Jurnal THI XI, 3 Juni 2009
GERAK-GERIK FEMINISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
Gracia Paramitha, 070710415
Wanita merupakan mahkota terindah di dalam sebuah kehidupan. Ungkapan tersebut melekat dengan prinsip-prinsip yang tertera dalam feminisme. Berbicara mengenai feminisme Indonesia, tak lupa oleh kiprah R.A. Kartini yang berjuang kuat untuk memajukan emansipasi wanita. Tak mengherankan bila momen Kartini diabadikan dan dikenang setiap tanggal 21 April. Di era globalisasi seperti ini, peran dan kontribusi wanita mulai diperhitungkan secara intensif. Tanggal 12 Februari 2003 bisa jadi merupakan salah satu tonggak bersejarah bagi perkembangan feminisme di Indonesia, karena Sidang Paripurna DPR berhasil mengesahkan RUU Pemilu terkait kuota 30% bagi perempuan dalam Dewan Perwakilan tingkat II hingga pada tingkat pusat.(al-Wa’ie,1-30/04/2003) Dengan adanya tindakan semacam ini, feminisme telah menjadi wadah emansipatoris dan mampu menunjukkan sentuhan pluralitas baru di dalam studi hubungan internasional. Tentunya, feminisme memiliki harapan terbaik bagi perdamaian dunia, yang dapat diterapkan melalui berbagai kerjasama. Seperti apa perkembangan teori feminisme dalam studi hubungan internasional? Mengapa feminisme mampu menjadi ‘sensor motorik’ bagi perkembangan negara dalam dunia internasional?
Overview Feminisme
Kajian feminisme terkandung dalam filsafat humaniora dan mencerminkan sifat dasar seorang wanita. Lahirnya gerakan feminisme berawal dari era Pencerahan yang dicetus oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan perempuan dalam forum ilmiah pertama kali diadakan di Middleburg, kota selatan Belanda, pada tahun 1785. menjelang abad 19, mulai banyak kaum hawa Eropa yang memperjuangkan hak-haknya dalam berbagai bidang, yang memegang prinsip visioner : universal sisterhood.
Gerakan feminisme dipelopori oleh aktivis sosial utopis yang bernama Charles Fourier pada tahun 1837. Tak hanya orang Eropa, feminisme dipublikasikan dengan pesat di Amerika karena hasil pemikiran konstruktif John Stuart Mill dalam tulisannya Subject of Women (1869). Feminisme sendiri didefinisikan sebagai gerakan emansipatoris dari kaum wanita yang berusaha memperjuangkan keadilan HAM, baik dalam berpolitik, melakukan kegiatan ekonomi, maupun berprofesi di bidang pertahanan dan keamanan. Derajat dan martabat wanita setidaknya mendapat kedudukan yang sama, termasuk menjadi seorang pemimpin dalam sebuah komunitas kelompok.(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0407/24/pustaka/1165409.htm, diakses tanggal 2 Juni 2009) Wanita mampu menjadi subyek terhadap aspek kehidupan yang dikerjakan, bukan sebagai obyek statis belaka.
Feminisme mulai masuk dalam ranah hubungan internasional sejak tahun 1900an, dalam beberapa pertemuan atau konferensi di Amerika Serikat dan Inggris. Pada tahun 1988, sebuah makalah dipublikasikan oleh London School of Economics yang berjudul Gender and International Relations. Tulisan tersebut diedit oleh Rebecca Grant dan Kathleen Newland, tokoh revolusioner yang membawa studi feminisme ke dalam kerangka teoritik hubungan internasional.(J. Ann Ticker, 2002 : 277) Rebecca Grant menyatakan pula bahwa teori feminis mulai masuk dalam studi hubungan internasional pada abad 20, sejak akhir Perang Dunia I dan berhasilnya gerakan wanita dalam memberikan suara melalui hak pilih Pemilihan Umum di AS dan Inggris. (Goal utama yang dicapai kaum feminis berkaitan erat dengan tatanan sosial, yang sensitif terhadap diskriminasi, penindasan, dan ketidaksetaraan gender secara represif. Sebagai salah satu pendekatan mutakhir di hubungan internasional, teoritisi feminisme memprioritaskan studi gender yang selama ini bersifat marginal. Hierarkhi wanita dan dan ‘negara bergender’dalam feminisme saat ini benar-benar mendapat pengakuan proporsional dalam politik dunia.
Asumsi yang mendasari feminisme ialah adanya perlakuan diskriminatif dan marginalitas kaum wanita dalam menentukan langkah hidupnya. Bahkan, hak asasi wanita tidak sebanding dengan lelaki, kaum lelaki seringkali mendapat posisi tertinggi dan diunggulkan dalam setiap bidang. Dengan adanya teori feminisme di dalam studi hubungan internasional, kedudukan komparatif gender dapat berjalan dinamis dalam heterogenitas aspek seperti : perbandingan kelas atau strata, kelas, etnis, nasionalisme, seksualitas, dan menyatu dengan struktur global. (J.Ann Ticker, 2002 : 278)
Gerakan Emansipatoris Feminisme : Kerangka Politis?
Ketika teori feminisme memasuki ranah hubungan internasional, konsep emansipatoris pun mewakili kiprah dan gerakan kritisnya tentang politik dunia. Bila kaum realisme selalu menjunjung tinggi konsep negara dan “lelaki”, feminisme justru melepas belenggu formal tersebut dengan bersikap skeptis dan menunjukkan kontribusi wanita dalam membahas politik. Tindakan nyata dalam mengimplementasikan gerakan feminisme ialah demonstrasi progresif dari kaum wanita Eropa dan Amerika untuk mendapat hak suara dalam lembaga pemerintah, perjuangan R. A. Kartini hingga terpilihnya Presiden Megawati sebagai presiden wanita pertama di Indonesia. (http://id.shvoong.com/social-sciences/1697021-sejarah-dan-emansipasi-politik/ - 66k -, diakses tanggal 2 Juni 2009)
Selama ini, kerangka konseptual feminisme sulit mendapat pengakuan pantas dalam studi hubungan internasional karena adanya sistem patriarki yang mutlak diunggulkan. Kekuasaan, kedaulatan, otonomi, keamanan, dan anarki yang selalu ditujukan pada peran statemen belum cukup berhasil menciptakan stabilitas sistem internasional. R. B. Walker menyarankan bahwa teori hubungan internasional harus menjadi praktik politik konstituif, sistem internasional mampu bertransformasi menjadi masyarakat internasional yang lebih mengutamakan keadilan, legitimasi, kebebasan, dan komunitas. (Scoot Burchill, 2001)
Akan tetapi, yang menjadi kendala setelah feminisme mendapat ruang gerak dalam hubungan internasional adalah adanay kepentingan politis untuk ’memaksakan’ kehendak dalam menyetujui posisi efektif feminisme. Apakah teori feminisme dihasilkan dari kerangka politis para elite politik? Jika memang feminisme bergerak secara emansipatif, bagaimana langkah pemerintah sebuah negara dalam menentukan presentase gender dan membendung kepentingan politis statemen untuk meraih kekuasaan?
Feminisme : Pluralitas Aktor Hubungan Internasional
Gerakan pluralisme menjadi landasan krusial bagi studi internasional. Ketika realisme mengutamakan negara sebagai aktor utama hubungan internasional, pluralis bersikap skeptis dan menentang opini realis. Smith (dalam Vogler, 1996: 10) pun berpendapat bahwa pluralisme mengandung pengertian tentang pluralnya isu dalam lingkup hubungan internasional dimana para aktornya pun tidak hanya didominasi oleh negara yang bertujuan memperbesar kekuasaan mereka an sich. Dengan adanya teori feminisme, aktor yang berperan dalam hubungan internasional menjadi lebih variatif dan plural. Aktor tersebut tidak diukur berdasarkan negara dan non-negara saja, tetapi juga mempertimbangkan unsur gender dalam menentukan sikap politiknya. Apakah pria dan wanita mendapat pengakuan, kontribusi, dan apresiasi yang adil dalam membuat kebijakan? Sejauh mana peran mereka sebagai pengambil keputusan negara?
Pesona Gender dalam Membangun Perdamaian
Secara metodologis, paham feminisme ini menciptakan perdebatan tersendiri antara feminisme radikal, feminisme postmodernisme, feminisme sosial, dan jenis feminisme lainnya. Isu utama yang sangat kontradiktif dibahas adalah peran feminis dalam menjaga stabilitas perdamaian dan membentuk kerjasama yang sinergis antar negara. Terlepas dari perdebatan mereka, perdamaian dan kooperasi memang menjadi landasan darsar dalam memahami sistem anarki interansional yang didiidentikkan sebagai peperangan.
Dalam segi perdamaian, gerakan feminisme nyata terwujud dari salah satu gerakan wanita Amerika yang bernama Women’s Strike for Peace di awal 1960 . Gerakan ini memberikan perhatian pada saat peperangan ideologi AS berbenturan dengan ideologi komunisme Uni Soviet. Peran keibuan dari naluri seorang wanita diharapkan mampu memperkuat politik pembendungan senjata nuklir, yang seharusnya menuju stabilitas kooperatif dan integrasi sistem internasional. (J. Ann Ticker, 2002 : 285)
Sedangkan di dalam bentuk kooperasi, kontribusi feminisme dapat diimplementasikan ke dalam tindakan negosiasi atau diplomasi. Secara epistemologis, tindakan tersebut merupakan sikap utama kaum feminis dalam mendukung pandangan liberalisme yang berkaitan dengan kebebasan dan keadilan. Wanita yang secara biologis memiliki esensi psikologis dan emosi lebih dominan daripada lelaki justru mampu menumbuhkan politik etis dan moral yang baik bagi hubungan internasional yang berkelanjutan. Namun, yang perlu diwaspadai ialah intuisi emosional yang melebihi kepentingan nasional dalam bernegosiasi. . Ketika emosi substantif menjadi nilai strategis, motivasi dan kepercayaan sangat mempengaruhi tatanan kerjasama yang terbentuk. Nilai sosial humanis dan psikologis tak dapat terhidar dari strategi kebijakan kooperatif suatu negara. Contohnya saja : kebijakan Corazon Aquino di Filipina yang menjunjung tinggi etika moral dan falsafah feminisme dalam menciptakan hubungan diplomatik secara bilateral, multilateral serta regionalisme ASEAN. (Presentasi Asia Tenggara tentang Filipina, tanggal 30 April 2009)
REFERENSI :
Buku
1. Scott Burchill.2001. Theories of International Relations : Feminism. New York : Palgrave
2. Ticker, Aann.2002. Feminist Perspective on International Relations. London : SAGE Publications
Internet
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0407/24/pustaka/1165409.htm - 56k - , diakses tanggal 2 Juni 2009
http://id.shvoong.com/social-sciences/1697021-sejarah-dan-emansipasi-politik/ - 66k -, diakses tanggal 2 Juni 2009
http://www.ccde.or.id/index.php/bingaki-perempuan/53-perjuangan-emansipasi-perempuan-dalam-politik, diakses tanggal 2 Juni 2009
makasih banyak grace bahasannya singkat jelas padat :)) ngebantu banget buat belajar UAS :)
BalasHapus