Jurnal THI V, 15 April 2009
PENGARUH DETERRENCES dan COMPLIANCE
(Gracia Paramitha, 070710415)
Di saat Iran menghebohkan dunia dengan pengayaan teknologi nuklir, negara di Asia pun tak ketinggalan untuk beradu teknologi yang lebih hebat layaknya roket dan nuklir di Korea Utara. Di India dan Pakistan pun tak mau kalah untuk bersaing teknologi, apalagi mencakup persenjataan nuklir. Dengan berkembangnya persaingan teknologi nnuklir yang tidak hanya dimiliki oleh pihak Amerika Serikat, menandakan bahwa keunggulan peralatan berbentuk teknologi tidak serta merta bersifat unilateral. Apakah ketatnya persaingan teknologi juga menandakan akhir dari kehidupan internasional? Atau malah ”mengatasnamakan” perdamaian yang lebih komprehensif dan kontemporer?
Deterrence Theory
Sejak bom atom dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki masing-masing 6 dan 9 Agustus oleh Amerika Serikat, banyak doktrin perang dan strategi hubungan internasional yang mampu menimbulkan kehancuran umat manusia. Gambaran jamur raksasa yang membumbung tinggi ke angkasa setelah jatuhnya bom atom mampu mengembangkan sebuah konsep “perimbangan kekuatan” (balance of power) menjadi “perimbangan teror” (balance of terror).
Secara historis, teori deterrence dikemukakan pertama kali oleh Bernard Brodie yang menganggap bahwa pengakisan atau pencegahan yang terjadi secara umum digunakan dalam term meyakinkan lawan bahwa aksi tertentu akan menimbulkan kerusakan yang fatal, yang tidak akan memberi keuntungan. Dengan alasan-alasan ekonomis, Brodie menjelaskan teori deterrence ke dalam kaijan strategis, yang mengutamakan efisiensi dan efektivitas. Deterrence diusulkan sebagai teori oleh karena adanya kerugian besar setelah perang, seprti : biaya yang begitu mahal (kalkulasi), korban tak berdosa banyak berjatuhan, dsb. Dinamika proses deterrence yang terjadi saat Perang Dingin patut diperhatikan dengan melihat bagaimana keputusan pencegahan (penolakan) perang dilakukan dan sejauh mana peran penangkisan (penghambat) ini berpengaruh bagi perdamaian dunia. Berikut akan dijelaskan mengenai fase-fase perkembangan teori deterrence.
a. Diplomasi Koersif (1945-1962)
Amerika Serikat telah memonopoli persenjataan nuklir sampai pada tahun 1949 saat Uni Soviet meledakkan percobaan nuklirnya. Adanya persaingan kekuatan paling membahayakan ini telah menghasilkan satu doktrin Perang Dingin di mana containment policy yang diusung kuat oleh pihak AS mampu memicu compellance terhadap negara-negara yang terpengaruh olehnya. Untuk meraih kemenangan politik, Menlu AS John Doster Dulles mempraktekan apa yang disebut brinkmanship dan massive retaliation (pembalasan besar-besaran). Kedua doktrin tersebut menunjukkan bahwa AS tidak segan-segan menyerang secara masif dengan kekuatan militer sekaligus nuklir terhebatnya.
b. Mutual Deterrence (1962-1983)
Ketika superioritas nuklir AS mengalami erosi, para pembuat kebijakan di AS mulai mempertanyakan asumsi mereka tentang penggunaan senjata nuklir untuk instrumen politik luar negeri. Setelah krisis rudal Kuba tahun 1962 yang nyaris mendorong AS dan Uni Soviet ke arah perang nuklir, Washington memikirkan kembali penggunaan senjata berbahaya ini. Oleh sebab itulah kemudian berkembang pemikiran di Washington bahwa senjata nuklir ini dialihkan dari berpotensi dipergunakan sebagai senjata strategis menjadi senjata pencegah serangan. Perubahan kebijakan strategis ini dari compellence (pemaksaan) kedalam deterrence (penggetar/pencegah) adalah cara untuk mencegah lawan menggunakan apa yang ingin dilakukan pihak lainnya.
c. Mutual Assured Destruction (MAD)
Mutual assured destruction (MAD) digunakan oleh para pembuat kebijakan AS untuk menunjukkan perimbangan strategis yang muncul selama tahun 1960-an dan awal 1970-an. Istilah itu sebenarnya merujuk pada jalan buntu yang dialami dua negara adidaya dengan doktrin saling mencegah dalam penyerangan. Mereka kini berpikir bahwa keduanya bisa hancur sama-sama jika terjadi perang nuklir. Kesadaran ini setidaknya membuat mereka berpikir bahwa stabilitas perdamaian telah mencapai tahap rawan. Menurut Couloumbis, MAD ini tergantung pada kemampuan kedua negara adidaya dalam menahan serangan nuklir pertama dan berkemampuan membalas sehingga menimbulkan “kerusakan yang tidak bisa diterima” oleh penyerangnya.
Seiring bertumbuhnya teori deterrence, banyak kritikan yang mampu melemahkan eksistensi dan relevansinya dengna realita saat ini. Dari asumsi tentang rasionalitas lawan, teori deterrence belum mampu mencegah suicidal atau psikologis lawan dari bentuk pencegahan yang sudah diberlakukan.Selain itu, adanya kesalahpahaman diplomatik dan perlawanan idologi politik yang menimbulkan adanya persepsi ancaman mutual, dan angkatan bersejata yang berisiko terhadap perang sebenarnya. (Terilustrasi dari film War Game dan Dr. Strangelove). Perselisihan bersenjata tidak cukup bagi optimal output ; setiap negara yang terlibat berusaha mengekspansi sumber daya angkatan bersenjata mereka yang menimbulkan persaingan berkelanjutan. Akhirnya, pembangunan militer negara meningkatkan risiko defisit anggaran, membatasi kebebasan sipil, menciptakan kompleksitas militer-industri, dan tindakan yang tidak dikehendaki lainnya.
Compliance Theory
Latar belakang munculnya teori compliance tak lepas dari kontribusi para pemikir sistem hukum internasional. Mereka menganggap bahwa perilaku negara sangat menentukan perdamaian dunia. Selain itu, kepercayaan yang timbul dari sikap negara mampu menunjukkan bukti empiris terhadap permasalahan hukum internasional. Namun, teori yang dikemukakan oleh sarjana hukum biasanya dianggap cacat karena mereka sulit untuk mendamaikan teori modern hubungan internasional dan sangat bergantung pada aksiomatis klaim tentang perilaku nasional. Tidak adanya koherensi teori menjelaskan mengapa kebanyakan hukum internasional konvensional tidak mencerminkan kepatuhan secara holistik.
Secara umum, teori compliance menjelaskan adanya penyesuaian negara atau identitas antara sikap aktor dan aturan yang terspesifikasi. (Fisher, 1981 : 20) Poin utama dalam teori kepatuhan ialah prinsip dasar teori ini terhadap pengaruh tingkah laku terhadap aturan legal. Dalam perkembangannya, teori kepatuhan sering dikaitkan dengan dua konsep utama rezim, yaitu : implementasi dan efektivitas. (Victory et al, 1998) Implementasi merupakan proses peletakkan dasar komitmen internasional ke dalam praktik, pembentukan institusi (baik domestik maupun internasional) dan enforcement terhadap aturan. Implementasi merupakan langkah kritis terhadap pematuhan. Namun, pengaruh compliance terhadap implementasi tidak signifikan, bergantung pada tidap individu. Penerapan atau pelaksanaan compliance nampak dalam kasus jatuhnya ekonomi Uni Soviet. Sedangkan efektivitas adalah konsep luas dalam mengimprovisasi obyektivitas kebijakan oleh suatu negara, atau sikap negara dalam mencapai goal mereka. (Keohane et al, 1993:7) Efektivitas berbanding lurus dengan compliance. Semakin banyak kepatuhan yang dijalankan oleh warga negara, semakin besar pula efektivitas aturan yang berlaku di dalamnya (ceteris paribus).
Walaupun epistemologi teori kepatuhan merupakan campur tangan sarjana hukum internasional, teori ini diberlakukan sejak Perang Dingin terjadi.Para penstudi hubungan internasional menginterpretasi compliance theory sebagai proyek panjang dalam mendemonstrasi international law mattered. (Falk, 1968) Teori kepatuhan muncul dengan tujuan adanya keseimbangan aturan yang dibuat oleh pemerintah dengan permasalahan internal maupun eksternal. Para behavioralis memang bayak berperan dalam teori ini karena mencerminkan bagaimana negara bersikap, menggantikan posisi hukum oleh rezim, dan aturan legitimasi yang disertai dengan norma pengikat kehidupan bermasyarakat. Namun, sejatinya compliance tidak terus terpacu lantaran timbul enforcement dan rezim yang mampu menggoyahkan stabilitas hukum internasional. Inilah yang menjadi titik lemah compliance di saat krisis legitimasi muncul dan banyaknya pelanggaran yang terjadi atas dasar kekecewaan publik terhadap kebijakan pemerintah.
Menjawab pertanyaan di atas, pengaruh deterrence dan compliance mampu meningkatkan proses perdamaian. Jika deterrence lebih ke permasalahan power sebagai obyek sekaligus subyek, maka compliance lebih dikategorikan sebagai predikat atau sebuah tindakan aktif dan konkrit terhadap stabilitas dan perdamaian dunia. Deterrence yang seringkali dikaitkan dengan nuclear age ini mampu meredakan ketegangan sengit yang terjadi antara dua negara didaya (AS dan Uni Soviet) pada saat Perang Dingin bahkan sesudahnya tetap terus dikembangkan untuk menjadi tonggak pertimbangan untuk melakukan peperangan ataupun kejahatan militer lainnya. Kuatnya arus multipolar di mana negara nonAS seperti Iran, Koera Utara, Cina, Rusia mampu mengembangkan teknologi nuklir ataupun persenjataan militer canggih lainnya telah menggeser unilateralisme satu negara adikuasa untuk menghegemoni dunia. Artinya, perdamaian dan stabilitas dunia semakin diarahkan hal-hal demokratis di mana seluruh negara berkooperasi membentuk pertahanan individual yang utuh, strategis, dan menyeluruh. Satu hal yang perlu diingat, pencegahan adalah konsep yang sangat sulit untuk diukur karena tidak memproduksi hasil nyata yang solid dan primer. Semua hasil bermula dari alat yang bergantung pada metode tertentu. Berlakunya teori kepatuhan sebenarnya tidak memisahkan peran pencegahan di dalamnya. Melihat perkembangan klasik yang dipenuhi sektor militer sebagai high politic pada saat itu, compliance mampu menanamkan low politicsl issues yang diperkuat dengan adanya stabilitas hukum internasional. Dengan demikian, compliance theory merupakan produk dari deterrence theory.
Referensi:
Buku
Dougherty, James dan Platzgraff Jr, Robert. Theories of Deterrence (chapter 9). Contending Theories of International Relations : A Comprehensive Study (4th edn). 1996. New York : Longman.pp 368-401
Raustiala, Kal dan Slaughter, Anne Marie. International Law, International Relations and Compliance. Handbook of International Relations. 2002. London : SAGE Publication Ltd. pp 538-554
Internet
http://www.law.berkeley.edu/files/guzmanComplianceandIL.doc. A Compliance Based Theory of International Law. Diakses pada Tanggal 13 April 2009 pk 18.00 WIB
http://www.princeton.edu/~slaughtr/Articles/Compliance.pdf. Diakses pada tanggal 13 April 2009 pk 18.00 WIB
http://theglobalpolitics.com/?tag=teori. Doktrin Strategi Perang Dingin dan Sesudahnya. Diakses pada tanggal 13 April 2009 pk 18.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar