Minggu, Juli 12, 2009

MENELUSURI JEJAK MULTI NATIONAL CORPORATION

Abstract
Multi National Corporation (MNC) is known as transnational capitalist class which enlarges actors in international economy. This corporation has grown rapidly along with the hegemony of core countries (such as: United States of America, England, France, etc). The more they spread out their industry, the much suffering for developing and under developed countries. The situation of international economics becomes unstable, MNCs has transformed from object into subject of economical improvements. It means that liberalism and neoliberalism get to show up their competency to rebuild and control all aspects. However, the great MNC doesn’t always help the lower actors. People and environment was frequently the main victim of their operation. Therefore, MNCs should recovered by the state, have internal protection, and make tight policy by nationalism or mercantilism perspective. MNC is defined as object of government’s interest. Does neoliberalism always perceive its success? How about the financial crisis in US? Why don’t the developing countries integrate and destruct the hierarchy of “free market”?
Key words : Multi National Corporation (MNC), nationalism, state, neoliberalism, free market

Pendahuluan
Dari 100 ekonom terbesar di dunia, sejumlah 51 berasal dari korporat. Sementara itu, 49 ekonom dunia berasal dari negara (core actor). Parahnya lagi, Amerika Serikat telah menguasai 200 perusahaan terbaik di dunia dengan 82 cabang (41% jumlah MNC sedunia) sedangkan Jepang hanya memiliki 41 cabang (setengah dari jumlah MNC AS). Potensi golongan kapitalis transnasional ini jelas tidak membuahkan hasil yang signifikan bagi perekonomian internasional, justru menghambat pergerakan ekonomi kelas “menengah ke bawah”. Jika memandang keadaan modern ini, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sesungguhnya negara-negara yang masih berdiri harus menelan “material” klasik yang dikenal dengan sebutan neoliberalisme.
Kasus MNC minyak bernama Shell baru saja menghidupkan sengketa wilayah perbatasan Malaysia-Indonesia. Sejak tahun 2008, Shell telah menemukan tambang emas bagi kesejahteraan korporasinya. Kandungan minyak di dalamnya diperkirakan sebesar 421,61 juta barel dan gas alam sekitar 3,3 triliun kaki kubik. Hal inilah yang membuat Royal Dutch (rekan bisnis Malaysia) berunding kembali dengan pemilik perusahaan Eunocal (MNC minyak Italia sekaligus rekan bisnis Indonesia), yang sudah sejak lama menguasai daerah Ambalat.
Lain halnya dengan kolusi di Freeport-McMoRan. James "Jim Bob" Moffett (`bos' perusahaan tambang emas terbesar di dunia) memberikan keterangan di Kejaksaan Agung, 4 November 1998 untuk mempertanggungjawabkan problem lingkungan yang terjadi di Irian Jaya. Berbagai ikan tradisional dan kekayaan ekologis yang ada di sungai Akjwa terkontaminasi oleh racun merkuri, tembaga dari PT Freeport. Ironisnya, perusahaan asing tersebut masih saja berdiri kokoh dengan menggaji James sebesar US $42 juta dan tidak ada ganti rugi bagi suku Amungme (penduduk sekitar lahan Freeport). Terlalu ‘baik’ jika MNC dikatakan sebagai korporat bisnis mutualistik.
Menanggapi peristiwa yang terpaparkan di atas, ada tiga pertanyaan penting yang akan menjadi rumusan masalah, yakni : Mengapa MNC bisa berkembang dan berkuasa di negara berkembang? Sejauh mana peran negara dalam mengendalikan kinerja MNC? Bagaimana dampak MNC mampu membangkitkan spirit dan strategi negara untuk merekonstruksi kebijakan nasional?

Perkembangan fenomenal MNC
Secara definitif, MNC ialah perusahaan yang mengontrol dan mengatur pembentukan produksi lebih dari dua negara. Menurut Theodore Cohn, titik keunggulan MNC berada pada satu sistem pembayaran bebas di negara tujuan, biasa disebut Foreign Direct Investment (FDI). Motif utama MNC mampu bertumbuh pesat di negara berkembang dipengaruhi oleh dua faktor utama : permintaan dan biaya. Faktor permintaan biasanya ditandai dengan adanya keinginan menguasai pangsa pasar atas produk yang dihasilkan dan memaksimalkan profit yang didapat. Adanya transfer of resource antara negara maju dan negara berkembang didukung oleh kerjasama interaktif melalui MNC. Namun, negara maju yang unggul di bidang kemanusiaan dan teknologi seringkali memperdaya negara berkembang dengan membayar upah tenaga kerja yang rendah dan mengeksploitasi kekayaan alam. Sedangkan faktor biaya berbicara tentang bagaimana MNC menurunkan biaya produksi agar dapat memaksimalkan profit dan menjaga daya saing internasional.
Sampai tahun 1998, sekitar 63.000 MNC terus membuahkan anak perusahaan sebanyak 690.000. Tingkat perkembangan perusahaan tersebut memang menyenangkan ‘sang pemilik’ (khususnya negara maju), tapi tidak untuk negara yang sedang berkembang (memegang prinsip nation-state). Ketika kecanggihan teknologi dan besarnya amunisi militer AS mampu membius Cina, India, Indonesia(penduduk terpadat), tanpa disadari mereka kehilangan kekayaan alam dan tenaga kerja secara masif. Kepentingan bisnis MNC dianalogikan seperti pemanis ternikmat yang pada akhirnya menjerumuskan negara tujuan ke dalam penderitaan social (kemiskinan, tingginya angka kematian, utang dalam negri melonjak, dan potensi nasional terkuras habis). Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan proteksi terhadap industri domestik berupa : tarif impor bagi produk asing, larangan impor atas produk yang bisa dihasilkan industri lokal, penetapan hukum yang mengatur kualitas produk sebagai jaminan konsumen. Sebagai pedoman, berikut empat strategi negara ideal versi Weber :
Tipe Ideal
Strategi Negara Perspektif Waktu Orientasi Risiko Kebijakan-Kebijakan yang khas
1. Defeatist Orientasi masa lalu Sesedikit mungkin Fokus : keamanan, kebijakan pasif dan defensif, kepatuhan yang kaku
2. Free Rider Orientasi masa kini Risiko tinggi dengan biaya murah Fokus : mengalihkan biaya domestik pada negara lain, indeksasi subsidi pertanian
3. Maintenance Orientasi sekarang, jangka menengah di masa depan Terbatas dengan biaya sedang Fokus : kooptasi perubahan, pedoman gaji dan harga secara sukarela, kebijakan fiskal dan moneter ketat
4. Enterpreneurial Masa depan Risiko besar dengan biaya tinggi Fokus : mencapai prestasi, produktivitas, dan inovasi masa depan tanpa diketahui pihak lain (rahasia), penghapusan subsidi

Bangkitnya konsep Corporate Social Responsibility : Politisasi MNC?
Pencemaran nama baik MNC kian terhapus sejak implementasi kebijakan Corporate Social Responsibility (CSR). Konsep yang sudah diusung oleh AS sejak 1920an ini dianggap mampu menguntungkan potensi negara dunia ke-3 (seakan-akan penyelamat perekonomian negara berkembang). Schermerhorn secara singkat mendefinisikan CSR sebagai kewajiban dari suatu perusahaan untuk bertindak dalam cara-cara yang sesuai dengan kepentingan perusahaan tersebut dan kepentingan masyarakat secara luas. Adapun prinsip CSR yang harus dipenuhi oleh semua MNC, yaitu: economic responsibilities, legal responsibilities, ethical responsibilities, dan philanthropic responsibilities.
Argumen menarik datang dari Thomas Petit, yang menyatakan bahwa manusia mengalami berbagai permasalahan sosial akibat kinerja bisnis MNC dan manajer harus menerapkan kebijakan perusahaan sebagai solusinya. Ungkapan ini mengandung kewajiban positif sekaligus proses perubahan yang mencurigakan. Upaya MNC membenahi problem sosial dan lingkungan tidak diikuti dengan itikad baik dan ketulusan hati. Fakta membuktikan bahwa perusahaan Shell setuju membayar US$15,5 juta kepada keluarga aktivis Nigeria yang dieksekusi tahun 1995, tapi tidak menyatakan bertanggungjawab atas masalah tersebut. Inikah yang disebut tanggung jawab MNC terhadap masyarakat? Kepentingan terselubung dan politisasi yang dilakukan MNC bisa saja memutarbalikkan perjanjian yang disepakati MNC utama dan negara tujuan.

Radang Kebebasan yang Terinfeksi oleh Managerial Power of Keyness
Konstruksi pendirian MNC secara pesat dinilai Robert Gilphin bahwa mereka tergantung sekaligus menjalankan kepentingan nasional Amerika Serikat untuk menyebarkan doktrin liberalisme seperti perdagangan bebas. Akan tetapi, bila merujuk pada kenyataan sekarang, krisis finansial yang disebabkan oleh kritisnya subprime mortgage justru membelenggu virus-virus liberalisme.
Berdasarkan permasalahan tersebut, liberalisme masih memiliki titik kelemahan yang tertutupi oleh pemikiran destruktif kreatif. Pertama, penerapan liberalisme dalam perekonomian dunia dapat membuat dunia ke dalam tatanan yang cenderung tidak adil. Liberalisasi berbagai sektor perekonomian akan menciptakan persaingan bebas dalam pasar dunia. Kedua, liberalisme akan menciptakan suatu hubungan ketergantungan antara negara yang kaya dengan negara yang miskin. Ketiga, di dalam sistem mekanisme pasar akan timbul kekuatan monopoli yang merugikan. Dalam mekanisme pasar tidak selalu terjadi persaingan sempurna di mana harga dan jumlah barang ditentukan oleh permintaan pembeli dan penawaran penjual yang banyak jumlahnya. Keempat, sistem perekonomian liberal cenderung membawa ketidakstabilan. Ketidakpastian harga maupun nilai kurs yang cenderung tidak teratur memperbesar ketidakpastian dalam ekonomi.
Sebagai kaki tangan pemerintah, ada alasan mendasar bagi keberadaan MNC di level nasional, antara lain : MNC merupakan lembaga bisnis lintas negara yang membutuhkanstabilitas sosial dalam setiap negara di mana mereka beroperasi, hampir semua MNC tergolong organisasi nasional yang berperan dalm skala global, semakin gigih MNC berjuang untuk pengendalian pasar, semakin besar kontribusi dan dukungan yang diberikan oleh negara.
Radang kebebasan liberalis sudah terinfeksi oleh ekspansi manajerial John Maynard Keyness. Kapitalisme akumulatif yang terjadi pada akhir abad 19 telah menginspirasi Keyness untuk melakukan redistribusi surplus, pembentukan regulasi, serta pemberian insentif. Berpijak pada kapabilitas manajerial Ford, Keyness menyarankan adanya upaya preventif dari pemerintah untuk segera merehabilitasi kemerosotan ekonomi negara berkembang melalui kerangka konseptual yang bernama distribution of wealth, state-supervised class between capitalists and workers. Dengan demikian, stabilitas relasi antara negara dan pasar dapat terpelihara. Yang terpenting lagi, setiap negara mampu berkompetisi secara sehat dan bijak hingga nantinya tercipta balance of power ekonomi internasional.
Prospek Green-economics : Transformasi Strategi Negara (Modernization  Sustainable Development)

Kontroversi penggunaan kaidah CSR dalam kebijakan MNC sebenarnya dapat diluruskan kembali dengan berlandaskan prinsip green-economics. Bagan yang terbentuk di atas merupakan pondasi awal penerapan teori sustainable development. Mengutip dari perkataan Prof. Emil Salim, pembangunan berkelanjutan harus mengintegrasi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan (bisnis) dalam setiap pembangunan nasional. Kunci kohesif ketiga elemen tersebut terletak pada etika. Etika yang diraih harus menyeimbangkan kerangka berpikir dengan ketulusan hati (integritas).Bila modernisasi diikuti oleh teori evolusi dan pembangunan (developmentalism), pembangunan berkelanjutan lebih merupakan revolusi konstruktif dan revitalisasi obyek.
Jika dikaitkan dengan perspektif merkantilisme, kajian fungsional green-economics dapat dirangkai dengan supremasi pemerintah. Perlindungan kekayaan nasional, tindakan isolasionis (Korea Utara), dan pelatihan strategis sumber daya manusia, dan pemulihan ekonomi domestik merupakan bagian penting dalam kerangka merkantilisme. Salah satu negara yang telah menghubungkan sustainable development dengan merkantilisme ialah Cina. Dana yang begitu besar rela dikeluarkan negara Tirai Bambu tersebut demi mengembangkan teknologi energi alternatif dan reduksi penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuels).

Penutup
Perusahaan multi nasional merupakan elemen pokok kepentingan negara. Namun, perkembangan MNC tidak harus menjadi kemelut hitam negara-negara berkembang sehingga mereka tidak mampu bergerak bebas dalam memberdayakan potensi ekonomi nasional. Peham merkantilisme senantiasa menjadi obat rehabilitatif yang mampu meredakan hegemoni liberalisme (perdagangan bebas). Agar ekonomi nasional mampu bertahan secara stabil, diperlukan strategi pembangunan berkelanjutan yang mengkoneksikan apek bisnis, social, dan lingkungan. Tanpa melupakan penerapan konsep CSR, MNC mampu berdiri dengan intervensi pemerintah dan kebijakan protektif kekayaan nasional.



DAFTAR PUSTAKA

Buku
Carbaugh, Michael J. 2000. International Economics. Edisi Ketujuh. Cincinnati : South Western College Publishing
Carroll, Archie B. 1996. Business and Society : Ethics and Stakeholder Management, 3rd edition. Ohio : South-Western College Publishing, pp 31-32
Cohn, Theodore H. 2003. Global Political Economy : Theory and Practice. Edisi Kedua. New York : Addison Wesley Longman, pp 321
Gilphin, Robert. 1999.”US Power and the Multi National Corporations”.dalam Nikolaus Zahariadis. Contending Perspectives in International Political Economy. Fort Worth : Harcourt Brace College Publishers. Hal 24-26
Isaak, Robert A. 1995. Ekonomi Politik Internasional. Yogyakarta : PT Tiara Wacana, hal 187
Oatley, Thomas. 2004. International Political Economy: Interests and Institutions in the Global Economy. New York :Pearson, Longman, pp171
Sukirno, Sadono. 1999.Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: Rajawali Press. Hal. 46


Internet
Darliaz, Irfani. Y (2005). Analisa Kasus Ambalat, melalui http://mukhtar-api.blogspot.com/2009/06/kasus-ambalat.html. Situs diakses tanggal 2 Juli 2009
No name(1998) Freeport Cemari Lingkungan melalui http://www.minihub.org/siarlist/msg01234.html. Diakses tanggal 2 Juli 2009
no name. http:/surabayawebs.com/.../raksasa-minyak-shell-setuju-membayar-155-juta-dolar-as-kepada-keluarga-aktivis-yang-dihukum-gantung/, diakses tanggal 2 Juli 2009
Schermerhorn, John..2005.Management. New York: John Wiley & Sons, Inc melalui http://www.personal.psu.edu/kez5001/CSR.htm, diakses pada tanggal 2 Juli 200

Tidak ada komentar:

Posting Komentar