Hakikat Dasar Media dan Opini Publik
Secara harfiah, media telah menjadi sarana komunikasi yang informatif dan interaktif dengan publik. Citra konvensioal media sendiri mampu meramu dan menggaris warna kehidupan masyarakat yang kompleks menjadi komprehensif. Media memberikan penyajian berita yang menarik untuk diperhatikan, sehingga masyarakat memiliki varian opini. Media mampu menjadikan masyarakat sebagai obyek informasi yang terus berpengaruh dan berkembang secara dinamis. Dengan demikian, korelasi antara media dan masyarakat semakin erat bagaikan kumbang dan bunga.
Namun, posisi media di masa tradisional (khususnya zaman Perang Dunia) seringkali termarginalkan oleh kekuasaan politik dan absolutism militer sebagai modal sebuah negara. Negara menolak kebebasan pers, mengurangi porsi media sebagai sumber berita, dan menganggap “tabu” media dalam mengurus suatu kebijakan. Dengan kata lain, media diabaikan sebagai aktor berpengaruh bagi pemimpin politik suatu negara.
Sumber: Dugis, V 2010
Berdasarkan gambar di atas sebelah kiri, terlihat bahwa ketiadaan media sebagai aktor komplementer proses kebijakan negara semakin nyata. Media belum menjadi penting untuk disimak mengingat bahwa pemerintah negara masih bersifat absolut, berdaulat, terpaku pada kepemimpinan seorang penguasa. Kasus Perang Dingin I dan II menceritakan secara jelas bahwa negara tetap menjadi pelaku utama dalam hubungan internasional dan tidak mempertimbangkan sumber publik seperti media.
Sedangkan gambar di sebelah kanan mencerminkan adanya perubahan yang terjadi pada sistem pembentukan kebijakan. Realitas peristiwa yang terjadi menimbulkan suatu citra tersendiri yang nantinya menentukan terbentuknya suatu kebijakan. Dalam membentuk suatu agenda utama, media mampu membingkai kerangka asumsi publik yang dikomunikasikan dengan pemerintah. Lingaran media ini mendukung adanya rezim komunikasi politik, menstruktur ekonomi politik suatu negara, memperluas struktur organisasi dan jaringan informasi, dan menyebarkan nilai-nilai penting sebuah berita yang biasanya menjadi ikon khususdari media tersebut.
Seiring dengan pesatnya arus globalisasi, transformasi media semakin maju dan didukung penuh oleh kehadiran teknologi informasi. Hakikat dasar yang semula menjadi sumber berita setidaknya bergeser menjadi suatu kapabilitas yang fleksibel, menganggap publik sebagai subyek sekaligus obyek (users and doers). Ideologi, kultur, sistem politik yang tercipta dalam sebuah media semakin bergerak ke arah ekonomi bisnis positif dan progresif.
Taksonomi Media Global dan Kebijakan Luar Negeri
Tidak dapat dipungkiri bahwa studi yang mengkaji globalisasi media terhadap pembentukan kebijakan luar negeri masih terbatas dan langka. Walaupun begitu, era globalisasi teknologi telah menunjukkan adanya eksistensi media komunikasi global yang terus mengarah lebih maju. Efektivitas komunikasi global dari media mengungkap bahwa hubungan internasional tidak lagi bersifat koersif, tapi lebih mengedepankan asas atraktif, memicu opini publik dari berbagai isu dan peristiwa. Akibatnya, media secara implicit turut andil dalam pandangan keluar sebuah kebijakan atau kebijakan luar negeri.
Pada dasarnya, politik luar negeri memiliki dua konsep utama, yaitu: policy making dan interaction-phase. Di dalam policy making, aktor pembuat kebijakan memperhatikan kebijakan, pilihan/opsi politik, dan taktik yang akan digunakan. Sedangkan interaction-phase menjelaskan bahwa politik luar negeri yang tercipta dipengaruhi oleh seperangkat posisi dan permintaan sehingga dibutuhkan strategi negosiasi untuk menemukan solusi bersama yang kondusif. (Gilboa, 2002)
Agar media mampu berperan secara efektif, Eytan Gilboa (2002) telah mengklasifikasi tipe dan fungsi media dalam kebijakan luar negeri. Berikut tabelnya:
Type of Actor Activity Context Concept
Controlling actor Replacing policy makers Humanitarian
military intervention CNN effect theory
Constraining actor Constraining policy
makers Decision making Real time policy
Intervening actor Becoming mediator International mediation international
political brokerage
Instrumental actor Promoting negotiations
and agreements Conflict resolution Media diplomacy
Sumber: Gilboa, Eytan 2002
Untuk tipe pertama, media berperan sebagai aktor pengotrol kebijakan. Artinya, media bersikap sebagai katalisator (penyeleksi) terhadap sumber-sumber yang digunakan sebagai bahan kebijakan. Tipe ini sangat dipengaruhi oleh konsep CNN effect theory, yang mencuat tahun 1990an saat Amerika mengekspansi berita asing (kasus Somalia, Saddam Hussein, Perang Teluk, dsb) secara global. James Baker (1995) pernah mengemukakan bahwa CNN effect menyebabkan premis kuatnya kapasitas komunikasi global dalam berevolusi dan mendorong lahirnya sebuah kebijakan luar negeri. Seperti yang diutarakan oleh James Baker bahwa kapasitas komunikasi global mampu mendorong sekaligus menekan sebuah kebijakan luar negeri. Keputusan AS dalam mengintervensi militer di Somalia untuk hal humaniter adalah contoh riil kebijakan diplomatis yang terbungkus rapi oleh berita media (Livingston dan Eachus, 1995).
Sedangkan fungsi constraining lebih menunjukkan adanya satu pembatas otoritas negara dalam membuat kebijakan. Sifat constraining media muncul ketika penyiaran berita global mengganggu alur proses pembuatan kebijakan, kinerja birokrat, dan para pemimpin reorder prioritas. Akibatnya, mereka tidak merasa terpaksa untuk mengikuti kebijakan tertentu dari media. Media pun akhirnya mampu membatasi langkah kinerja sentral diplomat dalam hubungan internasional. Seperti yang dikemukakan Bush dalam krisis Teluk (1990-1991), “I learn more from CNN than I do from the CIA” (Friedland, 1992:7-8) Karena adanya tuntutan zaman dan keterbukaan pesan komunikasi global, media perlu diberi standard analisis kompromi dan rekomendasi professional. Syarat ini masuk dalam tipe media sebagai intervening actor. Gurevitch (1991: 187-188) menyatakan bahwa media telah memiliki peran jurnalistik baru, yaitu “international political brokers”. Artinya, media bisa diajak untuk melobi dan membantu permasalahan negara secara interaktif kepada masyarakat.
Kategori peran media yang terakhir ialah instrumental actor. Ebo (1996:44) berpendapat bahwa “the use of the media to articulate and promote foreign policy”. Artinya, media digunakan para pemimpin untuk mengekspresikan kepentingan mereka dalam bernegosiasi, membangun kepercayaan diri, dan memobilisasi dukungan publik melalui sebuah perjanjian. (GIlboa, 1998:62-63) Henry Kissinger menggunakan sinyal media dan tekanan dalam kasus perang Arab-Israel tahun 1973 melalui “shuttle diplomacy”. Seiring perkembangan, terminologi baru diplomasi ditujukan untuk mendorong kekuatan negosiasi dengan media dan berbicara langsung antar penguasa tinggi di dunia. Akibatnya, muncul istilah Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) seperti pada acara peacemaking Arab-Israel.
Tantangan Media Global: Bagaimana Menjawab Korporasi Kebijakan Luar Negeri?
Menanggapi artikel Eytan Gilboa (2002), ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi dan dilakukan oleh media. Pertama, kepentingan media seringkali berbenturan dengan kepentingan politis negara sehingga sulit menemukan obyektivitas suatu berita. Negara bisa saja memberikan ‘insentif’ khusus pada media tertentu dalam menyiarkan sebuah isu. Dengan kata lain, media mampu menunjukkan ambiguitas isu yang menimbulkan benturan opini publik. Kedua, media yang berkembang pesat selalu memberikan inovasi dan mengembangkan investasi besar bagi ‘kesejahteraan’ kaum kapitalis. Korporasi media dan privatisasi isu menjadi gejolak politik yang tak bisa dibendung oleh negara. Bila kondisi ini terus terjadi, bagaimana nasib publik dan sikap negara dalam menjawab ‘korporasi’ kebiajakan luar negeri? Akankah media terus berkiprah dalam pembentukan kebijakan luar negeri?
Referensi
Cohen, Y. 1986. Media Diplomacy, Cass, London
Dayan, D & Katz,E. 1992, Media Events:The Live Broadcasting of History, Harvard University Press, Cambridge
Dugis, V. 2010, The Role of Public and Media on Foreign Policy
Ebo, E. 1996. Media Diplomacy and foreign policy: Toward a theoretical framework, NJ Ablex, Norwood
Eytan Gilboa. 2002, Global Communication and Foreign Policy, International Communication Association, Boston
Friedland, L. 1992, Covering the world: International television news services, Twentieth Century Fund Press, New York
Gurevitch, M. 1991, The Globalization of Electronic Journalism, Edward Arnold, London. Hal 178-193
Tidak ada komentar:
Posting Komentar