JURNAL THI XII, 10 Juni 2009
KEAMANAN: SINERGI KONTEMPORER ANTARA LINGKUNGAN DAN MANUSIA
Gracia Paramitha, 070710415
Konsep keamanan yang ada saat ini tidak lagi menjelaskan konsep tradisional, tapi lebih kontemporer dan kompleks. Keamanan yang dulunya bersifat militerisme, telah mendapat perluasan makna menjadi keamanan manusia (human security) dan keamanan lingkungan (environmental security). Keterkaitan manusia dengan lingkungan sangat penting dalam menciptakan keamanan dan perdamaian dunia. Tentunya, kedua elemen tersebut harus dapat dimasukkan ke dalam pembuat kebijakan dan kekuasaan antar negara yang biasa disebut green politics. Politik hijau muncul dan berkembang dalam teori hubungan internasional tidak hanya menjadi ‘pajangan’ belaka, tetapi juga harus dimaksimalkan potensinya, mengingat bahwa krisis global yang terjadi saat ini berdampak buruk bagi ketahanan lingkungan. Pertanyaan besar yang menjadi acuan essay ini adalah sejauh mana isu keamanan lingkungan dan manusia ini berkembang di dalam studi hubungan internasional? Bagaimana sistem internasional mempengaruhi politik lingkungan di setiap negara? Mengapa keamanan lingkungan bersinergi dengan ketahanan lingkungan hidup?
Konsep Human Security dan Perkembangannya
Pasca perang dingin, human security lahir dalam perluasan konsep dari kemanan militer, diperkuat oleh gelombang globalisasi yang melahirkan arus balik karena beberapa efek negatifnya terhadap negara-negara lemah, kelompok, dan individu tertentu. Upaya memperjuangkan human security merupakan reaksi terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang melanda dunia saat ini, mulai dari pengungsi akibat konflik dan kekerasan fisik, penjualan anak-anak dan wanita, masalah pangan, terorisme, perdagangan senjata ilegal, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya. Tokoh-tokoh yang telah mempopulerkan konsep tersebut adalah Caroline Thomas, Sorensen, J.T. Matthew, Norman Myers, Neville Brown.
Namun, gagasan mengenai human security sebenarnya membangkitkan kembali definisi keamanan dan bagaimana cara mendapatkan keamanan itu. Tiga kontroversi yang masih diperdebatkan dala konsep keamanan manusia ialah : human security merupakan gagasan negara Barat dalam bungkus yang baru untuk menyebarkan kembali nilai HAM mereka; human security bukanlah hal baru melainkan konsep yang secara luas mencakup isu nonmiliter; definisi dan upaya mencapai human security tiap negara berbeda karena disparitas sudut pandang dan pengalaman. (Edy Prasetyono : 2003)
Menurut UNDP, definisi human security ialah : “first, safety from such chronic threats such as hunger, disease, and repression. And, second, ...protection from sudden and hurtful disruptions in the patterns of daily life --- whether in homes, in jobs or in communities”. (United Nations Development Programme 1994: Human Development Report) Dengan kata lain, konsep yang mencakup “freedom from fear and freedom from want” ini menandai pergeseran hubungan internasional: perubahan norma tentang hubungan antara kedaulatan negara dan hak azasi manusia yang kemudian melahirkan konsep Responsibility to Protect. Sementara itu, Kanada mengkritik konsep human security UNDP yang mengabaikan “human insecurity resulting from violent conflict”. Kanada menganggap bahwa keamanan manusia secara doktrinal harus berdasarkan pada Piagam PBB, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, dan Konvensi Jenewa.
Terlepas dari perdebatan tersebut, hal yang harus ditekankan dalam konsep human security ialah aspek politik dan operasional yang biasa disebut dengan degree of human agency dan control. Arti dari human agency and control yaitu pencegahan aksi kekerasan yang mungkin dilakukan oleh berbagai aktor terhadap manusia, mungkin negara, kelompok, individu-individu, dan sebagainya. Implementasi dari konsep human security sudah dilakukan ketika kasus Gerakan Aceh Merdeka terjadi. Pentingnya penerapan human security dan peace building dalam kasus Aceh dilatarbelakangi oleh : respon pemerintah menggunakan kekuatan militer berlebihan dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) terhadap gerakan milisi di Aceh telah terbukti gagal dalam menyelesaikan konflik dan perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM); pengiriman kekuatan militer yang berlebihan dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) tersebut telah menyebabkan timbulnya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pihak militer terhadap masyarakat Aceh.
Semangat Politik Hijau dalam Menjaga Stabilitas Environmental Security
Sejarah yang menjelaskan tentang lingkungan hidup sebenarnya telah diwariskan sejak abad 12. Hal ini dibuktikkan dengan kasus penebangan kayu hutan Babilonia, Yunani, dan Italia ketika peradaban manusia baru berkembang serta adanya konservasi minyak di Mediterania dan peradaban Cina. (Hughes: 1975) Filsuf yang berkontribusi terhadap konsep-konsep lingkungan hidup bernama Rosseau dari Prancis dan Henry David Thoreau dari Amerika. Mereka mulai menggencarkan aspek lingkungan hidup pada masa pencerahan, yang pada akhirnya memunculkan istilah green politics.
Green politics sendiri bermakna ideologi politis, yang sangat kental dengan nuansa ekologis, kelestarian lingkungan hidup, dan demokrasi partisipatoris. Konsep green politics mulai dibangun dalam bentuk gerakan konservatif sejak lahrinya Sierra Club di San Fransisco, tahun 1892. Klub tersebut menitikberatkan pada upaya-upaya konservasi dan preservasi alam. Politik lingkungan juga tak terlepas dari gerakan environementalis dari Jerman, ditandai dengan berdirinya German Green Party (GGP) tahun 1980. Sebagai partai yang sangat atraktif pada masa itu, GGP yang bersimbol bunga matahari di benderanya memiliki 4 pilar prinsipil, yakni: Ecological wisdom, Social justice, Grassroots democracy, Nonviolence. (John Willey : 1995)
Kemunculan rezim lingkungan internasional ditandai oleh pelaksanaan Stockholm Conference pada tahun 1972. Dua puluh tahun kemudian isu lingkungan hidup kembali dengan adanya konferensi di Rio de Janeiro tahun 1992, membahas tentang kemerosotan lingkungan hidup karena pembangunan yang tidak berkelanjutan. Hasil keputusan sidang tersebut bernama ‘Agenda 21’, menghasilkan kesepakatan berupa rencana tindak kegiatan yang disepakati dunia untuk memecahkan lingkungan dan pembangunan. Sejak saat itu pula, konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) berkembang secara pesat, di Indonesia sendiri dipopulerkan oleh Prof. Emil Salim.
Pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi. (Emil Salim : 2003)
Pendekatan green politics terdiri dari dua bagian utama, yakni : ecocentrism dan anthropocentrism. Ekosentrisme dikemukakan oleh Aldo Leopold, berfokus pada komunitas biotik sebagai satu keseluruhan biosfer dan stabilitas komposisi ekologis. Land ethic dan good environmental management telah menjadi kunci utama dalam pandangan filosofis ini. (Leopold : 1949) Ekosentrisme juga sering disebut life-centered, atau deep ecology system. Sedangkan antroposentrisme dikemukakan oleh Arn Naess, yang berfokus pada kewajiban moral manusia untuk menghargai alam karena didasarkan atas kewajiban untuk menghargai sesama sebagai manusia. (Naess:1984) Konsep antroposentris juga biasa disebut dengan human-centered. Dua perspektif tersebut termasuk dalam teori etika lingkungan hidup, yang diartikan sebagai sebuah usaha untuk membangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip-prinsip moral yang dapat dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem alam dan lingkungan sekitarnya. (Taylor: 1999)
Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi isu utama bagi kelestarian lingkungan hidup. Dampak yang terjadi pun meluas sampai ke permasalahan krisis energi, krisis pangan, tentunya juga degradasi lingkungan. Sejak dicanangkannya Protokol Kyoto tahun 1997, Amerika Serikat termasuk negara penentang dan tidak meratifikasi kesepakatan tersebut. AS merasa dirugikan dengan adanya usulan mereduksi emisi karbon dioksida sebesar 30%-50%, perusahaan domestik pun akan bangkrut. Sebaliknya, AS menuduh negara berkembang yang tidak memiliki manajemen sampah yang baik, sehingga menghasilkan gas metana (gas paling berbahaya bagi kerusakan ozon, di atas C02). Titik penyebab utama permasalahan tersebut adalah dominasi penggunaan perspektif antroposentrisme dalam melestarikan lingkungan hidup. Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan United Nations Framework on Climate Change Conference 2007 telah menganjurkan adanya preferensi ekosentrisme sebagai strategi kebijakan nasional setiap negara. Implementasi green politics dalam menstabilkan environmental security tidak harus dari kalangan birokrat, tetapi semua lapisan bertanggung jawab atasnya. Sebagai generasi muda, sudah sepatutnya melestarikan lingkungan hidup dimulai sejak dini dan dari lingkup paling kecil (keluarga).
Lingkungan hidup memang menjadi isu area utama ketiga setelah keamanan internasional dan ekonomi global. (Porter dan Brown : 1996) Meskipun cenderung bersifat low political issues, lingkungan hidup dan intervensi humanisme mampu membawa pengaruh besar bagi sistem hubungan internasional. Pembuat kebijakan dan pengambil keputusan senantiasa memprioritaskan unsur sosial humanis dan keamanan bersama (collective security) di atas kepentingan yang hanya bersifat power politics. Salah satu cara paling sederhana untuk menjaga kelestarian lingkungna hidup ialah sosialisasi penghematan energi dan penerapan hemat listrik dan air di rumah, membuang sampah di tempatnya, dan melakukan penghijauan satu jiwa satu pohon (minimal). Keamanan internasional telah mengkorelasi aspek humanisme (manusia) dan ekologis (lingkungan) secara komprehensifdan sinergis. Semakin intensif kebijakan tersebut berlaku di sektor domestik, semakin cepat perdamaian keberlanjutan tercapai.
REFERENSI :
Buku
Banyu, Anak Agung Perwita dan Yanyan Mochamad Yani. Pengantar Ilmu HubunganInternasional. 2006. Bandung : PT Remaja ROSDAKARYA. hal 144
Jackson, Robert dan Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. 2005. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. hal 322-328
Mc Cormick, John. The Global Environmental Movement. 1995. London
Salim, Emil. “Membangun Paradigma Pembangunan” dalam makalah Peluncuran Buku dan
Forum Diskusi Mengenai Hasil-Hasil dan Tindak Lanjut KTT Pembangunan Berkelanjutan. 2003. Jakarta
Taylor, Paul W. Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics. 1998 New Jersey : Princenton Press University:, page. 13
Internet
www.propatria.or.id/download/Paper%20Diskusi/human_security_ep.pdf , diakses tanggal 9 Juni 2009 www.thebreakthrough.org/images/Death_of_Environmentalism.pdf, diakses tanggal 9 Juni 2009
www.runet.edu/~wkovarik/envhist/ Diakses tanggal 9 Juni 2009
www.demosindonesia.org/pdf/Sasgart_Green%20Politics%20dan%20Gerakan%20Demokrasi.pdf, diakses tanggal 9 Juni 2009
www.humansecurityreport.info/HSR2005_PDF/What_is_HS.pdf, diakses tanggal 9 Juni 2009
www.akaldankehendak.com/?p=59, diakses tanggal 9 Juni 2009
sayangnya, neoliberalisme dengan kapitalisme globalnya belum jadi arus utama perlawanan dalam konteks isu lingkungan. Tak bisa memisahkan kedua isu ini secara sepihak karena penyebab utama kerusakan lingkungan sejatinya adalah kapitalisme.
BalasHapus