Minggu, November 14, 2010

SELUK BELUK POLITIK LUAR NEGERI

Variasi Makna Kebijakan (Politik) Luar Negeri
Dalam merumuskan definisi politik luar negeri, tidak ada satu pengertian tunggal dan tepat. Pengertian dasar yang patut diperhatikan dalam pemahaman politik luar negri ”action theory” atau kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan pada negara lain untuk mencapai kepentingan tertentu.(Perwita, 2006: 22) Salah satu cara mudah untuk memahami konsep politik luar negri adalah memisahkan unsur politik dan luar negri. Politik adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman dalam bertindak, sedangkan konsep luar negri berkaitan dengan kedaulatan dan ”wilayah” suatu negara terhadap negara lain.
Rosenau mengartikan politik luar negeri sebagai upaya negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitas untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternal.Henry Kissinger, seorang akademisi sekaligus praktisi politik luar negri AS mengutarakan bahwa ”foreign policy begins when domestic policy ends.” (Hanrieder, 1971) Lain halnya dengan Holsti (1987) yang mengatakan bahwa kebijakan luar negeri digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasional.
Penulis ingin menegaskan secara kuat bahwa studi politik luar negeri bersifat siklus atau saling berkesinambungan. Seperti yang dikemukakan oleh Marijke Breuning (2004), analisis politik luar negeri merupakan salah satu studi yang bersifat eclectic. Artinya, pola perkembangan politik luar negeri mengarah kepada arus evolusi yang bersifat gradual. Tahap demi tahap perkembangan ini akan dijelaskan lebih rinci di sub-topik berikutnya yang berjudul generasi inisiatif, generasi pertama,dan generasi kedua.
Kompleksitas Politik Luar Negeri
Walaupun studi politik luar negeri bersifat siklus, ruang lingkup yang tersedia tidak terbatas. Komprehensivitas dan kompleksitas yang terkandung di dalamnya terungkap oleh James Rosenau (1987) bahwa politik luar negeri merupakan ilmu disiplin yang bridging (menjembatani/berhubungan dengan disiplin lain) sehingga ruang lingkup yang ada tidak terbatas. Area isu dan aspek yang dibahas pun sangat luas, mulai dari politik (hard politics-low politics); ekonomi; sosial budaya; dsb.
Rosenau bersama Charles F. Hermann (1987) dkk juga memiliki tiga argumen penting sebagai alasan kompleksnya politik luar negeri, yaitu:
a. Banyaknya pemahaman politik luar negeri yang sangat variatif.
Ada sejumlah definisi politik luar negeri yang tidak bisa dihilangkan. Kenaekaragaman definisi ini terjadi karena munculnya multiple scholars yang menunjukkan kausal-kausal tertentu dan disertai dengan pengalaman historis mereka. Misalnya, Henry Kissinger berhak mengartikan politik luar negeri sebagai kepanjangan politik domestik karena beliau berada pada masa Amerika berkuasa dan punya internalisasi yang berpengaruh kuat di dunia.
b. Daur/fase politik luar negeri tidak selalu konstan.
Breuning (2004) memang kuat menyatakan bahwa politik luar negeri berada dalam satu siklus, serta berhubungan dengan berbagai aspek. Namun, arus yang terjadi dalam siklus ini ditanggapi oleh Rosenau (1987) bahwa siklus tidak selalu bersifat konstan/stabil. Kadangkala politik luar negeri harus berhadapan dengan benturan-benrutan/konstelasi politik internasional yang akhirnya menekan posisi suatu negara. Contohnya saja ketika negara AS mengecam peluncuran roket Taepodong Korea Utara 2008 lalu, kepentingan nasional Kim Jong Il yang sangat komunis dan isolatif akhirnya bertabrakan dengan kolektivitas di PBB. Akibatnya, banyak negara lain ikut menolak hubungan diplomatic dengan Korea Utara.
c. Adanya berbagai dimensi historis dari suatu Negara yang terus berpengaruh dan berhubungan
Setiap negara pasti memiliki konteks sejarah yang sangat lekat dengan kebijakan luar negeri. Bahkan, sejarah kuno dengan sejarah yang baru saja terjadi bisa saja tetap digunakan sebagai kepentingan nasional sebuah negara. Cina mungkin sudah tidak tertutup seperti dahulu. Zona perdagangan bebas sebagai jalur ekonomi terbuka dipilih Cina untuk mengikuti arus globalisasi. Namun, sistem politik Cina tetap terkendali oleh pemerintah pusat (sentralis).
Munculnya Generasi Inisiatif
Maksud dari adanya generasi inisiatif ialah titik kemunculan awal konsep politik luar negeri itu terbentuk. Di dalam buku Valeri Hudson (2007) yang berjudul Foreign Policy Analysis, Classic and Contemporary Theory, beliau mengatakan bahwa politik luar negeri merupakan salah satu area studi di hubungan internasional yang memiliki suatu kerangka dasar. Kerangka ini terambil dari sebuah aksi, reaksi, dan interaksi manusia sebagai pengambil keputusan terhadap dunia internasional. Akibatnya, pendekatan antropologis (verstehen) menjadi pintu pembuka dalam perumusan konsep politik luar negeri.
Esensi tradisional dari generasi insiatif ialah adanya uniteralisme aktor yang cenderung dikonsepsikan kepada sikap suatu negara. Sentralisme negara sebagai otoritas legal masih terus diberlakukan bahwa hanya negaralah yang berkewenangan khusus untuk membuat kebijakan luar negeri. Selain itu, Valerie Hudson (2007) menyederhanakan introduksi politik luar negeri ke dalam 2 bagian, yakni: eksplanandum (unit yang dijelaskan) dan eksplanan (unit yang menjelaskan). Di dalam eksplanandum, politik luar negeri muncul sebagai aksi sekaligus keputusan. Keputusan terbentuk dari entitas (pengaruh) luar dan internalisasi (kebutuhan domestik) yang berdampak pada pihak lain. Pada era kontemporer, politik luar negeri selalu dievaluasi dan dimodifikasi dengan keputusan lainnya untuk meminimalisir non purposeful action (implementasi kebijakan semu) dan non foreign policy desicion.
Sedangkan di bagian eksplanan, politik luar negeri dikategorikan sebagai proses (decision making) dan aktor (decision makers). Manfaat dari riset ini yaitu untuk menemukan kemungkinan korelasi konsep “agent structure” dalam teori hubungan internasional, membuka konsep kuno/generalisasi negara sebagai penguasa utama kebijakan luar negeri, serta mengkaitkan studi politik luar negri dengan studi lainnya seperti perbandingan politik dan kebijakan publik.
Diferensiasi dan Korelasi antara Generasi (Masa) Pertama dengan Generasi Kedua
Ada penjelasan menarik dari Laura Neack dkk (1995) mengenai transformasi politik luar negeri dari masa ke masa. Sebagai studi yang bersifat evolusioner (berada dalam satu siklus), politik luar negeri terbagi menjadi dua fase utama, yakni fase generasi pertama dan fase generasi kedua. Fase generasi pertama lebih menjelaskan tentang konsep perbandingan politik luar negeri sedangkan fase generasi kedua membahas tentang analisis kebijakan luar negeri. Uniknya, dua fase tersebut masih memiliki relasi yang berkesinambungan, tidak terpisahkan, dan memliki pola pikir yang hampir sama.
Karakteristik fase generasi pertama (1954-1993) ialah dominasi individu sebagai sistem level analisis kebijakan luar negeri. Individu di sini lebih diartikan sebagai aksi sebuah negara yang bersifat uniter/tunggal, rasional, dan nasional. Kedua, konsep politik luar negeri belum mengakar ke dasar teori hubungan internasional. Ketiga, belum ditemukannya kontribusi perbandingan politik terhadap definisi politik luar negeri. Keempat, tidak ada penghubung antara dunia internasional dengan perbandingan politik sebagai orientasi teori dan konsep. Kelima, studi perbandingan politik luar negeri masih dikuasai oleh tokoh-tokoh studi politik seperti: Nazi (oleh Adolf Hitler) di Jerman, fasisme (oleh Mushollini) di Italia, dll. Keenam, studi ini cenderung memiliki perspektif positivisme, yang membuat kerangka pra-teori secara sistematis, saintifik, dan kuantitatif. (Rosenau, 1966)
Perbedaan generasi kedua (1993-sekarang) dari generasi pertama yakni isu yang diangkat sebagai analisis politik luar negeri lebih beragam dan cenderung masuk low political issues (ekonomi, sosial, lingkungan). Sejak Perang Dingin berakhir, landasan teori dan metodologi untuk membuat analisis politik luar negeri mulai berkembang secara luas dan variatif. Akibatnya, terjadi kerangka alternatif sebagai penghubung perbandingan politik dengan area internasional. Kompleksitas dan konsistensi hubungan tersebut semakin teruji oleh faktor domestik dan proses pengambilan keputusan. Tak heran jika scholars yang berada di masa ini memiliki parameter kontekstual yang bersifat multiple.
Opini Pribadi
Secara keseluruhan, penulis setuju dengan argumen Breuning (2004) bahwa studi politik luar negeri bersifat siklus, saling berhubungan dan berkesinambungan dengan studi lainnya. Evolusi dari fase generasi pertama dan kedua menjadi bukti otentik bahwa evolusi politik luar negeri eksis dan sedang berlangsung. Namun, penulis juga enggan menolak bahwa politik luar negeri di era kontemporer mengalami kompleksitas yang tinggi dan berkali lipat masalahnya. Rosenau (1987) dengan jelas mengemukakan bahwa politik luar negeri menjadi fenomena kompleks karena banyaknya elemen yang membentuk kepentingan nasional. Hal ini diperkuat dengan adanya aspek internal suatu negara yang “across border” . Hal ini membutuhkan kreasi inovatif dan pemikiran alternatif dari para pengambil keputusan.
Fenomena perubahan iklim menjadi isu penting bagi dunia internasional. Berbagai diplomasi dan negosiasi telah diupayakan dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertajuk Conference of Parties. Namun, jalan kesepahaman dan win-win solution tak juga ditemukan karena disparitas tinggi antara kepentingan nasional negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Politik luar negeri AS pun semakin tersudutkan oleh desakan negara kepulauan kecil yang terancam masa depannya. Protokol Kyoto menjadi perjanjian semu karena sampai saat ini AS belum meratifikasinya. Dengan demikian, hasil dari kebijakan luar negeri semakin susah diimplementasikan dan permasalahan semakin kompleks.
Sebagai penutup, penulis menyimpulkan bahwa konsep politik luar negeri terus berkembang secara dinamis dan fluktuatif. Efektivitas dari implementasi kebijakan luar negeri pun semakin kompleks karena bergantung pada situasi dan konteks internasional saat itu.



REFERENSI
Breuning, Marijke. (2004) “Bringing ‘Comparative’ Back to Foreign Policy Analysis”, International Politics, (41), pp. 618-628
Hanrieder,Wolfram F.1971.Comparative Foreign Policy :Theoretical Essays. New York: David McKay Co, hal 22
Hudson, Valerie M. (2007) Foreign Policy Analysis, Classic and Contemporary Theory, Rowman & Littlefield.
Neack, Laura & Hey, Jeanne A.K. & Haney, Patrick J. (1995) Foreign Policy Analysis, Continuity and Change in Its Second Generation, Prentice Hall
Perwita, Anak Agung B. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, hal 47
Rosenau, James.N. 1987. “Introduction: New Directions and Recurrent Questions in the Comparative Study of Foreign Policy”, in Charles F. Hermann, Charles W. Kegley Jr., James N. Rosenau, eds., New Directions in the Study of Foreign Policy .Boston: Allen & Unwin. pp. 1-2.
Russet, Bruce dan Starr, Harvey.1988. World Politics : The Menu for Choice.2nd ed. New York: W.H.Freeman and Co, hal 190-193

2 komentar:

  1. Saya sepakat dengan sebagian tulisan anda..
    Politik bisa dikatakan merupakan suatu kebijakan dalam mengambil suatu keputusan namun terkadang politik bisa lari dari pengertian politik itu sendiri jika politik digunakan untuk menjatuhkan musuh..

    pertanyaan saya berkaitan dengan tulisan anda, apakah ada manfaat yang didapatkan dari negara Indonesia ketika melakukan politik luar negeri tersebut?

    BalasHapus
  2. Nice posting.. Keep writing..

    Regards,
    Dedi Sianturi

    BalasHapus