Minggu, Oktober 31, 2010

Demokrasi dan Ekonomi Global

Review Artikel Jagdish Bhagwati. 2004. Democracy at Bay
Satu pembukaan yang manis oleh Jagdish Bhagwati dalam mengutip ungkapan Shakespeare yaitu “integration and world economy (trade with all nations) will give freedom of domestic action.” Globalisasi dan demokrasi merupakan dua konsep yang menimbulkan beragam kompleksitas namun memiliki satu untaian erat. Globalisasi bisa digunakan sebagai alat pengukuran kedaulatan yang akhirnya berujung pada interdependensi positif atau kenyataan pahit yang berbasis pada rezim otoriter. Sedangkan demokrasi pun menimbulkan dua stigma, idealisme untuk menyamaratakan status sosial setiap masyarakat atau fakta hitam berbagai aktor untuk terus ”memperjuangkan” kebebasan individunya.
Keterkaitan globalisasi dan demokrasi bisa terjadi secara langsung maupun tak langsung. Kelangsungan relasi globalisasi dengan demokrasi terlihat pada modernisasi petani rural dalam hal teknologi pangan yang lebih maju sehingga memunculkan aktor-aktor independen untuk mengaspirasikan kebebasan atas nama demokrasi. Dengan dukungan globalisasi teknologi (komputer digital, dsb) serta pasar asing, setiap rakyat mampu mengekspresikan pendapat mereka secara eksplisit.
Sedangkan proses tidak langsung terdapat pada proposisi ilmuwan politik AS yang bernama Seymour Martin Lipset. Argumen Lipset (1959) yaitu dampak dari perkembangan ekonomi akan meningkat secara demokratis melalui aspek sosial (edukasi, kesetaraan sosial, dan perubahan struktur kelas). Hipotesis Bhagwati yang pertama dari argumen Lipset ialah kemakmuran ekonomi memproduksi/menghasilkan variasi kelas menengah. Kehadiran kelas tersebut diyakini mampu membawa efektivitas terhadap demokratisasi politik. Bukti konkritnya ialah sudah banyak kaum borjuis yang menyuarakan aspirasi politik beserta dukungan pasar. Hipotesis kedua ialah globalisasi menurunkan kemiskinan dan mendemokratisasi aspek penting dari kemunculan kelas menengah. Studi kasus perdagangan AS dengan Cina merupakan justifikasi penting dari Presiden Bill Clinton dan George W. Bush, yang menyatakan "trade with China will increase the enterpreneurial class then democracy will come". Selain itu, nampak pula pada konsep Glasnot (kebebasan politik dan demokrasi) sebelum perestroika (restrukturisasi ekonomi) di Rusia.
Banyaknya kelas menengah perlu memperhatikan kebebasan media massa, stabilisasi norma, dan kesehatan, dan keamanan. Negara demokrasi yang ditunjang dengan kelas menengah ialah Cili dan Brazil, sedangkan kasus Indonesia serta Korea Selatan pasca krisis moneter (1997-1998) menggaungkan demokrasi tanpa campur tangan kelas menengah. Namun, konsepsi penting ini sering dibantah oleh kaum otoritarian seperti Barrington Moore yang menyatakan bahwa negara Jepang mampu transisi ke demokrasi dengan munculnya kelas menengah sosial karena ada "kompromi" dengan rezim lama (kuno). Sedangkan Lawrence Kaplan berseru bahwa kelas menengah Cina terkooptasi dengan rezim otoriter yang susah terdemokrasi secara cepat. Andrew Nathan menambahkan, hampir semua organisasi independen (institusi, yayasan, konsultan) punya 'hubungan khusus' dengan parta politik ataupun birokrat. Mismanagement globalisasi pun akhirnya menimbulkan collapse pada India di tahun 1960-1970.
Bhagwati tidak hanya mengangkat sisi liberal dari demokrasi, dia juga menunjukkan keunikan dari sosial dmeokrat dalam konteks pemilihan presiden Salvador Allende di Cili tahun 1973 dan Lula da Silva di Brazil (2003). Mereka punya misi untuk memberhentikan aliran kapital masif, memperkuat ekonomi makro dan reformasi finansial ke arah yang cenderung radikal (sayap kiri atau sosialisme). Revolusi 1917 di Uni Soviet juga menginspirasi E.H. Carr untuk menciptakan "socialism in one country" yang terus menyerukan internasionalisme hingga melahirkan sosok Manley di Jamaika, Soekarno di Indonesia, Nasser di Mesir, dan Nkrumah di Ghana.
Hipotesis penutup menarik untuk disimak secara seksama. Bhagwati menuturkan bahwa keterbukaan ekonomi akan memperkuat postwar liberal levels of total speding dan mendukung penuh social spending. Total spending sukses diberlakukan saat Margareth Thetcher dan Ronald Reagan memimpin. Mereka memelihara progresivitas negara dalam menmprioritaskan anggaran kebutuhan sosial seperti: edukasi, kesehatan, kemakmuran,dll). Semakin tinggi kemampuan untuk memenuhi total dan social spending, semakin besar pula peluang untuk meningkatkan insentif. Hal ini diperkuat dengan konsep liberal international order oleh Karl Polanyi dan John Ruggie yang biasanya disebut dengan embedded liberalism. Embedded liberalism berarti politisi memperkuat social spending untuk memoderat social of economic openess dan domestic spending. Dampak positif berikutnya yakni keterbukaan ekonomi dalam lingkup global mampu memperkaya sektor publik dan pendapatan nasional suatu negara.
Konklusi dari tulisan Democracy at Bay ini tertuju pada kasus World Trade Organization (WTO) as Democratic Deficit. WTO merupakan negosiasi dagang asing, memiliki kantor skretariat yang kecial dan beberapa panitia khusus, serta mempunyai Dispute Settlement Mechanism jika terjadi kerusuhan atau komplain masif. Yang membedakan kondisi WTO saat ini dengan sebelumnya ialah semakin banyaknya nongovernmental organization yang berpartisipasi dan membuat forum khusus dengan negara anggota WTO. Problem yang terus dihadapi WTO di kemudian hari ialah negara maju selalu ribut soal pemberian 'hak eksklusif' pada NGO sementara General Agreement on Trade and Tariffs (GATT), nama kuno WTO, tidak pernah membuat legal binding settlement mechanism untuk menjawab masalah tersebut. Bhagwati memang tidak memberikan justifikasi konkrit dalma konteks ini, dia lebih mendeskripsikan ranah kehidupan liberal WTO dan demokratisasi NGO dalam menanggapinya.

OPINI PRIBADI
Mengacu pada artikel Bhagwati yang berjudul "Democracy at Bay", demokrasi saat ini telah berafiliasi positif dengan globalisasi. Kemajuan teknologi dan informasi menumbuhkan independensi dari setiap individu untuk beraspirasi secara demokratis. Demokrasi sendiri merupakan progress baru yang terbentuk dari adanya ekonomi global yang terbuka dan peningkatan social-total spending. Bhagwati berasumsi dari konsep John Ruggie yang menyatakan bahwa kehadiran liberal international economic order memberikan ruang bebas penuh bagi setiap orang untuk membentuk embedded liberalism (pengambilan keputusan ekonomi domestik dalam ruang lingkup global). Perjanjian multilateral di NAFTA ataupun WTO menunjukkan elemen penting sebuah nonstate actor dalam menanggapi kebijakan ekonomi internaisonal selama ini. (Jagdish Bhagwati, 2004)Namun, kendala yang perlu diperhatikan ketika negara ke-3 mengusung ajaran demokrasi namun tidak dapat bertahan lama setelah intervensi negara kolonial hilang dan terus dilanda krisis.
Globalisasi dapat meningkatkan kualitas demokrasi di saat kerangka ekonomi ditonjolkan. Sesuai dengan argumen Bhagwati, semakin besar linking globalization semakin tinggi peluang mencapai kemakmuran dan mendemokratisasi kelas menengah. Perdagangan bebas dijadikan patokan utama untuk memproduksi aset penting dari demokrasi. Meluasnya jaringan kelas menengah mampu menguatkan suatu negara untuk menjamin stabilitas sosial masyarakat dan kepekaan untuk bersuara. Contoh konkritnya ialah negara bersistem Welfare di daerah Skandinavia (Denmark, Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Eslandia). Pemberian pajak tinggi pada rakyat sebanding dengan jaminan sosial dan fasilitas umum yang sangat memadai,sehingga proses partisipasi dalam demokrasi menjadi kondusif.
Berdasarkan pada artikel Bhagwati, erosi demokrasi belum sepenuhnya terlihat dalam globalisasi. Contoh sistem perdagangan di Cina yang semula tertutup menjadi sangat terbuka dengan ekonomi global dan mempraktikkan aplikasi demokrasi ekonomi. Walaupun Cina masih melakukan pembangunan ekonomi lebih dahulu, proses demokrasi secara lambat laun akan terimplementasi dalam kebijakan politis. Kali ini saya tidak begitu sependapat dengan Bhagwati, melihat banyaknya negara gagal atas nama demokrasi. Kasus Somalia, pelanggaran hak asasi manusia atas nama demokrasi di Myanmar, serta penolakan Jonas Savimbi dalam kekalahan pemilu di Angola merupakan rentetan fakta yang tidak dapat terelakkan dari raksasa demokrasi.
Prospek akuntabilitas dalam globalisasi semakin menantang negara untuk berupaya keras dan lebih berhati-hati mengimplementasikan demokrasi. Zakaria dalam tulisan Marc F. Plattner (2005) mengajukan adanya liberalisme konstitusional melalui pemerintahan yang terpilih secara bebas. Demokrasi ala pemilu atau biasa disebut demokrasi elektoral tidak semata-mata mensukseskan kemajuan dan kesetaraan sosial suatu negara. Partisipasi dan kontestasi politik bagi rakyat kadangkala harus berenturan dengan kepentingan politis elite. Untuk menyiasatinya, Robert A. Dahl memiliki alternatif baru bagi demokrasi yang bernama poliarki. Sebagai demokrasi skala global, sistem poliarki memiliki tiga karakteristik utama, yakni: pemilihan umum yang berlangsung secara bebas, adil, dan frekuentif (1); bebas untuk berekspresi (2); dan tersedianya sumber informasi alternatif dan independen (3). (Robert A. Dahl, 1998) Dengan demikian, globalisasi dan demokrasi dapat terjalin secara konsisten dan strategis, sesuai dengan persepsi masyarakat global. \

Referensi:

Bhagwati, Jagdish. 2004. "Democracy at Ba"y dalam buku In Defense of Globalization. New York: Oxford University Press. Chapter 8. hal 92-105
Dahl, Robert. A. 1998. "On Democracy". Yale University Press
Plattner, Marc. F. 2005. "Liberalisme dan Demokrasi" dalam buku Amerika dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 193-209

Tidak ada komentar:

Posting Komentar