Jurnal THI II, 25 Maret 2009
INTERDEPENDENSI LIBERALISME dan NEOLIBERALISME
(Oleh : Gracia Paramitha, 070710415)
Sejumlah fenomena historis yang mampu menggambarkan kondisi internasional pada saat itu adalah banyaknya perang yang terjadi dengan tindakan yang begitu anarkis, kejam, biadab, hingga mengorbankan sekitar jutaan jiwa. Perang merupakan pengalaman terburuk bagi setiap insan manusia, khususnya tentara-tentara muda yang dikenakan wajib militer dan terbantai berjuta-juta, terutama dalam peperangan garis depan pihak Barat. Salah satu contoh konkritnya adalah Perang Somme (Perancis) yang terkenal di bulan Juli-Agustus tahun 1916. Bahkan peristiwa tersebut dianggap sebagai “tragedi berdarah”. (Gilbert, 1995:258) Realita yang terjadi di masa lampau ini menimbulkan asumsi publik yang mengatakan bahwa Dunia Barat sudah gila, jutaan orang terbunuh dengan sia-sia. (Gilbert, 1995:257) Namun, hal ini justru menjadi pemicu terjadinya perang berkelanjutan dari Perang Dunia I sampai Perang Dingin. Menanggapi kejadian tak berprikemanusiaan tersebut, maka muncul jawaban idealis yang mampu menjadikannya sebagai teori awal hubungan internasional, yaitu idealisme. Idealisme ini tidak jauh berbeda dengan liberalisme di mana perdamaian abadi dijadikan solusi mutlak terhadap peperangan ataupun kejahatan yang menghantui negara-negara.
Secara historis, teori liberalisme mulai populer dan diperdebatkan pada tahun 1920, masa Amerika Serikat dan Inggris berdiri tegak dengan prinsip-prinsip demokratis. Peperangan hebat yang terjadi ketika itu mampu melatarbelakangi asumsi dasar konsep liberalisme. Konsep ini jauh mengedepankan sikap optimisme dan positivisme dalam dirir seorang manusia. Manusia yang dimaksud tergolong manusia rasional, dan ketika mereka memakai alasan-alasan pada hubungan internasional mereka dapat membentuk organisasi internasional bagi keuntungan semua pihak. Bukti nyata kerjasama yang diadakan adalah berdirinya Liga Bangsa-Bangsa sebagai wadah pemersatu ide-ide perdamaian dunia. Tradisi liberal erat kaitannya dengan prinsip negara liberal modern. Tokoh terkemuka yang mengutarakan kondep ini adalah John Locke, filosof abad 17. Locke melihat adanya potensi besar bagi kemajuan manusia dalam civil society di mana kebebasan atau kepentingan individu sangat dijunjung tinggi. Locke juga berpendapat bahwa negara harus mampu menjamin kebebasan warga negaranya dan mengizinkan mereka hidup bahagia tanpa campur tangan pihak lain. Prinsip ini berhubungan dengan landasan dasar negara konstitusional di mana kesejahteraan dan penghormatan hak warga negara menjadi hal esensial dalam hukum nasional suatu negara.Kaum liberal pun sepakat bahwa dalam jangka panjang, kerjasama berdasarkan kepentingan timbal balik akan berlaku. Hal ini didasari oleh modernisasi yang terus menerus meningkatkan ruang lingkup dan kebutuhan kerjasama. (Zacher dan Matthew, 1995:119) kunsi dasar konsep liberalisme ialah keyakinan terhadap kemajuan. Sebagai penguat argumen ini, Jeremy Bentham, seorang filosof Inggris abad 18 emunculkan istilah hukum internasional sebagai landasan kokoh berdirinya negara liberal modern. Sebagai perluasan, Immanuel Kant, filsuf Jerman abad 18, berpikir bahwa negara konstitusional yang saling menghargai akan disebut republik akan memicu terbentuknya perdamaian abadi (perpetual peace) di dunia.(Gallie 1978:8-36) Seiring perkembangan zaman, liberalisme ini telah mengalami peyorasi makna karena sifat dasarnya yang begitu utopis. Penjabaran dari terminologi tersebut akan membagi liberalisme menjadi beberapa aliran:
1. Liberalisme Sosiologis
Hubungan transnasional dianggap kaum liberal sosiologis sebagai aspek hubungan internasional yang semakin penting. James Rosenau mendefinisikan transnasionalisme sebagai : “proses di mana hubungan internasional yang dilaksanakan oleh pemerintah telah disertai oleh hubungan individu-individu, kelompok, dan masyarakat swasta yang dapat memiliki konsekuensi penting bagi berlangsungnya peristiwa. (Rosenau 1980:1) Kaum liberal sosiologis kembali memasukkan tema lama dalam pemikiran kaum liberal di mana hubungan antar rakyat lebih kooperatif dan lebih mendukung perdamaian daripada hubungan antar pemerintah nasional. Maka, kepentingan dari masing-masing pihak tidak slaing mendominasi ataupun bertentagan sehingga terjadi persaingan tidak sehat.
2. Liberalisme Interdependensi
Interdependensi berarti hubungan timbal balik antara rakyat dan pemerintah yang dipengaruhi oleh peristiwa yang dilakukan pihak negara lain. Modernisasi didapuk sebagai latar belakang munculnya interdependensi antar negara. Bahkan, keberadaan interdependensi mampu mengakibatkan kompleksitas oleh adanya perluasan ruang lingkup dan derajat negara yang semakin multidimensional. Dalam interdependsi kompleks, aktor-aktor transnasional semakin penting sehingga menurunkan fungsi militer. Jadi, keamanan bukan lagi dianggap sebagai tujuan utama, melainkan kesejahteraan yang lebih kooperatif.
3. Liberalisme Institusional
Liberalisme institusional bermakna bahwa hubungan mutualisme antar negara harus terkendali dan terkontrol dalam suatu lembaga organisasional. Seringkali peran institusi yang dimaksud cenderung ke negara. Institusi internasional membantu memajukan kerjasama antara negara. Oleh sebab itu, pengaruh institusi tersebut membantu mengurangi ketidakpercayaan dan ketakutan antar negara yang dianggap sebagai masalah tradisional (dikaitkan dengan anarki internasional).
4. Liberalisme Republik
Konsep ini dibangun dari pernyataan bahwa negara-negara demokrasi liberal bersifat lebih damai dan patuh pada hukum dibandingkan sistem politik lainnya. Bukan berarti negara demokratis tidak pernah berperang, negara demokratis lebih sering berperang dengan negara nondemokratis. Perdamaian demokratis ini telah dikemukakan oleh Michael Doyle (1983) melalui tiga pilar : penyelesaian konflik secara damai antar negara demokratis, nilai bersama di antara negara demokratis- fondasi moral bersama, dan kerjasama ekonomi antar negara demokratis. Kaum liberalis republikan lebih bersikap optimis dalam meningkatkan ”Zona Perdamaian” yang terus menerus terjalin dalam negara-negara demokratis.
Tantangan liberalisme ini dihadapkan dengan lawan handal neorealisme. Secara humanis, sifat atau kondisi dasar manusia dari tiap paham bertolak belakang, antara optimisme dan pesimisme. Secara historis, liberal sangant mempertimbangakan progesivitas potensial yang terjadi masa lampau. Adanya pengalaman tradisional tersbut dinilai mamu memberikan dinamika perubahan yang lebih efektif. Namun, kaum neorealis sangat mengkritik peran institusi internasional yang ada di dalam konsep liberalisme. Kerjasama antar negara yang terwakili oleh suatu institusitidak selamanya berawal dari kepentingan bersama, malah diperuntukkan kepentingan pribadi semata.
Sebagai reaksi terhadap perdebatan neorealisme dan liberalisme, maka muncul paham neoliberalisme yang tak menghilangkan esensi liberal itu sendiri. Adanya kemajuan dan perubahan tetap menjadi landasan utama neoliberalisme, tetapi menolak nilai-nilai idealisme dan utopia yang semakin goyah tuk dianalisis secara ilmiah. Neoliberalisme dikemukakan oleh beberapa tokoh, di antaranya : Keohane dan Nye, Lebow, dan Mearsheimer. Keohane dan Nye lebih menjelaskan konsep neoliberalisme ke dalam ”interdependesi kompleks”. Mereka berkata: “…complex interdependence sometime comes closer to reality than does realism.” Untuk menjelaskan hal ini, ada beberapa hal penting yang patut diperhatikan. Pertama, negara merupakan unit koheren dan aktor dominan dalam hubungan internasional. Kedua, force dijadikan sebagai instrumen bermanfaat dan efektif dalam membuat kebijakan. Ketiga, adanya hierarki dalam politik internasional.
Berpijak pada asumsi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perdebatan sengit antara neorealisme dengan liberalisme sampai ke neoliberalisme mampu menimbulkan titik temu yang menjadi satu persamaan antar kedua paham tersebut. Baik neorealis maupun neoliberalis tidak memungkiri bahwa sistem anarki internasional memang ada dan nyata terjadi sampai sekarang. Namun, hal yang berbeda dari neoliberalisme adalah diberlakukannya pendekatan-pendekatan positif (soft power) untuk mengahadapi sistem anarki tersebut. Nantinya, kerjasama ataupun integrasi yang terjalin cenderung beraspek ekonomis yang berkaitan dengan perdagangan bebas dan pasar dunia.
Neoliberalisme mampu menjadi angin segar bagi perkembangan liberalisme. Adanya ketergantungan antar dua konsep ini telah menjadikan unsur kebebasan dan perdamaian dunia semakin konkrit. Ketegasan untuk menolak prinsip idealis patut dipertahankan dalam prospek neoliberalisme agar kemajuan terhadap perubahan dan perdamaian yang semula berkarakter ”imajiner” dapat diaktualisasikan dan diimplementasikan secara aplikatif dan praktis. Seperti misalnya : kerjasama ekonomi antar negara, pembentukan integrasi ekonomi dalam suatu kawasan (ASEAN Economic Community 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Graham Evans dan Jeffrey Newnham. The Penguin Dictionary of International Relations,Penguin Books, England, 1998
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 46-62, 139-178
Scott Burchill, Liberal Internationalism, dalam Scott Burchill, et.al., Theories of International Relations, Palgrave, New York, 2001, hal 28-63
Internet
http://www.globalissues.org/article/39/a-primer-on-neoliberalism, diakses tanggal 23 Maret 2009 pk 18.00 WIB
http://www.forumsains.com/index.php?page=37, diakses pada tanggal 23 Maret 2009 pk 18.00 WIB
http://www.corpwatch.org/article.php?id=376, diakses pada tanggal 23 Maret 2009 pk 18.00 WIB
http://www.duniaesai.com/filsafat/fil15.html, diakses pada tanggal 23 Maret 2009 pk 18.00 WIB
http://masadmasrur.blog.co.uk/2008/11/27/liberalisme-5119762/, diakses pada tanggal 23 Maret 2009 pk 18.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar