Rabu, April 07, 2010

Area Kosmopolitanisme: Multikulturalisme Idealis dan Kode Etik Budaya Baru

Area Kosmopolitanisme: Multikulturalisme Idealis dan Kode Etik Budaya Baru
Gracia Paramitha

Momen pucak kosmopolitanisme sebagai city life style
Secara historis, filosofi kosmopolitanisme terlahir sejak zaman Yunani kuno, pada masa Dark Age (sekitar abad 6 sebelum Masehi). Ide kosmopolitan berpijak pada istilah “polis” yang artinya kota dan “cosmo” bermakna seluruh belahan dunia. Cynic Diogene merupakan pencetus kosmopolitanisme yang mengumandangkan “I am the citizen of the world” yang pada akhirnya berkembang pesat sampai masa Pencerahan bahkan era globalisasi abad 20 ini. (Cynics, 1990)
Pada umumnya, area kosmopolitan hanya bisa dijangkau oleh kelompok atau komunitas berkelas tinggi. Ukuran mikro kosmo terlihat dari tiga kota kosmopolitan terbesar di dunia, yakni: Paris, London, dan New York. Parameter yang mengakui kesahihan kosmopolitan mereka berasal dari: kekuasaan politik, media, masyarakat edukatif (banyak ilmuwan ternama), ekonomi dan keuangan, serta kesenian. (slide madam Anne) Tidak bisa dipungkiri bahwa kota Paris sangat terkenal dengan sebutan kota mode, yang mampu memberikan nuansa hedonis mengenai fashion artistik.Selain itu, Paris juga diakui masyarakat dunia sebagai salah kota global terbesar di dunia, dibuktikkan dengan kehadiran 30 juta turis per tahunnya.
Sedangkan London merupakan kumpulan berbagai komunitas bangsa di seluruh dunia. Adanya Oxford University, Cambridge University, London School of Economics mampu mencengangkan komunitas global dalam meraih cita-cita akademis yang spektakuler. Greenwich, salah satu daerah di London, juga termasuk pusat penghitungan waktu dunia. Sejak zaman revolusi industri hingga dekolonisasi, kota London merupakan urat nadi perkembangan ekonomi dan teknologi mutakhir.
Lain halnya dengan New York, kota yang menjadi pintu gerbang para imigran ini menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum traveler. Casino menjadi magnet pebisnis dari berbagai negara yang ingin menggelembungkan aset mereka. Berbagai film menarik dari Hollywood pun telah mengangkat kebesaran kota New York sebagai kota multikultural. Tak hanya itu, CNN menjadi pesaing keras bagi British Broadcasting Company (BBC) maupun Agence France Press (AFP).
Hyper Mobile Planet: Stigma Hotel, Transportasi, dan Masyarakat Kosmopolit
Ruang lingkup kosmopolitanisme tidak hanya tersudutkan pada sebuah kota indah nan megah. Mobilitas individu dan perubahan strukturlah yang menjadi sensor motorik ideologi kosmopolitanisme. Semakin berkembangnya zaman, semakin cepat pula peradaban masyarakat dan stuktur yang mempengaruhinya. Hyper mobile planet merupakan istilah khas yang terafiliasi dengan kosmopolitanisme oleh karena adanya daya aktualisasi dan mobilisasi yang berlebihan dari seorang individu. Migrasi yang terjadi secara masif, akumulasi kapital, asimilasi budaya, serta kecanggihan teknologi informasi dan prediksi moneter secara fluktuatif turut menbentuk sistem kosmopolitan tersendiri bagi dunia perhotelan, transportasi, dan profesi.
Hotel Sheraton, Hilton, serta Accor Group dapat dikategorikan sebagai hotel kosmopolit, karena banyaknya cabang hotel yang tersebar di ratusan negara, sistem manajemen interaktif (perpaduan tenaga kerja lokal dan tenaga kerja asing), adanya fasilitas ‘mobile tourism resort’ yang berstandard internasional, serta kualitas tinggi pelayanan terhadap para tamu yang datang. Kriteria tersebut dapat dikatakan sebagai indikasi utama dalam memasarkan kosmopolitanisme perhotelan.
Berbeda dengan transportasi, sistem mobilitas ini sangat bergantung pada perkembangan alat angkutan. Sejak PBB mendeklarasikan Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1948, salah satu butir yang berkaitan dengan sistem transportasi ialah freedom of movement. Pergerakan dan aktivitas manusia tidak terbatas dan didukung dengan adanya pesawat terbang, kereta api, mobil, sepeda, kapal pesiar, dsb. Dengan adanya pesawat terbang atau turbo jet, maka perjalanan jarak jauh terasa lebih mudah dilakukan. Maskapai penerbangan pun memiliki brand tersendiri yang mampu menanamkan nilai keragaman yang menjadi satu (united indiversity).
Profesi kosmopolit sendiri dipengaruhi oleh multikuturalisme identitas. Oleh karena itu, etika dan moral perlu dipelihara secara profesional agar universalisme tetap terjaga. Mayoritas aktor yang identik dengan kosmopolitanisme ialah para diplomat, artis, atlit, dan pelaku bisnis. Alasan utama yang mendasari yaitu adanya loyalitas penuh dalam menciptakan komunitas dunia yang damai, kegemaran menjelajah dan mempelajari beragam budaya, keterbukaan sikap dalam memahami sudat pandang tertentu. (Martha Nussbaum, 1996) Sayangnya, predikat orang kosmopolit hanya diraih oleh sekelompok orang tertentu di mana memiliki kapasitas ekonomi yang baik, profil tinggi, gaya hidup mewah, tuntutan berbahasa asing yang majemuk, dan jaringan global. Dengan kata lain, masyarakat kelas bawah (budak ataupun buruh) sulit sekali mencapai gelar ”kosmopolit”.

OPINI PRIBADI
Dalam memahami kosmopolitanisme secara komprehensif, terdapat kata kunci yang harus diperhatikan, antara lain: etika moral, toleransi terhadap perbedaan atau keberagaman, dan kebersamaan. Berangkat dari ide dasar liberalisme yang tertuang dalam karya Emmanuel Kant Prepetual Peace, kosmopolitanisme dipandang sebagai pedoman hidup dalam menyatukan seluruh masyarakat dunia dengan menjunjung tinggi perdamaian abadi. Namun, konteks idealis ini masih bersifat utopia dan jauh dari kenyataan. Ketika Will Kymlicka berpendapat bahwa multikulturalisme terdapat dalam sistem kosmopolitan yang interaktif, tatanan keadilan pun semakin kabur (bias).
Menurut Benhabib (2006), ada tiga tantangan besar yang harus dihadapi kaum kosmopolit. Pertama, tercipta masyarakat yang nonagregatif (tidak berbaur) layaknya salad di dalam mangkuk. Keberagaman yang ada bersifat semu dan tidak menunjukkan relasi yang dinamis di antara mereka. Kedua, jurang pemisah antara hak asasi manusia dengan kultur partikularistik dan indetitas nasional yang terlegitimasi oleh sistem demokrasi. Artinya, konflik antara kepentingan politis sistem demokrasi masih belum bisa memfasilitasi kebutuhan individu dan persatuan budaya. Ketiga, terbentuknya homogenisasi kultur. Westernisasi atau pencontohan budaya Barat ke berbagai negara merupakan realitas yang tidak dapat terhindarkan. Setiap orang pasti bersahabat dengan makanan Mc Donald, Coca Cola, musik pop, dsb.
Saya berkesimpulan bahwa migrasi yang dilakukan masyarakat modern saat ini belum mampu mewujudkan konsep kosmopolitanisme yang sebenarnya. Seperempat dari jumlah anak-anak di dunia yang berumur antara lima sampai empatbelas tahun, 250 juta secara keseluruhan harus bekerja di luar rumah untuk mendapatkan upah, seringkali harus mengalami kondisi yang sangat sulit, baik dalam pertanian, konstruksi, tekstile, atau produksi karpet, misalnya, atau sebagai tentara, pekerja seks, atau pembantu rumah tangga (World Bank, 1999). Dengan adanya data statistik tersebut serta tantangan Benhabib, maka kosmopolitanisme perlu membentuk kode etik baru yang memadai dan diterima oleh seluruh masyarakat dunia. Selain itu, esensi multikulturalisme idealis dapat terminimalisir dengan adanya reformasi struktural (ada otonomi negara yang diikat secara institusional) mengenai multikulturalisme dan interaksi masyarakat global.


REFERENSI:
Benhabib,Seyla et al. 2006. Another Cosmopolitanism.Robert Post ed.Oxford: Oxford University Press. page 16
Cynics. 1990. In Socratis et Socraticorum Reliquiae, Ed. G. Giannantoni, vol. 2. Naples: Bibliopolis
Nussbaum, Martha. 1996. “Patriotism and Cosmopolitanism,” in For Love of Country: Debating the Limits of Patriotism, ed. Joshua Cohen. Beacon Press: Boston.
World Bank, World Development Report 1999/2000, New York, Oxford University Press, juga tersedia dalam http://www.worldbank.org/wdr/2000/fullreport.htm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar