Selasa, Maret 30, 2010

DEGRADASI REALISME YANG TERTUTUP OLEH NEOREALISME

Jurnal THI I , March 18th 2009

DEGRADASI REALISME YANG TERTUTUP OLEH NEOREALISME
(Oleh : Gracia Paramitha, 070710415)

Sebentar lagi negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN akan merealisasikan ASEAN Community 2015. Ideologi yang semula membawa prospek ekonomi absolut telah berkembang dan cenderung mementingkan aspek keamanan mereka. Tak hanya itu, peperangan dahsyat yang baru saja terjadi antara Israel dan Palestina (Gaza) telah menggetarkan pikiran serta hati setiap warga internasional. Kedamaian pun tak henti-hentinya didengungkan oleh setiap insan manusia hingga menukik manuver PBB dalam membantu para korban Palestina (Gaza). Melihat fakta-fakta tersebut, terbesit beberapa pertanyaan yang mampu menggelitik konstelasi hubungan internasional. Apakah paham realisme benar-benar hilang atau vacuum dalam modernitas dunia saat ini? Bagaimana realisme terbelenggu sementara manusia masih mencari human security sehingga negara pun berbondong-bondong memperjuangkannya melalui kendaraan sebuah organisasi internasional maupun regional? Lantas, benarkah realisme telah jatuh tenggelam oleh kehadiran neorealisme yang lebih mengedepankan jaminan strategis dan stabilitas?
Realisme merupakan sebuah pandangan klasik yang sangat berpengaruh terhadap sistem hubungan internasional, baik secara akademis maupun nonakademis. Paham tradisional ini lahir sejak tahun 1930an, masa di mana liberalisme atau lebih dikenal idealisme tidak lagi dianggap sebagai pedoman kuat untuk mengkorelasikan negara-negara secara internasional. Pada abad 20, periode Perang Dunia I sampai Perang Dingin, realisme pun kian termashur dan diperdebatkan. Ada tiga fase yang mencerminkan dinamika realisme, di antaranya : realisme klasik, realisme neoklasik, dan neorealisme. Para tokoh seperti Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes membahasakan realisme klasik dengan kata power. Ide atau asumsi dasar mengenai realisme adalah:
1. pandangan pesimistis atas manusia
2. keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan konflik tersebut diselesaikan melalui peperangan
3. menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara
4. skeptisisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam politik domestik
Oleh karena power dianggap sebagai pondasi kuat kaum realis, maka tak mengherankan apabila tujuan kekuasaan, alat kekuasaan, dan penggunaan kekuasaan telah menjadi pusat perhatian aktivitas politik dalam suatu negara. Dalam perpolitikan internasional, power politics menjadi core issue : suatu arena persaingan, konflik, dan perang antara negara-negara di mana masalah-masalah dasar yang sama dalam mempertahankan kepentingan nasional dan menjamin kelangsungan hidup negara berulang sendiri terus-menerus. Kaum realis berargumen bahwa politik dunia berkembang dalam anarki internasional : sistem tanpa adanya kekuasaan yang berlebihan, tidak ada pemerintahan dunia. Negara telah didapuk sebagai aktor utama dalam politik dunia (global). Namun, negara yang paling penting dalam politik dunia adalah negara-negara berkekuatan besar (great powers). Dasar normatif realisme adalah keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara di mana negara dipandang esensial bagi kehidupan warga negaranya. Wilayah, penduduk, cara daur hidup sepenuhnya dilindungi dan diatur oleh negara.
Realisme klasik sangat terkenal dikemukakan oleh Thucydides (sejarawan Yunani kuno), Niccolo Machiavelli (teoritisi politik Italia zaman Reinnasance), dan Thomas Hobbes (filsuf hukum dan politikus Inggris abad 17). Thucydides lebih mengutamakan nilai kekuasaan sebagai nasib politik, setiap manusia memiliki kebutuhan dan keamanan sebagai faktor penting dalam hidupnya. Oleh karena itu, ketahanan politik sangatlah krusial dibentuk agar keselamatan individu terjamin dengan baik. Lain halnya dengan Machiavelli, seorang tokoh yang terkenal dengan bukunya Prince ini mengunggulkan kebebasan nasional (kemerdekaan) sebagai nilai politik tertinggi. Machiavelli berasumsi bahwa dunia merupakan tempat berbahaya sekaligus tempat yang menguntungkan. Tak heran bila sebuah kesempatan telah diserasikan dengan keamanan nasional agar mampu menciptakan kelangsungan hidup politik. Sistem seperti inilah yang akhirnya dijadikan pondasi dasar realisme klasik. Sedangkan Hobbes lebih menggambarkan kekuasaan sebagai keinginan politik. Bagi Hobbes (1946:82) ’keadaan alami’ merupakan lingkaran manusia yang sangat tidak bersahabat di mana terdapat keadaan perang antar individu, tidak seorang pun yakin tentang keamanan dan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu terbatas. Hobbes merangkum kehidupan tersebut layaknya ”security dilemma” di mana perdamaian dan kekacauan hidup berdampingan hingga mampu menimbulkan kerisauan tuk menyelaraskannya.
Realisme klasik pun dikembangkan lagi menjadi neorealisme klasik atau biasa disebut neoklasik oleh Hans. J. Morgenthau (1965) yang mengibaratkan wanita dan pria sebagai binatang politik (animus dominandi) yang cenderung egois, kejam, tak berbudi. Kondisi dasar dari pribadi manusia ini telah menjadikan negara sebagai politik kekuasaan, keahlian politik, dan lingkungan politik yang nantinya menghasilkan etika politik (kebijakan), kebutuhan manusia yang terjamin (keamanan dan kelangsungan hidup), kepentingan nasional, dan perimbangan kekuatan (balance of power). Morgenthau menyimpulkan teori neoklasik hubungan internasional ini ke dalam beberapa cakupan, yakni:
a. politik berakar dalam sifat manusia yang permanen dan tidak berubah yang pada dasarnya mementingakan diri sendiri (self-centered, self-regarding, self-interested)
b. politik merupakan wilayah tindakan otonom dan tidak dapat terlepas dari permasalahan ekonomi atau moral
c. kepentingan pribadi adalah fakta mendasar kondisi manusia : seluruh rakyat memiliki minat yang sangat rendah dalam hal memperjuangkan keamanan dan kelangsungan hidupnya
d. etika hubungan internasional adalah etika situasional yang berbeda jauh dari moralitas pribadi
e. kaum realis menentang pemikiran bahwa bangsa tertentu dapat memaksakan ideologinya pada bangsa lain
f. seni bernegara adalah aktivitas sederhana dan cenderung membosankan sehingga menimbulkan keterbatasan dan ketidaksempurnaan manusia.
Setelah mengetahui dan memahami terminologi realisme di atas, sejumlah pertanyaan mulai menggelitik pemikiran realitas yang ada saat ini. Sejauh mana peran realisme mampu tergantikan oleh neorealisme? Apakah realisme benar-benar mengalami degradasi?
Sebelum merujuk pada perkembangan neorealisme, ada suatu transisi antara realisme klasik menuju realisme kontemporer (neorealisme) yaitu realisme strategis. Thomas Schelling mengemukakan bahwa realisme strategis pada dasarnya memfokuskan pada pembuatan keputusan dan kebijakan luar negeri. Ketika militer tidak selamanya menjawab problematika negara, Schelling (1980;1996) berupaya menyediakan saran-sarana analitis untuk berpikir strategis. Berbekal dari ”game theory”, ia menemukan alternatif solusi peperangan militeris yang marak terjadi melalui jalur diplomasi sebagai aktivitas instrumen rasional. Di sini mulai terlihat perubahan dari teori realisme yang cenderung mengutamakan nilai normatif, negara bertanggung jawab untuk keamanan nasioal dan memiliki tujuan politik sebagai bagian dari ketatanegaraan, realisme strategis lebih mengedepankan dasar-dasar empiris yang secara teknis bersifat praktis dan lebih ilmiah. Alasan mereka mulai meninggalkan dasar normatif karena normatif dinilai sebagai aspek subyektif yang bersifat tidak ilmiah.
Pemikir kaum neorealisme seperti Kenneth Waltz (1979) mulai menunjukkan adanya penghapusan etika kenegaraan dan kondisi dasar manusia seperti yang dikemukakan oleh Morgenthau. Dalam bukunya Theory of International Politics, Waltz telah memperkuat pengabaian terhadap pertimbangan normatif realisme klasik. Degradasi realisme telah ditunjang dengan adanya asumsi dasar neorealisme yang berfokus pada struktur sistem (determinisme sistem internasional), interaksi tiap unit, kesinambungan dan perubahan sistem. Di dalam struktur sistem, distribusi kekuatan distribusi relatif dinilai sebagai faktor analitis utama, bukan aktor semata. Hal yang menarik dari teori Waltz ialah adanya keyakinan akan stabilitas sistem bipolar disebabkan oleh beberapa faktor : jumlah konflik negara berkekuatan besar lebih sedikit, lebih mudah menjalankan sistem penangkalan yang efektif sebagai akibat sedikitnya great powers.
Pemaparan di atas setidaknya mampu menjawab pertanyaan mengenai kegelisahan nasib realisme masa kini. Memang, secara kontekstual realisme telah tergantikan oleh neorealisme. Adanya rumusan matematis bersumber dari ”game theory or rational choice theory”, neorealisme telah memberikan inovasi terhadap perkembangan realisme yang cenderung normatif dan nonilmiah. (Waltz, 1979) Kritikan yang dapat melemahkan realisme antara lain: (1) tentang pemisahan moralitas dan politik dalam politik internasional. Akibatnya, ia memberi legitimasi terhadap eskalasi perlombaan senjata dan ambisi menghegemoni dari negara-negara yang memiliki kekuasaan besar; (2) bias jender di mana perilaku mencari kekuasaan dan obsesi keamanan nasional dan militer adalah merefleksikan dominasi pandangan dunia politisi laki-laki yang memprioritaskan agresivitas dan kompetisi; (3) adanya pengakuan negara sebagai aktor mutlak kekuasaan yang kian menggeserkan organisasi transnasional (pluralisme). Terlepas dari masa depan ataupun nasib berkelanjutan yang stabil, faktor normatif realime turut berkontribusi aktif terhadap paradigma neorealisme. Degradasi realisme tidak sepatutnya dinilai buruk karena neorealisme pun belum sepenuhnya dianggap teori terbaik untuk perpolitikan internasional saat ini. Adanya penurunan terminologi realisme oleh neorealisme justru akan dipertandingkan dengan neoliberalisme. Degradasi realisme optimistis membangun citra baru neorealisme.
DAFTAR PUSTAKA


Buku

Graham Evans dan Jeffrey Newnham. The Penguin Dictionary of International Relations,Penguin Books, England, 1998, hal 364-365 dan hal 465-466
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Scott Burchill, Realism and Neo-realism, dalam Scott Burchill, et.al., Theories of International Relations, Palgrave, New York, 2001, hal 70-102



Internet

http://kahmibulaksumur.net/index.php/2007/11/02/pokok-pokok-realisme-dalam-politik-internasional (Diakses tanggal 16 Maret 2009 pk 18.00)
http://ire.sagepub.com/cgi/reprint/17/3/273 (Diakses tangal 16 Maret 2009 pk 18.00)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar