Jumat, Mei 22, 2009

BERANI BERSUMPAH, TIDAK MAU (lagi) DISEBUT “INDON”

Masih adakah nasionalisme di kalangan anak muda? Masih adakah rasa bangga sebagai anak bangsa Indonesia, dikala negara tetangga "memandang rendah" dengan menyebut "indon"?
Atau, yang ada anak-anak muda yang sudah tidak peduli itu semua karena lebih tertarik dan terbius gaya hidup yang menggelora, dan apakah karena sikap itu, sudah kehilangan kebanggaan terhadap bangsa sendiri?

Menjadi generasi yang lahir di Indonesia, yang kaya-raya berpadu dalam kebhinekaan, sungguh membanggakan. Hal ini cukup menjadi modal dalam menepis kegamangan menjadi anak muda bertumbuh ditengah keadaan Indonesia yang didera bermacam kemiskinan. Diantaranya, kasus malnutrisi, dimana hal ini bukan hanya terjadi karena ketidakberdayaan membeli bahan pangan yang sehat dan bergizi, tetapi juga kemiskinan pengetahuan tentang "food-combine" yang dibangun dari kearifan lokal. Hal lain, tampak sebuah kondisi dimana para TKW/TKI yang tidak terampil dikirim ke luar negeri, yang mengakibatkan terjadinya kasus penganiayaan dan pelecehan hak asasi manusia. Sebutan "indon" (yang oleh negara tetangga dikonotasikan "budak/hamba") ini menjadi pukulan dan menyiratkan suatu keadaan kontroversial dimana Indonesia sedang ingin membangun sebuah citra bangsa yang bright di kancah internasional.

Sementara, ada sebagian orang muda yang hidup lebih beruntung. Dengan segala kebutuhan yang terpenuhi, seringkali mereka hidup dalam sebuah kenikmatan yang “tanpa batas”. Ibarat memegang remote, mereka telah terkendalikan oleh chanel-chanel yang terhubung oleh shopping, fashion, entertainment dll. Hal inilah yang akan membuat generasi muda tumbuh menjadi manusia dewasa yang terlena dan dininabobokkan dengan kenyamanan. Kenyamanan ini akan membius dan bermuara pada kemiskinan yang lain yakni ketidak-pekaan terhadap apa yang sedang terjadi di sekitar.

Pemikir pascastrukturalis Perancis, Jean Baudrillard, seakan menyentakkan kita ketika menulis Ecstasy of Communication (1987 ), bahwa berkat makna, informasi, dan transparansi, masyarakat kita telah melampaui ambang batas, menuju ecstasy permanen dalam koridor ”Lifestyle Ecstasy”. Di era globalisasi, tak bisa dipungkiri bahwa lifestyle menjadi suatu icon yang merasuk sumsum tulang untuk menyesuaikan diri, mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Produk-produk import yang membanjiri etalase di mall maupun suguhan hiburan hedonik telah menjadi santapan keseharian. Baik bersifat imajinatif maupun realistik telah menjadi komoditas. Gaya hidup telah menjadi ectasy yang melebur dalam kehausan “kenikmatan dan kebahagiaan” bak sebuah magnet yang menyedot seluruh energi dan sendi-sendi kehidupan. Anak-anak muda tidak lagi cinta kepada budaya nasional, bahkan kehilangan kebanggaan terhadap khasanah dan kekayaan budaya negeri sendiri, dan semua itu tergantikan oleh kegandrungan kepada budaya asing. Tidak ada salahnya jika seseorang mengikuti trend, tetapi akan menjadi bumerang terhadap suatu keadaan apabila melupakan lifestyle berbasis Kebangsaan.



Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa ... Indonesia!

Bangga sebagai bangsa Indonesia, adalah bukan sekedar harapan, apabila segera terwujud bentuk ideal sebuah identitas dan kesadaran nasional. Sadar bahwa menjadi generasi yang lahir di Indonesia, yang gemah ripah loh jinawi. Membangun kebanggaan itu, jelas memerlukan penataan pola pikir guna meningkatkan potensi, produktivitas, mental dan kultural. Sebuah ikrar yang dikumandangkan sejak Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, menjadi titik api yang membawa semangat kebangsaan.

Sumpah pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia merupakan bagian integral dari sebuah sistem pembelajaran wawasan kebangsaan. Sebagai implikasi “satu nusa” adalah bagaimana konsep satu nusa masuk dalam pola pikir generasi muda untuk manunggal dengan alam Indonesia, dengan kekayaan alam dan puluhan ribu pulau-pulau. Selanjutnya mengenal kondisi alam yang membentang dari Sabang sampai Merauke dan memperkaya kemampuan untuk menggali, mengelola dan mengkreasikan sumberdaya alamnya, termasuk memelihara lingkungan agar tidak terdegradasi (lagi).

“Satu Bangsa”, implikasi pola pikir yang mewujud adalah bagaimana cara berempati terhadap saudara-saudara sebangsa yang kurang beruntung, yang terkena bencana malnutrisi, bencana alam dan musibah lainnya, terhadap TKI dan TKW yang teraniaya di luar negeri. Bukan hanya dari segi kemalangan turut menjadi bagian mereka, tetapi juga terhadap hal-hal yang membanggakan, misalnya kesuksesan anak-anak asuh Professor Yohanes Surya, mulai dari Septinus George Saa, Mutiara Hitam dari Papua, kemudian Jonathan Pradana Mailoa, dll yang sukses dalam berbagai olimpiade fisika, matematika di kancah dunia.

Seorang anak bangsa seperti Professor Yohanes Surya mampu “menjual” tenaga kerja Indonesia ke pasar dunia dengan cara yang sangat mulia, meskipun disisi lain sebagian orang masih “menjual budak” yang di-abuse di negara lain. Generasi muda perlu mempunyai idola, mentor, pahlawan-pahlawan muda seperti beliau, mengasah kemampuan anak-anak dari seluruh Indonesia dengan program-program semisal menjala bibit-bibit dari suku Badui, Kubu, Sakai,dll dengan suatu impian bahwa nantinya akan mencetak anak bangsa berkualitas dan berdaya saing dengan sasaran tahun 2020 ada peneliti Indonesia meraih hadiah nobel.

Kemudian “satu bahasa”, generasi muda harus tetap berbangga kepada bahasa persatuan bahasa Indonesia, meskipun ada keharusan untuk dapat menguasai bahasa-bahasa internasional semisal Inggris, Mandarin dan lain-lain karena kebutuhan dari dampak era globalisasi. Namun, bahasa Indonesia harus tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri bahwa bahasa ini menjadi bahasa pemersatu yang mencerminkan bangsa yang kokoh. Inilah implikasi sikap nasionalisme!

Semangat nasiolisme yang dicanangkan dalam Sumpah Pemuda 28 oktober 1928 diramu oleh para pendiri bangsa dengan harga diri untuk melawan penindasan kaum kolonialis. Para founding fathers negara ini telah meletakkan dasar-dasar untuk menumbuhkan kecintaan pada nusa, bangsa, dan bahasa yang kemudian melahirkan semangat juang, kerelaan berkorban, untuk kejayaan bangsa Indonesia. Tidak ada kata terlambat bagi generasi muda sekarang ini untuk menetapkan sikap yang kembali kepada semangat tahun 1928 untuk mewujudkan Indonesia kembali dihormati dan mendapat tempat penting dalam politik dan ekonomi dunia. Kalau para pendiri bangsa dahulu mampu mempersatukan kemajemukan dan membangun bangsa yang mandiri, lepas dari penjajahan, maka saat inipun generasi muda harus mampu mempersatukan kemajemukan untuk membangun kembali Indonesia. Kalau dahulu bisa lepas dari kolonialisme, maka sekarang dalam koridor kemajemukan akan dapat melepaskan diri dari jerat penjajahan “kemiskinan” akhlak, pengetahuan maupun martabat, dan kemiskinan secara ekonomi. Tantangan bagi pemuda Indonesia saat ini adalah membangun identitas dan kesadaran nasional untuk menjadi pemuda yang mencerahkan bangsa dan tanah airnya agar dapat diperhitungkan di kancah internasional, dan berani bersumpah untuk tidak mau lagi disebut indon!

Gracia Paramitha
Puteri Lingkungan Hidup 2002
Sekretaris Hima Jur. Hub. Internasional FISIP UNAIR
Email: paramithagracia@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar