Jurnal VII THI, 6 Mei 2009
MENAKLUKKAN DINAMIKA KONFLIK
Gracia Paramitha, 070710415
Ketika konflik Darfur di Sudan mulai memanas, maka muncul satu titik antagonis yang memicu pihak asing (AS vs Cina) untuk mengintervensi kasus tersebut. Lain halnya dengan konfrontasi Malaysia yang dilakukan oleh Soekarno tahun 1965, yang berseru dengan gigih bahwa ganyang Malysia diberlakukan karena negara Malaysia merupakan antek-antek negara kolonialisme. Konflik kelompok kepentingan kekuasaan politik seperti kudeta yang terus menerus terjadi di Thailand, di mana pro dan anti-Thaksin (merah vs kuning) berseteru panas. Hal tersebut merupakan contoh konflik dalam lingkup makro karena telah melibatkan suatu tatanan sosial yang diperankan secara formal oleh negara. Bahkan, konflik yang merambah ke dunia internasional ini sebenarnya berasal dari faktor psikologis individu yang sangat berbenturan terhadap kepentingan-kepentingan umum. Sejauh mana teori konflik berkembang? Seberapa efektifkah pendekatan damai mampu mengatasi dan menjadi solusi aktif bagi perselisihan yang terjadi?
Satu kepastian mutlak yang tidak dapat digangu gugat adalah tidak ada satu teori umum tentang konflik yang dapat diterima oleh ilmuwan sosial dakam beberapa disiplin ilmu. Studi mengenai konflik manusia memerlukan input dari biologi, psikologi, sosiologi, antropologi, sejarah, pengetahuan politik, geografi, ekonomi, komunikasi, teori organisasi, teori pembuatan keputusan dan strategis, teori sistem, sampai teori integrasi. Artinya, pemahaman mengenai teori konflik bersumber secara interdisipliner, setiap cabang ilmu (baik alam maupun sosial) turut andil dalam merumuskan sebuah teori kekerasan dalam konflik. Term dari konflik sendiri biasanya diartikan sebagai kondisi di mana sekelompok individu atau individu yang teridentifikasi berlawanan hubungan dengan pihak lain karena mengejar kepentingan (goal) yang bertentangan. Lewis A Coser (1913), seorang profesor sosiologi di universitas Brandeis mendefinisikan konflik sebagai ”struggle over values and claims to scarce status, power and resources, in which the aims of the opponents are to netralize, injure, or climinate the rivals” Jika dikategorikan ke dalam teori, berarti menunjukkan bahwa fenomena konfliktual yang terjadi dalam suatu kehidupan diabstraksi dan didukung oleh beberapa preposisi yang jelas agar terbentuk suatu konsep teoritis.
Menurut Wallase dan Alison, teori konflik memiliki tiga asumsi utama yang saling berhubungan :
1. Manusia memiliki kepentingan-kepentingan yang asasi dan mereka berusaha untuk merealisasikan kepentingan-kepentingannya itu.
2. “Power” bukanlah sekedar barang langkah dan terbagi secara tidak merata, sebagai merupakan sumber konflik, melainkan juga sebagai sesuatu yang bersifat memaksa (coercive). Sebagian menguasai sumber, sedangkan yang lainnya tidak memperolehnya sama sekali.
3. Ideologi dan nilai-nilai dipandangnya sebagai senjata yang dipergunakan oleh berbagai kelompok yang berbeda untuk meraih tujuan dan kepentingan mereka masing-masing.
Seiring dengan perkembangan teori konflik, ada beberapa preposisi yang patut diperhatikan , yakni:
a. proposisi pertama Proposisi ini secara langsung mengikuti asumsi marx bahwa, “didalam semua struktur sosial, distribusi kekuasaan yang tak merata pasti akan menimbulkan konflik kepentongan antara mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan”.(Tuner, 1978.131). Menurut Marx kesadaran akan konflik kepentingan dapat menyebabkan mereka lemah mulai mempertanyakan keabsahan pola-pola distribusi sumber-sumber yang ada sekarang.
b. proposisi keduaProposisi ini menerangkan dengan jelas tentang adanya kesadaran segmen-segmen yang lebih lemah akan kepentingan-kepentingan kolektif mereka, sehingga semakin besar kemungkinannya mereka mempertanyakan keabsahan distribusi-distribusi yang tidak merata dengan cara terang-terangan terhadap segmen-segmen deminan suatu system.
c. proposisi ketiga Subordinate semakin sadar dan memulai konflik secara terang-terangan terhadap dominant. Proposisi ini dipecah menjadi tiga anak proposisi sebagai berikut ; (1) subordinat mengorganisir diri dan memulai konflik, (2) subordinat mengorganisir dan mencetuskan konflik, (3) subordinat mengorganisir diri dan memprakarsai konflik.
d. proposisi keempat Pada proposisi ini segmen-segmen dominan dan segmen-segmen subordinate semakin terpolarisasi. Semakin keras suatu konflik maka akan semakin besar perubahan struktural suatu sistem dan redistribusi sumber-sumber.
Mengenai argumen kekerasan sendiri, salah satu tokoh yang sangat kental akan prinsip-prinsip peace making adalah oleh Johan Galtung. Dalam artikelnya yang berjudul Violence, Peace, Peace Research, Galtung mengatakan bahwa dasar konflik adalah structural violence. Kekerasan yang terstruktur melalui sebuah sistem mampu menimbulkan titik klimaks konflik yang menimbulkan benturan keras antar satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Seperti misalnya pemberontakan yang dilakukan G 30 S PKI pasca kemerdekaan Indonesia. Walaupun saat itu Indonesia telah merdeka, namun partai komunis Indonesia yang berada di bawah pengaruh partai komunis Cina menumbuhkan militansi dari setiap anggota sehingga mampu menghasilkan seorang pemberontak yang kejam, senang akan kekerasan, dan berusaha menguasai otoritas pemerintah di Indonesia. Dengan adanya jaringan, peran dan pengaruh asing, ataupun relasi simbolik (tidak nampak) mampu menimbulkan tindakan kejahatan yang terstruktur/sistematis. Selain itu, Galtung juga mengemukakan teori perdamaian yang dibagi menjadi dua, yaitu : positif peace dan negative peace. Perdamaian positif dapat tercipta apabila terjalin konsensus dan win-win solution sebagai akhir konflik, sedangkan perdamaian negatif lebih membahas absensi konflik. Hal ini tak berbeda jauh dengan teori Ralf Dahrendorf, yang menyatakan bahwa efektifitas pengaturan konflik bergantung pada tiga faktor. Pertama, kedua pihak harus mengakui kenyataan dan situasi konflik yang terjadi. Kedua, kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisasikan secara rapi, tidal tercerai-berai sehingga masing-masing pihak memahami jelas tuntutan pihak lain. Ketiga, kedua pihak menyepakati aturan main yang menjadi landasan dan pegangan dalam hubungan dan interaksi antara mereka.
Sedangkan peace research yang dimaksud adalah cabang dari pemeriksaan humanis yang berusaha mengimprovisasi prospek baik masa kini dan masa depan dalam mendirikan suatu stabilitas damai. Nilai yang terkandung dalam peace research terbagi jadi dua, yakni: peneliti damai yang secara filosofis komit sebuah priori melihat perdamaian sebagai suatu yang diinginkan dan dapat dicapai, serta peneliti damai yang menjauhkan diri dari empirisme formal dalam tatanan sosial yang konstruktif. Secara intelektual, ada dua pendekatan yang menghapus konflik ke dalam tradisi penelitian damai. Pendekatan pertama menyatakan bahwa ada lingkungan psikologis dan pemikiran subyektif mempengaruhi sebuah permasalahan. Prinsip yang dikenal dengan ”war begins in the minds of men” ini mengkaitkan perbedaan persepsi dan proses psikologis yang terkait dalam satu sistem struktur kepemimpinan. Sedangkan pendekatan kedua adalah struktur yang terbuat dari lingkungan eksternal. Pandangan ini lebih cenderung menunjukkan lingkungan operasional di mana aktor negara yang termasuk dalam sistem internasional tertekan dengan sebuah keyakinan bersama atas sikap konflik kekerasan. Kedua pendekatan tersebut menyimpulkan sesuatu bahwa kekerasan (violence) hanyalah manifestasi konflik yang ekstrimdan kondisi damai dalam ranah ”self-sustaining” harus terbentuk dari pemahaman konflik itu sendiri.
Jika dikaitkan dengan teori mainstream HI, anarkisme dan marxisme memang menjadi sebuah pendekatan khusus terhadap struktur konflik. Penggunaan kekerasan dalam anarkisme sangat berkaitan erat dengan metode propaganda by the deed, yaitu metode gerakan dengan menggunakan aksi langsung (perbuatan yang nyata) sebagai jalan yang ditempuh, yang berarti juga melegalkan pengrusakan, kekerasan, maupun penyerangan. Selama hal tersebut ditujukan untuk menyerang kapitalisme ataupun negara. Sementara kaum Marxis berargumen bahwa kekerasan berskala besar dapat dibenarkan dan "perang keadilan" adalah sesuatu yang mungkin, setidaknya dalam lingkup terbatas dari pertahanan diri secara kolektif. Misalnya saja dalam melawan sebuah kudeta atau invasi imperialis. Beberapa lainnya (khususnya para Stalinis) berargumen lebih jauh, bahwa tujuan dapat menghalalkan cara, sehingga dalam teorinya, sejumlah apapun kekerasan dan pertumpahan darah akan dapat dibenarkan dalam upayanya untuk menuju komunisme. Dengan perbedaan persepsi yang tertanam dalam perspektif tersebut, maka tak menutup kemungkinan bahwa nilai-nilai ideal dari realisme dan marxisme tetap memiliki harapan utama dalam mencapai perdamaian dunia. Liberal pun sangat sinergis dengan pola-pola perdamaian yang ditunjukkan dalam kooperasi ataupun pembentukan lembaga internasional seperti PBB. Dengan demikian, perdamaian tetap menjadi titik ujung (final) konflik walaupun setiap perspektif memiliki cara pencapaian yang beranekaragam dan bertentangan.
REFERENSI :
1. Barker, John H. Individualism and Community: The State in Marx and Early Anarchism (Individualisme dan Komunitas: Negara dalam pandangan Marx dan Anarkisme Klasik). 1986.New York: Greenwood Press
2. Coser,Lewis A. The Function of Social Conflict. 1956. New York : Free Press. pp 3
3. Dougherty, James dan Robert Platzgraff. The Older Theories of Conflict. Chap 5. 1971. J.B Lippincolt Company. hal 140
4. Galtung, Johan. Violence, Peace, and Peace Research. Journal of Peace Research. 1969. Vol. 6, No. 3, 167-191
5. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. 1992. Jakarta : PT GramediaWidiasarana Indonesia. hal 160
6. Thio, Alex . Sociology A Brief Introduction. 2009. Pearson.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar