Jumat, Mei 22, 2009

FORMULASI KRITIS KONSTRUKTIVISME

Jurnal THI VIII , 13 Mei 2009

FORMULASI KRITIS KONSTRUKTIVISME
Gracia Paramitha, 070710415

Ketika pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi fenomena sensasional di seluruh belahan dunia, maka reaksi yang timbul pun tak kunjung berhenti. Bahkan, AS pun berseru keras dalam mempublikasikan isu pemanasan global. Melalui citra Al Gore, peristiwa ini pun beredar pesat seiring dengan perkembangan globalisasi dan teknologi mutakhir. Tak lama kemudian, Indonesia turut berkontribusi dalam menggalakkan politik lingkungan global. Dengan hadirnya Pak Rahmat Witoelar sebagai President of conference UNFCCC (United Nations Framework on Climate Change Conference), peran aktif Indonesia pun semakin berdampak positif bagi kesejahteraan lingkungan internasional. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana pemikiran konstruktif Indonesia memahami dan menggencarkan tindakan keamanan lingkungan (climate security)? Jika dikaitkan dengan mashab konstruktivisme, bagaimana perkembangan konstruktivisme dan implementasinya terhada kebijakan lingkungan pemerintah Indonesia?

Konstruktivisme dan Perkembangannya
Konstruktivisme merupakan teori alternatif yang turut mewarnai teori hubungan internasional modern. Sejak tahun 1980, kehadiran konstruktivisme dianggap sebagai teori dinamis, tidak semena-mena, dan secara kultural berbasis pada kondisi-kondisi sosial. Uniknya, teori ini berasumsi pada pemikiran dan pengetahuan manusia secara mendasar. Adanya nature and human knowledge dari tiap individu mampu mentrasform fenomena atau realita sosial ke dalam pengetahuan atau ilmu-ilmu sosial.
Tokoh pemikiran konstruktif klasik berasal dari pemikir sosial seperti Hegel, Kant, dan Grotius, yang kental dengan paham idealisme. Sedangkan pasca Perang Dingin, mulai bermunculan para kontruktivis yang cenderung berpikir tentang politik internasional, yakni Karl Deutch, Ernst Haas dan Hedley Bull. Tokoh konstruktivisme lain yang tak kalah hebatnya adalah Friedrich Kratochwill (1989), Nicholas Onuf (1989), dan Alexander Wendt (1992).
Kunci pemikiran konstruktivisme adalah dunia sosial, termasuk hubungan internasional, merupakan suatu konstruksi manusia. Hal ini diperkuat dengan adanya pernyataan konstruktivis bahwa dunia sosial bukanlah sesuatu yang given, bukanlah struktur yang hukumnya diteliti secara ilmiah dan muncul secara alamiah, seperti yang dikemukakan teori positivis melalui interpreatasi naturalistik (indrawi). Dunia sosial merupakan wilayah intersubyektif, di mana masyarakat yang membuat dan memahaminya. Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional, membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau yang diinginkan berdasarkan peraturan, strukturasi dan verstehen dalam speech acts.
Di dalam tulisan Alexander Wendt yang berjudul “Anarchy is what state make of it” dikemukakan bahwa sistem anarki internasional tercipta karena adanya pemaksaan realisme secara konfliktual sekaligus pemaksaan kaum liberalis untuk membuat tindakan kooperatif. Anarki adalah apa yang dibuat negara tersebut. Di sini terlihat bahwa sikap negara merupakan faktor deterministik dalam mewujudkan sistem anarki itu sendiri. Alexander Wendt juga berusaha mengkorelasi teori neorealisme dan neoliberalisme dengan tiga kesepakatan yakni: negara sebagai aktor dominan dalam hubungan internasional, rasionalisme adalah disposisi teoritis yang menjelaskan interaksi negara dalam struktur internasional, dan keamanan dianggap sebagai “self-interested”. Sistem internasional dapat saja dibangun dalam bentuk yang anarkis dan mementingkan diri sendiri, namun konstruktivisme sangat menolak gagasan (neo)realisme jika penyelamatan diri sendiri (selp-help) adalah satu-satunya cara yang harus ditempuh dalam mengakhiri konflik politik internasional.
Pemaparan di atas semakin menunjukkan adanya korelasi dan koherensi antara konstruktivisme dengan hubungan internasional. Sebagai kajian yang strategis dan netral (tidak cenderung berpihak ke neorealis ataupun neoliberalis), konstruktivisme mampu memberikan kajian kompleks dan konstruktif dalam mengembangkan teori utama hubungan internasional layaknya realisme dan liberalisme. Kedua teori tersebut menyatakan sepakat dalam membentuk anarki. Namun, interaksi liberalisme dan realisme hanyalah ide sempit dari rasionalisme, yang kemudian dikembangkan oleh para konstruktivis. Wendt (1992) menyatakan bahwa konstruktivisme lebih dari pembentukan sikap negara terhadap sistem anarki internasional. Anarki justru dampak dari tindakan itu sendiri, tidak ada logika yang mendasari. Oleh karena itu, Wendt menyarankan adanya peran negara sebagai kredo secara psikologis (perilaku) lalu menerapkan kepentingan dan identitas (sumber material negara) secara kolektif yang diakhiri dengan sebuah institusi (struktur dari kepentingan dan identitas), apakah hasilnya kompetitif atau kooperatif.
Satu hal paling krusial dalam memahami konstruktivisme adalah pemikiran para konstruktivis tidak serta merta memposisikan dirinya di tengah keberadaan neoliberalisme dan neorealisme saja, melainkan jauh lebih luas dari itu. Kaum konstruktivis sangat kental dengan nilai-nilai filosofis, yang berusaha menjembatani positivisme dan post-positivisme. Satu sisi kaum konstruktivis sepakat dengan positivis bahwa teori empirisme dapat digunakan dalam menjelaskan hubungan internasional. Sementara di sisi lain, konstruktivis tetap menekankan pentingnya pengetahuan dan pemikiran bersama dalam menganalisis pemahaman subyektif dan menilai aktor terhadap politik dunia. Nilai-nilai relatif semakin terasa ketika pemahaman konstruktivisme tidak hanya dipandang dari perspektif hubungan internasional. Lebih jelasnya lagi, saya akan mengkomparasinya dengan rasionalisme.

Rasionalisme vs Konstruktivisme
Secara historis, rasionalisme memang memiliki langkah lebih awal dibandingkan dengan konstruktivisme. Pemikiran yang dipopulerkan oleh Wight, Bull, Watson, dan Vincent ini muncul sejak tahun 1950, masa perspektif hubungan internasional seperti realisme dan idealisme bersifat overlapping. Rasionalisme memang berperan sebagai jalan penegah dari kedua mashab tersebut. Seperti yang dikemukakan Wight dalam kuliahnya di London School of Economics tahun 1950 : “rationalism was the via media between realism and revolutionism, the latter term for idealist or cosmopolitan modes of thought”.
Teori rasionalisme secara informal dan formal diaplikasikan ke dalam prinsip-prinsip teori rational choice, yang kemudian digunakan oleh para ekonom seperti Alfred Marshall dalam memahami teori mikro-ekonomi. Teori ini juga berpengaruh terhadap proses pembentukan game theory yang arahnya cenderung positivistik. Dalam tulisan Hedley Bull yang berjudul The Anarchical Society ditemukan adanya konsep paradoks dari sistem kedaulatan negara. Pertama, rasionalisme berangkat dari prinsip realisme yang menjelaskan bagaimana negara mengatur kekuasaan dalam konteks anarki. Kedua, rasionalisme menegaskan bahwa order (aturan) internasional tidak harus dibenarkan secara agresif, tetapi lebih mengedepankan bagaimana aturan keamanan internasional dapat ditransformasikan ke dalam moralitas dan keadilan. Dengan kata lain, konteks rasionalisme hanya berlandakan pada interaksi konflik realisme-idealisme yang cenderung menghasilkan obyektivitas dan absolutivisme. Bahkan, penerapan rasionalisme cenderung positivistik, salah satu prinsip yang nantinya menjadi bagian awal terbentuknya konstruktivisme.
Lain halnya dengan konstruktivisme, pemikiran yang lebih baru dari rasionalis ini memiliki tiga teori dasar, yakni:
1. Konstruktivisme adalah metaphysical stance tentang realitas di mana para sarjana berusaha tahu dan merumuskan sebuah ilmu melalui interpretasi yang ilmiah.
2. konstruktivisme merupakan teori sosial  peran pengetahuan dan agen berpengetahuan (berwawasan) dalam konstitusi realitas sosial
3. konstruktivisme juga perspektif hubungan internasional yang empiris dan teoritis  teori HI dan penelitiannya harus berdasarkan pada pondasi ontologis dan epistemologis. Singkatnya, teori konstruktivisme yang terdapat dalam hubungan internasional bersifat metodologis, yang kemudian diperkuat oleh kajian-kajian filsafat.
Sebelumnya saya menjelaskan bahwa rasionalisme masih berupa pemikiran sempit tentang structural state-centric di mana pemikiran positivis menjadi tujuan mereka. Di titik inilah rasionalisme disinggungkan oleh konstruktivisme dalam ranah yang lebih kompleks. Secara kontekstual, kajian rasionalisme dan konstruktivisme berbeda. Hal ini dibuktikkan dengan adanya unsur psikologis, sosilogis, dan politis yang tertera dalam konstruktivisme. Konstruktivisme juga mengkorelasikan interaksi yang terjadi antara paham positivis (realisme, rasionalisme) dengan post-positivis (teori gender / feminisme, humanisme, environmentalist). Secara ruang lingkup, konstruktivisme lebih luas daripada rasionalisme. Kadangkala, rasionalisme dapat menjadi bagian konstruktivisme. Contoh : dilema keamanan bukan hanya didasari pada faktor material seperti senjata nuklir yang berasumsi absolute gains (positivis, rasionalis), melainkan juga berlandaskan pada pengetahuan bersama, praktik, dan persepsi moralis atau sosialis yang mendasar (konstruktivis).
Krtitik terhadap neoliberalisme
Sebagai salah satu elemen dalam konstruktivisme, neoliberalisme masih memiliki kelemahan yang bisa dibilang kritis. Konstruktivis Amerika yang cenderung bersifat positivistik seperti Alexader Wendt melihat kelemahan neoliberalisme dari sudut pandang teori rasional, yakni: identitas dan kepentingan negara dianggap sebuah anugerah (alamiah adanya) karena hanya merubah sikap atau perilaku negara dan tidak disertai perubahan material negara; identitas dan kepentingan tergeneralisasi ke dalam anarki internasional yang alamiah karena struktur dan sistem “self help” negara bersifat mutlak (tidak dapat diubah); secara teoritis hanya terbatas pada pemahaman tentang perubahan agen dan struktur karena tidak mencantumkan transformasi kepentingan dan identitas sebuah negara.
Landasan Aksiologis terhadap Konstruktivisme : Implementasi kebijakan lingkungan Indonesia
Setelah menjelaskan rasionalisme dan konstruktivisme secara komprehensif, kajian tersebut perlu diimplementasikan ke dalam tindakan aksiologis, sesuai dengan pertanyaan awal. Mengenai kebijakan konstruktif pemerintah Indonesia terhadap keamanan lingkungan global, perilaku Indonesia memang menunjukkan adanya kontribusi aktif dalam mengadakan kerjasama internasional melalui UNFCCC. Hal ini didukung dengan program Rencana Aksi Nasional Kementrian Lingkungan Hidup dalam mengatasi perubahan iklim. Sejak tahun 2008, Indonesia juga membuat lembaga independen bernama pusat keamanan iklim, yang didukung sepenuhnya oleh Presiden Susiolo Bambang Yudhoyono. Jika dikaitkan dengan teori konstruktivisme Alexander Wendt, sikap negara Indonesia juga dipengaruhi oleh identitas negara yang memiliki julukan zamrud khatulistiwa dan berperan sebagai salah satu paru-paru dunia. Selain itu, kepentingan nasional Indonesia dalam mencapai pembangunan berkelanjutan secara internasional juga dituangkan saat meratifikasi Protokol Kyoto. Sebagai negara berkembang yang beriklim tropis dan kaya akan sumber daya alam, Indonesia juga sepakat untuk melakukan emission trading bersama negara maju sesuai dengan kesepakatan yang berlaku.
Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah metodologi dinilai sebagi major missing link dalam teori konstruktivisme. Hal ini disebabkan oleh keberadaan konstruktivis yang bersifat dwipolar : tebal (kontruktivis murni/ radikal) dan tipis (konstruktivis yang terpengaruh oleh aliran positivis atau post-positivis). Akibatnya, perdebatan epistemologis dan teoritis dari berbagai aliran konstruktivis sering terjadi. Hadirnya rasionalisme dan konstruktivisme setidaknya mampu memberi rona menarik bagi hubungan internasional. Walaupun kaidah ilmiah rasionalisme tidak begitu kompleks, unsur realisme maupun liberalis tetap mendasari pemikirannya seiring dengan bertumbuhnya konstruktivisme. Yang pasti, kajian konstruktivisme maupun rasionalisme mampu memberikan formulasi kritis bagi teori mainstream hubungan internasional, yaitu : realisme, liberalisme, dan marxisme.


REFERENSI :


Buku

Adler, Emanuel. Construtivism and International Relations, chapter 5. 2002. London : SAGE Publications Ltd. pp 96
Fearon, James dan Alexander Wendt. Rationalism v. Constructivism : A Skeptical View, chapter 3. 2002. London: SAGE Publications Ltd. pp 54
Linklater, Andrew. Theories of International Relations : Rationalism, chapter 4. 1996. New York : St. Martin Press. pp 94
Sorensen, Georg dan Robert Jackson. Pengantar Hubungan Internasional. 2005. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. pp 307
Wendt, Alexander. Constructivism : Is Anarchy what states make of it? 1992. pp 63

Internet

www.oup.com/uk/orc/bin/9780199285433/jackson_chap06.pdf Diakses tanggal 12 Mei 2009
www.menlh.go.id/ wawasan perubahan iklim.html diakses tanggal 12 Mei 2009

2 komentar:

  1. menarik, mungkin ambiguitas dalam teori konstruktivisme yg anda pahami dapat mencapai resultan dengan memahamkan konstruktivisme tdk hanya sebagai teori melainkan lebih jauh sebagai paradigma ilmu sosial. thks...

    BalasHapus
  2. something wrong with this blog. are u really born on 2009? it means you only seven years old.

    BalasHapus