagai President of conference UNFCCC (United Nations Framework on Climate Change Conference), peran aktif Indonesia pun semakin berdampak positif bagi kesejahteraan lingkungan internasional. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana pemikiran konstruktif Indonesia memahami dan menggencarkan tindakan keamanan lingkungan (climate security)? Jika dikaitkan dengan mashab konstruktivisme, bagaimana perkembangan konstruktivisme dan implementasinya terhada kebijakan lingkungan pemerintah Indonesia?

Konstruktivisme dan Perkembangannya
Konstruktivisme merupakan teori alternatif yang turut mewarnai teori hubungan internasional modern. Sejak tahun 1980, kehadiran konstruktivisme dianggap sebagai teori dinamis, tidak semena-mena, dan secara kultural berbasis pada kondisi-kondisi sosial. Uniknya, teori ini berasumsi pada pemikiran dan pengetahuan manusia secara mendasar. Adanya nature and human knowledge dari tiap individu mampu mentrasform fenomena atau realita sosial ke dalam pengetahuan atau ilmu-ilmu sosial.
Tokoh pemikiran konstruktif klasik berasal dari pemikir sosial seperti Hegel, Kant, dan Grotius, yang kental dengan paham idealisme. Sedangkan pasca Perang Dingin, mulai bermunculan para kontruktivis yang cenderung berpikir tentang politik internasional, yakni Karl Deutch, Ernst Haas dan Hedley Bull. Tokoh konstruktivisme lain yang tak kalah hebatnya adalah Friedrich Kratochwill (1989), Nicholas Onuf (1989), dan Alexander Wendt (1992).
Kunci pemikiran konstruktivisme adalah dunia sosial, termasuk hubungan internasional, merupakan suatu konstruksi manusia. Hal ini diperkuat dengan adanya pernyataan konstruktivis bahwa dunia sosial bukanlah sesuatu yang given, bukanlah struktur yang hukumnya diteliti secara ilmiah dan muncul secara alamiah, seperti yang dikemukakan teori positivis melalui interpreatasi naturalistik (indrawi). Dunia sosial merupakan wilayah intersubyektif, di mana masyarakat yang membuat dan memahaminya. Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional, membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau yang diinginkan berdasarkan peraturan, strukturasi dan verstehen dalam speech acts.
Di dalam tulisan Alexander Wendt yang berjudul “Anarchy is what state make of it” dikemukakan bahwa sistem anarki internasional tercipta karena adanya pemaksaan realisme secara konfliktual sekaligus pemaksaan kaum liberalis untuk membuat tindakan kooperatif. Anarki adalah apa yang dibuat negara tersebut. Di sini terlihat bahwa sikap negara merupakan faktor deterministik dalam mewujudkan sistem anarki itu sendiri. Alexander Wendt juga berusaha mengkorelasi teori neorealisme dan neoliberalisme dengan tiga kesepakatan yakni: negara sebagai aktor dominan dalam hubungan internasional, rasionalisme adalah disposisi teoritis yang menjelaskan interaksi negara dalam struktur internasional, dan keamanan dianggap sebagai “self-interested”. Sistem internasional dapat saja dibangun dalam bentuk yang anarkis dan mementingkan diri sendiri, namun konstruktivisme sangat menolak gagasan (neo)realisme jika penyelamatan diri sendiri (selp-help) adalah satu-satunya cara yang harus ditempuh dalam mengakhiri konflik politik internasional.
Pemaparan di atas semakin menunjukkan adanya korelasi dan koherensi antara konstruktivisme dengan hubungan internasional. Sebagai kajian yang strategis dan netral (tidak cenderung berpihak ke neorealis ataupun neoliberalis), konstruktivisme mampu memberikan kajian kompleks dan konstruktif dalam mengembangkan teori utama hubungan internasional layaknya realisme dan liberalisme. Kedua teori tersebut menyatakan sepakat dalam membentuk anarki. Namun, interaksi liberalisme dan realisme hanyalah ide sempit dari rasionalisme, yang kemudian dikembangkan oleh para konstruktivis. Wendt (1992) menyatakan bahwa konstruktivisme lebih dari pembentukan sikap negara terhadap sistem anarki internasional. Anarki justru dampak dari tindakan itu sendiri, tidak ada logika yang mendasari. Oleh karena itu, Wendt menyarankan adanya peran negara sebagai kredo secara psikologis (perilaku) lalu menerapkan kepentingan dan identitas (sumber material negara) secara kolektif yang diakhiri dengan sebuah institusi (struktur dari kepentingan dan identitas), apakah hasilnya kompetitif atau kooperatif.
Satu hal paling krusial dalam memahami konstruktivisme adalah pemikiran para konstruktivis tidak serta merta memposisikan dirinya di tengah keberadaan neoliberalisme dan neorealisme saja, melainkan jauh lebih luas dari itu. Kaum konstruktivis sangat kental dengan nilai-nilai filosofis, yang berusaha menjembatani positivisme dan post-positivisme. Satu sisi kaum konstruktivis sepakat dengan positivis bahwa teori empirisme dapat digunakan dalam menjelaskan hubungan internasional. Sementara di sisi lain, konstruktivis tetap menekankan pentingnya pengetahuan dan pemikiran bersama dalam menganalisis pemahaman subyektif dan menilai aktor terhadap politik dunia. Nilai-nilai relatif semakin terasa ketika pemahaman konstruktivisme tidak hanya dipandang dari perspektif hubungan internasional. Lebih jelasnya lagi, saya akan mengkomparasinya dengan rasionalisme.

Rasionalisme vs Konstruktivisme
Secara historis, rasionalisme memang memiliki langkah lebih awal dibandingkan dengan konstruktivisme. Pemikiran yang dipopulerkan oleh Wight, Bull, Watson, dan Vincent ini muncul sejak tahun 1950, masa perspektif hubungan internasional seperti realisme dan idealisme bersifat overlapping. Rasionalisme memang berperan sebagai jalan penegah dari kedua mashab tersebut. Seperti yang dikemukakan Wight dalam kuliahnya di London School of Economics tahun 1950 : “rationalism was the via media between realism and revolutionism, the latter term for idealist or cosmopolitan modes of thought”.
Teori rasionalisme secara informal dan formal diaplikasikan ke dalam prinsip-prinsip teori rational choice, yang kemudian digunakan oleh para ekonom seperti Alfred Marshall dalam memahami teori mikro-ekonomi. Teori ini juga berpengaruh terhadap proses pembentukan game theory yang arahnya cenderung positivistik. Dalam tulisan Hedley Bull yang berjudul The Anarchical Society ditemukan adanya konsep paradoks dari sistem kedaulatan negara. Pertama, rasionalisme berangkat dari prinsip realisme yang menjelaskan bagaimana negara mengatur kekuasaan dalam konteks anarki. Kedua, rasionalisme menegaskan bahwa order (aturan) internasional tidak harus dibenarkan secara agresif, tetapi lebih mengedepankan bagaimana aturan keamanan internasional dapat ditransformasikan ke dalam moralitas dan keadilan. Dengan kata lain, konteks rasionalisme hanya berlandakan pada interaksi konflik realisme-idealisme yang cenderung menghasilkan obyektivitas dan absolutivisme. Bahkan, penerapan rasionalisme cenderung positivistik, salah satu prinsip yang nantinya menjadi bagian awal terbentuknya konstruktivisme.
Lain halnya dengan konstruktivisme, pemikiran yang lebih baru dari rasionalis ini memiliki tiga teori dasar, yakni:
1. Konstruktivisme adalah metaphysical stance tentang realitas di mana para sarjana berusaha tahu dan merumuskan sebuah ilmu melalui interpretasi yang ilmiah.
2. konstruktivisme merupakan teori sosial  peran pengetahuan dan agen berpengetahuan (berwawasan) dalam konstitusi realitas sosial
3. konstruktivisme juga perspektif hubungan internasional yang empiris dan teoritis  teori HI dan penelitiannya harus berdasarkan pada pondasi ontologis dan epistemologis. Singkatnya, teori konstruktivisme yang terdapat dalam hubungan internasional bersifat metodologis, yang kemudian diperkuat oleh kajian-kajian filsafat.
Sebelumnya saya menjelaskan bahwa rasionalisme masih berupa pemikiran sempit tentang structural state-centric di mana pemikiran positivis menjadi tujuan mereka. Di titik inilah rasionalisme disinggungkan oleh konstruktivisme dalam ranah yang lebih kompleks. Secara kontekstual, kajian rasionalisme dan konstruktivisme berbeda. Hal ini dibuktikkan dengan adanya unsur psikologis, sosilogis, dan politis yang tertera dalam konstruktivisme. Konstruktivisme juga mengkorelasikan interaksi yang terjadi antara paham positivis (realisme, rasionalisme) dengan post-positivis (teori gender / feminisme, humanisme, environmentalist). Secara ruang lingkup, konstruktivisme lebih luas daripada rasionalisme. Kadangkala, rasionalisme dapat menjadi bagian konstruktivisme. Contoh : dilema keamanan bukan hanya didasari pada faktor material seperti senjata nuklir yang berasumsi absolute gains (positivis, rasionalis), melainkan juga berlandaskan pada pengetahuan bersama, praktik, dan persepsi moralis atau sosialis yang mendasar (konstruktivis).
Krtitik terhadap neoliberalisme
Sebagai salah satu elemen dalam konstruktivisme, neoliberalisme masih memiliki kelemahan yang bisa dibilang kritis. Konstruktivis Amerika yang cenderung bersifat positivistik seperti Alexader Wendt melihat kelemahan neoliberalisme dari sudut pandang teori rasional, yakni: identitas dan kepentingan negara dianggap sebuah anugerah (alamiah adanya) karena hanya merubah sikap atau perilaku negara dan tidak disertai perubahan material negara; identitas dan kepentingan tergeneralisasi ke dalam anarki internasional yang alamiah karena struktur dan sistem “self help” negara bersifat mutlak (tidak dapat diubah); secara teoritis hanya terbatas pada pemahaman tentang perubahan agen dan struktur karena tidak mencantumkan transformasi kepentingan dan identitas sebuah negara.
Landasan Aksiologis terhadap Konstruktivisme : Implementasi kebijakan lingkungan Indonesia
Setelah menjelaskan rasionalisme dan konstruktivisme secara komprehensif, kajian tersebut perlu diimplementasikan ke dalam tindakan aksiologis, sesuai dengan pertanyaan awal. Mengenai kebijakan konstruktif pemerintah Indonesia terhadap keamanan lingkungan global, perilaku Indonesia memang menunjukkan adanya kontribusi aktif dalam mengadakan kerjasama internasional melalui UNFCCC. Hal ini didukung dengan program Rencana Aksi Nasional Kementrian Lingkungan Hidup dalam mengatasi perubahan iklim. Sejak tahun 2008, Indonesia juga membuat lembaga independen bernama pusat keamanan iklim, yang didukung sepenuhnya oleh Presiden Susiolo Bambang Yudhoyono. Jika dikaitkan dengan teori konstruktivisme Alexander Wendt, sikap negara Indonesia juga dipengaruhi oleh identitas negara yang memiliki julukan zamrud khatulistiwa dan berperan sebagai salah satu paru-paru dunia. Selain itu, kepentingan nasional Indonesia dalam mencapai pembangunan berkelanjutan secara internasional juga dituangkan saat meratifikasi Protokol Kyoto. Sebagai negara berkembang yang beriklim tropis dan kaya akan sumber daya alam, Indonesia juga sepakat untuk melakukan emission trading bersama negara maju sesuai dengan kesepakatan yang berlaku.
Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah metodologi dinilai sebagi major missing link dalam teori konstruktivisme. Hal ini disebabkan oleh keberadaan konstruktivis yang bersifat dwipolar : tebal (kontruktivis murni/ radikal) dan tipis (konstruktivis yang terpengaruh oleh aliran positivis atau post-positivis). Akibatnya, perdebatan epistemologis dan teoritis dari berbagai aliran konstruktivis sering terjadi. Hadirnya rasionalisme dan konstruktivisme setidaknya mampu memberi rona menarik bagi hubungan internasional. Walaupun kaidah ilmiah rasionalisme tidak begitu kompleks, unsur realisme maupun liberalis tetap mendasari pemikirannya seiring dengan bertumbuhnya konstruktivisme. Yang pasti, kajian konstruktivisme maupun rasionalisme mampu memberikan formulasi kritis bagi teori mainstream hubungan internasional, yaitu : realisme, liberalisme, dan marxisme.


REFERENSI :


Buku

Adler, Emanuel. Construtivism and International Relations, chapter 5. 2002. London : SAGE Publications Ltd. pp 96
Fearon, James dan Alexander Wendt. Rationalism v. Constructivism : A Skeptical View, chapter 3. 2002. London: SAGE Publications Ltd. pp 54
Linklater, Andrew. Theories of International Relations : Rationalism, chapter 4. 1996. New York : St. Martin Press. pp 94
Sorensen, Georg dan Robert Jackson. Pengantar Hubungan Internasional. 2005. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. pp 307
Wendt, Alexander. Constructivism : Is Anarchy what states make of it? 1992. pp 63

Internet

www.oup.com/uk/orc/bin/9780199285433/jackson_chap06.pdf Diakses tanggal 12 Mei 2009
www.menlh.go.id/ wawasan perubahan iklim.html diakses tanggal 12 Mei 2009

GO GREEN, DO WITH YOUR MIND AND YOUR HEART!

I had remembered when I was five years old… They all were different…
There were still large and many trees in forest, green and fresh plants around, and I liked playing water so much and taking a shower satisfactorily. But now, we have to clean ourselves only once-used towel, which has been wet by mineral, oil, or another toxic.
Industrials have been collapsed, grade of workless-people rise up to high level. Each worker has solely been paid by a glass of water. What a pity condition, right?
Many people rob or steal water in silent place. Accordingly, 80% of all food is synthetic.
Long time ago, there’s a command say that I should drink minimum eight glasses a day. Now, I can drink only a glass a day. Water is a very scarce thing. There’s no washing, no showering, as the waste being top like mountain. There’s only septic tank which we use for daily needs.
---Water and Earth for the Future, Letter in 2070---

From above, there’s a conclusion that the world are beginning to be worst environment, as it do right now. The most important case that has occurred in the world recently is energy crisis, which has resulted food and of course water crisis. World Bank, IMF (International Monetary Fund) has realized and decided that this world got horrible, fabulous, marvelous number of crisis, especially in energy. Definetely, President of OPEC, Chakib Khelil positively argue that the oil price is possible for growing up to US $200 / barrel. He said that this gambolling movement has happened because the market (oil) has been influenced and controlled by the descent of AS$ currency. That high price also caused by recession in USA and economic crisis in several core countries. “Each dollar which descend 1 % , the oil price can grow US$ 4 / barrel.” This prominent condition also cause in food and water crisis. Inevitably, the prices of daily needs are growing high rapidly ( such as : rice, eggs, oil, wheat, etc) Meanwhile, the invation, the war between Iraq and America still happen continuously without seeing the collapse of economic, political, and environmental life. These have been accepted in every country, with no exception. Each nation will obtain these risky movements, which if it didn’t resolve sooner, the people in the whole world would be in danger because of the angry earth. Many people couldn’t get fresh and clean water and food, get an unpredictable diseases that there’s not medicine can solve it, famine and malnutrition happen everywhere fairly. This serious problem isn’t an illusion, or impossible thing that wouldn’t happen. It’s possible to be if there’s no one really consider and realize it, then stand up and do some actions for anticipate it. As in my illustration, water is a very scarce thing, so do the food. They will become rare, even though they’re included in abundant resources or renewable resources. Toxic or other dangerous ingredients has been come to them synthetically, inevitably, unavoidably. Will it become true in twenty years later?

STOP! Do with your mind and heart!
I strong believe that environmental issues are inevitable problem that had been occurred in each country. This is the main thing which correlates with other important issues, like: politics, economics, and social-culture. Having energy, food, water crisis hopefully can open government’s mind and they use their heart to resolve it spontaneously. Without prejudice someone, it’s an urgent actions that we must do! Mitigation and changing our life style is very important to avoid our damaged environment. GO GREEN! It’s an alternative way to balance our mind and heart. Stop the intensity of waste by 3R (reduce, reuse, recycle) , bike to work or school, grow some plants, trees, make a green spaces, and absolutely save our energy for reducing the crisis. This is anticipating mean to produce clean, health, and continuously green environment. Nowadays, there are many people or member of “green” organizations campaign this issue. It contains of: Green peace, WWF (World Wild Fund), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Al Gore (a person who got Nobel Prize because he is the pioneer who spiritually campaign about global warming), and also my club Tunas Hijau. Participation of all people are essentially needed right now. If anyone does this, I’m really sure that the equality of life (personal fulfillment, well connecting or networking / cooperation, balanced security, integrated economy, safe environment) will exactly happen. Energy, food, water, or other crisis will extremely lose by creating health and good environment. Remember! “Our environment is a reflection of our heart”. If we want a good, clean, save, and healthy environment, we must get it in our heart first! So, will we do it together for make a green environment in twenty years later?

BERANI BERSUMPAH, TIDAK MAU (lagi) DISEBUT “INDON”

Masih adakah nasionalisme di kalangan anak muda? Masih adakah rasa bangga sebagai anak bangsa Indonesia, dikala negara tetangga "memandang rendah" dengan menyebut "indon"?
Atau, yang ada anak-anak muda yang sudah tidak peduli itu semua karena lebih tertarik dan terbius gaya hidup yang menggelora, dan apakah karena sikap itu, sudah kehilangan kebanggaan terhadap bangsa sendiri?

Menjadi generasi yang lahir di Indonesia, yang kaya-raya berpadu dalam kebhinekaan, sungguh membanggakan. Hal ini cukup menjadi modal dalam menepis kegamangan menjadi anak muda bertumbuh ditengah keadaan Indonesia yang didera bermacam kemiskinan. Diantaranya, kasus malnutrisi, dimana hal ini bukan hanya terjadi karena ketidakberdayaan membeli bahan pangan yang sehat dan bergizi, tetapi juga kemiskinan pengetahuan tentang "food-combine" yang dibangun dari kearifan lokal. Hal lain, tampak sebuah kondisi dimana para TKW/TKI yang tidak terampil dikirim ke luar negeri, yang mengakibatkan terjadinya kasus penganiayaan dan pelecehan hak asasi manusia. Sebutan "indon" (yang oleh negara tetangga dikonotasikan "budak/hamba") ini menjadi pukulan dan menyiratkan suatu keadaan kontroversial dimana Indonesia sedang ingin membangun sebuah citra bangsa yang bright di kancah internasional.

Sementara, ada sebagian orang muda yang hidup lebih beruntung. Dengan segala kebutuhan yang terpenuhi, seringkali mereka hidup dalam sebuah kenikmatan yang “tanpa batas”. Ibarat memegang remote, mereka telah terkendalikan oleh chanel-chanel yang terhubung oleh shopping, fashion, entertainment dll. Hal inilah yang akan membuat generasi muda tumbuh menjadi manusia dewasa yang terlena dan dininabobokkan dengan kenyamanan. Kenyamanan ini akan membius dan bermuara pada kemiskinan yang lain yakni ketidak-pekaan terhadap apa yang sedang terjadi di sekitar.

Pemikir pascastrukturalis Perancis, Jean Baudrillard, seakan menyentakkan kita ketika menulis Ecstasy of Communication (1987 ), bahwa berkat makna, informasi, dan transparansi, masyarakat kita telah melampaui ambang batas, menuju ecstasy permanen dalam koridor ”Lifestyle Ecstasy”. Di era globalisasi, tak bisa dipungkiri bahwa lifestyle menjadi suatu icon yang merasuk sumsum tulang untuk menyesuaikan diri, mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Produk-produk import yang membanjiri etalase di mall maupun suguhan hiburan hedonik telah menjadi santapan keseharian. Baik bersifat imajinatif maupun realistik telah menjadi komoditas. Gaya hidup telah menjadi ectasy yang melebur dalam kehausan “kenikmatan dan kebahagiaan” bak sebuah magnet yang menyedot seluruh energi dan sendi-sendi kehidupan. Anak-anak muda tidak lagi cinta kepada budaya nasional, bahkan kehilangan kebanggaan terhadap khasanah dan kekayaan budaya negeri sendiri, dan semua itu tergantikan oleh kegandrungan kepada budaya asing. Tidak ada salahnya jika seseorang mengikuti trend, tetapi akan menjadi bumerang terhadap suatu keadaan apabila melupakan lifestyle berbasis Kebangsaan.



Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa ... Indonesia!

Bangga sebagai bangsa Indonesia, adalah bukan sekedar harapan, apabila segera terwujud bentuk ideal sebuah identitas dan kesadaran nasional. Sadar bahwa menjadi generasi yang lahir di Indonesia, yang gemah ripah loh jinawi. Membangun kebanggaan itu, jelas memerlukan penataan pola pikir guna meningkatkan potensi, produktivitas, mental dan kultural. Sebuah ikrar yang dikumandangkan sejak Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, menjadi titik api yang membawa semangat kebangsaan.

Sumpah pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia merupakan bagian integral dari sebuah sistem pembelajaran wawasan kebangsaan. Sebagai implikasi “satu nusa” adalah bagaimana konsep satu nusa masuk dalam pola pikir generasi muda untuk manunggal dengan alam Indonesia, dengan kekayaan alam dan puluhan ribu pulau-pulau. Selanjutnya mengenal kondisi alam yang membentang dari Sabang sampai Merauke dan memperkaya kemampuan untuk menggali, mengelola dan mengkreasikan sumberdaya alamnya, termasuk memelihara lingkungan agar tidak terdegradasi (lagi).

“Satu Bangsa”, implikasi pola pikir yang mewujud adalah bagaimana cara berempati terhadap saudara-saudara sebangsa yang kurang beruntung, yang terkena bencana malnutrisi, bencana alam dan musibah lainnya, terhadap TKI dan TKW yang teraniaya di luar negeri. Bukan hanya dari segi kemalangan turut menjadi bagian mereka, tetapi juga terhadap hal-hal yang membanggakan, misalnya kesuksesan anak-anak asuh Professor Yohanes Surya, mulai dari Septinus George Saa, Mutiara Hitam dari Papua, kemudian Jonathan Pradana Mailoa, dll yang sukses dalam berbagai olimpiade fisika, matematika di kancah dunia.

Seorang anak bangsa seperti Professor Yohanes Surya mampu “menjual” tenaga kerja Indonesia ke pasar dunia dengan cara yang sangat mulia, meskipun disisi lain sebagian orang masih “menjual budak” yang di-abuse di negara lain. Generasi muda perlu mempunyai idola, mentor, pahlawan-pahlawan muda seperti beliau, mengasah kemampuan anak-anak dari seluruh Indonesia dengan program-program semisal menjala bibit-bibit dari suku Badui, Kubu, Sakai,dll dengan suatu impian bahwa nantinya akan mencetak anak bangsa berkualitas dan berdaya saing dengan sasaran tahun 2020 ada peneliti Indonesia meraih hadiah nobel.

Kemudian “satu bahasa”, generasi muda harus tetap berbangga kepada bahasa persatuan bahasa Indonesia, meskipun ada keharusan untuk dapat menguasai bahasa-bahasa internasional semisal Inggris, Mandarin dan lain-lain karena kebutuhan dari dampak era globalisasi. Namun, bahasa Indonesia harus tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri bahwa bahasa ini menjadi bahasa pemersatu yang mencerminkan bangsa yang kokoh. Inilah implikasi sikap nasionalisme!

Semangat nasiolisme yang dicanangkan dalam Sumpah Pemuda 28 oktober 1928 diramu oleh para pendiri bangsa dengan harga diri untuk melawan penindasan kaum kolonialis. Para founding fathers negara ini telah meletakkan dasar-dasar untuk menumbuhkan kecintaan pada nusa, bangsa, dan bahasa yang kemudian melahirkan semangat juang, kerelaan berkorban, untuk kejayaan bangsa Indonesia. Tidak ada kata terlambat bagi generasi muda sekarang ini untuk menetapkan sikap yang kembali kepada semangat tahun 1928 untuk mewujudkan Indonesia kembali dihormati dan mendapat tempat penting dalam politik dan ekonomi dunia. Kalau para pendiri bangsa dahulu mampu mempersatukan kemajemukan dan membangun bangsa yang mandiri, lepas dari penjajahan, maka saat inipun generasi muda harus mampu mempersatukan kemajemukan untuk membangun kembali Indonesia. Kalau dahulu bisa lepas dari kolonialisme, maka sekarang dalam koridor kemajemukan akan dapat melepaskan diri dari jerat penjajahan “kemiskinan” akhlak, pengetahuan maupun martabat, dan kemiskinan secara ekonomi. Tantangan bagi pemuda Indonesia saat ini adalah membangun identitas dan kesadaran nasional untuk menjadi pemuda yang mencerahkan bangsa dan tanah airnya agar dapat diperhitungkan di kancah internasional, dan berani bersumpah untuk tidak mau lagi disebut indon!

Gracia Paramitha
Puteri Lingkungan Hidup 2002
Sekretaris Hima Jur. Hub. Internasional FISIP UNAIR
Email: paramithagracia@yahoo.com

Problematika NAFTA

Jurnal HIK IX, 18 Mei 2009


Sudah hampir lima belas tahun NAFTA berdiri sebagai tonggak perekonomian regional Amerika Utara. Hubungan trilateral yang terjalin antara Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko nampaknya belum mencapai keberhasilan secara signifikan. Hal ini terbukti dengan kasus pencemaran udara dan air yang terjadi di Meksiko yang berlangsung sejak awl berdiri NAFTA dan masalah kesejahteraan buruh atau tenaga kerja yang tidak jelas penangannya. Melihat situasi ini, timbul satu pertanyaan besar dalam diri, sejauh mana NAFTA sudah berkontribusi aktif bagi perekonomian Amerika Utara? Dengan munculnya pertanyaan tersebut, ada satu konsep yang harus dijunjung tinggi tiap pelaku ekonomi di NAFTA, yakni sustainomics. Sustainomics yang sama artinya dengan sustainable development berusaha mengkaitkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Trilogi perubahan ini harus dijalankan secara seimbang di mana bisnis ekonomi bersifat visible dan profitable sebagaimana mestinya, nilai sosiologis mudah diterima dan disepakati masyarakat, dan aspek ekologis (lingkungan) bertanggung jawab secara berkelanjutan. Solusi tersebut akan dijelaskan secara sistgematis di penjelasan berikutnya. Susunan jurnal ini memuat : overview mengenai NAFTA (1), permasalahan lingkungan dan sosial NAFTA (2), solusi konkrit problematika NAFTA melalui sustainomics dan kesimpulan (3)

Overview NAFTA
NAFTA adalah perjanjian mengenai perdagangan bebas antar 3 negara di Amerika Utara, yaitu : Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Pada hakikatnya, kesepakatan ini muncul sejak tahun 1988, masa Kanada dan AS menandatangani Canada-United States Free Trade Agreement. Tak lama kemudian, pemerintah Amerika memulai negosiasi dengan pemerintah Meksiko dalam menjalin kerjasama ekonomi, diikuti dengan peran serta Kanada untuk memperoleh keuntungan bersama. Persetujuan tersbut timbul karena tak lepas dari permasalahan ekonomi itu sendiri, Kanada sedang mengalami kemerosotan ekonomi yang menimbulkan banyaknya pengangguran dan memidahkan investasinya ke AS.
Sebelum NAFTA resmi didirikan, muncul beberapa gejolak yang pada akhirnya menghasilkan kontrakdiksi dalam perumusannya. Ketika Presiden Bush merencanakan perjanjian tersebut lalu disahkan oleh pemerintahan Bill Clinton, milioner Texas Roos Perot dan politikus Pat Buchanan menentang pembentukan NAFTA. Para penentang NAFTA lainnya mengkritik bahwa perdagangan bebas yang disepakati pihak Amerika Utara dapat memicu tingginya angka pengangguran karena biaya tenaga kerja yang begitu rendah dan deregulasi pasar yang tidak sepenuhnya menyeimbangkan tarif hidup masyarakat. Sementara itu, para pecinta lingkungan pun tidak setuju dengan adanya NAFTA karena ketidakseimbangan keadaan alam dari setiap negara anggota yang dapat menyebabkan polusi yang berkepanjangan. Walaupun demikian, NAFTA tetap terbentuk secara oficial pada tanggal 1 Januari 1994.
Salah satu kemudahan yang diperoleh dari NAFTA adalah penghapusan semua batas-batas nontarif bagi perdagangan sektor pertanian antara Amerika dan Meksiko. Ketentuan-ketentuan agrikultural Amerika-Kanada (FTA, Free Trade Agreement) berdampak sejak 1989 digabungkan dengan NAFTA. Dengan ketentuan ini semua tarif pada perdagangan sektor pertanian antara Kanada dan Amerika dicakup oleh tariff-rate quotas (TRQ’s) dihapus sejak 1 Januari 1998. Adapun beberapa ketentuan NAFTA yang telah disetujui, di antaranya :
1. Protection for Import-Sensitive Crop: Perlindungan terhadap hasil sensitif import.
2. Sanitary and Phytosanitary Measures: Ukuran untuk melindung makhluk hidup dari penyakit binatang atau tanaman, zat tambahan makanan atau terkena kontaminasi.
3. Eksport Subsidies  subsidi eksport terhadap setiap negara anggota NAFTA
4. Internal Support  dukungan internal NAFTA terhadap perekonomian AS, Kanada, Meksiko
5. Grade and Quality Standard: Amerika dan Meksiko setuju bahwa Amerika dan Meksiko menggunakan suatu ukuran mengenai klasifikasi ( angka dan prodeuk domestik)
6. Rules of Origin: peraturan tetang originalitas produk antar negara NAFTA
7. Bulk Commodities: Seluruh komoditas pangan dan produk olahan seperti jus jeruk dan keju dibebaskan dari ketentuan de minimis, memperbolehkan sampai 7 persen produk asal non-NAFTA
8. Citrus: Seluruh jus-jus tunggal (segar, beku, terkonsentrasi, rekonstitusi dan fortified) harus terbuat dari 100 persen buah-buahan yang berasal dari NAFTA.
9. Dairy Product: Hanya susu yang berasal dari Amerika atau Meksiko yang digunakan untuk membuat krim, mentega, yogurt, es krim, dan minuman susu lainnya.
10. Vegetable Oil: Seperti pembuatan margarin dan hydrogenated.
11. Sugar: Seluruh pengolahan gula mengambil tempat di teritori NAFTA.
12. Peanut Products: Meksiko harus memproduksikan kacang untuk diekspor ke Amerika.
Permasalahan Sosial dan Lingkungan NAFTA
Terbentuknya NAFTA selama hampir lima belas tahun ini turut menghadirkan kontroversi yang cukup signifikan bagi pertumbuhan ekonomi negara anggota, yaitu AS, Kanada, dan Meksiko. Secara sosial, timbul permasalahan akut yang semakin memunculkan kesenjangan kelas ekonomi, antara pihak konglomerat (kaum kapitalis yang emegang modal secara penuh-MNC) dan pihak miskin (terutama buruh . tenaga kerja yang menjalankan usaha-usaha kaum kapitalis). Sedangkan secara lingkungan, Meksiko yang berkedudukan sebagai negara berkembang dan lebih rendah perekonomiannya dibandingkan Kanada dan AS, mengalami kelumpuhan sektor pertanian dalam kurun waktu tertentu dan terkena polusi (udara,air,limbah/sampah) yang sebenarnya berasal dari outcome beberapa perusahaan Amerika.
Hasil manufaktur domestik dan investasinya tidak serta merta berarti meningkatnya pekerjaan manufaktur domestik. Meskipun pekerja sipil AS bertumbuh hingga 15 juta sejak 1993-2001, pekerjaan manufaktur hanya meningkat sebesar 476.000.Bahkan, di tahun 1994 dan 2007, jaringan buruh manufaktur telah dihapus sebanyak 3.654.000 karena luas perdagangan bebas yang semakin tak terbendung. Maquiladoras (pabrik Meksiko terkenal yang mengimpor bahan mentah dan memproduksi barang untuk diekspor) telah menjadi landmark of trade di Meksiko. Namun, adanya MNC yang berasal dari industri non-maquiladora (industri otomotif) mengakibatkan kemiskinan yang tinggi di Meksiko. Pada dua bulan pertama tahun 1995 stok pasar jatuh 24%, ratusan perusahaan tutup, dan lebih dari 250000 warga Meksiko kehilangan pekerjaan. Walaupun NAFTA telah mendirikan North American Agreement on Labour Cooperation (NAALC), kesejahteraan kaum buruh belum mencapai taraf baik dan eksploitasi yang diderita mereka telah melanggar HAM.
Salah satu dampak positif dari kehadiran NAFTA adalah terbentuknya organisasi suplemen/ komplementer yaitu North American Agreement on Labour Cooperation (NAALC). Hal ini diperkuat dengan pembentukan Commission for Environmental Cooperation (CEC), lembaga trinasional di Montreal, yang menyediakan mekanisme untuk investigasi hukum lingkungan nasional dan meonitor dampak lingkungan yang berlawanan dengan sistem perdagangan NAFTA. Sayangnya, permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh NAFTA kian muncul. Salah satunya adalah kasus pencemaran air laut karena melubernya limbah minyak (bensin) dari pantai Meksiko. Di tahun 2000, pemerintah mensubsidi sektor pertanian berupa jagung sebesar AS $ 10,1 miliar, sepuluh kali lebih besar daripada total agrikultur Meksiko per tahun. Hal ini berdampak pada kelumpuhan masa panen Meksiko. Sebelum dilaksanakannya NAFTA, sebagian lahan Meksiko digunakan untuk produksi jagung yang dihasilkan oleh 2,5 juta petani. Tahun 1996 Meksiko mengimpor senilai 1,1 milyar dolar jagung, yang merupakan salah satu produksi terkuatnya. Menurut Graham Purchase dalam tulisannya yang berjudul Anarchism and Environmental Survival, NAFTA dapat menyebabkan "the destruction of the ejidos” dari kepentingan korporat dan mengancam keuntungan penduduk rural (rakyat) dalam revolusi Meksiko.

Sustainomics : Solusi Berkelanjutan bagi Permasalahan NAFTA
Dengan munculnya pro kontra dan problematika NAFTA yang semkain kompleks, timbulah suatu konsep yang mampu mengatasi kasus keberadaan HAM pekerja dan pencemaran lingkungan oleh NAFTA. Konsep tersebut bernama sustainomics. Istilah ini bisa disamakan dengan sustainable development yang mengandung pengertian strategi imperatif bagi pembangunan berkelanjutan. Menurut Hegley, Jr. 1992, karakteristik pembangunan berkelanjutan mengandung beberapa unsur, antara lain :
a. berorientasi untuk pertumbuhan yang mendukung secara nyata tujuan ekologi, sosial, dan ekonomi
b. memperhatikan batas ekologis dalam konsumsi materi dan memperkuat pembangunan kualitatif pada tingkat masyarakat dan individu dengan distribus yang adil
c. perlunya campur tangan pemerintah, dukungan, dan kerja sama dunia usaha dalam upaya konservasi dan pemanfaatan yang berbasis sumber daya
d. mengitegrasikan biaya sosial dan biaya lingkungan dari dampak pembangunan ke dalam perhitungan ekonomi
Key driver dalam sustainomics adalah pola konsumsi, populasi, teknologi, dan tata pamong (governance). Sebagai perencaan jangka panjang yang cukup signifikan, sustainomics berusaha membuka wawasan pemerintah dalam mengelola kekuatan pasar dan mempertajam kecenderungan global. Cara konkrit yang dapat diimplementasikan ke dalam permasalah NAFTA adalah perlu dibentuk lembaga hukum yang jelas dalam mengawasi dan meregulasi sistem lingkungan dan sosial yang ada di antara Meksiko, AS, dan Kanada. Selain itu, trasfer of technology harus dijalankan secara merata ke negara anggota NAFTA dengan disertai pelatihan edukatif terhadap para buruh yang bekerja di berbagai perusahaan.
Dengan semakin berkembangnya konsep sustainomics di NAFTA, maka akan menimbulkan keseimbangan distribusi dalam memelihara keuntungan bisnis, kemakmuran dan kesejahteraan buruh, serta kelestarian lingkungan hidup dalam mengelola sumber daya alam. Setiap permasalahan yang terjadi di NAFTA harus diatasi dengan solusi integratif dan berakibat simbiosis mutualisme. Regionalisme NAFTA akan bertambah kuat jika trilogi aspek pembangunannya (ekonomi, sosial, lingkungan) diamati dan dilaksanakan secara strategis dan koordinatif.

REFERENSI:
Artikel
Artikel Wawat Krimawati. NAFTA : North America Free Trade Agreement

Buku
Levinson, Jerome .1996.NAFTA’s Labor Side Agreement: Lessons from the First Three Years Washington: Institute for Policy Studies and International Labor Rights Fund.
Purchase,Graham .1994. Anarchism and Environmental Survival. See Sharp Press.
Sugandhy, Acha dan Rustam Hakim. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan : Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta : Bumi Aksara. hal 21-22

Internet
http://www.oxfam.org.uk/resources/policy/trade/downloads/bp50_corn.pdf. diakses tanggal 16 Mei 2009
http://www.bls.gov/ US bureau of labour statistics/html, diakses tanggal 16 Mei 2009

Pemikiran Kritis "Critical Theory"

Jurnal IX THI, 20 Mei 2009


Ketika dampak perubahan iklim dialami setiap masyarakat di belahan dunia, maka muncul berbagai respon yang bersifat kontroversial. Sebagian beropini bahwa perubahan iklim murni karena bencana alam, sedangkan lainnya berpendapat bahwa hal tersebut murni kesalahan para manusia dalam mengeksploitasi kekayaan alam. Sebenarnya, secara tidak langsung, hal ini telah memunculkan pemikiran kritis secara sosial yang nantinya berpengaruh terhadap sistem internasional. Dengan berpijak pada kasus tersebut, pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana kerangka berpikir kritis manusia mampu membentuk sebuah teori kritis? Sejauh mana teori kritis sosial ini dapat menjadi perspektif menarik bagi teori hubungan internasional?

Teori Kritis dan Perkembangan Asumsinya dalam Neomarxisme
Sebelum mengacu pada teori kritis hubungan internasional, sudah seharusnya mengetahui sumber utama teori kritis itu sendiri. Secara historis, teori kritis muncul sejak zaman Pencerahan (Enlightmen) yang memunculkan kritik kehidupan manusia mengenai universalisme dan kebebasan. Tokoh kritis tradisional yang terkemuka saat itu adalah Immanuel Kant dengan prinsip filosofisnya ”immanent critique and pure reason’s critique” di mana ia menyatakan bahwa apa yang kita tahu adalah hal paling fundamental dalam teori, sedangkan Hegel dan Marx berasumsi bahwa pengetahuan selalu, tidak mengalami penurunan, dan dikondisikan oleh faktor-faktor sejarah dan konteks material (situated knowledge). Seperti yang tertera dalam tesis 11 Marxis di Feuerbach: ”philosophers have only interpreted the world in various ways, the point is to change it!”.
Awalnya, teori kritis ini berasal dari studi sosial yang berusaha membedakan pengetahuan tradisional dan pengetahuan kritis. Menurut Horkheimer, tradisional mengandung karakteristik : gambaran teori hilang dari obyek analisis (jika dianalogikan dalam ilmu pengetahuan, subyek dan obyek harus terpisah untuk menteorikannya secara tepat); ada dunia eksternal di luar studi, bersifat bebas nilai. Lain halnya dengan karakteristik pengetahuan kritis, yakni : menolak sistem analisis bebas nilai; mengizinkan uji tujuan dan fungsi dari teori tertentu; menempatkan orientasi konteks sosial dalam situasi yang ditentukan; serta mengutamakan aspek emansipatori dalam pengetahuan politisnya (bukan berpijak pada konsolidasi atau legitimasi).
Pada tahun 1937, teori kritis semakin populer dengan hadirnya “Frakfurt School of Thought” yang terdiri dari beberapa teoritisi kritis, antara lain : Max Horkheimer, Theodor Adorno, Walter Benjamin, Herbert Marcuse, dan tokoh yang paling terkenal dalam bidang ini adalah Jurgen Habermas. Habermas mengemukaakn teori kritis sebagai paradigma refleksi diri (self-reflection) sekaligus emansipatori. Dengan berpijak pada Karl Marx, Habermas menuturkan bahwa teori selalu dikondisikan dalam konteks historis dan material secara ontologis. Dengan demikian, pendekatan metodologis yang tercantum dalam teori kritis sebenarnya mencakup perspektif marxisme dan perkembangannya dalam neomarxisme.
Teoritisi HI kritis yang paling populer adalah Robert Cox (1981;1996) dan Andrew Linklater (1990;1996). Mereka dengan tegas menolak tiga postulat dasar positivisme, yaitu : realitas eksternal obyektif, perbedaan subyek/obyek, dan ilmu sosial bebas nilai. Secara karakteristik, teori kritis HI terbagi menjadi dua hal : metodologi positivistik (fakta dan nilai terpisah, hanya dunia obyektif yang eksis secara independen dari kesadaran manusia) dan post-positvistik (dekonstruksi atau genealogi pemikiran individu yang mampu menimbulkan bias pengetahuan.
Bila dikaitkan dengan perkembangan neomarxisme, teori kritis berorientasi pada perubahan progresif dan keinginan idealisme dalam perkembangan ekonomi suatu negara. Teori kritis HI mencari pengetahuan untuk tujuan politis, yaitu : untuk membebaskan kemanusiaan dari struktur politik dan ekonomi dunia yang ”menekan” dan dikendalikan oleh kelas hegemon seperti Amerika Serikat. Mereka berupaya untuk mendobrak dominasi global kelas negara kaya di belahan Utara dunia atas kelas negara miskin yang mayoritas berada di Selatan dunia. Oleh karena itu, tak jarang bila teori kritis sering dikaitkan dengan teori Ekonomi Politik Internasional.
Kritik terhadap Neorealisme
Teoritisi kritis secara terbuka digunakan untuk tujuan politis di mana mereka menganjurkan dan memajukan ideologi progresifnya (cenderung sosialis) atas emansipasi yang yakin bahwa ilmu wan konservatif dan liberal mempertahankan nilai-nilai positif. Dengan kata lain, teoi kritis menunjukkan adanya hubungan antara kehidupan sosial modern (masyarakat internasional) dengan kehidupan politis (kepentingan dan kekuasaan).
Salah satu titik penolakan yang diberikan teori kritis adalah keberadaan dan perkembangan neorealisme. Sebagai pemahaman baru realis, neorealisme memang tidak memutlakkan keberadaan negara sebagai satu-satunya aktor dalam sistem internasional. Namun, permasalahannya menjadi kompleks ketika otoritas politik sepenuhnya ditentukan dari keputusan politik pemerintah (negara). Di dalam buku ”Tranformation of Poltical Community”, Andrew Linklater berusaha meredefinisi batasan politik di mana negara dan komunitas politik lainnya tak terpisahkan dan selalu berubah-ubah (mengikuti arus perubahan yang dinamis). Legitimasi yang didaulat setiap negara pun semakin terancam keberadaannya karena munculnya hegemoni (dominasi) negara yang akhirnya sangat mempengaruhi keamanan dan stabilitas internasional.
Untuk mengurangi pengaruh neorealis yang menjustifikasi adanya sistem dan aktor hegemonis, diperlukan etika komunitas politik yang berada di luar negara. Tiga perubahan yang harus dilakukan adalah :
1. meningkatkan respek terhadap perbedaan kultural
2. mengembangkan komitmen yang lebih baik untuk mengurangi ketidakseimbangan material
3. lebih memfokuskan diri pada perkembangan universalitas internasional
Kontribusi Teori Kritis terhadap Studi Hubungan Internasional
Sebagai teori yang berkaitan erat dengan tradisi hermenetik dan ideokritik, teori kritis mampu menjadi pemikiran alternatif yang berusaha memberikan sentuhan baru pada teori-teori tradisional HI (realisme dan liberalisme). Secara metodologis, teori kritis tidak hanya berfokus pada bagaimana memahami dan mempelajari studi HI, tetapi juga belajar mengenai bagaimana mengkritisi fenomena politik dunia yang semakin kompleks.
Selain itu, teori kritis juga mampu mendekatkan refleksi dari fenomena yang diidentifikasi sebagai politik dunia kontemporer, seperti terorisme, globalisasi, gender, dan kelestarian lingkungan hidup. Seperti halnya kasus perubahan iklim, para teoritisi HI tidak hanya memandang permasalahan ini sebagai keputusan politis negara hegemon yang cenderung meraih keuntungan belaka, tetapi juga melihat struktur pembangunan berkelanjutan yang harus ditanamkan di setiap negara melalui trilogi pembangunan, yakni : sosial, lingkungan, dan ekonomi. Negara maju sering dijadikan penyebab dari pemanasan global yang terjadi, bahkan ada yang menganggap hal tersebut hanya propaganda AS untuk mengingatkan negara lainnya. Terlepas dari propaganda atau tidak, para environmentalis berusaha mengkritisi masalah ini dengan mendekonstruksi bahwa dunia ke-3 pun turut menyebabkan dampak perubahan iklim. Walaupun industri negara berkembang tidak sebaik negara maju, problematika kultural masih melekat dalam kepribadian mereka, seperti misalnya buang sampah sembarangan, ilegal dan legal logging, dsb.
Kontribusi yang diberikan oleh teori kritis tidak selamanya menguntungkan. Ada beberapa kelemahan yang memang harus diperbaiki dan dirubah, di antaranya : teori kritis yang kadangkala disebut sebagai meta-teori bersifat utopis, kurang didekatkan oleh faktor-faktor empiris. Tulisan yang dituangkan oleh teoritisi kritis seringkali susah dimengerti (rumit) dan konsepnya sophisticated. Kajian psikologis dan linguistik yang dimasukkan ke dalam teori kritis sebaiknya tidak mendominasi pemikiran dasar dari teori tersebut. Akibatnya, teori kritis tidak mampu mengambil sikap dalam menentukan relativitas dan netralisasi aksi politis. Penentangan bebas nilai memang diagungkan oleh teori kritis, namun yang menjadi kendala ialah bagaimana keputusan mereka dalam mensubstansikannya dengan kajian riset dan keilmuan? Jika teori HI benar-benar politis, mengapa teori mereka susah dikategorikan sebagai subyek akademik?
REFERENSI :

Buku
Devetak, Richard. 2005. Theory of International Relations : Critical Theory. 3rd edition. New York : Plag;ave Camillan.
Linklater, Andrew .1998.The Transformation of Political Community ; Ethical Foundation of the Post-Wesphalian Era. Cambridge
Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005.Pengantar Studi Hubungan Internasional : Teori Kritis.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sugandhy, Aca dan Rustam Hakim. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan : Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta : Bumi Aksara. hal 21-22


Internet
www. international%2520relations%2520theory%2520final.pdf, diakses tanggal 19 Mei 2009

Sabtu, April 25, 2009

MENAKLUKKAN RAKSASA LIBERALISME

Gracia Paramitha, 070710415

Ketika pasar bebas tak dapat terbendung dan pembentukan regionalisme tiap daerah yang terdapat di setiap benua mulai berkembang, maka globalisasi memang sedang merajalela dalam perekonomian dunia. Jika memandang keadaan modern saat ini, sudah tak dapat dipungkiri lagi bahwa sesungguhnya negara-negara yang masih berdiri harus menelan “material” klasik yang kian melaju pesat, yang tak lain dikenal dengan sebutan neoliberalisme. Sebagai teori yang makin kontemporer, paham liberalisme yang sangat mengakar pada kehidupan historis ekonomi ini mulai diterima dan dilaksanakan setiap negara. Krisis finansial Amerika Serikat yang marak terjadi pun mampu memberikan dampak yang signifikan bagi negara lain di seluruh penjuru bumi. Lantas, apakah paham liberalisme yang disebarluaskan oleh AS ini mampu bertahan dan tetap menjadi solusi absolut terhadap permasalahan ekonomi? Sejauh manakah raksasa liberalisme mampu menaklukkan “hati” negara lain untuk menganut dan memberlakukan paham tersebut?

Latar belakang Liberalisme
Secara historis, Liberalisme muncul sebagai reaksi perlawanan terhadap sikap penganut paham Merkantilis pada pertengahan abad XVIII. Di Perancis, ahli ekonomi menyebut gerakan ini sebagai gerakan physiocrats yang menuntut kebebasan produksi dan berdagang. Di Inggris, ahli ekonomi Adam Smith menjelaskan dalam bukunya (the Wealth of Nations 1776) mengenai keuntungan untuk menghapus pembatasan-pembatasan dalam perdagangan. Selain itu, ahli ekonomi dan para pelaku bisnis menyuarakan oposisi mereka terhadap semakin tingginya bea pabean yang menjadi penghalang serta mengusulkan negosiasi perjanjian dagang dengan kekuatan-kekuatan asing. Perubahan sikap ini mendorong ditandatangani sejumlah persetujuan liberalisasi perdagangan (Anglo-French Agreement 1786) dan mengakhiri perang ekonomi antara kedua negara.
Berdasarkan the New Lexicon Websters’s Dictionary of the English Language, liberalisme berasal dari kata liberal yang bermakna menganggap baik kebebasan individu, reformasi sosial, dan penghapusan atas pembatasan-pembatasan dalam ekonomi. Dengan demikian, liberalisme telah dipandang sebagai sebuah ideologi atau pandangan filsafat yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama dan menerapkan sistem pasar yang bebas dan terbuka. Kebebasan individu dijamin melalui mekanisme pasar. Lain halnya perspektif liberal dalam ekonomi, merupakan pandangan yang mendorong kebebasan pasar dan minimalisasi peran negara. Oleh sebab itu, perspektif liberal menempatkan individu sebagai fokus utama dalam ekonomi agar dapat meningkatkan efisiensi dan memaksimalisasi keuntungan. Argumentasi ini diperkuat dengan suatu premis yang sangat mendasar dalam perspektif liberal bahwa konsumen perseorangan, perusahaan, atau rumah tangga merupakan basis dari perekonomian masyarakat. Individu-individu dianggap rasional dan berusaha untuk memaksimalisasi atau memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan tingkat biaya serendah-rendahnya.
Kaum liberalis memahami ekonomi politik internasional sebagai suatu aplikasi teori dan metodologi ekonomi internasional yang memisahkan interaksi antara ekonomi dan politik. Adanya peran kuat dan aktif dalam mekanisme pasar telah memudarkan otoritas pemerintah sebagai aktor utama negara. Ekonomi dan politik itu adalah dua arena yang seharusnya dipisahkan dan masing-masing beroperasi menurut aturan-aturan serta logika-logikanya sendiri. Karena orang-orang liberal percaya bahwa faktor-faktor ekonomi merupakan determinan dari semua proses sosial, maka menurut mereka fenomena ekonomi politik internasional dapat di jelaskan dengan berbagai teori yang ada dalam ilmu ekonomi.

Peran dan Pengaruh Liberalisme Terhadap Perekonomian Dunia
Dalam perkembangan ekonomi modern, perspektif liberalisme mulai bercampur dengan asas-asas demokrasi yang pada akhirnya memunculkan teori neoliberalisme yang dipelopori oleh Friedrich von Hayek (1899 –1992). Walaupun perkembangan neoliberalisme telah menduduki perekonomian internasional, esensi-esensi historis liberal tetap menjadi pemegang kendali kehidupan ekonomi politik saat ini. Mengutip pernyataan John Madison yang berbunyi : “jika manusia adalah malaikat, maka pemerintahan dan demokrasi tidak diperlukan”. Pernyataan tersebut mengingatkan sesuatu bahwa sebagai manusia yang tidak sempurna secara utuh, maka kebebasan dan toleransi perlu dijunjung tinggi. Sama halnya dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Rizal Malarangeng : ”Kalau ingin mempengaruhi orang, gunakan akal pikiranmu, gunakan persuasi, dalam sebuah konteks besar yang dinamakan free market of ideas. Hal itu pula yang harus diterapkan dalam sosial, politik ekonomi, dan agama”
Dari dua pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa eksistensi paham liberalisme dalam mempengaruhi ekonomi politik internasional begitu melesat semenjak Perang Dunia II. Hal ini dibuktikan dengan kesuksesan India membuka pintunya bagi penetrasi dan mengubah ekonomi genetiknya ke arah ekonomi pasar. Demikian pula apa yang terjadi di Cina, yang menyadari bahwa kondisi lebih mengerikan akan terjadi jika ekonomi pasar diganti dengan ekonomi yang sentralistik. Dampak yang ditimbulkan bukan hanya merujuk pada kegagalan ekonomi, tapi juga diikuti dengan tragedi manusia yang luar biasa.
Selain itu, pengaruh dan peran liberalisme terhadap ekonomi politik internasional dapat terlihat pada pelaksanaan KTT ASEAN+3 yang menciptakan regionalisme secara ekonomis dan politis. Sudut pandang optimis yang terdapat pada ekonomi liberal mulai berlaku pada negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur yang melakukan tahap integrasi ekonomi berupa: mekanisme Preferential Trade Agreement (PTA), Free Trade Area (FTA), Custom Union (CU), Common Market (CM), dan Economic Union (EU). PTA terjadi jika negara-negara anggota sepakat untuk mengurangi pengenaan tingkat tarif terhadap impor dari masing-masing negara anggota. FTA lebih progresif dibandingkan dengan PTA karena berfokus pada kesepakatan untuk mengenakan tingkat tarif nol terhadap seluruh impor dari negara anggota. Sementara CU berarti FTA ditambah dengan kesepakatan untuk memiliki kebijakan eksternal bersama. CM merupakan kesepakatan untuk membebaskan lalu lintas produk dan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja. Sedangkan EU adalah kesepakatan yang sangat progresif di mana kesepakatan yang dihasilkan mencakup harmonisasi kebijakan ekonomi makro dan mikro di negara-negara anggota.
Dampak lain dari model liberalisasi ekonomi sebagaimana menjadi gagasan negara-negara maju adalah terlalu dominannya peranan lembaga-lembaga keuangan, yang sebagian besar bergerak disektor distribusi. Lembaga keuangan, dalam konteks ekonomi tradisional, sebenarnya tidak lebih dari para pedagang, yang bekerja lebih berdasarkan spekulasi daripada pertimbangan ekonomi murni. Para lembaga keuangan adalah pemain utama di berbagai pasar bursa dunia. Hal yang menarik dalam memahami lembaga keuangan ini adalah “mereka membeli tetapi bukan konsumen, dan mereka menjual tetapi bukan produsen”. Akibatnya, perekonomian dunia bergerak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan spekuatif, dengan melihat aspek-aspek non ekonomi dari setiap transaksi.
Lembaga-lembaga keuangan seperti Lehman Brothers dan Merrill Lynch telah membawa kekuatan ekonomi sekaligus politik. Walaupun mereka bergerak berdasarkan prinsip-prinsip liberalisme ekonomi, namun terdapat gejala hipokrisi dalam aktivitas ini. Sejak lama, para analis ekonomi dan politik internasional meyakini adanya hubungan saling menguntungkan antara kalangan swasta (yang didominasi oleh lembaga keuangan dunia) dengan elit politik di negara-negara maju untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi --dan juga politik-- suatu negara untuk mendukung perekonomian dunia yang liberal.

Liberalisme : Prospek Ideal Ekonomi Politik Internasional?
Dalam perkembangannya, perspektif liberal memfokuskan kepada tiga permasalahan yang dipandang sebagai faktor-faktor penentu dalam perekonomian global yaitu lack of resources dalam perekonomian, lack of international trade, dan permasalahan government intervention.
Berdasarkan permasalahan tersebut, liberalisme masih memiliki titik kelemahan yang tertutupi oleh pemikiran dektruktif kreatif. Pertama, penerapan liberalisme dalam perekonomian dunia dapat membuat dunia ke dalam tatanan yang cenderung tidak adil. Liberalisasi berbagai sektor perekonomian akan menciptakan persaingan bebas dalam pasar dunia. Artinya, disaat persaingan bebas terjadi, maka negara-negara yang memiliki tingkat perekonomiannya relatif tinggi akan semakin kuat, sedangkan yang memiliki tingkat perekonomiannya relatif rendah akan semakin lemah. Misalnya dalam hal impor, ketika kebijakan liberalisasi diterapkan, maka produk-produk dalam negeri akan terancam keberadaannya. Harga produk-produk impor yang lebih murah akan diiringi dengan meningkatnya permintaan terhadap produk-produk tersebut. Sehingga permintaan produk-produk dalam negeri cenderung menurun, bahkan tidak lagi dapat berproduksi alias “bangkrut”. Kebangkrutan produksi ini akan menyebabkan semakin banyaknya pengangguran yang dapat menimbulkan gejolak sosial.
Kedua, liberalisme akan menciptakan suatu hubungan ketergantungan antara negara yang kaya dengan negara yang miskin. Salah satu contohnya adalah kebijakan privatisasi BUMN suatu negara yang dibeli oleh negara asing sebagai suatu konsekuensi dari liberalisasi. Karena negara “menganggap” dirinya tidak mampu lagi mengelola dan membiayai proses produksi BUMN tersebut. Padahal BUMN umumnya merupakan badan atau perusahaan-perusahaan yang berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak. Sehingga tidak menutup kemungkinan pengaruh negara asing akan sangat kuat terhadap negara tersebut. Lebih dari itu, kecenderungan penjajahan dalam bentuk baru bisa saja terjadi.
Ketiga, di dalam sistem mekanisme pasar akan timbul kekuatan monopoli yang merugikan. Dalam mekanisme pasar tidak selalu terjadi persaingan sempurna di mana harga dan jumlah barang ditentukan oleh permintaan pembeli dan penawaran penjual yang banyak jumlahnya. Keempat, sistem perekonomian liberal cenderung membawa ketidakstabilan. Ketidakpastian harga maupun nilai kurs yang cenderung tidak teratur memperbesar ketidakpastian dalam ekonomi.
Jika kita melihat fenomena krisis finansial global yang terjadi pada Amerika Serikat, telah menunjukkan adanya krisis perkembangan liberalisme sebagai prospek ideal ekonomi politik internasional. Sebuah tragedi AS yang semakin memusnahkan politik hegemoninya ini bersumber pada keyakinan akan ekonomi tanpa regulasi dan internasionalisasi persaingan ekonomi. Ekonomi yang semakin memperingati kebebasannya malah berbalik memohon ampun pada negara agar segera memperbaiki perekonomian nasional. Merkantilisme pun mulai diberlakukan kembali dengan cara mengintervensi kepemilikan terhadap perusahaan swasta. Bahkan, Indonesia mengatasi krisis yang berdampak global ini melalui paket bail out yang dikucurkan oleh pemerintah kepada Bumi Resources. Hubungan antara negara dan perusahaan-perusahaan multi nasional yang selama ini seolah tampak dalam konteks independen, ternyata dipenuhi dengan preferensi-preferensi yang diberikan oleh pemerintah (sebagai representasi negara) kepada perusahaan-perusahaan tertentu, yang memiliki kapasitas politik yang memadai.
Solusi krisis finansial global tak hanya diselesaikan dengan asumsi-asumsi merkantilisme saja. Peran negara yang selama ini terhenti sebelum timbulnya krisis harus dimaksimalkan dengan pemerataan dan keadilan rakyat yang tertuang dalam sistem sosialisme ala Karl Marx. Peningkatan struktur ekonomi yang berdampak adil pada rakyat lebih diprioritaskan daripada keuntungan privat organisasi korporat seperti MNC ataupun TNC. Contoh konkrit yang dapat dilakukan oleh warga AS adalah pemberian dana stimulus terhadap institusi sosial milik pemerintah dan minimalisasi pajak masyarakat sipil.
Sampai saat ini, liberalis, merkantilisme, dan marxisme tetap menjadi perspektif utama terhadap permasalahan ekonomi politik internasional. Ketiga pendekatan tersebut bisa ditunjang dengan aliran-aliran pinggiran yang sebenarnya tidak boleh diremehkan. Adanya perspektif ekonomi-religi yang diusung sistem ekonomi syariah mampu mematahkan kekuasaan liberalisme, seperti pernyataan kuat Rahbar (Pemimpin Tertinggi Revolusi Iran) : ”krisis ekonomi Barat adalah bukti dekadensi ideologi liberal demokrasi.” Adanya unsur spiritual yang memasukkan Alqur’an dan sunnah ke dalam sistem ekonomi telah memverifikasi dinamika ekonomi politik suatu negara. Hal terbaru yang menginspirasikan ekonomi-militer adalah programp eluncuran roket Korea Utara pada tanggal 5 April lalu. Peristiwa kontroversial ini setidaknya mampu menyadarkan arogansi AS terhadap perkembangan ekonomi politik negara dunia ke-3. Secara tidak langsung, kebijakan militer yang diterapkan Korea Utara mampu mempengaruhi keadaan ekonomi nasional sekaligus internasional. Berbagai solusi telah dipaparkan secara jelas, yang menjadi pertanyaan adalah : solusi manakah yang paling efektif dan dapat diimplementasikan pada setiap negara di dunia? Tentu, jawaban yang muncul beraneka ragam dan bergantung pada kompleksitas internalisasi suatu negara.

REFERENSI :

Buku
Gilpin, Robert. Theories of Political Economy of International Relations.1987 .New Jersey : The Princeton University Press. pp.26-31.
Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Mikroekonomi. 1999. Jakarta: Rajawali Press. Hal. 46
The New Lexicon Webster’s Dictionary of the English Language

Internet
http://www.britannica.com/eb/article-233673?query=Anglo-French%20Agreement%201786&ct=, diakses pada tanggal 21 April 2009 pk 18.00 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/13/00254845/menelanjangi.liberalisme, diakses pada tanggal 21 April 2009 pk 18.00 WIB
http://www.poppysw.staff.ugm.ac.id/file/02-Perspektif%20EPI.pdf, diakses pada tanggal 21 April 2009 pk 18.00 WIB
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/ekonomi-politik-pembangunan, Diakses pada tanggal 20 April 2009 pk 19.00 WIB
http://www.kedai-kebebasan.org/berita/demokrasi/article.php?id=309, Diakses pada tanggal 20 April 2009 pk 19.00 WIB
http://www.kbomaluku.com/content/view/685/45/, Diakses pada tanggal 20 April 2009 pk 19.00 WIB