Rabu, April 07, 2010

Pembangunan “Anarki” Berkelanjutan


Pembangunan “Anarki” Berkelanjutan

Gracia Paramitha, 070710415

Review Artikel The Coming Anarchy (Februari 1994)
Kekacauan dan inekuivalensi merupakan dua gambaran umum yang mencermikan realita dunia saat ini. Kondisi nasional yang semakin terpuruk menimbulkan adanya tindakan kriminal dari setiap individu membuat sistem anarkis semakin telanjang. Berdasarkan artikel The Coming Anarchy, balas dendam antara kaum miskin terhadap kelas konglomerat semakin menguat dan kegagalan sosial pun semakin membawa anak-anak keapada dunia modernitas. Contoh kasus yang ditunjukkan ialah negara Sierra Leone yang terletak di Afrika Barat. Generasi muda semakin berani melawan dan brutal dalam menghadapi kebijakan pemerintah. Tak tanggung-tanggung, sikap perusakan mobil pejabat dan vandalisme pun terus dilakukan demi menjunjung tinggi keberadaan kelas menengah dan bawah.
Tak dapat dipungkiri bahwa negara-negara di Afrika Barat, khususnya Sierra Leone, sudah terbiasa dengan kondisi tirani dan anarkis. Pemberontakan, kudeta, dan pembangunan demokrasi semu terus bergejolak di dalam negeri. Konflik struktural, kriminalitas, dan perang merupakan tanda natural dari perpolitikan abad 21. Di kota Abidjan (seperti Parisnya Afrika Barat), Ivory Coast, dan sejumlah kota lainnya termasuk simbol demografi dan lingkungan global di mana tekanan sosial dan ancaman strategis terus menerkam. Keadaan paradoks tersebut dipengaruhi oleh keanekaragaman budaya dan kepercayaan. Islam dan Kristen memang nyata di kehidupan sosial Afrika. Namun, formalitas tersebut terbungkus rapi oleh nilai luhur animisme yang selama ini lebih diyakini secara utuh.
Selain itu, faktor poligami pun turut mendorong «common sense» masyarakat setempat. Buruknya lagi, banyak kaum perempuan dan anak-anak yang dirugikan dengan meningkatnya penderita HIV serta hilangnya silsilah keluarga. Efek populasi berlebihan yang disertai dengan kemiskinan akut juga memperparah kondisi kritis masyarakat Afrika. Maka tidak heran jika kasus penjarahan transportasi, kawasan territorial yang berbahaya, serta migrasi berkelanjutan terus terjadi hingga merenggut keselamatan individu.
Prospek keamanan semakin terbelenggu oleh sejumlah hambatan dan tantangan globalisasi. Secara sistematis, ada empat perubahan kontur keamanan dalam proses globalisasi, di antaranya:
a. Degradasi lingkungan hidup karena adanya hostile power
Jika dikaitkan dengan konsep kebijakan luar negeri, isu lingkungan global diibaratkan seperti donat. Lingkaran interaktif antara satu kepentingan individu dengn individu lainnya memang tersiklus, tapi tidak berfokus pada satu tujuan bersama. Akibatnya, rantai kepentingan bersama berlubang di tengah-tengah tanpa arah dan tindakan ekologis yang pasti. Tak mengherankan bila kapitalisme global membawa satu pemahaman bahwa lingkungan hidup merupakan hostile power, isu berbahaya yang tidak perlu diprioritaskan  keretakan sosial semakin menyebar.
Thomas Fraser Homer-Dixon menganalisis pengaruh studi konflik militer terhadap lingkungan fisik, yang pada akhirnya mengemukakan bahwa keamanan internasional tidak dapat tercipta tanpa adanya efisiensi sumber natural bumi. Artinya, perang militeristik dan kekerasan sipil yang terjadi secara terus menerus akan menenggelamkan kapasitas logistic alam yang sangat penting bagi siklus kehidupan manusia. Kasus nyata sudah terjadi pada kondisi perubahan iklim yang unpredictable di negara Mesir, Pakistan, India, Afrika Barat, Asia Timur, sampai belahan Eropa dan Amerika.
Thomas Malthus, filsuf environmentalis sekaligus ‘nabi’ rakyat Afrika Barat, mengatakan bahwa implikasi ledakan demografi berdampak negatif terhadap masa depan ekologis. Semakin banyak kebutuhan dan kepentingan manusia, semakin punah kekayaan alam dan distribusi positif yang dihasilkan oleh suatu ekosistem. Sedangkan Ali A. Marzui, direktur Institute of Global Cultural Studies at the State University of New York, memprediksi bahwa masa depan Afrika Barat (terutama untuk kondisi futuristik dunia) akan berada pada posisi disturbasi skala besar. Artinya, globalisasi teknologi dan informasi mampu merubah semua sistem politik, sosial, dan ekonomi suatu pemerintahan secara serentak dan cepat.
b. Penyebarluasan berbagai macam penyakit (tubercolois, HIV, malaria, dsb)
Dampak kompleks yang dihasilkan oleh peperangan semakin menyiksa kondisi fisik manusia. Teknologi canggih pun belum bisa menyembuhkan penyakit-penyakit baru yang terus bermunculan. Sejumlah 10% penduduk Ivory Coast positiv mengidap penyakit HIV begitu pula dengan 45% penduduk Abidjan. Sementara itu, nyamuk malaria terus bertebaran di seluruh belahan tropis dan mencekik nyawa insan manusia. Virus-virus lainnya seperti flu burung, flu babi, SARS, dsb juga bergerilya untuk mencari mangsa baru.
c. Konflik kultural oleh karena rapuhnya pembangunan nation-state
Di dalam karyanya yang berjudul “The Clash of Civilization”, Samuel P. Huntington mengemukakan bahwa perubahan zaman semakin menimbulkan adanya konflik antar bangsa yang berdampak pada perselisihan ideologis dan konflik kultur. Setidaknya, ada dua tesis yang dirumuskan Huntington, yakni: perbedaan peradaban bukanlah suatu nyata tapi bersifat fundamental (dasar) yang saling berkaitan dengan sejarah, bahasa, dan religi (1); interaksi antar masyarakat atau perbedaan komunitas semakin meningkat hingga menambah intensifikasi kesadaran bersosialisasi (2). Contoh kasusnya ialah perbenturan agama Hindu dengan Islam di India, Muslim di Turki bertabrakan dengan ajaran Ortodoks Rusia, serta perselisihan antara dunia Barat dengan negara Asia.
d. Variasi perang di era posmodernisme
Perang yang bermunculan saat ini tidak lagi dihadirkan dalam suasan tradisionalisme militeristik. Perang nuklir terus diwacanakan, terutama ketika Iran menantang pengayaan nuklirnya terhadap Amerika dan AS mengutuk tindakan Korea Utara dalam pelucuran roket Taepodong II bulan April 2009. Tidak berhenti di situ saja, perang virtual seperti perang dunia maya (hijack, hacker, dll) terus berdatangan. Semenjak isu War on Terrorism dikumandangkan oleh Presiden Bush pasca tragedy 9/11 2001, isu terorisme terus menjadi perang ‘anarki’ secara berkesinambungan. Menurut pernyataan Martin van Creveld dalam karyanya yang berjudul The Transformation of War, berkelahi atau berperang dengan cara apa pun bukanlah suatu metode/tujuan melainkan berupa hasil akhir. Dengan demikian, setiap manusia tidak lepas dari realita anarkis yang membawa suatu kekerasan pada bentuk konkrit yang diinginkan.
OPINI PRIBADI, POSISI, dan KESIMPULAN
Berdasarkan artikel The Coming Anarchy, saya memposisikan diri bahwa globalisasi turut menegangkan bahaya ancaman global. Peperangan dan keamanan merupakan kondisi anarkis yang selalu berkelanjutan. Artinya, perang secara strategis bergejolak hingga akhirnya mengancam keamanan setiap manusia bahkan relasi manusia terhadap alam. Untuk memperkuat argument tersebut, saya menggunakan dua pendekatan, yakni: neorealisme dan green theory. Di dalam buku Man, State, and War, Kenneth Waltz (1959) menyatakan bahwa sistem anarkis internasional tidak akan pernah pudar karena kekuasaan negara terstruktur secara strategis, memiliki legitimasi dan kedaulatan penuh. Kondisi alamiah manusia selalu diliputi oleh rasa egois, jahat, dan menggunakan segala cara untuk menaklukkan musuh.
Institusi global seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun masih didominasi oleh politisasi dan kepentingan nasional setiap negara. Konsep intervensi humaniter pun semakin kabur ketika pemberontakan Kosovo dibendung oleh supramiliterisme NATO, atau bahkan invasi AS ke Irak. Apakah rasio humanisme seorang individu berumus positif? Mengapa legitimasi PBB ‘dinodai’ oleh sejumlah sekutu/aliansi negara-negara maju?
Green theory sangat menjungjung tinggi konsep pembangunan berkelanjuta (sustainable environment) yang sudah terlahir sejak Earth Summit diadakan di Rio de Janeiro, tahun 1992, yang menghasilkan Agenda 21 dan Montreal Protocol. (Hazel Handerson, 2002). Namun, konsep tersebut dapat bergeser menjadi pembangunan ‘anarki’ berkelanjutan karena adanya eksploitasi manusia dan kepentingan rakus setiap individu. Stabilitas ekologis tidaklah tercapai, justru alam yang semula miskin langsung murka hingga mengutuk manusia dengan berbagai bencana alam. Isu deforestasi, menipisnya hutan hujan tropis (di Ivory Coast : dari 38%  hanya 8% hutan yang tersisa, sedangkan keadaan hutan hujan di Sierra Leone menurun drastis: 60%  6%), kelangkaan air, tanah longsor, banjir, hingga terbakarnya semak-semak menjadi problem komplikatif masyarakat Afrika sampai pada masa depan masyarakat dunia. (The Coming Anarchy hal 9)
Oleh karena itu, negara perlu menjadi agen konstruktif dalam menangani kompleksitas peperangan akan kelangkaan sumber daya alam. Distribusi kekuasaan (balance of power) diukur dari stabilitas militerisme dan proposisi dalam mempertahankan kapasitas domestik. Pembangunan anarki berkelanjutan memang tidak dapat terhindarkan, namun dapat diminimalisir dengan kedaulatan otoriter pemerintah dan perangkatnya. Semenjak tahun 2000, akan muncul sekitar 1300 negara. (John Naisbitt, 1994) Kesimpulan yang bisa diambil ialah negara tetap berkewenangan untuk menguasai kapabilitas masyarakat sekaligus kemakmuran ekologis melalui kontrol militeristik dan rasionalitas kebijakan.
REFERENSI:
Artikel The Coming Anarchy. 1994
Handerson, Hazel. 2002. Building a Win-Win World. Diterjemahkan oleh Ir. Hari Suminto yang berjudul “Membangun Suatu Dunia yang Saling Menguntungkan”. Batam: Interaksara
Naisbitt, John. 1994. Global Paradox: The Bigger the World Economy, the More Powerful Its Smallest Players. New York: Morrow
Waltz, K. (1959). Man, The State, and Wars. A Theoretical Analysis. New York: Columbia University Press

8 komentar:

  1. HIV, Bocah Militan, Disparitas kesejahteraan, Konflik perbatasan, Perebutan SDA, Keterbelakangan, dll..

    Ibarat penyakit, sudah terkomplikasi, mengakar, menggerogoti, akhirnya sulit untuk disembuhkan..

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. senang berada di sini,, please follow back me on
    http://ayobelajarnet.blogspot.com

    BalasHapus
  4. artikel yang menarik dan bagus kalau bisa mba'paramita buat buku. and follow blogku di adipurwadi.blogspot.com

    BalasHapus
  5. Artikel yang bagus dan tentu menambah wawasan saya,, dan sekaligus menegaskan sesuatu yang semakin terpikir oleh saya bahwa manusia tidak berhak untuk menciptakan suatu hukum, manusia hanya berhak menciptakan aturan tapi bukan hukum, yang berhak menciptakan hukum hanyalah Tuhan, dan aturan Tuhan itu telah ada pada kitab suci..

    maaf kalo komentar saya ini terlalu aneh,,
    ini hanya pendapat saya..

    oh iya saya ingin bertanya pada anda apakah di dunia ini masih ada negara yang sistem pemerintahannya berlandaskan pada salah satu agama (pure dalam menjalankan pemerintahannya),,

    by : Bayang
    makasih, maaf saya hanya berpendapat dengan sedikit pengetahuan yang saya miliki

    BalasHapus
  6. Bagaimana klo sustainable environment dikaitkan dengan globalisasi? Tentu saja, tentang benang merahnya dengan neoliberalisme yang mengukur semua kehidupan manusia dalam kacamata pasar (kapitalisme)?:)

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. Manusia tau apa yang dia buat, bahkan anarkispun dia tau. Sehingga manusia mengutuk manusia lewat bencana alam. Jadi kekuatan alam adalah ide awal manusia untuk memusnahkan manusia, hingga akhirnya hanya tinggal alam tanpa manusia.

    Salam Damai

    BalasHapus