Selasa, Maret 30, 2010

KEAMANAN: SINERGI KONTEMPORER ANTARA LINGKUNGAN DAN MANUSIA

JURNAL THI XII, 10 Juni 2009

KEAMANAN: SINERGI KONTEMPORER ANTARA LINGKUNGAN DAN MANUSIA
Gracia Paramitha, 070710415

Konsep keamanan yang ada saat ini tidak lagi menjelaskan konsep tradisional, tapi lebih kontemporer dan kompleks. Keamanan yang dulunya bersifat militerisme, telah mendapat perluasan makna menjadi keamanan manusia (human security) dan keamanan lingkungan (environmental security). Keterkaitan manusia dengan lingkungan sangat penting dalam menciptakan keamanan dan perdamaian dunia. Tentunya, kedua elemen tersebut harus dapat dimasukkan ke dalam pembuat kebijakan dan kekuasaan antar negara yang biasa disebut green politics. Politik hijau muncul dan berkembang dalam teori hubungan internasional tidak hanya menjadi ‘pajangan’ belaka, tetapi juga harus dimaksimalkan potensinya, mengingat bahwa krisis global yang terjadi saat ini berdampak buruk bagi ketahanan lingkungan. Pertanyaan besar yang menjadi acuan essay ini adalah sejauh mana isu keamanan lingkungan dan manusia ini berkembang di dalam studi hubungan internasional? Bagaimana sistem internasional mempengaruhi politik lingkungan di setiap negara? Mengapa keamanan lingkungan bersinergi dengan ketahanan lingkungan hidup?

Konsep Human Security dan Perkembangannya
Pasca perang dingin, human security lahir dalam perluasan konsep dari kemanan militer, diperkuat oleh gelombang globalisasi yang melahirkan arus balik karena beberapa efek negatifnya terhadap negara-negara lemah, kelompok, dan individu tertentu. Upaya memperjuangkan human security merupakan reaksi terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang melanda dunia saat ini, mulai dari pengungsi akibat konflik dan kekerasan fisik, penjualan anak-anak dan wanita, masalah pangan, terorisme, perdagangan senjata ilegal, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya. Tokoh-tokoh yang telah mempopulerkan konsep tersebut adalah Caroline Thomas, Sorensen, J.T. Matthew, Norman Myers, Neville Brown.
Namun, gagasan mengenai human security sebenarnya membangkitkan kembali definisi keamanan dan bagaimana cara mendapatkan keamanan itu. Tiga kontroversi yang masih diperdebatkan dala konsep keamanan manusia ialah : human security merupakan gagasan negara Barat dalam bungkus yang baru untuk menyebarkan kembali nilai HAM mereka; human security bukanlah hal baru melainkan konsep yang secara luas mencakup isu nonmiliter; definisi dan upaya mencapai human security tiap negara berbeda karena disparitas sudut pandang dan pengalaman. (Edy Prasetyono : 2003)
Menurut UNDP, definisi human security ialah : “first, safety from such chronic threats such as hunger, disease, and repression. And, second, ...protection from sudden and hurtful disruptions in the patterns of daily life --- whether in homes, in jobs or in communities”. (United Nations Development Programme 1994: Human Development Report) Dengan kata lain, konsep yang mencakup “freedom from fear and freedom from want” ini menandai pergeseran hubungan internasional: perubahan norma tentang hubungan antara kedaulatan negara dan hak azasi manusia yang kemudian melahirkan konsep Responsibility to Protect. Sementara itu, Kanada mengkritik konsep human security UNDP yang mengabaikan “human insecurity resulting from violent conflict”. Kanada menganggap bahwa keamanan manusia secara doktrinal harus berdasarkan pada Piagam PBB, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, dan Konvensi Jenewa.
Terlepas dari perdebatan tersebut, hal yang harus ditekankan dalam konsep human security ialah aspek politik dan operasional yang biasa disebut dengan degree of human agency dan control. Arti dari human agency and control yaitu pencegahan aksi kekerasan yang mungkin dilakukan oleh berbagai aktor terhadap manusia, mungkin negara, kelompok, individu-individu, dan sebagainya. Implementasi dari konsep human security sudah dilakukan ketika kasus Gerakan Aceh Merdeka terjadi. Pentingnya penerapan human security dan peace building dalam kasus Aceh dilatarbelakangi oleh : respon pemerintah menggunakan kekuatan militer berlebihan dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) terhadap gerakan milisi di Aceh telah terbukti gagal dalam menyelesaikan konflik dan perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM); pengiriman kekuatan militer yang berlebihan dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) tersebut telah menyebabkan timbulnya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pihak militer terhadap masyarakat Aceh.
Semangat Politik Hijau dalam Menjaga Stabilitas Environmental Security
Sejarah yang menjelaskan tentang lingkungan hidup sebenarnya telah diwariskan sejak abad 12. Hal ini dibuktikkan dengan kasus penebangan kayu hutan Babilonia, Yunani, dan Italia ketika peradaban manusia baru berkembang serta adanya konservasi minyak di Mediterania dan peradaban Cina. (Hughes: 1975) Filsuf yang berkontribusi terhadap konsep-konsep lingkungan hidup bernama Rosseau dari Prancis dan Henry David Thoreau dari Amerika. Mereka mulai menggencarkan aspek lingkungan hidup pada masa pencerahan, yang pada akhirnya memunculkan istilah green politics.
Green politics sendiri bermakna ideologi politis, yang sangat kental dengan nuansa ekologis, kelestarian lingkungan hidup, dan demokrasi partisipatoris. Konsep green politics mulai dibangun dalam bentuk gerakan konservatif sejak lahrinya Sierra Club di San Fransisco, tahun 1892. Klub tersebut menitikberatkan pada upaya-upaya konservasi dan preservasi alam. Politik lingkungan juga tak terlepas dari gerakan environementalis dari Jerman, ditandai dengan berdirinya German Green Party (GGP) tahun 1980. Sebagai partai yang sangat atraktif pada masa itu, GGP yang bersimbol bunga matahari di benderanya memiliki 4 pilar prinsipil, yakni: Ecological wisdom, Social justice, Grassroots democracy, Nonviolence. (John Willey : 1995)
Kemunculan rezim lingkungan internasional ditandai oleh pelaksanaan Stockholm Conference pada tahun 1972. Dua puluh tahun kemudian isu lingkungan hidup kembali dengan adanya konferensi di Rio de Janeiro tahun 1992, membahas tentang kemerosotan lingkungan hidup karena pembangunan yang tidak berkelanjutan. Hasil keputusan sidang tersebut bernama ‘Agenda 21’, menghasilkan kesepakatan berupa rencana tindak kegiatan yang disepakati dunia untuk memecahkan lingkungan dan pembangunan. Sejak saat itu pula, konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) berkembang secara pesat, di Indonesia sendiri dipopulerkan oleh Prof. Emil Salim.
Pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi. (Emil Salim : 2003)
Pendekatan green politics terdiri dari dua bagian utama, yakni : ecocentrism dan anthropocentrism. Ekosentrisme dikemukakan oleh Aldo Leopold, berfokus pada komunitas biotik sebagai satu keseluruhan biosfer dan stabilitas komposisi ekologis. Land ethic dan good environmental management telah menjadi kunci utama dalam pandangan filosofis ini. (Leopold : 1949) Ekosentrisme juga sering disebut life-centered, atau deep ecology system. Sedangkan antroposentrisme dikemukakan oleh Arn Naess, yang berfokus pada kewajiban moral manusia untuk menghargai alam karena didasarkan atas kewajiban untuk menghargai sesama sebagai manusia. (Naess:1984) Konsep antroposentris juga biasa disebut dengan human-centered. Dua perspektif tersebut termasuk dalam teori etika lingkungan hidup, yang diartikan sebagai sebuah usaha untuk membangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip-prinsip moral yang dapat dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem alam dan lingkungan sekitarnya. (Taylor: 1999)
Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi isu utama bagi kelestarian lingkungan hidup. Dampak yang terjadi pun meluas sampai ke permasalahan krisis energi, krisis pangan, tentunya juga degradasi lingkungan. Sejak dicanangkannya Protokol Kyoto tahun 1997, Amerika Serikat termasuk negara penentang dan tidak meratifikasi kesepakatan tersebut. AS merasa dirugikan dengan adanya usulan mereduksi emisi karbon dioksida sebesar 30%-50%, perusahaan domestik pun akan bangkrut. Sebaliknya, AS menuduh negara berkembang yang tidak memiliki manajemen sampah yang baik, sehingga menghasilkan gas metana (gas paling berbahaya bagi kerusakan ozon, di atas C02). Titik penyebab utama permasalahan tersebut adalah dominasi penggunaan perspektif antroposentrisme dalam melestarikan lingkungan hidup. Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan United Nations Framework on Climate Change Conference 2007 telah menganjurkan adanya preferensi ekosentrisme sebagai strategi kebijakan nasional setiap negara. Implementasi green politics dalam menstabilkan environmental security tidak harus dari kalangan birokrat, tetapi semua lapisan bertanggung jawab atasnya. Sebagai generasi muda, sudah sepatutnya melestarikan lingkungan hidup dimulai sejak dini dan dari lingkup paling kecil (keluarga).
Lingkungan hidup memang menjadi isu area utama ketiga setelah keamanan internasional dan ekonomi global. (Porter dan Brown : 1996) Meskipun cenderung bersifat low political issues, lingkungan hidup dan intervensi humanisme mampu membawa pengaruh besar bagi sistem hubungan internasional. Pembuat kebijakan dan pengambil keputusan senantiasa memprioritaskan unsur sosial humanis dan keamanan bersama (collective security) di atas kepentingan yang hanya bersifat power politics. Salah satu cara paling sederhana untuk menjaga kelestarian lingkungna hidup ialah sosialisasi penghematan energi dan penerapan hemat listrik dan air di rumah, membuang sampah di tempatnya, dan melakukan penghijauan satu jiwa satu pohon (minimal). Keamanan internasional telah mengkorelasi aspek humanisme (manusia) dan ekologis (lingkungan) secara komprehensifdan sinergis. Semakin intensif kebijakan tersebut berlaku di sektor domestik, semakin cepat perdamaian keberlanjutan tercapai.

REFERENSI :

Buku

Banyu, Anak Agung Perwita dan Yanyan Mochamad Yani. Pengantar Ilmu HubunganInternasional. 2006. Bandung : PT Remaja ROSDAKARYA. hal 144
Jackson, Robert dan Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. 2005. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. hal 322-328
Mc Cormick, John. The Global Environmental Movement. 1995. London
Salim, Emil. “Membangun Paradigma Pembangunan” dalam makalah Peluncuran Buku dan
Forum Diskusi Mengenai Hasil-Hasil dan Tindak Lanjut KTT Pembangunan Berkelanjutan. 2003. Jakarta
Taylor, Paul W. Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics. 1998 New Jersey : Princenton Press University:, page. 13

Internet

www.propatria.or.id/download/Paper%20Diskusi/human_security_ep.pdf , diakses tanggal 9 Juni 2009 www.thebreakthrough.org/images/Death_of_Environmentalism.pdf, diakses tanggal 9 Juni 2009
www.runet.edu/~wkovarik/envhist/ Diakses tanggal 9 Juni 2009
www.demosindonesia.org/pdf/Sasgart_Green%20Politics%20dan%20Gerakan%20Demokrasi.pdf, diakses tanggal 9 Juni 2009
www.humansecurityreport.info/HSR2005_PDF/What_is_HS.pdf, diakses tanggal 9 Juni 2009
www.akaldankehendak.com/?p=59, diakses tanggal 9 Juni 2009

GERAK-GERIK FEMINISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL

Jurnal THI XI, 3 Juni 2009

GERAK-GERIK FEMINISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL

Gracia Paramitha, 070710415

Wanita merupakan mahkota terindah di dalam sebuah kehidupan. Ungkapan tersebut melekat dengan prinsip-prinsip yang tertera dalam feminisme. Berbicara mengenai feminisme Indonesia, tak lupa oleh kiprah R.A. Kartini yang berjuang kuat untuk memajukan emansipasi wanita. Tak mengherankan bila momen Kartini diabadikan dan dikenang setiap tanggal 21 April. Di era globalisasi seperti ini, peran dan kontribusi wanita mulai diperhitungkan secara intensif. Tanggal 12 Februari 2003 bisa jadi merupakan salah satu tonggak bersejarah bagi perkembangan feminisme di Indonesia, karena Sidang Paripurna DPR berhasil mengesahkan RUU Pemilu terkait kuota 30% bagi perempuan dalam Dewan Perwakilan tingkat II hingga pada tingkat pusat.(al-Wa’ie,1-30/04/2003) Dengan adanya tindakan semacam ini, feminisme telah menjadi wadah emansipatoris dan mampu menunjukkan sentuhan pluralitas baru di dalam studi hubungan internasional. Tentunya, feminisme memiliki harapan terbaik bagi perdamaian dunia, yang dapat diterapkan melalui berbagai kerjasama. Seperti apa perkembangan teori feminisme dalam studi hubungan internasional? Mengapa feminisme mampu menjadi ‘sensor motorik’ bagi perkembangan negara dalam dunia internasional?

Overview Feminisme
Kajian feminisme terkandung dalam filsafat humaniora dan mencerminkan sifat dasar seorang wanita. Lahirnya gerakan feminisme berawal dari era Pencerahan yang dicetus oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan perempuan dalam forum ilmiah pertama kali diadakan di Middleburg, kota selatan Belanda, pada tahun 1785. menjelang abad 19, mulai banyak kaum hawa Eropa yang memperjuangkan hak-haknya dalam berbagai bidang, yang memegang prinsip visioner : universal sisterhood.
Gerakan feminisme dipelopori oleh aktivis sosial utopis yang bernama Charles Fourier pada tahun 1837. Tak hanya orang Eropa, feminisme dipublikasikan dengan pesat di Amerika karena hasil pemikiran konstruktif John Stuart Mill dalam tulisannya Subject of Women (1869). Feminisme sendiri didefinisikan sebagai gerakan emansipatoris dari kaum wanita yang berusaha memperjuangkan keadilan HAM, baik dalam berpolitik, melakukan kegiatan ekonomi, maupun berprofesi di bidang pertahanan dan keamanan. Derajat dan martabat wanita setidaknya mendapat kedudukan yang sama, termasuk menjadi seorang pemimpin dalam sebuah komunitas kelompok.(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0407/24/pustaka/1165409.htm, diakses tanggal 2 Juni 2009) Wanita mampu menjadi subyek terhadap aspek kehidupan yang dikerjakan, bukan sebagai obyek statis belaka.
Feminisme mulai masuk dalam ranah hubungan internasional sejak tahun 1900an, dalam beberapa pertemuan atau konferensi di Amerika Serikat dan Inggris. Pada tahun 1988, sebuah makalah dipublikasikan oleh London School of Economics yang berjudul Gender and International Relations. Tulisan tersebut diedit oleh Rebecca Grant dan Kathleen Newland, tokoh revolusioner yang membawa studi feminisme ke dalam kerangka teoritik hubungan internasional.(J. Ann Ticker, 2002 : 277) Rebecca Grant menyatakan pula bahwa teori feminis mulai masuk dalam studi hubungan internasional pada abad 20, sejak akhir Perang Dunia I dan berhasilnya gerakan wanita dalam memberikan suara melalui hak pilih Pemilihan Umum di AS dan Inggris. (Goal utama yang dicapai kaum feminis berkaitan erat dengan tatanan sosial, yang sensitif terhadap diskriminasi, penindasan, dan ketidaksetaraan gender secara represif. Sebagai salah satu pendekatan mutakhir di hubungan internasional, teoritisi feminisme memprioritaskan studi gender yang selama ini bersifat marginal. Hierarkhi wanita dan dan ‘negara bergender’dalam feminisme saat ini benar-benar mendapat pengakuan proporsional dalam politik dunia.
Asumsi yang mendasari feminisme ialah adanya perlakuan diskriminatif dan marginalitas kaum wanita dalam menentukan langkah hidupnya. Bahkan, hak asasi wanita tidak sebanding dengan lelaki, kaum lelaki seringkali mendapat posisi tertinggi dan diunggulkan dalam setiap bidang. Dengan adanya teori feminisme di dalam studi hubungan internasional, kedudukan komparatif gender dapat berjalan dinamis dalam heterogenitas aspek seperti : perbandingan kelas atau strata, kelas, etnis, nasionalisme, seksualitas, dan menyatu dengan struktur global. (J.Ann Ticker, 2002 : 278)

Gerakan Emansipatoris Feminisme : Kerangka Politis?
Ketika teori feminisme memasuki ranah hubungan internasional, konsep emansipatoris pun mewakili kiprah dan gerakan kritisnya tentang politik dunia. Bila kaum realisme selalu menjunjung tinggi konsep negara dan “lelaki”, feminisme justru melepas belenggu formal tersebut dengan bersikap skeptis dan menunjukkan kontribusi wanita dalam membahas politik. Tindakan nyata dalam mengimplementasikan gerakan feminisme ialah demonstrasi progresif dari kaum wanita Eropa dan Amerika untuk mendapat hak suara dalam lembaga pemerintah, perjuangan R. A. Kartini hingga terpilihnya Presiden Megawati sebagai presiden wanita pertama di Indonesia. (http://id.shvoong.com/social-sciences/1697021-sejarah-dan-emansipasi-politik/ - 66k -, diakses tanggal 2 Juni 2009)
Selama ini, kerangka konseptual feminisme sulit mendapat pengakuan pantas dalam studi hubungan internasional karena adanya sistem patriarki yang mutlak diunggulkan. Kekuasaan, kedaulatan, otonomi, keamanan, dan anarki yang selalu ditujukan pada peran statemen belum cukup berhasil menciptakan stabilitas sistem internasional. R. B. Walker menyarankan bahwa teori hubungan internasional harus menjadi praktik politik konstituif, sistem internasional mampu bertransformasi menjadi masyarakat internasional yang lebih mengutamakan keadilan, legitimasi, kebebasan, dan komunitas. (Scoot Burchill, 2001)
Akan tetapi, yang menjadi kendala setelah feminisme mendapat ruang gerak dalam hubungan internasional adalah adanay kepentingan politis untuk ’memaksakan’ kehendak dalam menyetujui posisi efektif feminisme. Apakah teori feminisme dihasilkan dari kerangka politis para elite politik? Jika memang feminisme bergerak secara emansipatif, bagaimana langkah pemerintah sebuah negara dalam menentukan presentase gender dan membendung kepentingan politis statemen untuk meraih kekuasaan?

Feminisme : Pluralitas Aktor Hubungan Internasional
Gerakan pluralisme menjadi landasan krusial bagi studi internasional. Ketika realisme mengutamakan negara sebagai aktor utama hubungan internasional, pluralis bersikap skeptis dan menentang opini realis. Smith (dalam Vogler, 1996: 10) pun berpendapat bahwa pluralisme mengandung pengertian tentang pluralnya isu dalam lingkup hubungan internasional dimana para aktornya pun tidak hanya didominasi oleh negara yang bertujuan memperbesar kekuasaan mereka an sich. Dengan adanya teori feminisme, aktor yang berperan dalam hubungan internasional menjadi lebih variatif dan plural. Aktor tersebut tidak diukur berdasarkan negara dan non-negara saja, tetapi juga mempertimbangkan unsur gender dalam menentukan sikap politiknya. Apakah pria dan wanita mendapat pengakuan, kontribusi, dan apresiasi yang adil dalam membuat kebijakan? Sejauh mana peran mereka sebagai pengambil keputusan negara?

Pesona Gender dalam Membangun Perdamaian
Secara metodologis, paham feminisme ini menciptakan perdebatan tersendiri antara feminisme radikal, feminisme postmodernisme, feminisme sosial, dan jenis feminisme lainnya. Isu utama yang sangat kontradiktif dibahas adalah peran feminis dalam menjaga stabilitas perdamaian dan membentuk kerjasama yang sinergis antar negara. Terlepas dari perdebatan mereka, perdamaian dan kooperasi memang menjadi landasan darsar dalam memahami sistem anarki interansional yang didiidentikkan sebagai peperangan.
Dalam segi perdamaian, gerakan feminisme nyata terwujud dari salah satu gerakan wanita Amerika yang bernama Women’s Strike for Peace di awal 1960 . Gerakan ini memberikan perhatian pada saat peperangan ideologi AS berbenturan dengan ideologi komunisme Uni Soviet. Peran keibuan dari naluri seorang wanita diharapkan mampu memperkuat politik pembendungan senjata nuklir, yang seharusnya menuju stabilitas kooperatif dan integrasi sistem internasional. (J. Ann Ticker, 2002 : 285)
Sedangkan di dalam bentuk kooperasi, kontribusi feminisme dapat diimplementasikan ke dalam tindakan negosiasi atau diplomasi. Secara epistemologis, tindakan tersebut merupakan sikap utama kaum feminis dalam mendukung pandangan liberalisme yang berkaitan dengan kebebasan dan keadilan. Wanita yang secara biologis memiliki esensi psikologis dan emosi lebih dominan daripada lelaki justru mampu menumbuhkan politik etis dan moral yang baik bagi hubungan internasional yang berkelanjutan. Namun, yang perlu diwaspadai ialah intuisi emosional yang melebihi kepentingan nasional dalam bernegosiasi. . Ketika emosi substantif menjadi nilai strategis, motivasi dan kepercayaan sangat mempengaruhi tatanan kerjasama yang terbentuk. Nilai sosial humanis dan psikologis tak dapat terhidar dari strategi kebijakan kooperatif suatu negara. Contohnya saja : kebijakan Corazon Aquino di Filipina yang menjunjung tinggi etika moral dan falsafah feminisme dalam menciptakan hubungan diplomatik secara bilateral, multilateral serta regionalisme ASEAN. (Presentasi Asia Tenggara tentang Filipina, tanggal 30 April 2009)

REFERENSI :

Buku

1. Scott Burchill.2001. Theories of International Relations : Feminism. New York : Palgrave
2. Ticker, Aann.2002. Feminist Perspective on International Relations. London : SAGE Publications

Internet
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0407/24/pustaka/1165409.htm - 56k - , diakses tanggal 2 Juni 2009
http://id.shvoong.com/social-sciences/1697021-sejarah-dan-emansipasi-politik/ - 66k -, diakses tanggal 2 Juni 2009
http://www.ccde.or.id/index.php/bingaki-perempuan/53-perjuangan-emansipasi-perempuan-dalam-politik, diakses tanggal 2 Juni 2009

POSMODERNISME

JURNAL THI X, 27 Mei 2009

P . S . O. E. N. S. E.
O . M . D . R . I . M . (Posmodernisme)
Gracia Paramitha, 070710415

Sadar atau tidak sadar, judul yang tertera di atas mencerminkan arti konkrit dari posmodernisme itu sendiri. Pada umumnya, posmodernisme tidak mengikuti aturan atau kaidah konvensional yang cenderung bersifat baku atau tradisional. Ketika belajar tentang posmodernisme, pasti tak lepas dari beberapa istilah unik, seperti : genealogi, dekonstruksi, tekstual, dsb. Sebagai salah satu turunan atau keterkaitan dengan teori kritis, posmodernisme memberikan nuansa baru dalam mengkaji suatu fenomena dunia. Secara kontekstual, istilah pos yang terlekat dalam posmodernisme menggambarkan adanya penjabaran dan pembedahan dekonstruktif dari apa yang selama ini diyakini banyak orang (common sense). Jika modernisme cenderung mengakui keberadaan manusia secara menyeluruh (baik dari pengetahuan maupun nonakademis), era posmodern justru menkritisi secara tajam pemikiran manusia yang selama ini diyakini kebenarannya (adanya kebenaran relatif). Untuk mengetahui posmodernisme lebih lanjut, ada 6 poin yang akan dijelaskan secara komprehensif, yaitu : gambaran sungkat posmodernisme, genealogi neorealisme, dekonstruksi diplomasi, inter-tekstual hubungan internasional, posmodernisme sebagai anti positivisme, dan landasan ontologis posmodernisme.

Overview Posmodernisme
Posmodernisme terlahir dari beberapa teoritisi sosial yang sebenarnya masih berhubungan dekat dengan teori-teori kritis. Jika teori kritis mendapat sumbangsih dari kelompok filsuf Jerman yang bernama Frankfurt, posmodernisme banyak bersumber dari filsuf Perancis pasca perang yan gmenentang eksistensialisme yang dominan. Beberapa tokoh terkenal yang mempopulerkan posmodernisme adalah Michel Foucault (1926- 1984), Jacques Derrida (1930), Jean-Francois Lyotard, dan Jean Baudrillard. Sebelum menjelaskan posmodernisme, berikut perbedaan mendasar mengenai modern dan posmodern :
Contrast of Modern and Postmodern Thinking
Modern Postmodern
Reasoning From foundation upwards Multiple factors of multiple levels of reasoning. Web-oriented.
Science Universal Optimism Realism of Limitations
Part/Whole Parts comprise the whole The whole is more than the parts
God Acts by violating "natural" laws" or by "immanence" in everything that is Top-Down causation
Language Referential Meaning in social context through usage
Posmodernisme mulai masuk ke dalam kajian studi hubungan internasional pada tahun 1980. Teoritisi posmodern terkemuka di HI bernama Richard Ashley dan Robert B.J Walker. Upaya yang dilaikuakan oleh kaum posmodernis ialah : membuat ilmuwan sadar atas penjara konseptualnya (penjara konseptual bersumber dari modernitas itu sendiri, yang berusaha membawa kemajuan dan kehidupan lebih baik), membuang keraguan dalam kepercayaan modern bahwa ada pengetahuan obyektif atas fenomena sosial. Posmodern juga dijelaskan sebagai ‘ketidakpercayaan menuju metanaratif’. Metanaratif berarti pemikiran seperti neorealisme atau neoliberalisme yang menyatakan telah menemukan kebenaran tentang dunia sosial.
Genealogi Neorealisme
Genealogi adalah cara berpikir historis yang menekankan signifikansi hubungan antara ‘power’ dan pengetahuan. Seperti yang dijelaskan oleh Roland Beiker (2000 :25) « genealogi berfokus pada proses yang telah dikonstruksi dari awal dan merepresentasikan keadaan masa lalu, yang secara berkelanjutan menjadi pedoman hidup sehari-hari, dan memberi batasan jelas terhadap pilihan politis dan sosial ». Genealogi dikemukakan oleh Foucalut dalam perkuliahan « College de France « tahun 1975 yang berjudul ’Society Must Be Defended’. Foucault menganalisis relasi kekuasaan dalam sebuah negara, yang otomatis bersumber dari paham dan kajian realisme. Foucault (1987 :236) menyatakan bahwa tujuan genealogi « systemic dissociation of identity ». Dua dimensi yang digunakan dalam mencapai tujuan tersebut, yaitu : tingkat ontologis  untuk menghindari penyebab substitusi terhadap akibat (metalepsis) dan tujuan etika-politis dalam men’dilematis’asikan masalah pembentukan identitas negara (secara natural atau buatan). Genealogi yang ditujukan pada neorealisme ialah bias kaum strukturalis secara teoritis. Struktur anarkis sistem internasional menghadapkan aktor-aktor individual sebagai realitas material yang given, tidak dapat dirubah, hanya adaptasi pilihannya.
Dekonstruksi diplomasi
Secara etimologis, definisi mengenai dekonstruksi tidak jauh berbeda dengan genealogi, yang sama-sama menjadi pisau bedah dalam mengkritisi sebuah fenomena yang dibenarkan secara umum. Namun, retorika dekonstruksi lebih mendalam dan menitikberatkan pada kata tanya »mengapa ». Dekonstruksi merupakan konsep umum yang secara radikal mengandung oposisi biner. Jacques Derrida mengatakan bahwa oposisi konseptual tidak pernah netral, namun lebih bersifat hierarkhis. Dekonstruksi juga menekankan konsep konstitusi dan dekonstitusi dari setiap totalitas (keseluruhan sistem) terlepas dari bentuknya teks, teori, diskursus, struktur, ataupun institusi. Berbicara tentang diplomasi, seringkali terkonstruksi bahwa pertemuan dan hubungan diplomatik diidentikkan dengan formalitas kaum elit (statemen), yang secara teknis berjas rapi, membentuk suatu forum yang resmi, dan berbicara secara baku. Hal konvensional inilah yang didekontruksi oleh kaum posmodernis. Mereka yakin ada oposisi tersembunyi di balik elemen formal diplomasi, yang sebenarnya tidak terpaku pada aktor-aktor negara. Mengapa diplomat berdiplomasi dan bernegosiasi dengan pakain rapi, duduk di meja-kursi tinggi, berkomunikasi secara baku dan kaku ?
Inter tekstual dalam studi hubungan internasional
Membahas mengenai tekstual, Der Derian (1989 :6) mengemukakan bahwa posmodernisme mengekpos ‘textual interplay behind power politics’. Tekstualitas ialah konsep khas dalam posmodernisme. Di dalam buku Of Grammatology (1974), Derrida meredefinisi teks yang sebenarnya berimplikasi pada keadaan dunia. Dia bahkan yakin akan keberadaan dunia nyata sebagai teks, mencantumkan pengalaman interpretatif. Tekstual ‘interplay’ dianggap sebagai pelengkap dan relasi konstitutif yang secara timbal balik menimbulkan adanya interaksi antar perbedaan interpretasi di dunia. Untuk mengujinya, digunakanlah strategi dekonstruktif dan pembacaan ganda. Tekstual yang berinteraksi secara dinamis mampu menghasilkan inter-tekstual di mana kajian hubungan internasional lebih dipandang sebagai studi multi perspektif. Semakin variatif pendekatan yang dipakai, semakin kompleks pula analisis yang dikontribusikan ke dalam diskursus hubungan internasional. Walaupun bersifat alternatif, teori posmodern perlu dipertimbangkan sebagai analisis kritis dan emansipatoris dalam menanggapi isu yang dihasilkan dari teori tradisional tersebut. Contohnya saja, pandangan inter subyektif dari setiap manusia tentang pemanasan global. Pada umumnya, komunitas internasional percaya bahwa fenomena pemansan global merupakan dampak keserakahan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya yang ada. Padahal, justifikasi tersebut belum pasti mutlak secara alamiah, posmodernis menganggap bahwa dampak pemanasan global diciptakan dari maksud-maksud terselubung dari ‘propaganda’ kaum elite politik.
Anti positivisme
Sesuatu yang berkaitan dengan ‘anti’, berarti mennunjukkan adanya antitesis terhadap prefiks tertentu. Sederhananya, anti memberikan makna tentang adanya perlawanan, penolakan, atau pertentangan terhadap sesuatu. Posmodernisme termasuk kategori anti-positivisme, yang artinya menolak asumsi-asumsi dasar positivis. Positivis selalu menekankan rasionalitas, menunjukkan adanya obyektivitas interpretasi, dan netral atau bebas nilai. Sementara anti-positivis berarti menunjukkan kebalikan dari pemahaman tersebut, yang memiliki postulat nihilisme (menolak nilai kemungkinan dalam pengetahuan). Posmodernisme dapat dikatakan anti-postivistik karena mempunyai pemurunan ego akademis dan pemikiran skeptis terhadap suatu fenomena. Logika yang ada tidak serta merta ditujukan pada suatu kebenaran mutlak yang memang terjadi secara alamiah, tetapi lebih kepada analisis kritis yang membedah preposisi umum.
Ontologi Posmodernisme
Definisi dari ontologi ialah obyek atau sasaran yang ingin dicapai atau dibentuk dari pemikiran teoritisi tertentu. Secara logis, ontologi termasuk dalam kajian metodologis yang nantinya berpengaruh pada epistemologis dan aksiologis. Landasan ontologis ini telah menjadi kekuatan utama dari paham posmodernisme. Adanya pemikiran subyektif dari manusia yang berakhir pada pemahaman inter subyektif mampu mendasari karakteristik utama kaum posmodernis yang memegang prinsip : dekonstruktif, genealogi, anti positivisme, ataupun tekstual. Hal tersebut jelas terkandung dalam ontologi posmodern itu sendiri. Namun, perkembangan posmodernisme tidak berhasil dalam membentuk landasan aksiologis karena sifatnya yang menjurus anti-finalitas (nihilisme). Oleh karena itu, nihilisme juga dipandang sebagai titik kelemahan posmodernisme yang bermakna negativisme bagi dirinya sendiri. Akibat yang ditimbulkan nantinya, posmodernisme dapat menjadi terasing dari dunia sosial dan politik yang semakin bersifat eksklusif.


REFERENSI :

Buku
Devetak, Richard. 2005. Theory of International Relations : Postmodernism. 3rd edition. New York : Plagave Camillan. Pp 163

Lyotard, Jean-Francois. 1984. Metanaratif, hal xxiv

Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005.Pengantar Studi Hubungan Internasional : Posmodernisme.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


Internet

http://www.as.ua.edu/ant/Faculty/murphy/436/pomo.htm, diakses tanggal 26 Mei 2009

http://private.fuller.edu/~clameter/phd/postmodern.html, diakses tanggal 26 Mei 2009

PEMIKIRAN KRITIS “CRITICAL THEORY”

Jurnal IX THI, 20 Mei 2009

PEMIKIRAN KRITIS “CRITICAL THEORY”
Gracia Paramitha, 070710415

Ketika dampak perubahan iklim dialami setiap masyarakat di belahan dunia, maka muncul berbagai respon yang bersifat kontroversial. Sebagian beropini bahwa perubahan iklim murni karena bencana alam, sedangkan lainnya berpendapat bahwa hal tersebut murni kesalahan para manusia dalam mengeksploitasi kekayaan alam. Sebenarnya, secara tidak langsung, hal ini telah memunculkan pemikiran kritis secara sosial yang nantinya berpengaruh terhadap sistem internasional. Dengan berpijak pada kasus tersebut, pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana kerangka berpikir kritis manusia mampu membentuk sebuah teori kritis? Sejauh mana teori kritis sosial ini dapat menjadi perspektif menarik bagi teori hubungan internasional?

Teori Kritis dan Perkembangan Asumsinya dalam Neomarxisme
Sebelum mengacu pada teori kritis hubungan internasional, sudah seharusnya mengetahui sumber utama teori kritis itu sendiri. Secara historis, teori kritis muncul sejak zaman Pencerahan (Enlightmen) yang memunculkan kritik kehidupan manusia mengenai universalisme dan kebebasan. Tokoh kritis tradisional yang terkemuka saat itu adalah Immanuel Kant dengan prinsip filosofisnya ”immanent critique and pure reason’s critique” di mana ia menyatakan bahwa apa yang kita tahu adalah hal paling fundamental dalam teori, sedangkan Hegel dan Marx berasumsi bahwa pengetahuan selalu, tidak mengalami penurunan, dan dikondisikan oleh faktor-faktor sejarah dan konteks material (situated knowledge). Seperti yang tertera dalam tesis 11 Marxis di Feuerbach: ”philosophers have only interpreted the world in various ways, the point is to change it!”.
Awalnya, teori kritis ini berasal dari studi sosial yang berusaha membedakan pengetahuan tradisional dan pengetahuan kritis. Menurut Horkheimer, tradisional mengandung karakteristik : gambaran teori hilang dari obyek analisis (jika dianalogikan dalam ilmu pengetahuan, subyek dan obyek harus terpisah untuk menteorikannya secara tepat); ada dunia eksternal di luar studi, bersifat bebas nilai. Lain halnya dengan karakteristik pengetahuan kritis, yakni : menolak sistem analisis bebas nilai; mengizinkan uji tujuan dan fungsi dari teori tertentu; menempatkan orientasi konteks sosial dalam situasi yang ditentukan; serta mengutamakan aspek emansipatori dalam pengetahuan politisnya (bukan berpijak pada konsolidasi atau legitimasi).
Pada tahun 1937, teori kritis semakin populer dengan hadirnya “Frankfurt School of Thought” yang terdiri dari beberapa teoritisi kritis, antara lain : Max Horkheimer, Theodor Adorno, Walter Benjamin, Herbert Marcuse, dan tokoh yang paling terkenal dalam bidang ini adalah Jurgen Habermas. Habermas mengemukaakn teori kritis sebagai paradigma refleksi diri (self-reflection) sekaligus emansipatori. Dengan berpijak pada Karl Marx, Habermas menuturkan bahwa teori selalu dikondisikan dalam konteks historis dan material secara ontologis. Dengan demikian, pendekatan metodologis yang tercantum dalam teori kritis sebenarnya mencakup perspektif marxisme dan perkembangannya dalam neomarxisme.
Teoritisi HI kritis yang paling populer adalah Robert Cox (1981;1996) dan Andrew Linklater (1990;1996). Mereka dengan tegas menolak tiga postulat dasar positivisme, yaitu : realitas eksternal obyektif, perbedaan subyek/obyek, dan ilmu sosial bebas nilai. Secara karakteristik, teori kritis HI terbagi menjadi dua hal : metodologi positivistik (fakta dan nilai terpisah, hanya dunia obyektif yang eksis secara independen dari kesadaran manusia) dan post-positvistik (dekonstruksi atau genealogi pemikiran individu yang mampu menimbulkan bias pengetahuan.
Bila dikaitkan dengan perkembangan neomarxisme, teori kritis berorientasi pada perubahan progresif dan keinginan idealisme dalam perkembangan ekonomi suatu negara. Teori kritis HI mencari pengetahuan untuk tujuan politis, yaitu : untuk membebaskan kemanusiaan dari struktur politik dan ekonomi dunia yang ”menekan” dan dikendalikan oleh kelas hegemon seperti Amerika Serikat. Mereka berupaya untuk mendobrak dominasi global kelas negara kaya di belahan Utara dunia atas kelas negara miskin yang mayoritas berada di Selatan dunia. Oleh karena itu, tak jarang bila teori kritis sering dikaitkan dengan teori Ekonomi Politik Internasional.
Kritik terhadap Neorealisme
Teoritisi kritis secara terbuka digunakan untuk tujuan politis di mana mereka menganjurkan dan memajukan ideologi progresifnya (cenderung sosialis) atas emansipasi yang yakin bahwa ilmu wan konservatif dan liberal mempertahankan nilai-nilai positif. Dengan kata lain, teoi kritis menunjukkan adanya hubungan antara kehidupan sosial modern (masyarakat internasional) dengan kehidupan politis (kepentingan dan kekuasaan).
Salah satu titik penolakan yang diberikan teori kritis adalah keberadaan dan perkembangan neorealisme. Sebagai pemahaman baru realis, neorealisme memang tidak memutlakkan keberadaan negara sebagai satu-satunya aktor dalam sistem internasional. Namun, permasalahannya menjadi kompleks ketika otoritas politik sepenuhnya ditentukan dari keputusan politik pemerintah (negara). Di dalam buku ”Tranformation of Poltical Community”, Andrew Linklater berusaha meredefinisi batasan politik di mana negara dan komunitas politik lainnya tak terpisahkan dan selalu berubah-ubah (mengikuti arus perubahan yang dinamis). Legitimasi yang didaulat setiap negara pun semakin terancam keberadaannya karena munculnya hegemoni (dominasi) negara yang akhirnya sangat mempengaruhi keamanan dan stabilitas internasional.
Untuk mengurangi pengaruh neorealis yang menjustifikasi adanya sistem dan aktor hegemonis, diperlukan etika komunitas politik yang berada di luar negara. Tiga perubahan yang harus dilakukan adalah :
1. meningkatkan respek terhadap perbedaan kultural
2. mengembangkan komitmen yang lebih baik untuk mengurangi ketidakseimbangan material
3. lebih memfokuskan diri pada perkembangan universalitas internasional
Kontribusi Teori Kritis terhadap Studi Hubungan Internasional
Sebagai teori yang berkaitan erat dengan tradisi hermenetik dan ideokritik, teori kritis mampu menjadi pemikiran alternatif yang berusaha memberikan sentuhan baru pada teori-teori tradisional HI (realisme dan liberalisme). Secara metodologis, teori kritis tidak hanya berfokus pada bagaimana memahami dan mempelajari studi HI, tetapi juga belajar mengenai bagaimana mengkritisi fenomena politik dunia yang semakin kompleks.
Selain itu, teori kritis juga mampu mendekatkan refleksi dari fenomena yang diidentifikasi sebagai politik dunia kontemporer, seperti terorisme, globalisasi, gender, dan kelestarian lingkungan hidup. Seperti halnya kasus perubahan iklim, para teoritisi HI tidak hanya memandang permasalahan ini sebagai keputusan politis negara hegemon yang cenderung meraih keuntungan belaka, tetapi juga melihat struktur pembangunan berkelanjutan yang harus ditanamkan di setiap negara melalui trilogi pembangunan, yakni : sosial, lingkungan, dan ekonomi. Negara maju sering dijadikan penyebab dari pemanasan global yang terjadi, bahkan ada yang menganggap hal tersebut hanya propaganda AS untuk mengingatkan negara lainnya. Terlepas dari propaganda atau tidak, para environmentalis berusaha mengkritisi masalah ini dengan mendekonstruksi bahwa dunia ke-3 pun turut menyebabkan dampak perubahan iklim. Walaupun industri negara berkembang tidak sebaik negara maju, problematika kultural masih melekat dalam kepribadian mereka, seperti misalnya buang sampah sembarangan, ilegal dan legal logging, dsb.
Kontribusi yang diberikan oleh teori kritis tidak selamanya menguntungkan. Ada beberapa kelemahan yang memang harus diperbaiki dan dirubah, di antaranya : teori kritis yang kadangkala disebut sebagai meta-teori bersifat utopis, kurang didekatkan oleh faktor-faktor empiris. Tulisan yang dituangkan oleh teoritisi kritis seringkali susah dimengerti (rumit) dan konsepnya sophisticated. Kajian psikologis dan linguistik yang dimasukkan ke dalam teori kritis sebaiknya tidak mendominasi pemikiran dasar dari teori tersebut. Akibatnya, teori kritis tidak mampu mengambil sikap dalam menentukan relativitas dan netralisasi aksi politis. Penentangan bebas nilai memang diagungkan oleh teori kritis, namun yang menjadi kendala ialah bagaimana keputusan mereka dalam mensubstansikannya dengan kajian riset dan keilmuan? Jika teori HI benar-benar politis, mengapa teori mereka susah dikategorikan sebagai subyek akademik?
REFERENSI :

Buku
Devetak, Richard. 2005. Theory of International Relations : Critical Theory. 3rd edition. New York : Plagave Camillan.
Linklater, Andrew .1998.The Transformation of Political Community ; Ethical Foundation of the Post-Wesphalian Era. Cambridge
Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005.Pengantar Studi Hubungan Internasional : Teori Kritis.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sugandhy, Aca dan Rustam Hakim. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan : Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta : Bumi Aksara. hal 21-22


Internet
www. international%2520relations%2520theory%2520final.pdf, diakses tanggal 19 Mei 2009

FORMULASI KRITIS KONSTRUKTIVISME

Jurnal THI VIII , 13 Mei 2009

FORMULASI KRITIS KONSTRUKTIVISME

Gracia Paramitha, 070710415

Ketika pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi fenomena sensasional di seluruh belahan dunia, maka reaksi yang timbul pun tak kunjung berhenti. Bahkan, AS pun berseru keras dalam mempublikasikan isu pemanasan global. Melalui citra Al Gore, peristiwa ini pun beredar pesat seiring dengan perkembangan globalisasi dan teknologi mutakhir. Tak lama kemudian, Indonesia turut berkontribusi dalam menggalakkan politik lingkungan global. Dengan hadirnya Pak Rahmat Witoelar sebagai President of conference UNFCCC (United Nations Framework on Climate Change Conference), peran aktif Indonesia pun semakin berdampak positif bagi kesejahteraan lingkungan internasional. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana pemikiran konstruktif Indonesia memahami dan menggencarkan tindakan keamanan lingkungan (climate security)? Jika dikaitkan dengan mashab konstruktivisme, bagaimana perkembangan konstruktivisme dan implementasinya terhada kebijakan lingkungan pemerintah Indonesia?

Konstruktivisme dan Perkembangannya
Konstruktivisme merupakan teori alternatif yang turut mewarnai teori hubungan internasional modern. Sejak tahun 1980, kehadiran konstruktivisme dianggap sebagai teori dinamis, tidak semena-mena, dan secara kultural berbasis pada kondisi-kondisi sosial. Uniknya, teori ini berasumsi pada pemikiran dan pengetahuan manusia secara mendasar. Adanya nature and human knowledge dari tiap individu mampu mentrasform fenomena atau realita sosial ke dalam pengetahuan atau ilmu-ilmu sosial.
Tokoh pemikiran konstruktif klasik berasal dari pemikir sosial seperti Hegel, Kant, dan Grotius, yang kental dengan paham idealisme. Sedangkan pasca Perang Dingin, mulai bermunculan para kontruktivis yang cenderung berpikir tentang politik internasional, yakni Karl Deutch, Ernst Haas dan Hedley Bull. Tokoh konstruktivisme lain yang tak kalah hebatnya adalah Friedrich Kratochwill (1989), Nicholas Onuf (1989), dan Alexander Wendt (1992).
Kunci pemikiran konstruktivisme adalah dunia sosial, termasuk hubungan internasional, merupakan suatu konstruksi manusia. Hal ini diperkuat dengan adanya pernyataan konstruktivis bahwa dunia sosial bukanlah sesuatu yang given, bukanlah struktur yang hukumnya diteliti secara ilmiah dan muncul secara alamiah, seperti yang dikemukakan teori positivis melalui interpreatasi naturalistik (indrawi). Dunia sosial merupakan wilayah intersubyektif, di mana masyarakat yang membuat dan memahaminya. Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional, membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau yang diinginkan berdasarkan peraturan, strukturasi dan verstehen dalam speech acts.
Di dalam tulisan Alexander Wendt yang berjudul “Anarchy is what state make of it” dikemukakan bahwa sistem anarki internasional tercipta karena adanya pemaksaan realisme secara konfliktual sekaligus pemaksaan kaum liberalis untuk membuat tindakan kooperatif. Anarki adalah apa yang dibuat negara tersebut. Di sini terlihat bahwa sikap negara merupakan faktor deterministik dalam mewujudkan sistem anarki itu sendiri. Alexander Wendt juga berusaha mengkorelasi teori neorealisme dan neoliberalisme dengan tiga kesepakatan yakni: negara sebagai aktor dominan dalam hubungan internasional, rasionalisme adalah disposisi teoritis yang menjelaskan interaksi negara dalam struktur internasional, dan keamanan dianggap sebagai “self-interested”. Sistem internasional dapat saja dibangun dalam bentuk yang anarkis dan mementingkan diri sendiri, namun konstruktivisme sangat menolak gagasan (neo)realisme jika penyelamatan diri sendiri (selp-help) adalah satu-satunya cara yang harus ditempuh dalam mengakhiri konflik politik internasional.
Pemaparan di atas semakin menunjukkan adanya korelasi dan koherensi antara konstruktivisme dengan hubungan internasional. Sebagai kajian yang strategis dan netral (tidak cenderung berpihak ke neorealis ataupun neoliberalis), konstruktivisme mampu memberikan kajian kompleks dan konstruktif dalam mengembangkan teori utama hubungan internasional layaknya realisme dan liberalisme. Kedua teori tersebut menyatakan sepakat dalam membentuk anarki. Namun, interaksi liberalisme dan realisme hanyalah ide sempit dari rasionalisme, yang kemudian dikembangkan oleh para konstruktivis. Wendt (1992) menyatakan bahwa konstruktivisme lebih dari pembentukan sikap negara terhadap sistem anarki internasional. Anarki justru dampak dari tindakan itu sendiri, tidak ada logika yang mendasari. Oleh karena itu, Wendt menyarankan adanya peran negara sebagai kredo secara psikologis (perilaku) lalu menerapkan kepentingan dan identitas (sumber material negara) secara kolektif yang diakhiri dengan sebuah institusi (struktur dari kepentingan dan identitas), apakah hasilnya kompetitif atau kooperatif.
Satu hal paling krusial dalam memahami konstruktivisme adalah pemikiran para konstruktivis tidak serta merta memposisikan dirinya di tengah keberadaan neoliberalisme dan neorealisme saja, melainkan jauh lebih luas dari itu. Kaum konstruktivis sangat kental dengan nilai-nilai filosofis, yang berusaha menjembatani positivisme dan post-positivisme. Satu sisi kaum konstruktivis sepakat dengan positivis bahwa teori empirisme dapat digunakan dalam menjelaskan hubungan internasional. Sementara di sisi lain, konstruktivis tetap menekankan pentingnya pengetahuan dan pemikiran bersama dalam menganalisis pemahaman subyektif dan menilai aktor terhadap politik dunia. Nilai-nilai relatif semakin terasa ketika pemahaman konstruktivisme tidak hanya dipandang dari perspektif hubungan internasional. Lebih jelasnya lagi, saya akan mengkomparasinya dengan rasionalisme.

Rasionalisme vs Konstruktivisme
Secara historis, rasionalisme memang memiliki langkah lebih awal dibandingkan dengan konstruktivisme. Pemikiran yang dipopulerkan oleh Wight, Bull, Watson, dan Vincent ini muncul sejak tahun 1950, masa perspektif hubungan internasional seperti realisme dan idealisme bersifat overlapping. Rasionalisme memang berperan sebagai jalan penegah dari kedua mashab tersebut. Seperti yang dikemukakan Wight dalam kuliahnya di London School of Economics tahun 1950 : “rationalism was the via media between realism and revolutionism, the latter term for idealist or cosmopolitan modes of thought”.
Teori rasionalisme secara informal dan formal diaplikasikan ke dalam prinsip-prinsip teori rational choice, yang kemudian digunakan oleh para ekonom seperti Alfred Marshall dalam memahami teori mikro-ekonomi. Teori ini juga berpengaruh terhadap proses pembentukan game theory yang arahnya cenderung positivistik. Dalam tulisan Hedley Bull yang berjudul The Anarchical Society ditemukan adanya konsep paradoks dari sistem kedaulatan negara. Pertama, rasionalisme berangkat dari prinsip realisme yang menjelaskan bagaimana negara mengatur kekuasaan dalam konteks anarki. Kedua, rasionalisme menegaskan bahwa order (aturan) internasional tidak harus dibenarkan secara agresif, tetapi lebih mengedepankan bagaimana aturan keamanan internasional dapat ditransformasikan ke dalam moralitas dan keadilan. Dengan kata lain, konteks rasionalisme hanya berlandakan pada interaksi konflik realisme-idealisme yang cenderung menghasilkan obyektivitas dan absolutivisme. Bahkan, penerapan rasionalisme cenderung positivistik, salah satu prinsip yang nantinya menjadi bagian awal terbentuknya konstruktivisme.
Lain halnya dengan konstruktivisme, pemikiran yang lebih baru dari rasionalis ini memiliki tiga teori dasar, yakni:
1. Konstruktivisme adalah metaphysical stance tentang realitas di mana para sarjana berusaha tahu dan merumuskan sebuah ilmu melalui interpretasi yang ilmiah.
2. konstruktivisme merupakan teori sosial  peran pengetahuan dan agen berpengetahuan (berwawasan) dalam konstitusi realitas sosial
3. konstruktivisme juga perspektif hubungan internasional yang empiris dan teoritis  teori HI dan penelitiannya harus berdasarkan pada pondasi ontologis dan epistemologis. Singkatnya, teori konstruktivisme yang terdapat dalam hubungan internasional bersifat metodologis, yang kemudian diperkuat oleh kajian-kajian filsafat.
Sebelumnya saya menjelaskan bahwa rasionalisme masih berupa pemikiran sempit tentang structural state-centric di mana pemikiran positivis menjadi tujuan mereka. Di titik inilah rasionalisme disinggungkan oleh konstruktivisme dalam ranah yang lebih kompleks. Secara kontekstual, kajian rasionalisme dan konstruktivisme berbeda. Hal ini dibuktikkan dengan adanya unsur psikologis, sosilogis, dan politis yang tertera dalam konstruktivisme. Konstruktivisme juga mengkorelasikan interaksi yang terjadi antara paham positivis (realisme, rasionalisme) dengan post-positivis (teori gender / feminisme, humanisme, environmentalist). Secara ruang lingkup, konstruktivisme lebih luas daripada rasionalisme. Kadangkala, rasionalisme dapat menjadi bagian konstruktivisme. Contoh : dilema keamanan bukan hanya didasari pada faktor material seperti senjata nuklir yang berasumsi absolute gains (positivis, rasionalis), melainkan juga berlandaskan pada pengetahuan bersama, praktik, dan persepsi moralis atau sosialis yang mendasar (konstruktivis).
Krtitik terhadap neoliberalisme
Sebagai salah satu elemen dalam konstruktivisme, neoliberalisme masih memiliki kelemahan yang bisa dibilang kritis. Konstruktivis Amerika yang cenderung bersifat positivistik seperti Alexader Wendt melihat kelemahan neoliberalisme dari sudut pandang teori rasional, yakni: identitas dan kepentingan negara dianggap sebuah anugerah (alamiah adanya) karena hanya merubah sikap atau perilaku negara dan tidak disertai perubahan material negara; identitas dan kepentingan tergeneralisasi ke dalam anarki internasional yang alamiah karena struktur dan sistem “self help” negara bersifat mutlak (tidak dapat diubah); secara teoritis hanya terbatas pada pemahaman tentang perubahan agen dan struktur karena tidak mencantumkan transformasi kepentingan dan identitas sebuah negara.
Landasan Aksiologis terhadap Konstruktivisme : Implementasi kebijakan lingkungan Indonesia
Setelah menjelaskan rasionalisme dan konstruktivisme secara komprehensif, kajian tersebut perlu diimplementasikan ke dalam tindakan aksiologis, sesuai dengan pertanyaan awal. Mengenai kebijakan konstruktif pemerintah Indonesia terhadap keamanan lingkungan global, perilaku Indonesia memang menunjukkan adanya kontribusi aktif dalam mengadakan kerjasama internasional melalui UNFCCC. Hal ini didukung dengan program Rencana Aksi Nasional Kementrian Lingkungan Hidup dalam mengatasi perubahan iklim. Sejak tahun 2008, Indonesia juga membuat lembaga independen bernama pusat keamanan iklim, yang didukung sepenuhnya oleh Presiden Susiolo Bambang Yudhoyono. Jika dikaitkan dengan teori konstruktivisme Alexander Wendt, sikap negara Indonesia juga dipengaruhi oleh identitas negara yang memiliki julukan zamrud khatulistiwa dan berperan sebagai salah satu paru-paru dunia. Selain itu, kepentingan nasional Indonesia dalam mencapai pembangunan berkelanjutan secara internasional juga dituangkan saat meratifikasi Protokol Kyoto. Sebagai negara berkembang yang beriklim tropis dan kaya akan sumber daya alam, Indonesia juga sepakat untuk melakukan emission trading bersama negara maju sesuai dengan kesepakatan yang berlaku.
Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah metodologi dinilai sebagi major missing link dalam teori konstruktivisme. Hal ini disebabkan oleh keberadaan konstruktivis yang bersifat dwipolar : tebal (kontruktivis murni/ radikal) dan tipis (konstruktivis yang terpengaruh oleh aliran positivis atau post-positivis). Akibatnya, perdebatan epistemologis dan teoritis dari berbagai aliran konstruktivis sering terjadi. Hadirnya rasionalisme dan konstruktivisme setidaknya mampu memberi rona menarik bagi hubungan internasional. Walaupun kaidah ilmiah rasionalisme tidak begitu kompleks, unsur realisme maupun liberalis tetap mendasari pemikirannya seiring dengan bertumbuhnya konstruktivisme. Yang pasti, kajian konstruktivisme maupun rasionalisme mampu memberikan formulasi kritis bagi teori mainstream hubungan internasional, yaitu : realisme, liberalisme, dan marxisme.


REFERENSI :


Buku

Adler, Emanuel. Construtivism and International Relations, chapter 5. 2002. London : SAGE Publications Ltd. pp 96
Fearon, James dan Alexander Wendt. Rationalism v. Constructivism : A Skeptical View, chapter 3. 2002. London: SAGE Publications Ltd. pp 54
Linklater, Andrew. Theories of International Relations : Rationalism, chapter 4. 1996. New York : St. Martin Press. pp 94
Sorensen, Georg dan Robert Jackson. Pengantar Hubungan Internasional. 2005. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. pp 307
Wendt, Alexander. Constructivism : Is Anarchy what states make of it? 1992. pp 63

Internet

www.oup.com/uk/orc/bin/9780199285433/jackson_chap06.pdf Diakses tanggal 12 Mei 2009
www.menlh.go.id/ wawasan perubahan iklim.html diakses tanggal 12 Mei 2009

MENAKLUKKAN DINAMIKA KONFLIK

Jurnal VII THI, 6 Mei 2009

MENAKLUKKAN DINAMIKA KONFLIK

Gracia Paramitha, 070710415

Ketika konflik Darfur di Sudan mulai memanas, maka muncul satu titik antagonis yang memicu pihak asing (AS vs Cina) untuk mengintervensi kasus tersebut. Lain halnya dengan konfrontasi Malaysia yang dilakukan oleh Soekarno tahun 1965, yang berseru dengan gigih bahwa ganyang Malysia diberlakukan karena negara Malaysia merupakan antek-antek negara kolonialisme. Konflik kelompok kepentingan kekuasaan politik seperti kudeta yang terus menerus terjadi di Thailand, di mana pro dan anti-Thaksin (merah vs kuning) berseteru panas. Hal tersebut merupakan contoh konflik dalam lingkup makro karena telah melibatkan suatu tatanan sosial yang diperankan secara formal oleh negara. Bahkan, konflik yang merambah ke dunia internasional ini sebenarnya berasal dari faktor psikologis individu yang sangat berbenturan terhadap kepentingan-kepentingan umum. Sejauh mana teori konflik berkembang? Seberapa efektifkah pendekatan damai mampu mengatasi dan menjadi solusi aktif bagi perselisihan yang terjadi?

Satu kepastian mutlak yang tidak dapat digangu gugat adalah tidak ada satu teori umum tentang konflik yang dapat diterima oleh ilmuwan sosial dakam beberapa disiplin ilmu. Studi mengenai konflik manusia memerlukan input dari biologi, psikologi, sosiologi, antropologi, sejarah, pengetahuan politik, geografi, ekonomi, komunikasi, teori organisasi, teori pembuatan keputusan dan strategis, teori sistem, sampai teori integrasi. Artinya, pemahaman mengenai teori konflik bersumber secara interdisipliner, setiap cabang ilmu (baik alam maupun sosial) turut andil dalam merumuskan sebuah teori kekerasan dalam konflik. Term dari konflik sendiri biasanya diartikan sebagai kondisi di mana sekelompok individu atau individu yang teridentifikasi berlawanan hubungan dengan pihak lain karena mengejar kepentingan (goal) yang bertentangan. Lewis A Coser (1913), seorang profesor sosiologi di universitas Brandeis mendefinisikan konflik sebagai ”struggle over values and claims to scarce status, power and resources, in which the aims of the opponents are to netralize, injure, or climinate the rivals” Jika dikategorikan ke dalam teori, berarti menunjukkan bahwa fenomena konfliktual yang terjadi dalam suatu kehidupan diabstraksi dan didukung oleh beberapa preposisi yang jelas agar terbentuk suatu konsep teoritis.
Menurut Wallase dan Alison, teori konflik memiliki tiga asumsi utama yang saling berhubungan :
1. Manusia memiliki kepentingan-kepentingan yang asasi dan mereka berusaha untuk merealisasikan kepentingan-kepentingannya itu.
2. “Power” bukanlah sekedar barang langkah dan terbagi secara tidak merata, sebagai merupakan sumber konflik, melainkan juga sebagai sesuatu yang bersifat memaksa (coercive). Sebagian menguasai sumber, sedangkan yang lainnya tidak memperolehnya sama sekali.
3. Ideologi dan nilai-nilai dipandangnya sebagai senjata yang dipergunakan oleh berbagai kelompok yang berbeda untuk meraih tujuan dan kepentingan mereka masing-masing.
Seiring dengan perkembangan teori konflik, ada beberapa preposisi yang patut diperhatikan , yakni:
a. proposisi pertama Proposisi ini secara langsung mengikuti asumsi marx bahwa, “didalam semua struktur sosial, distribusi kekuasaan yang tak merata pasti akan menimbulkan konflik kepentongan antara mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan”.(Tuner, 1978.131). Menurut Marx kesadaran akan konflik kepentingan dapat menyebabkan mereka lemah mulai mempertanyakan keabsahan pola-pola distribusi sumber-sumber yang ada sekarang.
b. proposisi keduaProposisi ini menerangkan dengan jelas tentang adanya kesadaran segmen-segmen yang lebih lemah akan kepentingan-kepentingan kolektif mereka, sehingga semakin besar kemungkinannya mereka mempertanyakan keabsahan distribusi-distribusi yang tidak merata dengan cara terang-terangan terhadap segmen-segmen deminan suatu system.
c. proposisi ketiga  Subordinate semakin sadar dan memulai konflik secara terang-terangan terhadap dominant. Proposisi ini dipecah menjadi tiga anak proposisi sebagai berikut ; (1) subordinat mengorganisir diri dan memulai konflik, (2) subordinat mengorganisir dan mencetuskan konflik, (3) subordinat mengorganisir diri dan memprakarsai konflik.
d. proposisi keempat  Pada proposisi ini segmen-segmen dominan dan segmen-segmen subordinate semakin terpolarisasi. Semakin keras suatu konflik maka akan semakin besar perubahan struktural suatu sistem dan redistribusi sumber-sumber.
Mengenai argumen kekerasan sendiri, salah satu tokoh yang sangat kental akan prinsip-prinsip peace making adalah oleh Johan Galtung. Dalam artikelnya yang berjudul Violence, Peace, Peace Research, Galtung mengatakan bahwa dasar konflik adalah structural violence. Kekerasan yang terstruktur melalui sebuah sistem mampu menimbulkan titik klimaks konflik yang menimbulkan benturan keras antar satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Seperti misalnya pemberontakan yang dilakukan G 30 S PKI pasca kemerdekaan Indonesia. Walaupun saat itu Indonesia telah merdeka, namun partai komunis Indonesia yang berada di bawah pengaruh partai komunis Cina menumbuhkan militansi dari setiap anggota sehingga mampu menghasilkan seorang pemberontak yang kejam, senang akan kekerasan, dan berusaha menguasai otoritas pemerintah di Indonesia. Dengan adanya jaringan, peran dan pengaruh asing, ataupun relasi simbolik (tidak nampak) mampu menimbulkan tindakan kejahatan yang terstruktur/sistematis. Selain itu, Galtung juga mengemukakan teori perdamaian yang dibagi menjadi dua, yaitu : positif peace dan negative peace. Perdamaian positif dapat tercipta apabila terjalin konsensus dan win-win solution sebagai akhir konflik, sedangkan perdamaian negatif lebih membahas absensi konflik. Hal ini tak berbeda jauh dengan teori Ralf Dahrendorf, yang menyatakan bahwa efektifitas pengaturan konflik bergantung pada tiga faktor. Pertama, kedua pihak harus mengakui kenyataan dan situasi konflik yang terjadi. Kedua, kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisasikan secara rapi, tidal tercerai-berai sehingga masing-masing pihak memahami jelas tuntutan pihak lain. Ketiga, kedua pihak menyepakati aturan main yang menjadi landasan dan pegangan dalam hubungan dan interaksi antara mereka.
Sedangkan peace research yang dimaksud adalah cabang dari pemeriksaan humanis yang berusaha mengimprovisasi prospek baik masa kini dan masa depan dalam mendirikan suatu stabilitas damai. Nilai yang terkandung dalam peace research terbagi jadi dua, yakni: peneliti damai yang secara filosofis komit sebuah priori  melihat perdamaian sebagai suatu yang diinginkan dan dapat dicapai, serta peneliti damai yang menjauhkan diri dari empirisme formal dalam tatanan sosial yang konstruktif. Secara intelektual, ada dua pendekatan yang menghapus konflik ke dalam tradisi penelitian damai. Pendekatan pertama menyatakan bahwa ada lingkungan psikologis dan pemikiran subyektif mempengaruhi sebuah permasalahan. Prinsip yang dikenal dengan ”war begins in the minds of men” ini mengkaitkan perbedaan persepsi dan proses psikologis yang terkait dalam satu sistem  struktur kepemimpinan. Sedangkan pendekatan kedua adalah struktur yang terbuat dari lingkungan eksternal. Pandangan ini lebih cenderung menunjukkan lingkungan operasional di mana aktor negara yang termasuk dalam sistem internasional tertekan dengan sebuah keyakinan bersama atas sikap konflik kekerasan. Kedua pendekatan tersebut menyimpulkan sesuatu bahwa kekerasan (violence) hanyalah manifestasi konflik yang ekstrimdan kondisi damai dalam ranah ”self-sustaining” harus terbentuk dari pemahaman konflik itu sendiri.
Jika dikaitkan dengan teori mainstream HI, anarkisme dan marxisme memang menjadi sebuah pendekatan khusus terhadap struktur konflik. Penggunaan kekerasan dalam anarkisme sangat berkaitan erat dengan metode propaganda by the deed, yaitu metode gerakan dengan menggunakan aksi langsung (perbuatan yang nyata) sebagai jalan yang ditempuh, yang berarti juga melegalkan pengrusakan, kekerasan, maupun penyerangan. Selama hal tersebut ditujukan untuk menyerang kapitalisme ataupun negara. Sementara kaum Marxis berargumen bahwa kekerasan berskala besar dapat dibenarkan dan "perang keadilan" adalah sesuatu yang mungkin, setidaknya dalam lingkup terbatas dari pertahanan diri secara kolektif. Misalnya saja dalam melawan sebuah kudeta atau invasi imperialis. Beberapa lainnya (khususnya para Stalinis) berargumen lebih jauh, bahwa tujuan dapat menghalalkan cara, sehingga dalam teorinya, sejumlah apapun kekerasan dan pertumpahan darah akan dapat dibenarkan dalam upayanya untuk menuju komunisme. Dengan perbedaan persepsi yang tertanam dalam perspektif tersebut, maka tak menutup kemungkinan bahwa nilai-nilai ideal dari realisme dan marxisme tetap memiliki harapan utama dalam mencapai perdamaian dunia. Liberal pun sangat sinergis dengan pola-pola perdamaian yang ditunjukkan dalam kooperasi ataupun pembentukan lembaga internasional seperti PBB. Dengan demikian, perdamaian tetap menjadi titik ujung (final) konflik walaupun setiap perspektif memiliki cara pencapaian yang beranekaragam dan bertentangan.
REFERENSI :

1. Barker, John H. Individualism and Community: The State in Marx and Early Anarchism (Individualisme dan Komunitas: Negara dalam pandangan Marx dan Anarkisme Klasik). 1986.New York: Greenwood Press
2. Coser,Lewis A. The Function of Social Conflict. 1956. New York : Free Press. pp 3
3. Dougherty, James dan Robert Platzgraff. The Older Theories of Conflict. Chap 5. 1971. J.B Lippincolt Company. hal 140
4. Galtung, Johan. Violence, Peace, and Peace Research. Journal of Peace Research. 1969. Vol. 6, No. 3, 167-191
5. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. 1992. Jakarta : PT GramediaWidiasarana Indonesia. hal 160
6. Thio, Alex . Sociology A Brief Introduction. 2009. Pearson.
.

STRUKTUR KEBIJAKAN LUAR NEGRI

Gracia Paramitha, 070710415

Ketika Hillary Clinton mengunjungi Indonesia pada tanggal 18-19 Februari 2009, telah menunjukkan bahwa Indonesia memiliki posisi dan peran penting dalam dunia internasional, khususnya menangani krisis politik dan ekonomi global. Kedatangan Hillary yang begitu ramah telah disambut hangat oleh masyarakat Indonesia melalui senyuman manis dan penampilan anak-anak SD tempat Obama bersekolah di Indonesia. Uniknya, Hillary Clinton tak pernah berhenti tersenyum bahagia dan menikmati setiap pertunjukan ataupun hidangan yang disediakan oleh pemerintha Indonesia. Menanggapi fenomena ini, sejauh mana politik luar negri AS mampu menunjukkan integrasi sinergis dengan Indonesia?
Pengertian dasar yang patut disimak dalam pemahaman politik luar negri ”action theory” atau kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan pada negara lain untuk mencapai kepentingan tertentu. Salah satu cara mudah untuk memahami konsep politik luar negri adalah memisahkan unsur politik dan luar negri. Politik adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman dalam bertindak, sedangkan konsep luar negri berkaitan dengan kedaulatan dan ”wilayah” suatu negara terhadap negara lain. Henry Kissinger, seorang akademisi sekaligus praktisi politik luar negri AS mengutarakan bahwa ”foreign policy begins when domestic policy ends”. Dengan kata lain, studi politik luar negri merupakan intersection antara aspek-aspek domestik dan internasional suatu negara. Definisi dari kebijakan (politik) luar negri sendiri terambil dari pemikiran Rosenau yakni upaya negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitas untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternal.
Tujuan dari penbentukan kebijakan luar negri pada dasarnya untuk mencapai perdamaian, keamanan, dan kekuasaan. Untuk lebih jelasnya, K.J Holsti memberikan tiga kriteria untuk mengklasifikasikan tujuan politik luar ngeri, yaitu:
a. nilai (values) yang menjadi tujuan para pembuat keputudan
b. jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan
c. tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada negara lain
Sedangkan konsep mudah dalam menjelaskan hubungan suatu negara dengan situasi di luar negaranya, yaitu : (1) kebijakan luar negri sebagai sekumpulan orientasi (a cluster of orientation). Politik luar negri dijadikan landasan dasar bagi kelangsungan hidup suatu negara. Orientasi ini mencakup sikap, perspesi, nilai yang dijabarkan dari pengalaman sejarah atau keadaan strategis negara. Contoh: UUD 1945 dan Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia; (2) politik luar negri sebagai seperangkat komitmen dan rencana untuk bertindak. Dalam hal ini, kebijakan luar negri berupa rencana dan komitmen konkrit yang dikembangkan oleh para pembuat keputusan untuk menjaa stabilitas lingkungan eksternal; (3) kebijakan luar negri dipandang sebagai bentuk perilaku atau aksi. Pada tingkat ini, kebijakan luar negri lebih bersifat empiris yang disertai dengan langkah-langkah konkrit para pembuat keputusan.
Salah satu model yang terkandung dalam daftar kerangka teoritis Lyod Jensen (1982) ialah model pengambilan keputusan. Model yang dikemukakan oleh Richard C Snyder, HW Bruck dan Burton Sapin ini menggambarkan kerangka yang kompleks dengan meneropong jauh kedalam “kotak hitam” pengambilan kebijakan luar negeri. Salah salah satu keuntungan pendekatan ini yakni membawa dimensi manusia kedalam proses politik luar negeri yang lebih efektif. Peran manusia dalam membuat keputusan politik luar negri bergantung pada faktor kepemimpinan, persepsi, dan sistem kepercayaan para pembuat keputusan. Aktor yang menjalankan tugas dalam pengambilan keputusan itu adalah:
a. individu (idiosyncratic sources)
Berbicara tentang individu, pasti tak terlepas dari unsur psikologis seseorang yang dipengaruhi oleh image, persepsi, dan karakteristik pribadi pembuat keputusan. Tak dapat dipungkiri bahwa karakteristik psikologis dan predeliksi (kegemaran) para pengambil keputusan terhadap ideologi tertentu sangat berpengaruh terhasap hasil politik. Ada kemungkinan besar bahwa asumsi ideo-sinkretik lebih besar pada keputusan-keputusan pragmatis. Ada kalanya sistem politik otoriter lebih mudah dijelaskan oleh variabel ideo-sinkretik ketimbang sistem demokrasi yang kompetitif. Seorang pemimpin diktator lebih mudah direfleksikan ke semua kategori keputusan daripada sifat pribadi pemimpin demokratis yang harus tunduk pada check and balance pemerintah, pers yang bebas, parlemen, opini publik, dan kelompok penekan.
b. kelompok (group)
Sumber keputusan politik luar negri bisa berasal dari kelompok individu-individu, yang erat kaitannya dengan masyarakat. Sumber internal ini mencakup faktor kebudayaan dan sejarah, pembangunan ekonomi, struktur sosial, dan perubahan opini publik. Kebudayaan dan sejarah mencakup nilai ,norma, dan tradisi, dan pengalaman masa lalu yang mendasari hubungan anggota masyarakat. Pembangunan ekonomi mencantumkan kesejahteraan dan kemakmuran, sedangkan struktur sosial meliputi seberapa besar konflik dan harmoni internal masyarakat. Opini publik menjadi faktor di mana penstudi melihat sentimen masyarakat terhadap dunia luar.
c. Birokrasi
Birokrasi berhubungan erat dengan struktur, proses, dan efek pemerintahan terhadap politk luar negri. Studi menarik yang dilakukan Graham Allison dan Morton Halperin telah menganggap secara mendetil tentang kompleksitas dan nuansa politik birokratis. Dalam hal ini, negara telah menjadi aktor utama dalam proses pengambilan keputusan politik luar negri. Selain kepentingan biro pemerintah, dinas-dinas militer, dan divisi lainnya, politik luar negri juga melindungi kelangusngan hidup dan pertumbuhan birokrasi untuk memaksimalisasi keterlibatan dan pengaruhnya dalam proses pembuatan keputusan.
d. sistem nasional
Konsep ini mencakup berbagai atribut nasdional yang mempengaruhi luar negeri. Yang termasuk kategori sistem nasional adalah luas, lokasi geografis, tipe daerah, iklim, dan sumber alam negara, kondisi demografis (kepadatan penduduk, tingkat melek huruf, distribusi usia, dan kesehatan fisik. Di sisi lain, suatu negara kepulauan atau yang memiliki hanya satu perbatasan alam lebih mudah menjalankan strategi defensif dan menghindar dari keterlibatan aliansi yang membatasi kedaulatannya. Sistem ekonomi, politik, dan sosial yang terjadi dalam suatu negara pun krusial terhadap proses pembuatan keputusan (kebijakan) luar negri. Contoh : sistem demokrasi liberal yang dianut pemerintah era SBY-JK saat ini mampu menjalin hubungan baik dengan AS.
e. sistem global (systemic approach)
Sistem ini juga terkenal dengan sebutan sistem internasional karena mengelompokkan faktor eksternal negara-negara yang keputusan politik luar negrinya terstruktur dalam suatu sisten global. Sistem global juga meliputi kebijaksanaan dan tindakan negara lain yang bisa merangsang respon politik negara yang dipelajari. Para teoritisi hubungan internasional berasumsi bahwa politik luar negri adalah sekumpulan respon terhadap tantangan eksternal. Mereka memandang politik luar negri sebagai tujuan negara yang didefinisikan secara rasional dan bertindak melalui pemerintahannya. Tujuan tersebut berkaitan dengan kepentingan nasional suatu negara di mana kondisi umum mutlak dipelihara (perdamaian dan stabilitas internasional). Adanya interdependensi antar negara yang dihasilkan dari pemikiran neoliberalis telah melekat pada prinsip sistem global secara integratif, kooperatif, dan strategis.
Politik luar negri Amerika Serikat diusung Hillary dengan istilah smart power, suatu istilah diplomasi yang berarti gabungan antara kekuatan keras (hard power) seperti kekuatan untuk menekan dengan militer, dengan kekuatan lunak (soft power) untuk meyakinkan atau membujuk melalui perdagangan, diplomasi, bantuan atau penyebaran nilai-nilai demokrasi guna mengukuhkan hegemoni gobal. Hubungan kemitraan antara Indonesia-AS terus mengalami perkembangan dalam perspektif kepentingan bersama. Landasan hubungan tersebut berdasarkan adanya kesamaan Indonesia dan AS dalam bidang demokrasi, kepentingan bersama menciptakan perdamaian dan stabilitas, meningkatkan perdagangan dan investasi, serta menghadapi tantangan perubahan iklim yang menjadi dasar kerja sama kedua negara. Berarti, integrasi antara variabel birokrasi dan sistem global setidaknya terarah secara koordinatif. Yang pasti, aspek sistem nasional, peran dan kontribusi individu, serta harmoni kelompok individu harus mendukung implementasi kebijakan luar negri Indonesia-AS. Semakin dekat struktur politik negeri Indonesia-AS, maka simbiosis yang terjalin di dalamnya semakin mutualis dan sinergis.
REFERENSI :

Buku
Couloumbis, Theodore dan James H.Wolfe. 1999.Pengantar Hubungan Internasional : Keadilan dan Power. Jakarta : Putra A Bardin, hal 129-137
Hanrieder, Wolfram. F.1971.Comparative Foreign Policy :Theoretical Essays. New York: David McKay Co, hal 22
Perwita, Anak A.B . 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, hal 47
Rosenau, James.1976. World Politics: An Introduction. New York : The Free Press, hal 16-17
Russet, Bruce dan Harvey Starr.1988. World Politics : The Menu for Choice.2nd ed. New York: W.H.Freeman and Co, hal 190-193



Internet
http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=86561, diakses pada tanggal 28 April 2009 pk 17.00 WIB
http://theglobalpolitics.com/?p=13, diakses pada tanggal 28 April 2009 pk 17.00 WIB

PENGARUH DETERRENCES dan COMPLIANCE

Jurnal THI V, 15 April 2009
PENGARUH DETERRENCES dan COMPLIANCE
(Gracia Paramitha, 070710415)

Di saat Iran menghebohkan dunia dengan pengayaan teknologi nuklir, negara di Asia pun tak ketinggalan untuk beradu teknologi yang lebih hebat layaknya roket dan nuklir di Korea Utara. Di India dan Pakistan pun tak mau kalah untuk bersaing teknologi, apalagi mencakup persenjataan nuklir. Dengan berkembangnya persaingan teknologi nnuklir yang tidak hanya dimiliki oleh pihak Amerika Serikat, menandakan bahwa keunggulan peralatan berbentuk teknologi tidak serta merta bersifat unilateral. Apakah ketatnya persaingan teknologi juga menandakan akhir dari kehidupan internasional? Atau malah ”mengatasnamakan” perdamaian yang lebih komprehensif dan kontemporer?

Deterrence Theory
Sejak bom atom dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki masing-masing 6 dan 9 Agustus oleh Amerika Serikat, banyak doktrin perang dan strategi hubungan internasional yang mampu menimbulkan kehancuran umat manusia. Gambaran jamur raksasa yang membumbung tinggi ke angkasa setelah jatuhnya bom atom mampu mengembangkan sebuah konsep “perimbangan kekuatan” (balance of power) menjadi “perimbangan teror” (balance of terror).
Secara historis, teori deterrence dikemukakan pertama kali oleh Bernard Brodie yang menganggap bahwa pengakisan atau pencegahan yang terjadi secara umum digunakan dalam term meyakinkan lawan bahwa aksi tertentu akan menimbulkan kerusakan yang fatal, yang tidak akan memberi keuntungan. Dengan alasan-alasan ekonomis, Brodie menjelaskan teori deterrence ke dalam kaijan strategis, yang mengutamakan efisiensi dan efektivitas. Deterrence diusulkan sebagai teori oleh karena adanya kerugian besar setelah perang, seprti : biaya yang begitu mahal (kalkulasi), korban tak berdosa banyak berjatuhan, dsb. Dinamika proses deterrence yang terjadi saat Perang Dingin patut diperhatikan dengan melihat bagaimana keputusan pencegahan (penolakan) perang dilakukan dan sejauh mana peran penangkisan (penghambat) ini berpengaruh bagi perdamaian dunia. Berikut akan dijelaskan mengenai fase-fase perkembangan teori deterrence.
a. Diplomasi Koersif (1945-1962)
Amerika Serikat telah memonopoli persenjataan nuklir sampai pada tahun 1949 saat Uni Soviet meledakkan percobaan nuklirnya. Adanya persaingan kekuatan paling membahayakan ini telah menghasilkan satu doktrin Perang Dingin di mana containment policy yang diusung kuat oleh pihak AS mampu memicu compellance terhadap negara-negara yang terpengaruh olehnya. Untuk meraih kemenangan politik, Menlu AS John Doster Dulles mempraktekan apa yang disebut brinkmanship dan massive retaliation (pembalasan besar-besaran). Kedua doktrin tersebut menunjukkan bahwa AS tidak segan-segan menyerang secara masif dengan kekuatan militer sekaligus nuklir terhebatnya.
b. Mutual Deterrence (1962-1983)
Ketika superioritas nuklir AS mengalami erosi, para pembuat kebijakan di AS mulai mempertanyakan asumsi mereka tentang penggunaan senjata nuklir untuk instrumen politik luar negeri. Setelah krisis rudal Kuba tahun 1962 yang nyaris mendorong AS dan Uni Soviet ke arah perang nuklir, Washington memikirkan kembali penggunaan senjata berbahaya ini. Oleh sebab itulah kemudian berkembang pemikiran di Washington bahwa senjata nuklir ini dialihkan dari berpotensi dipergunakan sebagai senjata strategis menjadi senjata pencegah serangan. Perubahan kebijakan strategis ini dari compellence (pemaksaan) kedalam deterrence (penggetar/pencegah) adalah cara untuk mencegah lawan menggunakan apa yang ingin dilakukan pihak lainnya.
c. Mutual Assured Destruction (MAD)
Mutual assured destruction (MAD) digunakan oleh para pembuat kebijakan AS untuk menunjukkan perimbangan strategis yang muncul selama tahun 1960-an dan awal 1970-an. Istilah itu sebenarnya merujuk pada jalan buntu yang dialami dua negara adidaya dengan doktrin saling mencegah dalam penyerangan. Mereka kini berpikir bahwa keduanya bisa hancur sama-sama jika terjadi perang nuklir. Kesadaran ini setidaknya membuat mereka berpikir bahwa stabilitas perdamaian telah mencapai tahap rawan. Menurut Couloumbis, MAD ini tergantung pada kemampuan kedua negara adidaya dalam menahan serangan nuklir pertama dan berkemampuan membalas sehingga menimbulkan “kerusakan yang tidak bisa diterima” oleh penyerangnya.
Seiring bertumbuhnya teori deterrence, banyak kritikan yang mampu melemahkan eksistensi dan relevansinya dengna realita saat ini. Dari asumsi tentang rasionalitas lawan, teori deterrence belum mampu mencegah suicidal atau psikologis lawan dari bentuk pencegahan yang sudah diberlakukan.Selain itu, adanya kesalahpahaman diplomatik dan perlawanan idologi politik yang menimbulkan adanya persepsi ancaman mutual, dan angkatan bersejata yang berisiko terhadap perang sebenarnya. (Terilustrasi dari film War Game dan Dr. Strangelove). Perselisihan bersenjata tidak cukup bagi optimal output ; setiap negara yang terlibat berusaha mengekspansi sumber daya angkatan bersenjata mereka yang menimbulkan persaingan berkelanjutan. Akhirnya, pembangunan militer negara meningkatkan risiko defisit anggaran, membatasi kebebasan sipil, menciptakan kompleksitas militer-industri, dan tindakan yang tidak dikehendaki lainnya.

Compliance Theory
Latar belakang munculnya teori compliance tak lepas dari kontribusi para pemikir sistem hukum internasional. Mereka menganggap bahwa perilaku negara sangat menentukan perdamaian dunia. Selain itu, kepercayaan yang timbul dari sikap negara mampu menunjukkan bukti empiris terhadap permasalahan hukum internasional. Namun, teori yang dikemukakan oleh sarjana hukum biasanya dianggap cacat karena mereka sulit untuk mendamaikan teori modern hubungan internasional dan sangat bergantung pada aksiomatis klaim tentang perilaku nasional. Tidak adanya koherensi teori menjelaskan mengapa kebanyakan hukum internasional konvensional tidak mencerminkan kepatuhan secara holistik.
Secara umum, teori compliance menjelaskan adanya penyesuaian negara atau identitas antara sikap aktor dan aturan yang terspesifikasi. (Fisher, 1981 : 20) Poin utama dalam teori kepatuhan ialah prinsip dasar teori ini terhadap pengaruh tingkah laku terhadap aturan legal. Dalam perkembangannya, teori kepatuhan sering dikaitkan dengan dua konsep utama rezim, yaitu : implementasi dan efektivitas. (Victory et al, 1998) Implementasi merupakan proses peletakkan dasar komitmen internasional ke dalam praktik, pembentukan institusi (baik domestik maupun internasional) dan enforcement terhadap aturan. Implementasi merupakan langkah kritis terhadap pematuhan. Namun, pengaruh compliance terhadap implementasi tidak signifikan, bergantung pada tidap individu. Penerapan atau pelaksanaan compliance nampak dalam kasus jatuhnya ekonomi Uni Soviet. Sedangkan efektivitas adalah konsep luas dalam mengimprovisasi obyektivitas kebijakan oleh suatu negara, atau sikap negara dalam mencapai goal mereka. (Keohane et al, 1993:7) Efektivitas berbanding lurus dengan compliance. Semakin banyak kepatuhan yang dijalankan oleh warga negara, semakin besar pula efektivitas aturan yang berlaku di dalamnya (ceteris paribus).
Walaupun epistemologi teori kepatuhan merupakan campur tangan sarjana hukum internasional, teori ini diberlakukan sejak Perang Dingin terjadi.Para penstudi hubungan internasional menginterpretasi compliance theory sebagai proyek panjang dalam mendemonstrasi international law mattered. (Falk, 1968) Teori kepatuhan muncul dengan tujuan adanya keseimbangan aturan yang dibuat oleh pemerintah dengan permasalahan internal maupun eksternal. Para behavioralis memang bayak berperan dalam teori ini karena mencerminkan bagaimana negara bersikap, menggantikan posisi hukum oleh rezim, dan aturan legitimasi yang disertai dengan norma pengikat kehidupan bermasyarakat. Namun, sejatinya compliance tidak terus terpacu lantaran timbul enforcement dan rezim yang mampu menggoyahkan stabilitas hukum internasional. Inilah yang menjadi titik lemah compliance di saat krisis legitimasi muncul dan banyaknya pelanggaran yang terjadi atas dasar kekecewaan publik terhadap kebijakan pemerintah.
Menjawab pertanyaan di atas, pengaruh deterrence dan compliance mampu meningkatkan proses perdamaian. Jika deterrence lebih ke permasalahan power sebagai obyek sekaligus subyek, maka compliance lebih dikategorikan sebagai predikat atau sebuah tindakan aktif dan konkrit terhadap stabilitas dan perdamaian dunia. Deterrence yang seringkali dikaitkan dengan nuclear age ini mampu meredakan ketegangan sengit yang terjadi antara dua negara didaya (AS dan Uni Soviet) pada saat Perang Dingin bahkan sesudahnya tetap terus dikembangkan untuk menjadi tonggak pertimbangan untuk melakukan peperangan ataupun kejahatan militer lainnya. Kuatnya arus multipolar di mana negara nonAS seperti Iran, Koera Utara, Cina, Rusia mampu mengembangkan teknologi nuklir ataupun persenjataan militer canggih lainnya telah menggeser unilateralisme satu negara adikuasa untuk menghegemoni dunia. Artinya, perdamaian dan stabilitas dunia semakin diarahkan hal-hal demokratis di mana seluruh negara berkooperasi membentuk pertahanan individual yang utuh, strategis, dan menyeluruh. Satu hal yang perlu diingat, pencegahan adalah konsep yang sangat sulit untuk diukur karena tidak memproduksi hasil nyata yang solid dan primer. Semua hasil bermula dari alat yang bergantung pada metode tertentu. Berlakunya teori kepatuhan sebenarnya tidak memisahkan peran pencegahan di dalamnya. Melihat perkembangan klasik yang dipenuhi sektor militer sebagai high politic pada saat itu, compliance mampu menanamkan low politicsl issues yang diperkuat dengan adanya stabilitas hukum internasional. Dengan demikian, compliance theory merupakan produk dari deterrence theory.
Referensi:
Buku
Dougherty, James dan Platzgraff Jr, Robert. Theories of Deterrence (chapter 9). Contending Theories of International Relations : A Comprehensive Study (4th edn). 1996. New York : Longman.pp 368-401
Raustiala, Kal dan Slaughter, Anne Marie. International Law, International Relations and Compliance. Handbook of International Relations. 2002. London : SAGE Publication Ltd. pp 538-554
Internet
http://www.law.berkeley.edu/files/guzmanComplianceandIL.doc. A Compliance Based Theory of International Law. Diakses pada Tanggal 13 April 2009 pk 18.00 WIB
http://www.princeton.edu/~slaughtr/Articles/Compliance.pdf. Diakses pada tanggal 13 April 2009 pk 18.00 WIB
http://theglobalpolitics.com/?tag=teori. Doktrin Strategi Perang Dingin dan Sesudahnya. Diakses pada tanggal 13 April 2009 pk 18.00 WIB

Keterkaitan Power, Balance of Power, dan Hegemonic Stability

`Jurnal THI IV, 8 April 2009
Keterkaitan Power, Balance of Power, dan Hegemonic Stability
Oleh : Gracia Paramitha, 070710415

Berbicara tentang politik, selalu berhubungan erat dengan konsep yang bernama power. Sebagai bagian dari proses politik, power dianggap mampu membawa dampak yang begitu dahsyat bagi kehidupan suatu masyarakat. Namun, banyak permasalahan yang timbul dalam mendefinisikan power. Di antara sekian ilmuwan politik, tidak ditemukan titik kesepakatan sehingga konsep ini semakin bersifat kabur dan berkonotasi emosional. Yang paling krusial diperdebatkan adalah apakah power dipandang sebagai atribut perorangan , kelompok, atau negara-bangsa? Atau hanya dijadikan hubungan antara dua aktor politik yang memiliki keinginan untuk berbeda dan independen?
Secara harfiah, power bermakna kekuatan. Seiring dengan perkembangan politik, makna power mengalami perluasan, dari kekuasaan menjadi: pengaruh, persuasi, manipulasi, koersi, force, dan otoritas. Kekuasaan merupakan konsep kekuasaan yang juga berhubungan dengan perilaku. Menurut Robert Dahl (1957), A dikatakan memiliki kekuasaan atas B apabila A dapat mempengaruhi B untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendaki B.
Ada usaha menarik yang telah dilakukan untuk mengukur kemampuan atau kapabilitas dari konsep kekuasaan. Salah satu penstudi politik internasional yang bernama Ray S. Cline mampu mengemukakan metode efektif kekuasaan. Secara ilmiah, ia telah mengembangkan formula sederhana yang tidak bisa disebut sebagai pengukuran yang ”eksak” terhadap power, namun dapat dipertanggungjawabkan dalam kuantifikasi. Rumusan yang dibuat yaitu:
Pp = (C+E+M) x (S+W)
Keterangan :
Pp = Persepsi kekuatan, C = critical mass (populasi dan wilayah), E = Kapabilitas ekonomi,
M = Kapabilitas militer, S = Tujuan-tujuan strategis, W = keinginan untuk mencapai tujuan nasional.
Dalam rumus tersebut jelas bahwa Cline menempatkan nilai yang sangat penting pada unsur yang sulit diukur seperti “tujuan-tujuan strategis” dan keinginan untuk mencapai tujuan nasional. Cline mencotohkan seperti Amerika Serikat memperoleh nilai tinggi dalam kapabilitas ekonomi dan militer, namun Uni Soviet memiliki nilai tinggi di kemampuan mendefinisikan tujuan-tujuan strategisnya dan cara untuk mencapainya secara sistematis dan gigih.
Sebagai unit multidimensional, power memiliki lima dimensi utama, antara lain :
a. Scope (ruang lingkup)  adanya dimensi skup, Deustch ingin menunjukkan “kumpulan atau koleksi semua perilaku kelas-kelas tertentu, hubungan dan pergaulan yang secara efektif tunduk kepada power pemerintah”. Kumpulan tersebut meliputi semua jenis aktivitas pemerintah dalam lingkup internal dan eksternal.
b. Domain  membahas tentang apa dan siapa power tersebut dilaksanakan. Biasanya, power dilaksanakan terhadap rakyat, teritorial,dan kekayaan. Deutsch membagi domain menjadi dua bagian: domain internal (wilayah dan populasi dalam batas-batas suatu negara) dan domain eksternal (wilayah dan populasi di luar batas negara tapi masih termasuk ke dalam “wilayah pengaruh”)
c. Weight  Deutsch mendefinisikan weight atau range sebagai perbedaan antara imbalan yang tertinggi (keikutsertaan) dengan hukuman terburuk (pencabutan hak) yang bisa dilimpahkan oleh pemegang kekuasaan kepada beberapa orang di dalam domainnya. Range power sendiri juga dapat dibagi dua komponen : komponen range internal (menggunakan statistik anggaran belanja pemerintah dan menentukan berapa banyak pengeluaran pemerintah untuk keamanan umum dan kesejahteraan sosial) dan komponen range eksternal (secara logis mengikuti bahasan range internal power).
d. Costs  Biaya yang dikeluarkan A dan B sama-sama relevan terhadap penilaian pengaruh. (Baldwin,1989) Artinya, besar kecilnya biaya yang dianjurkan salah satu pihak berbanding lurus dengan penentuan pengaruh yang dijalankan.
e. Means  Menurut Baldwin (1985), ada beberapa kategori yang mampu mengklasifikasi jalur suatu pengaruh dalam hubungan internasional, yakni: jalur simbolik, jalur ekonomis, jalur militer, dan jalur diplomatis

Balance of Power
Dalam teori hubungan internasional : realisme, konsep balance of power merupakan perkembangan ide dasar dari sebuah konsep power. Thucydides menggunakan konsep tersebut untuk menjelaskan serangan Peloponnesian War pada abad 18. Sementara Ernst Haas mengemukakan bahwa ada 4 syarat badi eksistensi sistem ”balance of power”, yaitu :
a. suatu multiplisitas aktor-aktor politik yang berdaulat yang muncul karena tidak adanya satu otoritas
b. distribusi kekuatan yang relatif tidak seimbang (status, kekayaan, ukuran dan kapabilitas militer) di antara aktor-aktor politik yang membentuk sistem
c. persaingan dan konflik yang berkesinambungan karena adanya persepsi dunia merupakan sumber langka
d. pemahama implisit di antara para pemimpin negara besar bahwa kesinambungan distribusi kekuatan yang ada akan menguntungkan mereka.
Terlepas dari perbedaan teori ”balance of power”, ada satu implikasi bahwa perubahan relatif kekuasaan politik dapat diamati dan diukur. (Wright, 1965: 743)
Secara kondisional, sistem balance of power dianggap berada di antara keteraturan dunia (world order) dan kekacauan internasional (international chaos). Dalam tatanan dunia, membutuhkan suatu otoritas pusat yang mampu menetapkan suatu tata tertib bagi aktor politik. Ketidakteraturan dunia berarti aktor politik dapat survive berdasarkan hukum rimba, istilah yang terkuat berlaku di sini. Kurangnya lembaga global yang kuat bisa lebih meningkatkan perlindungan terhadap kedaulatan para partisipan sekaligus melemahkannya. Contoh konkrit : adanya bipolaritas perebutan kekuasaan antara AS dan Uni Soviet era perang dingin (1945) yang berakhir unsur unilateral AS sebagai pemenang. Namun, jika direlevansikan keadaan saat ini, balance of power yang terjadi cenderung multipolar di mana AS sudah tidak dianggap sebagai negara adikuasa atau negara penguasa tunggal. Adanya perkembangan teknologi nuklir di Iran, roket di Korea Utara, dan perkembangan ekonomi pesat Cina telah membuktikan bahwa setiap negara berusaha untuk bersaing ketat dan terus melangkah maju. Dari pihak lembaga internasional sendiri, PBB kurang menjangkau seluruh permasalahan negara karena adanya organisasi regional dan tumbuhnya regionalisme dalam merintangi era globalisasi.
Dari serangkaian realita yang muncul, dapat disimpulkan bahwa adanya perkembangan teknologi mutakhir, globalisasi melalui arus internet yang kuat, weapons of mass destruction telah menggeser kekuasaan mutlak militer sehingga negara kecil ataupun nonstate actor mampu memiliki kekuasaan signifikan. Perubahan yang tak terduga ini telah menjadi kelemahan krusial bagi sistem balance of power. Konsep keseimbangan yang dihasilkan seringkali konseptual idealis dan mampu terhapus dengan mudah oleh adanya peristiwa mencekam layaknya serangan teroris tanggal 11 September 2001di gedung WTC, New York.

Hegemonic Stability Theory
Adanya teori hegemoni stabilitas ini telah berkembang pesat seiring berkembangnya penerapan teori neorealisme. Adapun latar belakang teori hegemoni stabilitas ini disebabkan karena adanya sistem anarki internasional yang sangat diagungkan oleh kaum neorealis. Anarki yang dimaksud ialah kompleksitas sistem kedaulatan negara yang memicu munculnya dilema keamanan (security dilemma). Keadaan ini menitikberatkan pada kemakmuran dan kekuasaan yang bersifat relatif di mana sistem politik dunia melambangkan zero-sum game.Asumsi dasar terbentuknya teori ini adalah adanya stabilitas sistem internasional yang membutuhkan dominasi tunggal sebuah negara dengan tujuan memperkuat aturan interaksi antar anggota yang paling penting dalam satu sistem internasional. Untuk menjadi hegemon, setiap negara harus memiliki 3 atribut utama, yaitu :
a. kapabilitas untuk memperkuat peraturan sistem  pengendalian bahan mentah, sumber kapital, pasar and keunggulan bersaing dalam produksi barang-barang berkualitas baik
b. kehendak untuk melaksanakan praktik hegemoni (karakterisitk internal negara)  sikap domestik, struktur politik, pendapatan tetap
c. komitmen terhadap sistem yang dianggap sebagai keuntungan timbal balik dari negara-negara maju
Kapabilitas yang diperlukan dalam teori stabilitas hegemoni ialah pesatnya pertumbuhan ekonomi, dominasi kecanggihan teknologi atau sektor ekonomis, kekuasaan politik yang didukung oleh proyek-proyek atau aktivitas kekuasaan militer.
Yang dilakukan oleh para hegemon biasanya menjadikan negara mereka sebagai “free rider”.
Sindrom ini memicu para hegemon untuk terus mempengaruhi bahkan memaksa negara lain dalam mendukung suatu sistem yang sudah disepakati bersama. Sistem Amerika Serikat mencoba untuk memproduksi demokrasi dan kapitalisme, yang memperjuangkan hak asasi manusia dan perdagangan bebas. Bangsa lain akan berusaha menikmati keuntungan dari insitusi tersebut, tapi akan menghindari pembayaran biaya produksi mereka. Dengan demikian, Amerika Serikat harus menetapkan persetujuan terhadap perdagangan bebas meskipun pasangan dagang utama memutuskan adanya batasan dagang. Amerika Serikat bisa saja meluruskan batasan itu, namun kemudian sistem yang terbentuk akan collapse.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perluasan konsep kekuasaan tidak selamanya berhasil untuk dikembangkan. Definisi konsep power yang beranekaragam dan diperdebatkan oleh para ilmuwan politik telah menimbulkan kompleksitas pemahaman tentang balance of power maupun hegemonic stability theory. Namun, adanya perkembangan konsep power ini mampu menunjukkan signifikansi kemajuan implementasi teoritis yang terkandung dalam pemikirin realisme dan neorealisme. Power yang sangat krusial bagi sistem politik telah menjadi kunci utama penggerak perubahan hidup yang terjadi di masyarakat dan negara.

REFERENSI :
Baldwin, David A. 2002. Power and International Relations. Handbook of IR. London :SAGE Publication Ltd. Hlm 178-179
Cline, Ray S. 1975. World Power Assesment : A Calculus of Strategic Drift. Washington DC: Georgetown University. Hlm11
Dahl, Robert. 1977.Modern Political Analysis.New Delhi : Prentice-Hall of India Private.Ltd. Hlm 29
Deutsch. The Analysisi of International Relations, hlm 34
Haas,Ernst. 1953.”The Balance of Power : Prescription Concept or Propaganda?”,
World Politics. Hlm 442-477
Surbakti, Ramlan .1992. Kekuasaan Politik. Memahami Ilmu Politik. Jakarta :PT
Gramedia. Hlm 57
http://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/pol116/hegemony.htm. The Theory of
Hegemonic Stability. akses 7 April 2009 pk 05.00 WIB
http://falcon.arts.cornell.edu/Govt/courses/F05/685/Week%205%20Keohane%20
nd%20McKeown.doc. Political Economy of International Trade : International Influence. akses 7 April 2009 pk 5.00
http://faculty.maxwell.syr.edu/merupert/Teaching/Hegemonic%20Stability%20Theory. Htm. Diakses pada tanggal 7 April 2009 pk 05.00 WIB

PROSPEK STRUKTURALISME TERHADAP MARXISME

Jurnal THI III, 1 April 2009
PROSPEK STRUKTURALISME TERHADAP MARXISME
(Oleh : Gracia Paramitha, 070710415)

Marxisme merupakan salah satu pandangan mainstream dalam teori hubungan internasional yang sangat dipelopori oleh Karl Marx. Sebagai tokoh radikal dan kontroversial terhadap perkembangan kapitalisme dunia, nama Marx pada akhirnya diabadikan sebagai sebuah teori bersejarah yang mampu mengedepankan kesetaraan dan kebebasan berdasarkan sistem kelas antagonis, yakni: kaum borjuis dan proletat. Pada pertengahan tahun 1840, Marx mengakui bahwa adanya ekspansi kapitalisme akan mengeliminir keberadaan divisi kelas antar kedaulatan nation-state dan mampu mendominasi sistem negara internasional. Melihat realita tersebut, Marx juga percaya bahwa adanya revolusi politik akan menghapus tatanan kapitalis dan menciptakan masyarakat sosialis dunia. Jika dilihat dari pandangan rasionalis, Hedley Bull menganggap marxisme sebagai bentuk revolusi yang berfokus pada kekacauan horizontal antara dua pergerakan kelas sosial yang mampu menyalahgunakan konsep nation-state dan masyarakat internasional.
Asumsi dasar perspektif marxisme dalam hubungan internasional ialah adanya proses penyatuan human race melalui dinamika globalisasi kapitalis dan kapitalisme ini dianggap sebagai driving forces dalam tingkat interdependensi internasional.Analisis globalisasi dan fragmentasi di dalam tradisi Marxist dikenal sebagai paradigma kelas dan produksi di mana tingkat pereduksiannya bergantung pada dimensi ekonomi dari keadaan sosial yang secara politis maupun normatif berpengaruh terhadap perpolitikan dunia. Jika direlevansikan dengan keadaan saat ini, adanya teori marxisme mampu melewati masa bipolaritas dengan meningkatkan dampak globalisasi dunia dan fragmentasi (perpecahan) etnis yang bertentagan dengan struktur negara secara internasional.
Latar belakang kehidupan manusia di era Marxisme adalah sikap perjuangan dan kegigihan kuat untuk memenuhi kebutuhan dasar secara material, memahami kekerasan alam, mengendalikan sistem sosial ekspolitatif, dan mengatasi renggangnya hubungan antar anggota masyarakat. Permasalahan utama yang dihadapi ketika itu adalah munculnya pengasingan, eksploitasi, dan kerenggangan relasi antar manusia. Pengasingan diartikan sebagai kondisi di mana human race melampaui batas kemurahan hati seorang manusia, eksploitasi sendiri adalah kondisi kelompok tertentu secara langsung mengontrol dan mengeruk keuntungan absolut dari kekuasaan pekerja satu dengan yang lainnya. Sedangkan kerenggangan bermaksud keretakan sebuah relasi yang berdampak permusuhan antara kelompok budaya atau nasional yang terpecah belah. Akar penyebab kasus ini ialah adanya kesenjangan kelas antara kaum borjuis dan proletariat yang saling berselisih dan hidup secara konfliktual. Selain itu, motif produksi seringkali dijadikan pijakan dasar munculnya ”kejahatan ekonomis dan sosialis” layaknya globalisasi kapitalis sehingga penindasan terhadap kaum lemah (proletat) pun kian terpuruk.
Dalam sistem internasional, marxisme membawa pengaruh kuat bagi perekonomian dunia di mana kesetaraan dan kebebasan setiap elemen masyarakat mutlak tuk dijunjung tinggi. Dalam buku The Communist Manifesto, Marx dan Engel mengutarakan bahwa globalisasi merupakan implikasi terhadap strategi revolusioner di mana nasionalisme di setiap bangsa kian punah seiring dengan adanya persaingan pasar bebas dan kekuatan hegemoni kapitalis dunia. Untuk itu, penetapan pondasi dan struktur kaum proletat harus lebih diutamakan daripada kaum borjuis. Perjuangan revolusioner ini telah mejadi goal utama untuk menciptakan masyarakat global yang dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, adanya keraguan bahwa periode 1840 Marx dan Engel yakin akan adanya diplomasi sangat membuka peluang dan keleluasaan dalam meningkatkan keahlian berpolitik seiring dengan perkembangan globalisasi kapitalis. Hal ini disebabkan oleh adanya ikatan relatif entitas masyarakat terhadap logika internal perubahan.Marx menganggap bahwa kebijakan diplomatis merupakan kepentingan tersier atau sekunder dibandingkan isu-isu produksi. Artinya, globalisasi dan dinamika perdamaian sistem internasional mulai berkembang dalam aspek masyarakat dan ekonomi daripada aspek politis suatu negara yang cenderung bersifat kekerasan. Kedua, pentingnya rasa nasionalisme pada masa revolusi 1848 telah menyadarkan rakyat untuk berperan besar terhadap pemberontakan yang membawa transisi kapitalisme menuju sosialisme. Nasionalisme dikampanyekan oleh Marx dan Engel sebagai refleksi usaha untuk merespon pengasingan kapitalisme, ekspolitasi sekaligus fenomena keregangan antar kelompok nasional. Ketiga, di samping munculnya peperangan dan hubungan internasional di akhir abad 18, marxisme gagal untuk mengapresiasi signifikansi teori tersebut pada orientasi masyarakat dan politik secara kritis. Pembangunan versi Marx dan Engel didasarkan atas pertimbangan signifikansi kegigihan komunitas nasional dan semakin renggangnya kelompok nasional dalam teori dan praktik sosialisme. Namun, adanya disparitas antar kelompok ini justru menjadi boomerang bagi kelangsungan hidup mereka. Angan hidup bersama dan setara pun pupus karena kegagalan sistem sosialisme yang dipicu oleh kelompok berkuasa (borjuis).
Yang menjadi agenda utama kaum marxis adalah adanya pemahaman terhadap kemungkinan komunitas sosialis yang akan menggantikan proses pengasingan, ekspolitasi, dan kerenggangan melalui asas kebebasan, kooperasi, dan pengertian karakteristik dunia yang diikuti arus globalisasi dan fragmentasi. Sementara itu, aktor yang berperan penting dalam menjalankan susunan agenda tersebut ialah seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Dalam hal ini, baik pihak borjuis maupun proletat harus bekerjasama dan mementingkan asas kesetaraan agar stabilitas dan perdamaian dunia segera tercapai. Jika salah satu mendominasi, akan timbul hegemoni-hegemoni negara ataupun peran sang aktor dalam mengatur sistem perpolitikan internasional.
Teori marxisme telah mendapat beberapa kritik dari teori sebelumnya, terutama dari kalangan realis.Kaum realis mengidentifikasi salah satu kelemahan fundamental dari pemikiran marxisme,yaitu adanya reduksi dalam menginterpretasikan negara. Marxis terlalu sering menekankan bahwa negara bermain dalam proteksi pengaturan kelas dari ancaman kompetitor eksternal dan kelas subordinat. Yang menjadi kendala utama ialah marxis tidak memperkirakan pentingnya kontrol monopoli negara sebagai instrumen kekerasan dan otoriter dalam menghadapi ancaman dan berpartisipasi dalam tindakan represif semisal peperangan Tiga aspek utama yang perlu dipertimbangkan kembali oleh kaum marxis ialah konsep nasionalisme, negara, dan peperangan. Kaum realis dan neorealis masih yakin akan eksistensi sistem anarki internasional sampai saat ini.
Selain itu, ada pula kritikan dari teori kritis yang dipelopori oleh Habermas, Frankfurt School. Habermas mengklaim bahwa kaum marxis telah mengabaikan struktur independen dari pembelajaran moral praktis di mana keadaan manusia dikembangkan dengan skill etis dalam menciptakan tatanan masyarakat yang bermartabat. Atas dasar inilah, muncul pergerakan marxisme baru atau yang biasa disebut neomarxisme.
Menurut Hazel Smith, sumbangan terbesar Marxisme terhadap studi hubungan internasional terletak pada pengembangan (development) teori internasional yang saat ini didefinisikan sebagai strukturalisme atau neo-marxisme. Neo-marxisme memberikan analisis yang luas tentang kelas sebagai faktor utama di dalam hubungan internasional, hubungan ekonomi (economic relationships) sebagai dinamika utama (the key dynamics) dan keadilan dan kesetaraan internasional sebagai landasan normatif terpenting. Perbedaan utama yang dimiliki oleh neo-marxisme terhadap marxisme klasik adalah kemampuannya yang lebih konseptual dan metodologis dalam menggunakan teori-teori yang disusun oleh Marx, Hegel dan Lenin. Penetrasi neo-marxis ke dalam disiplin ilmu hubungan internasional memberikan tiga sumbangan teoritis utama yaitu:
a. studi pembangunan dan dependensi
Teori ini menyatakan bahwa terjadi dominasi struktural atas negara-negara pinggiran yang dieksploitasi oleh negara-negara pusat. Mereka melihat terdapat ketidakseimbangan pertukaran antara negara-negara pusat (core countries) dan negara-negara pinggiran (periphery countries). Objek kajian teori-teori dependensi terutama adalah pengalaman negara-negara Amerika Latin yang mengalami kemiskinan dan keterbelakangan (underdeveloped) walaupun telah merdeka sejak awal abad XIX. Smith menulis kritik utama yang diberikan marxisme di dalam teori-teori dependensi adalah tentang kapitalisme. Perdebatan berlangsung di seputar argumen historis tentang the nature of transition dari feodalisme ke kapitalisme di Eropa.
b. pendekatan world system
Sumbangan terpenting Wallerstein adalah tentang pemikirannya mengenai ‘sistem dunia’. Wallerstein memahami ‘sistem dunia modern’ (modern world system) sebagai perkembangan, ekonomi kapitalis dunia yang saling bertautan, yang tumbuh dalam bentuk modern pada abad ke XVI. Sistem dunia ini yang juga dipahami sebagai sistem ekonomi dunia merupakan level analisa utama Wallerstein. Ia menggunakan interpretasi yang luas mengenai pemahaman Marx tentang esensi kapitalisme. Konsepsi Wallerstein tentang kapitalisme ditopang oleh gagasan mengenai ekspansi perdagangan internasional.
c. Pengaruh neo-gramscian di dalam sub-kajian ekonomi-politik internasional
Smith tidak memberikan penjelasan yang panjang tentang pengaruh neo-gramscian di dalam kajian internasional. Namun ia menjelaskan ada sejumlah teoritisi yang berupaya menggunakan gagasan Gramsci tentang ‘hegemoni’ sebagai penjelas tentang bagaimana sebuah kekuatan utama, semisal Amerika Serikat, mempertahankan dominasi mereka di dalam sistem internasional.
Dengan munculnya pendekatan strukturalis, prospek ekonomis dan politis semakin tidak terpisahkan tanpa melupakan unsur kultural dan moral suatu bangsa. Tentunya, nilai utopis dari marxis telah mengalami pengapuran sehingga implementasi nilai strukturalis lebih aplikatif dan teknis. Strukturalisme telah dijadikan perspektif inovatif bagi keberlanjutan ekonomi politik internasional dalam mengatur suatu sistem dunia yang damai dan stabil. Strukturalisme secara konstruktif membawa prospek baik dan mengntungkan bagi dinamika marxisme.

DAFTAR PUSTAKA

Barry, P 2002, 'Structuralism', Beginning theory: an introduction to literary and cultural theory, Manchester University Press, Manchester, pp. 39-60
Bull, Hedley, The Anarchical Society : A Study of Order in World Politics (London, 1997)
Linklater, Andrew. Theories of International Relations: Marxism. 1996. America, St.Martin’s Press.pp 119-144
Smith, Hazel. Marxism and International Relations Theory. 2000