Variasi Makna Kebijakan (Politik) Luar Negeri
Dalam merumuskan definisi politik luar negeri, tidak ada satu pengertian tunggal dan tepat. Pengertian dasar yang patut diperhatikan dalam pemahaman politik luar negri ”action theory” atau kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan pada negara lain untuk mencapai kepentingan tertentu.(Perwita, 2006: 22) Salah satu cara mudah untuk memahami konsep politik luar negri adalah memisahkan unsur politik dan luar negri. Politik adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman dalam bertindak, sedangkan konsep luar negri berkaitan dengan kedaulatan dan ”wilayah” suatu negara terhadap negara lain.
Rosenau mengartikan politik luar negeri sebagai upaya negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitas untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternal.Henry Kissinger, seorang akademisi sekaligus praktisi politik luar negri AS mengutarakan bahwa ”foreign policy begins when domestic policy ends.” (Hanrieder, 1971) Lain halnya dengan Holsti (1987) yang mengatakan bahwa kebijakan luar negeri digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasional.
Penulis ingin menegaskan secara kuat bahwa studi politik luar negeri bersifat siklus atau saling berkesinambungan. Seperti yang dikemukakan oleh Marijke Breuning (2004), analisis politik luar negeri merupakan salah satu studi yang bersifat eclectic. Artinya, pola perkembangan politik luar negeri mengarah kepada arus evolusi yang bersifat gradual. Tahap demi tahap perkembangan ini akan dijelaskan lebih rinci di sub-topik berikutnya yang berjudul generasi inisiatif, generasi pertama,dan generasi kedua.
Kompleksitas Politik Luar Negeri
Walaupun studi politik luar negeri bersifat siklus, ruang lingkup yang tersedia tidak terbatas. Komprehensivitas dan kompleksitas yang terkandung di dalamnya terungkap oleh James Rosenau (1987) bahwa politik luar negeri merupakan ilmu disiplin yang bridging (menjembatani/berhubungan dengan disiplin lain) sehingga ruang lingkup yang ada tidak terbatas. Area isu dan aspek yang dibahas pun sangat luas, mulai dari politik (hard politics-low politics); ekonomi; sosial budaya; dsb.
Rosenau bersama Charles F. Hermann (1987) dkk juga memiliki tiga argumen penting sebagai alasan kompleksnya politik luar negeri, yaitu:
a. Banyaknya pemahaman politik luar negeri yang sangat variatif.
Ada sejumlah definisi politik luar negeri yang tidak bisa dihilangkan. Kenaekaragaman definisi ini terjadi karena munculnya multiple scholars yang menunjukkan kausal-kausal tertentu dan disertai dengan pengalaman historis mereka. Misalnya, Henry Kissinger berhak mengartikan politik luar negeri sebagai kepanjangan politik domestik karena beliau berada pada masa Amerika berkuasa dan punya internalisasi yang berpengaruh kuat di dunia.
b. Daur/fase politik luar negeri tidak selalu konstan.
Breuning (2004) memang kuat menyatakan bahwa politik luar negeri berada dalam satu siklus, serta berhubungan dengan berbagai aspek. Namun, arus yang terjadi dalam siklus ini ditanggapi oleh Rosenau (1987) bahwa siklus tidak selalu bersifat konstan/stabil. Kadangkala politik luar negeri harus berhadapan dengan benturan-benrutan/konstelasi politik internasional yang akhirnya menekan posisi suatu negara. Contohnya saja ketika negara AS mengecam peluncuran roket Taepodong Korea Utara 2008 lalu, kepentingan nasional Kim Jong Il yang sangat komunis dan isolatif akhirnya bertabrakan dengan kolektivitas di PBB. Akibatnya, banyak negara lain ikut menolak hubungan diplomatic dengan Korea Utara.
c. Adanya berbagai dimensi historis dari suatu Negara yang terus berpengaruh dan berhubungan
Setiap negara pasti memiliki konteks sejarah yang sangat lekat dengan kebijakan luar negeri. Bahkan, sejarah kuno dengan sejarah yang baru saja terjadi bisa saja tetap digunakan sebagai kepentingan nasional sebuah negara. Cina mungkin sudah tidak tertutup seperti dahulu. Zona perdagangan bebas sebagai jalur ekonomi terbuka dipilih Cina untuk mengikuti arus globalisasi. Namun, sistem politik Cina tetap terkendali oleh pemerintah pusat (sentralis).
Munculnya Generasi Inisiatif
Maksud dari adanya generasi inisiatif ialah titik kemunculan awal konsep politik luar negeri itu terbentuk. Di dalam buku Valeri Hudson (2007) yang berjudul Foreign Policy Analysis, Classic and Contemporary Theory, beliau mengatakan bahwa politik luar negeri merupakan salah satu area studi di hubungan internasional yang memiliki suatu kerangka dasar. Kerangka ini terambil dari sebuah aksi, reaksi, dan interaksi manusia sebagai pengambil keputusan terhadap dunia internasional. Akibatnya, pendekatan antropologis (verstehen) menjadi pintu pembuka dalam perumusan konsep politik luar negeri.
Esensi tradisional dari generasi insiatif ialah adanya uniteralisme aktor yang cenderung dikonsepsikan kepada sikap suatu negara. Sentralisme negara sebagai otoritas legal masih terus diberlakukan bahwa hanya negaralah yang berkewenangan khusus untuk membuat kebijakan luar negeri. Selain itu, Valerie Hudson (2007) menyederhanakan introduksi politik luar negeri ke dalam 2 bagian, yakni: eksplanandum (unit yang dijelaskan) dan eksplanan (unit yang menjelaskan). Di dalam eksplanandum, politik luar negeri muncul sebagai aksi sekaligus keputusan. Keputusan terbentuk dari entitas (pengaruh) luar dan internalisasi (kebutuhan domestik) yang berdampak pada pihak lain. Pada era kontemporer, politik luar negeri selalu dievaluasi dan dimodifikasi dengan keputusan lainnya untuk meminimalisir non purposeful action (implementasi kebijakan semu) dan non foreign policy desicion.
Sedangkan di bagian eksplanan, politik luar negeri dikategorikan sebagai proses (decision making) dan aktor (decision makers). Manfaat dari riset ini yaitu untuk menemukan kemungkinan korelasi konsep “agent structure” dalam teori hubungan internasional, membuka konsep kuno/generalisasi negara sebagai penguasa utama kebijakan luar negeri, serta mengkaitkan studi politik luar negri dengan studi lainnya seperti perbandingan politik dan kebijakan publik.
Diferensiasi dan Korelasi antara Generasi (Masa) Pertama dengan Generasi Kedua
Ada penjelasan menarik dari Laura Neack dkk (1995) mengenai transformasi politik luar negeri dari masa ke masa. Sebagai studi yang bersifat evolusioner (berada dalam satu siklus), politik luar negeri terbagi menjadi dua fase utama, yakni fase generasi pertama dan fase generasi kedua. Fase generasi pertama lebih menjelaskan tentang konsep perbandingan politik luar negeri sedangkan fase generasi kedua membahas tentang analisis kebijakan luar negeri. Uniknya, dua fase tersebut masih memiliki relasi yang berkesinambungan, tidak terpisahkan, dan memliki pola pikir yang hampir sama.
Karakteristik fase generasi pertama (1954-1993) ialah dominasi individu sebagai sistem level analisis kebijakan luar negeri. Individu di sini lebih diartikan sebagai aksi sebuah negara yang bersifat uniter/tunggal, rasional, dan nasional. Kedua, konsep politik luar negeri belum mengakar ke dasar teori hubungan internasional. Ketiga, belum ditemukannya kontribusi perbandingan politik terhadap definisi politik luar negeri. Keempat, tidak ada penghubung antara dunia internasional dengan perbandingan politik sebagai orientasi teori dan konsep. Kelima, studi perbandingan politik luar negeri masih dikuasai oleh tokoh-tokoh studi politik seperti: Nazi (oleh Adolf Hitler) di Jerman, fasisme (oleh Mushollini) di Italia, dll. Keenam, studi ini cenderung memiliki perspektif positivisme, yang membuat kerangka pra-teori secara sistematis, saintifik, dan kuantitatif. (Rosenau, 1966)
Perbedaan generasi kedua (1993-sekarang) dari generasi pertama yakni isu yang diangkat sebagai analisis politik luar negeri lebih beragam dan cenderung masuk low political issues (ekonomi, sosial, lingkungan). Sejak Perang Dingin berakhir, landasan teori dan metodologi untuk membuat analisis politik luar negeri mulai berkembang secara luas dan variatif. Akibatnya, terjadi kerangka alternatif sebagai penghubung perbandingan politik dengan area internasional. Kompleksitas dan konsistensi hubungan tersebut semakin teruji oleh faktor domestik dan proses pengambilan keputusan. Tak heran jika scholars yang berada di masa ini memiliki parameter kontekstual yang bersifat multiple.
Opini Pribadi
Secara keseluruhan, penulis setuju dengan argumen Breuning (2004) bahwa studi politik luar negeri bersifat siklus, saling berhubungan dan berkesinambungan dengan studi lainnya. Evolusi dari fase generasi pertama dan kedua menjadi bukti otentik bahwa evolusi politik luar negeri eksis dan sedang berlangsung. Namun, penulis juga enggan menolak bahwa politik luar negeri di era kontemporer mengalami kompleksitas yang tinggi dan berkali lipat masalahnya. Rosenau (1987) dengan jelas mengemukakan bahwa politik luar negeri menjadi fenomena kompleks karena banyaknya elemen yang membentuk kepentingan nasional. Hal ini diperkuat dengan adanya aspek internal suatu negara yang “across border” . Hal ini membutuhkan kreasi inovatif dan pemikiran alternatif dari para pengambil keputusan.
Fenomena perubahan iklim menjadi isu penting bagi dunia internasional. Berbagai diplomasi dan negosiasi telah diupayakan dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertajuk Conference of Parties. Namun, jalan kesepahaman dan win-win solution tak juga ditemukan karena disparitas tinggi antara kepentingan nasional negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Politik luar negeri AS pun semakin tersudutkan oleh desakan negara kepulauan kecil yang terancam masa depannya. Protokol Kyoto menjadi perjanjian semu karena sampai saat ini AS belum meratifikasinya. Dengan demikian, hasil dari kebijakan luar negeri semakin susah diimplementasikan dan permasalahan semakin kompleks.
Sebagai penutup, penulis menyimpulkan bahwa konsep politik luar negeri terus berkembang secara dinamis dan fluktuatif. Efektivitas dari implementasi kebijakan luar negeri pun semakin kompleks karena bergantung pada situasi dan konteks internasional saat itu.
REFERENSI
Breuning, Marijke. (2004) “Bringing ‘Comparative’ Back to Foreign Policy Analysis”, International Politics, (41), pp. 618-628
Hanrieder,Wolfram F.1971.Comparative Foreign Policy :Theoretical Essays. New York: David McKay Co, hal 22
Hudson, Valerie M. (2007) Foreign Policy Analysis, Classic and Contemporary Theory, Rowman & Littlefield.
Neack, Laura & Hey, Jeanne A.K. & Haney, Patrick J. (1995) Foreign Policy Analysis, Continuity and Change in Its Second Generation, Prentice Hall
Perwita, Anak Agung B. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, hal 47
Rosenau, James.N. 1987. “Introduction: New Directions and Recurrent Questions in the Comparative Study of Foreign Policy”, in Charles F. Hermann, Charles W. Kegley Jr., James N. Rosenau, eds., New Directions in the Study of Foreign Policy .Boston: Allen & Unwin. pp. 1-2.
Russet, Bruce dan Starr, Harvey.1988. World Politics : The Menu for Choice.2nd ed. New York: W.H.Freeman and Co, hal 190-193
Hi! I'm Gracia... I was born amazingly on 3rd April 2009.... Actually, I love my blog name "Amazing Grace" because it's absolutely my dream in my whole life... I want to be amazing and graceful person for this earth as the same with the meaning of my name... One important even crucial dream in my life is I want to be an inspiring and amazing leader to save the environment! Save the planet! zhu ni you ge yu kuai de yi tian.... Shang di bao you ni! ^_^
Minggu, November 14, 2010
GLOBALISASI MEDIA dan POLITIK LUAR NEGERI
Hakikat Dasar Media dan Opini Publik
Secara harfiah, media telah menjadi sarana komunikasi yang informatif dan interaktif dengan publik. Citra konvensioal media sendiri mampu meramu dan menggaris warna kehidupan masyarakat yang kompleks menjadi komprehensif. Media memberikan penyajian berita yang menarik untuk diperhatikan, sehingga masyarakat memiliki varian opini. Media mampu menjadikan masyarakat sebagai obyek informasi yang terus berpengaruh dan berkembang secara dinamis. Dengan demikian, korelasi antara media dan masyarakat semakin erat bagaikan kumbang dan bunga.
Namun, posisi media di masa tradisional (khususnya zaman Perang Dunia) seringkali termarginalkan oleh kekuasaan politik dan absolutism militer sebagai modal sebuah negara. Negara menolak kebebasan pers, mengurangi porsi media sebagai sumber berita, dan menganggap “tabu” media dalam mengurus suatu kebijakan. Dengan kata lain, media diabaikan sebagai aktor berpengaruh bagi pemimpin politik suatu negara.
Sumber: Dugis, V 2010
Berdasarkan gambar di atas sebelah kiri, terlihat bahwa ketiadaan media sebagai aktor komplementer proses kebijakan negara semakin nyata. Media belum menjadi penting untuk disimak mengingat bahwa pemerintah negara masih bersifat absolut, berdaulat, terpaku pada kepemimpinan seorang penguasa. Kasus Perang Dingin I dan II menceritakan secara jelas bahwa negara tetap menjadi pelaku utama dalam hubungan internasional dan tidak mempertimbangkan sumber publik seperti media.
Sedangkan gambar di sebelah kanan mencerminkan adanya perubahan yang terjadi pada sistem pembentukan kebijakan. Realitas peristiwa yang terjadi menimbulkan suatu citra tersendiri yang nantinya menentukan terbentuknya suatu kebijakan. Dalam membentuk suatu agenda utama, media mampu membingkai kerangka asumsi publik yang dikomunikasikan dengan pemerintah. Lingaran media ini mendukung adanya rezim komunikasi politik, menstruktur ekonomi politik suatu negara, memperluas struktur organisasi dan jaringan informasi, dan menyebarkan nilai-nilai penting sebuah berita yang biasanya menjadi ikon khususdari media tersebut.
Seiring dengan pesatnya arus globalisasi, transformasi media semakin maju dan didukung penuh oleh kehadiran teknologi informasi. Hakikat dasar yang semula menjadi sumber berita setidaknya bergeser menjadi suatu kapabilitas yang fleksibel, menganggap publik sebagai subyek sekaligus obyek (users and doers). Ideologi, kultur, sistem politik yang tercipta dalam sebuah media semakin bergerak ke arah ekonomi bisnis positif dan progresif.
Taksonomi Media Global dan Kebijakan Luar Negeri
Tidak dapat dipungkiri bahwa studi yang mengkaji globalisasi media terhadap pembentukan kebijakan luar negeri masih terbatas dan langka. Walaupun begitu, era globalisasi teknologi telah menunjukkan adanya eksistensi media komunikasi global yang terus mengarah lebih maju. Efektivitas komunikasi global dari media mengungkap bahwa hubungan internasional tidak lagi bersifat koersif, tapi lebih mengedepankan asas atraktif, memicu opini publik dari berbagai isu dan peristiwa. Akibatnya, media secara implicit turut andil dalam pandangan keluar sebuah kebijakan atau kebijakan luar negeri.
Pada dasarnya, politik luar negeri memiliki dua konsep utama, yaitu: policy making dan interaction-phase. Di dalam policy making, aktor pembuat kebijakan memperhatikan kebijakan, pilihan/opsi politik, dan taktik yang akan digunakan. Sedangkan interaction-phase menjelaskan bahwa politik luar negeri yang tercipta dipengaruhi oleh seperangkat posisi dan permintaan sehingga dibutuhkan strategi negosiasi untuk menemukan solusi bersama yang kondusif. (Gilboa, 2002)
Agar media mampu berperan secara efektif, Eytan Gilboa (2002) telah mengklasifikasi tipe dan fungsi media dalam kebijakan luar negeri. Berikut tabelnya:
Type of Actor Activity Context Concept
Controlling actor Replacing policy makers Humanitarian
military intervention CNN effect theory
Constraining actor Constraining policy
makers Decision making Real time policy
Intervening actor Becoming mediator International mediation international
political brokerage
Instrumental actor Promoting negotiations
and agreements Conflict resolution Media diplomacy
Sumber: Gilboa, Eytan 2002
Untuk tipe pertama, media berperan sebagai aktor pengotrol kebijakan. Artinya, media bersikap sebagai katalisator (penyeleksi) terhadap sumber-sumber yang digunakan sebagai bahan kebijakan. Tipe ini sangat dipengaruhi oleh konsep CNN effect theory, yang mencuat tahun 1990an saat Amerika mengekspansi berita asing (kasus Somalia, Saddam Hussein, Perang Teluk, dsb) secara global. James Baker (1995) pernah mengemukakan bahwa CNN effect menyebabkan premis kuatnya kapasitas komunikasi global dalam berevolusi dan mendorong lahirnya sebuah kebijakan luar negeri. Seperti yang diutarakan oleh James Baker bahwa kapasitas komunikasi global mampu mendorong sekaligus menekan sebuah kebijakan luar negeri. Keputusan AS dalam mengintervensi militer di Somalia untuk hal humaniter adalah contoh riil kebijakan diplomatis yang terbungkus rapi oleh berita media (Livingston dan Eachus, 1995).
Sedangkan fungsi constraining lebih menunjukkan adanya satu pembatas otoritas negara dalam membuat kebijakan. Sifat constraining media muncul ketika penyiaran berita global mengganggu alur proses pembuatan kebijakan, kinerja birokrat, dan para pemimpin reorder prioritas. Akibatnya, mereka tidak merasa terpaksa untuk mengikuti kebijakan tertentu dari media. Media pun akhirnya mampu membatasi langkah kinerja sentral diplomat dalam hubungan internasional. Seperti yang dikemukakan Bush dalam krisis Teluk (1990-1991), “I learn more from CNN than I do from the CIA” (Friedland, 1992:7-8) Karena adanya tuntutan zaman dan keterbukaan pesan komunikasi global, media perlu diberi standard analisis kompromi dan rekomendasi professional. Syarat ini masuk dalam tipe media sebagai intervening actor. Gurevitch (1991: 187-188) menyatakan bahwa media telah memiliki peran jurnalistik baru, yaitu “international political brokers”. Artinya, media bisa diajak untuk melobi dan membantu permasalahan negara secara interaktif kepada masyarakat.
Kategori peran media yang terakhir ialah instrumental actor. Ebo (1996:44) berpendapat bahwa “the use of the media to articulate and promote foreign policy”. Artinya, media digunakan para pemimpin untuk mengekspresikan kepentingan mereka dalam bernegosiasi, membangun kepercayaan diri, dan memobilisasi dukungan publik melalui sebuah perjanjian. (GIlboa, 1998:62-63) Henry Kissinger menggunakan sinyal media dan tekanan dalam kasus perang Arab-Israel tahun 1973 melalui “shuttle diplomacy”. Seiring perkembangan, terminologi baru diplomasi ditujukan untuk mendorong kekuatan negosiasi dengan media dan berbicara langsung antar penguasa tinggi di dunia. Akibatnya, muncul istilah Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) seperti pada acara peacemaking Arab-Israel.
Tantangan Media Global: Bagaimana Menjawab Korporasi Kebijakan Luar Negeri?
Menanggapi artikel Eytan Gilboa (2002), ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi dan dilakukan oleh media. Pertama, kepentingan media seringkali berbenturan dengan kepentingan politis negara sehingga sulit menemukan obyektivitas suatu berita. Negara bisa saja memberikan ‘insentif’ khusus pada media tertentu dalam menyiarkan sebuah isu. Dengan kata lain, media mampu menunjukkan ambiguitas isu yang menimbulkan benturan opini publik. Kedua, media yang berkembang pesat selalu memberikan inovasi dan mengembangkan investasi besar bagi ‘kesejahteraan’ kaum kapitalis. Korporasi media dan privatisasi isu menjadi gejolak politik yang tak bisa dibendung oleh negara. Bila kondisi ini terus terjadi, bagaimana nasib publik dan sikap negara dalam menjawab ‘korporasi’ kebiajakan luar negeri? Akankah media terus berkiprah dalam pembentukan kebijakan luar negeri?
Referensi
Cohen, Y. 1986. Media Diplomacy, Cass, London
Dayan, D & Katz,E. 1992, Media Events:The Live Broadcasting of History, Harvard University Press, Cambridge
Dugis, V. 2010, The Role of Public and Media on Foreign Policy
Ebo, E. 1996. Media Diplomacy and foreign policy: Toward a theoretical framework, NJ Ablex, Norwood
Eytan Gilboa. 2002, Global Communication and Foreign Policy, International Communication Association, Boston
Friedland, L. 1992, Covering the world: International television news services, Twentieth Century Fund Press, New York
Gurevitch, M. 1991, The Globalization of Electronic Journalism, Edward Arnold, London. Hal 178-193
Secara harfiah, media telah menjadi sarana komunikasi yang informatif dan interaktif dengan publik. Citra konvensioal media sendiri mampu meramu dan menggaris warna kehidupan masyarakat yang kompleks menjadi komprehensif. Media memberikan penyajian berita yang menarik untuk diperhatikan, sehingga masyarakat memiliki varian opini. Media mampu menjadikan masyarakat sebagai obyek informasi yang terus berpengaruh dan berkembang secara dinamis. Dengan demikian, korelasi antara media dan masyarakat semakin erat bagaikan kumbang dan bunga.
Namun, posisi media di masa tradisional (khususnya zaman Perang Dunia) seringkali termarginalkan oleh kekuasaan politik dan absolutism militer sebagai modal sebuah negara. Negara menolak kebebasan pers, mengurangi porsi media sebagai sumber berita, dan menganggap “tabu” media dalam mengurus suatu kebijakan. Dengan kata lain, media diabaikan sebagai aktor berpengaruh bagi pemimpin politik suatu negara.
Sumber: Dugis, V 2010
Berdasarkan gambar di atas sebelah kiri, terlihat bahwa ketiadaan media sebagai aktor komplementer proses kebijakan negara semakin nyata. Media belum menjadi penting untuk disimak mengingat bahwa pemerintah negara masih bersifat absolut, berdaulat, terpaku pada kepemimpinan seorang penguasa. Kasus Perang Dingin I dan II menceritakan secara jelas bahwa negara tetap menjadi pelaku utama dalam hubungan internasional dan tidak mempertimbangkan sumber publik seperti media.
Sedangkan gambar di sebelah kanan mencerminkan adanya perubahan yang terjadi pada sistem pembentukan kebijakan. Realitas peristiwa yang terjadi menimbulkan suatu citra tersendiri yang nantinya menentukan terbentuknya suatu kebijakan. Dalam membentuk suatu agenda utama, media mampu membingkai kerangka asumsi publik yang dikomunikasikan dengan pemerintah. Lingaran media ini mendukung adanya rezim komunikasi politik, menstruktur ekonomi politik suatu negara, memperluas struktur organisasi dan jaringan informasi, dan menyebarkan nilai-nilai penting sebuah berita yang biasanya menjadi ikon khususdari media tersebut.
Seiring dengan pesatnya arus globalisasi, transformasi media semakin maju dan didukung penuh oleh kehadiran teknologi informasi. Hakikat dasar yang semula menjadi sumber berita setidaknya bergeser menjadi suatu kapabilitas yang fleksibel, menganggap publik sebagai subyek sekaligus obyek (users and doers). Ideologi, kultur, sistem politik yang tercipta dalam sebuah media semakin bergerak ke arah ekonomi bisnis positif dan progresif.
Taksonomi Media Global dan Kebijakan Luar Negeri
Tidak dapat dipungkiri bahwa studi yang mengkaji globalisasi media terhadap pembentukan kebijakan luar negeri masih terbatas dan langka. Walaupun begitu, era globalisasi teknologi telah menunjukkan adanya eksistensi media komunikasi global yang terus mengarah lebih maju. Efektivitas komunikasi global dari media mengungkap bahwa hubungan internasional tidak lagi bersifat koersif, tapi lebih mengedepankan asas atraktif, memicu opini publik dari berbagai isu dan peristiwa. Akibatnya, media secara implicit turut andil dalam pandangan keluar sebuah kebijakan atau kebijakan luar negeri.
Pada dasarnya, politik luar negeri memiliki dua konsep utama, yaitu: policy making dan interaction-phase. Di dalam policy making, aktor pembuat kebijakan memperhatikan kebijakan, pilihan/opsi politik, dan taktik yang akan digunakan. Sedangkan interaction-phase menjelaskan bahwa politik luar negeri yang tercipta dipengaruhi oleh seperangkat posisi dan permintaan sehingga dibutuhkan strategi negosiasi untuk menemukan solusi bersama yang kondusif. (Gilboa, 2002)
Agar media mampu berperan secara efektif, Eytan Gilboa (2002) telah mengklasifikasi tipe dan fungsi media dalam kebijakan luar negeri. Berikut tabelnya:
Type of Actor Activity Context Concept
Controlling actor Replacing policy makers Humanitarian
military intervention CNN effect theory
Constraining actor Constraining policy
makers Decision making Real time policy
Intervening actor Becoming mediator International mediation international
political brokerage
Instrumental actor Promoting negotiations
and agreements Conflict resolution Media diplomacy
Sumber: Gilboa, Eytan 2002
Untuk tipe pertama, media berperan sebagai aktor pengotrol kebijakan. Artinya, media bersikap sebagai katalisator (penyeleksi) terhadap sumber-sumber yang digunakan sebagai bahan kebijakan. Tipe ini sangat dipengaruhi oleh konsep CNN effect theory, yang mencuat tahun 1990an saat Amerika mengekspansi berita asing (kasus Somalia, Saddam Hussein, Perang Teluk, dsb) secara global. James Baker (1995) pernah mengemukakan bahwa CNN effect menyebabkan premis kuatnya kapasitas komunikasi global dalam berevolusi dan mendorong lahirnya sebuah kebijakan luar negeri. Seperti yang diutarakan oleh James Baker bahwa kapasitas komunikasi global mampu mendorong sekaligus menekan sebuah kebijakan luar negeri. Keputusan AS dalam mengintervensi militer di Somalia untuk hal humaniter adalah contoh riil kebijakan diplomatis yang terbungkus rapi oleh berita media (Livingston dan Eachus, 1995).
Sedangkan fungsi constraining lebih menunjukkan adanya satu pembatas otoritas negara dalam membuat kebijakan. Sifat constraining media muncul ketika penyiaran berita global mengganggu alur proses pembuatan kebijakan, kinerja birokrat, dan para pemimpin reorder prioritas. Akibatnya, mereka tidak merasa terpaksa untuk mengikuti kebijakan tertentu dari media. Media pun akhirnya mampu membatasi langkah kinerja sentral diplomat dalam hubungan internasional. Seperti yang dikemukakan Bush dalam krisis Teluk (1990-1991), “I learn more from CNN than I do from the CIA” (Friedland, 1992:7-8) Karena adanya tuntutan zaman dan keterbukaan pesan komunikasi global, media perlu diberi standard analisis kompromi dan rekomendasi professional. Syarat ini masuk dalam tipe media sebagai intervening actor. Gurevitch (1991: 187-188) menyatakan bahwa media telah memiliki peran jurnalistik baru, yaitu “international political brokers”. Artinya, media bisa diajak untuk melobi dan membantu permasalahan negara secara interaktif kepada masyarakat.
Kategori peran media yang terakhir ialah instrumental actor. Ebo (1996:44) berpendapat bahwa “the use of the media to articulate and promote foreign policy”. Artinya, media digunakan para pemimpin untuk mengekspresikan kepentingan mereka dalam bernegosiasi, membangun kepercayaan diri, dan memobilisasi dukungan publik melalui sebuah perjanjian. (GIlboa, 1998:62-63) Henry Kissinger menggunakan sinyal media dan tekanan dalam kasus perang Arab-Israel tahun 1973 melalui “shuttle diplomacy”. Seiring perkembangan, terminologi baru diplomasi ditujukan untuk mendorong kekuatan negosiasi dengan media dan berbicara langsung antar penguasa tinggi di dunia. Akibatnya, muncul istilah Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) seperti pada acara peacemaking Arab-Israel.
Tantangan Media Global: Bagaimana Menjawab Korporasi Kebijakan Luar Negeri?
Menanggapi artikel Eytan Gilboa (2002), ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi dan dilakukan oleh media. Pertama, kepentingan media seringkali berbenturan dengan kepentingan politis negara sehingga sulit menemukan obyektivitas suatu berita. Negara bisa saja memberikan ‘insentif’ khusus pada media tertentu dalam menyiarkan sebuah isu. Dengan kata lain, media mampu menunjukkan ambiguitas isu yang menimbulkan benturan opini publik. Kedua, media yang berkembang pesat selalu memberikan inovasi dan mengembangkan investasi besar bagi ‘kesejahteraan’ kaum kapitalis. Korporasi media dan privatisasi isu menjadi gejolak politik yang tak bisa dibendung oleh negara. Bila kondisi ini terus terjadi, bagaimana nasib publik dan sikap negara dalam menjawab ‘korporasi’ kebiajakan luar negeri? Akankah media terus berkiprah dalam pembentukan kebijakan luar negeri?
Referensi
Cohen, Y. 1986. Media Diplomacy, Cass, London
Dayan, D & Katz,E. 1992, Media Events:The Live Broadcasting of History, Harvard University Press, Cambridge
Dugis, V. 2010, The Role of Public and Media on Foreign Policy
Ebo, E. 1996. Media Diplomacy and foreign policy: Toward a theoretical framework, NJ Ablex, Norwood
Eytan Gilboa. 2002, Global Communication and Foreign Policy, International Communication Association, Boston
Friedland, L. 1992, Covering the world: International television news services, Twentieth Century Fund Press, New York
Gurevitch, M. 1991, The Globalization of Electronic Journalism, Edward Arnold, London. Hal 178-193
INFORMATION TECHNOLOGY REVOLUTION AND SUSTAINABILITY
Babak Awal Revolusi Teknologi Informasi
Semula, Manuel Castells sudah berargumen kuat bahwa kini manusia berada di dalam gradualisme zaman yang terinterval oleh transformasi “material culture”. (Fischer, 1992) sejalan dengan Castells, Melvin Kranzberg menulis konsep “The Information Age” sebagai elemen teknis dari masyarakat industri. Sedangkan Daniel Bell (1976) mengatakan bahwa titik dasar revolusi teknologi informasi terletak pada penggunaan pengetahuan ilmiah yang dilakukan secara reproducible. Nicholas Negroponte (1995) sendiri punya pendapat bahwa proses transformasi teknologi mampu membentuk interface (penghubung) antara teknologi dengan informasi yang didapat, dihasilkan, disimpan, dan ditransmit secara digital/digitalisasi. Setidaknya, para pakar tersebut memiliki pandangan bahwa revolusi teknologi informasi memang terjadi dan bersifat gradual (perubahan mendasar, bertahap, dan terstruktur).
Secara historis, revolusi teknologi diungkapkan Melvin Kranzberg dan Carroll Pursell sebagai karakter yang pervasive (penetratif), yang menyerap faktor internal/endogen dari aktivitas manusia. Contohnya, biological engineering dihasilkan dari struktur dasar informasi manusia berupa DNA. Sistem yang bekerja di dalamnya mengelola informasi yang diturunkan ke generasi berikutnya. Perlakuan inovatif terhadap manusia ini merupakan bagian dari teknologi informasi karena tidak terfokus pada ilmu pengetahuan dan informasi biologis, tapi lebih mengarah ke aplikasi yang meneruskan pengetahuan dan informasi dengan penggunaan inovasi-inovasi. (Hall dan Preston, 1988)
Proses umum revolusi teknologi informasi terdiri daritiga bagian, yakni: automation of tasks, experimentation of uses, dan reconfiguration of applications. (Bar, 1990) Menurut terminologi Rosenberg (1982), proses pertama dan kedua lebih mengarah kepada learning by using, lebih memaksimalkan produktivitas manusia sebagia sumber teknologi (information to act on technology) seperti penemuan mesin uap James Watt, ilmu pengetahuan tentang hokum gravitasi Isaac Newton,dsb. Sedangkan proses terakhir, manusia lebih mempelajari teknologi secara praktis (technology to act on information), sehingga konsep learning by doing ini menjadikan informasi sebagai komoditas.
Diferensiasi dari Revolusi Agrikultur dan Industri
Revolusi Agrikultur dimulai sejak tahun 1700 di Inggris. Di tahun 1750, Inggris pula yang menjadi tonggak utama pasar agrikultur di seluruh dunia. Tanah Pada saat itu, segala kekayaan alam dan keindahannya telah dikelola dan dikuasai oleh daya produktif manusia., tanaman, dan binatang digunakan secara maksimal oleh manusia untuk pembangunan awal. Pembuatan pupuk, pembuatan sengkedan, pertanian, peternakan, dan perikanan menjadi mata pencaharian utama masyarakat tradisional. Teknik hidroponik, monokultur, dikultur, pembibitan sampai panen sudah biasa dijalankan oleh mereka. Bisa dikatakan bahwa manusia sebagai penguasa tunggal dalam mengerahkan potensi alam yang tersedia secara berlimpah. Namun, hasil agrikultur ini harus dibagi pada tuan tanah dan penggarap tanah. Para pemilik tanah dengan leluasa mendikte tenaga kerja mereka secara paksa sehingga menimbulkan kapitalisme ekonomi serta arus migrasi yang besar.
Memasuki tahun 1800an, revolusi industri terjadi secara masif dan eksploitatif. Dominasi manusia telah beralih sedikit demi sedikit menuju dominasi mesin/teknologi. Revolusi industri sendiri terbagi menjadi dua fase, yaitu: fase pertama yang berangkat dari ekstensifikasi informasi yang diolah menjadi sebuah pengetahuan dan fase kedua (sekitar tahun 1850) yang dikarakteristikkan pada peran ilmu pengetahuan terhadap inovasi-inovasi teknologis. Aktor utama dalam revolusi ini ialah para buruh dan pemilik modal sehingga mengembangkan paham kapitalisme lalu menciptakan kelas-kelas. Castells dalam hal ini sepakat dengan paham Marxis bahwa kapitalisme telah memiliki daya kuat dalam melakukan revolusi, termasuk revolusi teknologi informasi.
Castells melihat penyebaran teknologi bukan secara ekspansif, melainkan melalui immediate application. Artinya, teknologi informasi lebih membawa kepada arus percepatan relasi antara teknologi dan manusia. Aktor tidak lagi bersifat ekonomi-materialis (buruh dan pemilik) tapi lebih kepada users dan doers. Kedua konsep tersebut bisa digunakan sekaligus sehingga sistem informasi akhirnya berjalan secara otomatis. Contohnya ialah ketika Bill Gates menciptakan Windows lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia. Microsoft, Apple, dan produk teknologi informasi lainnya merupakan buah teknologi mutakhir yang mengedepankan teknologi sebagai akses informasi secara praktis dan dinamis. Revolusi teknologi informasi mencakup penemuan microchip/microelectronics, komputerisasi, dan telekomunikasi di mana inovasi dan penggunaan inovasi terakumulasi secara efektif.
Globalisasi dan Revolusi Teknologi Informasi: Kunci Sustainabilitas?
Arus pasar dari teknologi informasi semakin tak terbendung. Globalisasi informasi yang semula berkembang pesat di abad 20 ini, telah menjadi revolusi khusus bagi pembangunan sebuah negara. Seperti dikatakan oleh Aydalot (1985), sinergi yang terkumpul dalam sebuah teknologi informasi bernama “milleux of innovation”, yang menginteraksikan sistem produktivitas manusia dengan ide yang terdapat di daerah sekelilingnya. Lalu Mokyr menegaskan bahwa inovasi teknologi tidak dapat menjadi informasi yang terisolasi. Dengan kata lain, informasi yang berkemabang oleh teknologi ini mengalami perluasan secara global (globalisasi). Apakah yang harus dilakukan oleh globalisasi dalam revolusi teknologi informasi?
Menurut Castells, globalisasi yang terjadi harus mampu memfasilitasi arus teknologi informasi secara holistik sekaligus spesifik. Artinya, relasi antara informasi dan teknologi mampu bersifat fleksibel, menghasilkan networking logic, serta mampu membuat highly integrated system with specific technologies. (Freeman, 1988) Di dalam teknologi informasi, ada interaksi dinamis antara pengguna dan jaringan yang tersalur, memiliki perkembangan tingkat kecepatan (upgrade) yang termodifikasi secara cepat, sekaligus bersifat adaptif terhadap lingkungan sosial. Mulgan (1991) mengatakan bahwa jaringan dalam teknologi informasi tidak hanya diciptakan untuk komunikasi saja, tetapi juga menentukan posisi keluar dari jalur komunikasi yang ada.
Fenomena pemanasan global menjadi salah satu isu yang terakomodasi oleh adanya revolusi teknologi informasi. Seluruh elemen/entitas turut menyaksikan gambar lapisan ozon berlubang, es di kutub mencair, perubahan iklim, kekeringan, banjir, serta badai tak menentu secara cepat. Koneksi internet ini akhirnya dihadapkan pada suatu pilihan: terbuang secara sia-sia atau terkelola secara hemat, siklus, berkelanjutan? Green IT merupakan salah satu website yang mensosialisasikan peran penting sustainabilitas terhadap teknologi informasi. (Why Green IT? http://www.greenit.net/whygreenit.html . Diakses tanggal 27 September 2010) Berlabel “eco-profile”, web ini berusaha memberikan konsep penghematan energi listrik dalam mengoperasi teknologi informasi. (Lihat gambar di balik)
Sumber: http://www.greenit.net/products_greenitroadmap.html. Diakses tgl 27 September 2010
Negara-negara di Eropa seperti Swiss dan Jerman telah berusaha membuat kebijakan energi berkelanjutan yang bernama recycle, repair, re-use, upgrade. Salah satu contoh realisasinya ialah membuat tema "Sustainability in the Information Society” dalam komunitas yang disebut Empa Academy Science Forum. (Martina Peter, 2002) Dengan demikian, globalisasi dan teknologi informasi bisa menjadi partner kunci dalam menerapkan konsep keberlanjutan.
Globalisasi telah berevolusi layaknya teknologi informasi. Teknologi informasi akan bergerak dinamis positif dengan globalisasi apabila memperhatikan penuh aspek ekonomi, etika-moral, dan lingkungan. Globalisasi dapat bergerak secara berkelanjutan (sustainable) dengan arus teknologi informasi.
REFERENSI
Castells, Manuel. 1996. “The Information Technology Revolution”,dalam The Rise of Network Society. Oxford: Blackwell Publisher. hal 29-65
Green IT Roadmap. http://www.greenit.net/products_greenitroadmap.html. Diakses tanggal 27 September 2010
Peter, Martina. 2002. Information Technology-the key to Sustainability. Empa Academy Science Forum, dalam www.empa.ch. Diakses tanggal 27 September 2010
Why Green IT? http://www.greenit.net/whygreenit.html. Diakses tanggal 27 September 2010
Semula, Manuel Castells sudah berargumen kuat bahwa kini manusia berada di dalam gradualisme zaman yang terinterval oleh transformasi “material culture”. (Fischer, 1992) sejalan dengan Castells, Melvin Kranzberg menulis konsep “The Information Age” sebagai elemen teknis dari masyarakat industri. Sedangkan Daniel Bell (1976) mengatakan bahwa titik dasar revolusi teknologi informasi terletak pada penggunaan pengetahuan ilmiah yang dilakukan secara reproducible. Nicholas Negroponte (1995) sendiri punya pendapat bahwa proses transformasi teknologi mampu membentuk interface (penghubung) antara teknologi dengan informasi yang didapat, dihasilkan, disimpan, dan ditransmit secara digital/digitalisasi. Setidaknya, para pakar tersebut memiliki pandangan bahwa revolusi teknologi informasi memang terjadi dan bersifat gradual (perubahan mendasar, bertahap, dan terstruktur).
Secara historis, revolusi teknologi diungkapkan Melvin Kranzberg dan Carroll Pursell sebagai karakter yang pervasive (penetratif), yang menyerap faktor internal/endogen dari aktivitas manusia. Contohnya, biological engineering dihasilkan dari struktur dasar informasi manusia berupa DNA. Sistem yang bekerja di dalamnya mengelola informasi yang diturunkan ke generasi berikutnya. Perlakuan inovatif terhadap manusia ini merupakan bagian dari teknologi informasi karena tidak terfokus pada ilmu pengetahuan dan informasi biologis, tapi lebih mengarah ke aplikasi yang meneruskan pengetahuan dan informasi dengan penggunaan inovasi-inovasi. (Hall dan Preston, 1988)
Proses umum revolusi teknologi informasi terdiri daritiga bagian, yakni: automation of tasks, experimentation of uses, dan reconfiguration of applications. (Bar, 1990) Menurut terminologi Rosenberg (1982), proses pertama dan kedua lebih mengarah kepada learning by using, lebih memaksimalkan produktivitas manusia sebagia sumber teknologi (information to act on technology) seperti penemuan mesin uap James Watt, ilmu pengetahuan tentang hokum gravitasi Isaac Newton,dsb. Sedangkan proses terakhir, manusia lebih mempelajari teknologi secara praktis (technology to act on information), sehingga konsep learning by doing ini menjadikan informasi sebagai komoditas.
Diferensiasi dari Revolusi Agrikultur dan Industri
Revolusi Agrikultur dimulai sejak tahun 1700 di Inggris. Di tahun 1750, Inggris pula yang menjadi tonggak utama pasar agrikultur di seluruh dunia. Tanah Pada saat itu, segala kekayaan alam dan keindahannya telah dikelola dan dikuasai oleh daya produktif manusia., tanaman, dan binatang digunakan secara maksimal oleh manusia untuk pembangunan awal. Pembuatan pupuk, pembuatan sengkedan, pertanian, peternakan, dan perikanan menjadi mata pencaharian utama masyarakat tradisional. Teknik hidroponik, monokultur, dikultur, pembibitan sampai panen sudah biasa dijalankan oleh mereka. Bisa dikatakan bahwa manusia sebagai penguasa tunggal dalam mengerahkan potensi alam yang tersedia secara berlimpah. Namun, hasil agrikultur ini harus dibagi pada tuan tanah dan penggarap tanah. Para pemilik tanah dengan leluasa mendikte tenaga kerja mereka secara paksa sehingga menimbulkan kapitalisme ekonomi serta arus migrasi yang besar.
Memasuki tahun 1800an, revolusi industri terjadi secara masif dan eksploitatif. Dominasi manusia telah beralih sedikit demi sedikit menuju dominasi mesin/teknologi. Revolusi industri sendiri terbagi menjadi dua fase, yaitu: fase pertama yang berangkat dari ekstensifikasi informasi yang diolah menjadi sebuah pengetahuan dan fase kedua (sekitar tahun 1850) yang dikarakteristikkan pada peran ilmu pengetahuan terhadap inovasi-inovasi teknologis. Aktor utama dalam revolusi ini ialah para buruh dan pemilik modal sehingga mengembangkan paham kapitalisme lalu menciptakan kelas-kelas. Castells dalam hal ini sepakat dengan paham Marxis bahwa kapitalisme telah memiliki daya kuat dalam melakukan revolusi, termasuk revolusi teknologi informasi.
Castells melihat penyebaran teknologi bukan secara ekspansif, melainkan melalui immediate application. Artinya, teknologi informasi lebih membawa kepada arus percepatan relasi antara teknologi dan manusia. Aktor tidak lagi bersifat ekonomi-materialis (buruh dan pemilik) tapi lebih kepada users dan doers. Kedua konsep tersebut bisa digunakan sekaligus sehingga sistem informasi akhirnya berjalan secara otomatis. Contohnya ialah ketika Bill Gates menciptakan Windows lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia. Microsoft, Apple, dan produk teknologi informasi lainnya merupakan buah teknologi mutakhir yang mengedepankan teknologi sebagai akses informasi secara praktis dan dinamis. Revolusi teknologi informasi mencakup penemuan microchip/microelectronics, komputerisasi, dan telekomunikasi di mana inovasi dan penggunaan inovasi terakumulasi secara efektif.
Globalisasi dan Revolusi Teknologi Informasi: Kunci Sustainabilitas?
Arus pasar dari teknologi informasi semakin tak terbendung. Globalisasi informasi yang semula berkembang pesat di abad 20 ini, telah menjadi revolusi khusus bagi pembangunan sebuah negara. Seperti dikatakan oleh Aydalot (1985), sinergi yang terkumpul dalam sebuah teknologi informasi bernama “milleux of innovation”, yang menginteraksikan sistem produktivitas manusia dengan ide yang terdapat di daerah sekelilingnya. Lalu Mokyr menegaskan bahwa inovasi teknologi tidak dapat menjadi informasi yang terisolasi. Dengan kata lain, informasi yang berkemabang oleh teknologi ini mengalami perluasan secara global (globalisasi). Apakah yang harus dilakukan oleh globalisasi dalam revolusi teknologi informasi?
Menurut Castells, globalisasi yang terjadi harus mampu memfasilitasi arus teknologi informasi secara holistik sekaligus spesifik. Artinya, relasi antara informasi dan teknologi mampu bersifat fleksibel, menghasilkan networking logic, serta mampu membuat highly integrated system with specific technologies. (Freeman, 1988) Di dalam teknologi informasi, ada interaksi dinamis antara pengguna dan jaringan yang tersalur, memiliki perkembangan tingkat kecepatan (upgrade) yang termodifikasi secara cepat, sekaligus bersifat adaptif terhadap lingkungan sosial. Mulgan (1991) mengatakan bahwa jaringan dalam teknologi informasi tidak hanya diciptakan untuk komunikasi saja, tetapi juga menentukan posisi keluar dari jalur komunikasi yang ada.
Fenomena pemanasan global menjadi salah satu isu yang terakomodasi oleh adanya revolusi teknologi informasi. Seluruh elemen/entitas turut menyaksikan gambar lapisan ozon berlubang, es di kutub mencair, perubahan iklim, kekeringan, banjir, serta badai tak menentu secara cepat. Koneksi internet ini akhirnya dihadapkan pada suatu pilihan: terbuang secara sia-sia atau terkelola secara hemat, siklus, berkelanjutan? Green IT merupakan salah satu website yang mensosialisasikan peran penting sustainabilitas terhadap teknologi informasi. (Why Green IT? http://www.greenit.net/whygreenit.html . Diakses tanggal 27 September 2010) Berlabel “eco-profile”, web ini berusaha memberikan konsep penghematan energi listrik dalam mengoperasi teknologi informasi. (Lihat gambar di balik)
Sumber: http://www.greenit.net/products_greenitroadmap.html. Diakses tgl 27 September 2010
Negara-negara di Eropa seperti Swiss dan Jerman telah berusaha membuat kebijakan energi berkelanjutan yang bernama recycle, repair, re-use, upgrade. Salah satu contoh realisasinya ialah membuat tema "Sustainability in the Information Society” dalam komunitas yang disebut Empa Academy Science Forum. (Martina Peter, 2002) Dengan demikian, globalisasi dan teknologi informasi bisa menjadi partner kunci dalam menerapkan konsep keberlanjutan.
Globalisasi telah berevolusi layaknya teknologi informasi. Teknologi informasi akan bergerak dinamis positif dengan globalisasi apabila memperhatikan penuh aspek ekonomi, etika-moral, dan lingkungan. Globalisasi dapat bergerak secara berkelanjutan (sustainable) dengan arus teknologi informasi.
REFERENSI
Castells, Manuel. 1996. “The Information Technology Revolution”,dalam The Rise of Network Society. Oxford: Blackwell Publisher. hal 29-65
Green IT Roadmap. http://www.greenit.net/products_greenitroadmap.html. Diakses tanggal 27 September 2010
Peter, Martina. 2002. Information Technology-the key to Sustainability. Empa Academy Science Forum, dalam www.empa.ch. Diakses tanggal 27 September 2010
Why Green IT? http://www.greenit.net/whygreenit.html. Diakses tanggal 27 September 2010
KULTURISASI OPINI DUNIA dan TANTANGAN MEDIA GLOBAL
Fokus argumen Peter Stearn: Ekspansi, Inovasi, dan Limitasi
Sebuah argumen menarik dari Peter N. Stearns (2005) menyatakan bahwa kekuatan (kapasitas) dan kultur telah menjadi faktor pemicu utama dalam memobilisasi topik/persoalan masyarakat. Kalimat pembuka tersebut juga memperkuat premis mengenai opini publik yang telah mengglobal karena adanya transformasi peradaban dunia. Hal ini didasari oleh tiga alasan konseptual utama, yakni: ekspansi, inovasi, dan limit (batasan dan hambatan). Ekspansi yang dimaksud lebih menceritakan catatan kronologis kemunculan dan pengaruh era Westernisasi sejak tahun 1860-1930 terhadap peradaban Rusia, Amerika Latin, Jepang, Timur Tengah, dan Cina. Perluasan paradigma Barat ini lantas menimbulkan suatu inovasi kultur tersendiri dan mampu membentuk opini masyarakat secara global. Seiring dengan berkemabangnya teknologi informasi berupa media cetak, inovasi yang dihasilkan tetap mengalami hambatan serius. Akibatnya, pergerakan Barat mendapat limit yang bersinggungan dengan tradisi kuat sebuah negara bangsa.
Tulisan Peter N. Stearn lebih berfokus pada eksistensi opini dunia dan peran transformasi peradaban (perubahan kultural) terhadap pembentukan opini publik global. Secara komprehensif, Stearn menjelaskan bahwa ekspansi peradaban Barat dilatarbelakangi oleh peristiwa 80 tahun gerakan anti perbudakan abad 18 dan bencana yang terjadi pasca Perang Dunia II. Momen tersebut menjadi bukti nyata bahwa hakikat opini publik sudah lahir secara tradisional oleh karena banyaknya konflik kekerasan, penyelewengan sosial, serta gerakan khusus seperti Nazi dan Fasis yang didukung dengan semangat moral yang tinggi. Namun, semenjak Konvensi Jenewa terbentuk dadi tahun 1860, berdirinya Palang Merah Internasional, dan terselenggarakannya pemberian hadiah Nobel tahun 1901, opini public kian diapresiasi dan mengalami perkembangan pesat hingga membentuk opini dunia.
Peluang untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang berkualitas kian terbuka lebar sejak imperialisme Barat berekspansi besar-besaran. Bahkan, teknologi media jurnalistik semakin mengundang intrik banyak pihak hingga mampu membongkar sisi lain peradaban. Spoof Mikado dari Jepang, pembunuhan bayi dan ketidakadilan hak wanita di India, prostitusi di Amerika Latin dan Jepang, patronisasi Rusia, absolutismesistem hukum Islam yang ‘menomorsatukan’ wanita di Timur Tengah, sampai isu pemasungan kaki wanita di Cina menjadi hasil inovatif nyata dari jerih payah Barat dalam menguak ekslusivitas peradaban luar serta mengajarkan asas kebebasan, misionari Kristiani, dan standard pembentukan opini global. Dengan kata lain, imperialisme Barat mengarah kepada modernitas, masyarakat modern, dan era reformasi.
Indikator sukses tidaknya opini dunia dari transformasi peradaban di atas ialah akses geografis dan tingkat perkembangan isu yang beredar. Pada akhir abad 19, opini dunia menjadi sangat krusial karena adanya tindakan lynching di Ameika Serikat. Aksi tersebut dipengaruhi oleh asas diskriminasi rasial dan konflik internal. Oleh karena itu, sejumlah tokoh anti-lynching membuat petisi internasional dan mengundang media massa sebagai wadah informatif protes mereka. Perubahan gradual terjadi dan berdampak pada kebijakan federal pemerintah hingga mencetus adanya tanggung jawab moral secara legal (dibentuk undang-undang mengenai hak asasi manusia). Solidaritas dan inklusivitas dari kekerasan menjadi standard utama dalam pembentukan opini dunia.
Walaupun opini dunia mampu menciptakan progresivitas gerakan universal/ tindakan kolektif, faktor transformasi perdaban ternyata punya hambatan. Menjadikan manusia yang bermartabat dan berargumen secara intelektual tidak semata terlepas dari persoalan nasional. National shame dan national disgrace menjadi hambatan utama ketika opini dunia mencuat dan tenggelam secara tiba-tiba. Perselisihan internal dan gejolak yang timbul akibat gesekan kultur merupakan ‘penyakit’ massa yang harus diperhatikan masyarakat global.
Respon Personal: Bagaimana Tantangan Media Global?
Penulis sependapat dengan pernyataan Stearn yang menjunjung aspek peradaban dalam pembenutkan opini dunia. Asas sosial dan kultural memang menjadi landasan penting yang sudah mendarah daging di dalam mindset masyarakat. Namun, Stearn belum menjelaskan bagaimana kontribusi media dalam dinamika peradaban dan opini publik. Isu kesetaraan gender, penghormatan hak asasi manusia menjadi sangat dominan dan kurang menjelaskan eksistensi media dalam perumusan opini dunia. Selain itu, alur tulisan Stearn yang campur terkadang menyebabkan penulis kehilangan esensi dari perubahan zaman masyarakat dalam membentuk opini dunia.
Sebagai pelengkap, penulis menambahkan argumen Herman dan Chesney (1997) yang menjelaskan tentang peran penting ideologi kapital korporat global dalam perkembangan media global. Ada empat faktor utama yang mempengaruhi ideologi tersebut, di antaranya:
a. Kemampuan pasar dalam mengalokasi sumber daya yang tersedia secara efisien dan menyediakan cara pengorganisasian kehidupan ekonomi.
Ekspansi imperialisme Barat memang tidak terbendung. Perjalanan bisnis geografis yang berbasis pasar ini harus mampu menyediakan stabilitas sistem ekonomi. Sumber daya dan kapasitas yang ada juga ditunjang dengan investasi aktif, yang biasa disebut “favorable climate of investment”.
b. Intervensi negara
Ketika pasar berkembang, negara tidak semata-mata tertidur dan duduk manis. Sebagai regulator, pemerintah tetap perlu memberikan rezim ekonomi terkendali, menciptakan “public good” dan mengurangi kadar “market failure”. Posisi negara diharapkan sinergis dengan perkembangan kapital industri media secara global.
c. Prinsip pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan
Dengan adanya stabilitas pasar dan intervensi negara yang terkendali, maka tingkat pertumbuhan ekonomi nasional akan berdampak positif pada kemajuan industri media global. Agar tetap aman, pembangunan ekonomi terus didukung asas berkelanjutan yang bersifat non-inflationary. Asas tersebut dijadikan pedoman penting bagi keberlangsungan kapitalisme informasi dan opini publik.
d. Privatisasi
Seiring dengan kuatnya arus globalisasi informasi, kapasitas pasar semakin berkembang pesat secara masif dan global. Adanya perdagangan bebas senantiasa menjadikan sebuah produk/properti menjadi lebih privat. Dengan demikian, komodifikasi opini publik dan industri media menjadi suatu komoditas komersial yang tidak dapat digunakan secara kolektif.
Cooperative Advantage dan Sustainable Development
Pemaparan di atas telah menjawab eksistensi opini dunia dan perkembangan industri media global. Namun, gelombang raksasa kapitalisme global dalam bentuk Foreign Direct Investment dan pasar bebas sebenarnya memberikan tantangan penting bagi media global. Industri komunikasi global ini harus menghadapi sekaligus menjawab dua permasalahan keamanan manusia di masa depan. Pertama, bagaimana teknologi informasi baru ini merestrukturisasi hubungan sosial masyarakat global. Kedua, bagaimana prospek indutri komunikasi global menanggapi hakikat dan otonomi manusia secara pribadi.
Untuk menjawabnya, penulis memiliki ide alternatif yang bernama cooperative advantage dan sustainable development. Cooperative advantage merupakan pemikiran responsif terhadap konsep ekonomi utama competitive advantage, yang mengerahkan kemampuan kerjasama dan mutual commons. (Hazel Handerson, 2002) Artinya, setiap individu mampu berpikir rasional positif mengenai esensi kerjasama yang berlandaskan kepercayaan kolektif dan transparansi secara holistik. Rekonseptualisasi kapitalisme kasino global pun menjadi bentuk cooperative advantage yang menghilangkan asas uang sebagai praktik ekonomi absolut.
Arus opini dunia dan perkembangan industri media global perlu diatur secara institusional berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan yang terbentuk saat Earth Summit di Rio de Janeiro 1992 ini menjunjung tinggi aspek 3e: environment, economics, ethics. (Emil Salim, 2005) Keuntungan industri media global setidaknya dibagi dengan pemberdayaan kapasitas masyarakat dan membangun komitmen etis bagi keberlangsungan hidup manusia. Dengan begitu, prospek media global bersinergi kondusif dengan pembentukan opini dunia.
REFERENSI:
Handerson, Hazel. 2002. “Building Win-Win World”. Batam Centre: Interaksara
Herman, E.S dan R.W Mc Chesney. 1997. “The Rise of the Global Media”, dalam The Global Media: The New Missionaries of Corporate Capitalism, London: Cassel. Pp 10-40
Salim, Emil. 2005. “Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan Hidup”. Jakarta: Gramedia
Stearns, Peter N. 2005. “World Opinion Expands Its Range”, dalam Global Outrage: The Impact of World Opinion on Contemporary History, Oxford: Oneworld Publication. Pp 39-55
Sebuah argumen menarik dari Peter N. Stearns (2005) menyatakan bahwa kekuatan (kapasitas) dan kultur telah menjadi faktor pemicu utama dalam memobilisasi topik/persoalan masyarakat. Kalimat pembuka tersebut juga memperkuat premis mengenai opini publik yang telah mengglobal karena adanya transformasi peradaban dunia. Hal ini didasari oleh tiga alasan konseptual utama, yakni: ekspansi, inovasi, dan limit (batasan dan hambatan). Ekspansi yang dimaksud lebih menceritakan catatan kronologis kemunculan dan pengaruh era Westernisasi sejak tahun 1860-1930 terhadap peradaban Rusia, Amerika Latin, Jepang, Timur Tengah, dan Cina. Perluasan paradigma Barat ini lantas menimbulkan suatu inovasi kultur tersendiri dan mampu membentuk opini masyarakat secara global. Seiring dengan berkemabangnya teknologi informasi berupa media cetak, inovasi yang dihasilkan tetap mengalami hambatan serius. Akibatnya, pergerakan Barat mendapat limit yang bersinggungan dengan tradisi kuat sebuah negara bangsa.
Tulisan Peter N. Stearn lebih berfokus pada eksistensi opini dunia dan peran transformasi peradaban (perubahan kultural) terhadap pembentukan opini publik global. Secara komprehensif, Stearn menjelaskan bahwa ekspansi peradaban Barat dilatarbelakangi oleh peristiwa 80 tahun gerakan anti perbudakan abad 18 dan bencana yang terjadi pasca Perang Dunia II. Momen tersebut menjadi bukti nyata bahwa hakikat opini publik sudah lahir secara tradisional oleh karena banyaknya konflik kekerasan, penyelewengan sosial, serta gerakan khusus seperti Nazi dan Fasis yang didukung dengan semangat moral yang tinggi. Namun, semenjak Konvensi Jenewa terbentuk dadi tahun 1860, berdirinya Palang Merah Internasional, dan terselenggarakannya pemberian hadiah Nobel tahun 1901, opini public kian diapresiasi dan mengalami perkembangan pesat hingga membentuk opini dunia.
Peluang untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang berkualitas kian terbuka lebar sejak imperialisme Barat berekspansi besar-besaran. Bahkan, teknologi media jurnalistik semakin mengundang intrik banyak pihak hingga mampu membongkar sisi lain peradaban. Spoof Mikado dari Jepang, pembunuhan bayi dan ketidakadilan hak wanita di India, prostitusi di Amerika Latin dan Jepang, patronisasi Rusia, absolutismesistem hukum Islam yang ‘menomorsatukan’ wanita di Timur Tengah, sampai isu pemasungan kaki wanita di Cina menjadi hasil inovatif nyata dari jerih payah Barat dalam menguak ekslusivitas peradaban luar serta mengajarkan asas kebebasan, misionari Kristiani, dan standard pembentukan opini global. Dengan kata lain, imperialisme Barat mengarah kepada modernitas, masyarakat modern, dan era reformasi.
Indikator sukses tidaknya opini dunia dari transformasi peradaban di atas ialah akses geografis dan tingkat perkembangan isu yang beredar. Pada akhir abad 19, opini dunia menjadi sangat krusial karena adanya tindakan lynching di Ameika Serikat. Aksi tersebut dipengaruhi oleh asas diskriminasi rasial dan konflik internal. Oleh karena itu, sejumlah tokoh anti-lynching membuat petisi internasional dan mengundang media massa sebagai wadah informatif protes mereka. Perubahan gradual terjadi dan berdampak pada kebijakan federal pemerintah hingga mencetus adanya tanggung jawab moral secara legal (dibentuk undang-undang mengenai hak asasi manusia). Solidaritas dan inklusivitas dari kekerasan menjadi standard utama dalam pembentukan opini dunia.
Walaupun opini dunia mampu menciptakan progresivitas gerakan universal/ tindakan kolektif, faktor transformasi perdaban ternyata punya hambatan. Menjadikan manusia yang bermartabat dan berargumen secara intelektual tidak semata terlepas dari persoalan nasional. National shame dan national disgrace menjadi hambatan utama ketika opini dunia mencuat dan tenggelam secara tiba-tiba. Perselisihan internal dan gejolak yang timbul akibat gesekan kultur merupakan ‘penyakit’ massa yang harus diperhatikan masyarakat global.
Respon Personal: Bagaimana Tantangan Media Global?
Penulis sependapat dengan pernyataan Stearn yang menjunjung aspek peradaban dalam pembenutkan opini dunia. Asas sosial dan kultural memang menjadi landasan penting yang sudah mendarah daging di dalam mindset masyarakat. Namun, Stearn belum menjelaskan bagaimana kontribusi media dalam dinamika peradaban dan opini publik. Isu kesetaraan gender, penghormatan hak asasi manusia menjadi sangat dominan dan kurang menjelaskan eksistensi media dalam perumusan opini dunia. Selain itu, alur tulisan Stearn yang campur terkadang menyebabkan penulis kehilangan esensi dari perubahan zaman masyarakat dalam membentuk opini dunia.
Sebagai pelengkap, penulis menambahkan argumen Herman dan Chesney (1997) yang menjelaskan tentang peran penting ideologi kapital korporat global dalam perkembangan media global. Ada empat faktor utama yang mempengaruhi ideologi tersebut, di antaranya:
a. Kemampuan pasar dalam mengalokasi sumber daya yang tersedia secara efisien dan menyediakan cara pengorganisasian kehidupan ekonomi.
Ekspansi imperialisme Barat memang tidak terbendung. Perjalanan bisnis geografis yang berbasis pasar ini harus mampu menyediakan stabilitas sistem ekonomi. Sumber daya dan kapasitas yang ada juga ditunjang dengan investasi aktif, yang biasa disebut “favorable climate of investment”.
b. Intervensi negara
Ketika pasar berkembang, negara tidak semata-mata tertidur dan duduk manis. Sebagai regulator, pemerintah tetap perlu memberikan rezim ekonomi terkendali, menciptakan “public good” dan mengurangi kadar “market failure”. Posisi negara diharapkan sinergis dengan perkembangan kapital industri media secara global.
c. Prinsip pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan
Dengan adanya stabilitas pasar dan intervensi negara yang terkendali, maka tingkat pertumbuhan ekonomi nasional akan berdampak positif pada kemajuan industri media global. Agar tetap aman, pembangunan ekonomi terus didukung asas berkelanjutan yang bersifat non-inflationary. Asas tersebut dijadikan pedoman penting bagi keberlangsungan kapitalisme informasi dan opini publik.
d. Privatisasi
Seiring dengan kuatnya arus globalisasi informasi, kapasitas pasar semakin berkembang pesat secara masif dan global. Adanya perdagangan bebas senantiasa menjadikan sebuah produk/properti menjadi lebih privat. Dengan demikian, komodifikasi opini publik dan industri media menjadi suatu komoditas komersial yang tidak dapat digunakan secara kolektif.
Cooperative Advantage dan Sustainable Development
Pemaparan di atas telah menjawab eksistensi opini dunia dan perkembangan industri media global. Namun, gelombang raksasa kapitalisme global dalam bentuk Foreign Direct Investment dan pasar bebas sebenarnya memberikan tantangan penting bagi media global. Industri komunikasi global ini harus menghadapi sekaligus menjawab dua permasalahan keamanan manusia di masa depan. Pertama, bagaimana teknologi informasi baru ini merestrukturisasi hubungan sosial masyarakat global. Kedua, bagaimana prospek indutri komunikasi global menanggapi hakikat dan otonomi manusia secara pribadi.
Untuk menjawabnya, penulis memiliki ide alternatif yang bernama cooperative advantage dan sustainable development. Cooperative advantage merupakan pemikiran responsif terhadap konsep ekonomi utama competitive advantage, yang mengerahkan kemampuan kerjasama dan mutual commons. (Hazel Handerson, 2002) Artinya, setiap individu mampu berpikir rasional positif mengenai esensi kerjasama yang berlandaskan kepercayaan kolektif dan transparansi secara holistik. Rekonseptualisasi kapitalisme kasino global pun menjadi bentuk cooperative advantage yang menghilangkan asas uang sebagai praktik ekonomi absolut.
Arus opini dunia dan perkembangan industri media global perlu diatur secara institusional berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan yang terbentuk saat Earth Summit di Rio de Janeiro 1992 ini menjunjung tinggi aspek 3e: environment, economics, ethics. (Emil Salim, 2005) Keuntungan industri media global setidaknya dibagi dengan pemberdayaan kapasitas masyarakat dan membangun komitmen etis bagi keberlangsungan hidup manusia. Dengan begitu, prospek media global bersinergi kondusif dengan pembentukan opini dunia.
REFERENSI:
Handerson, Hazel. 2002. “Building Win-Win World”. Batam Centre: Interaksara
Herman, E.S dan R.W Mc Chesney. 1997. “The Rise of the Global Media”, dalam The Global Media: The New Missionaries of Corporate Capitalism, London: Cassel. Pp 10-40
Salim, Emil. 2005. “Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan Hidup”. Jakarta: Gramedia
Stearns, Peter N. 2005. “World Opinion Expands Its Range”, dalam Global Outrage: The Impact of World Opinion on Contemporary History, Oxford: Oneworld Publication. Pp 39-55
Minggu, Oktober 31, 2010
Demokrasi dan Ekonomi Global
Review Artikel Jagdish Bhagwati. 2004. Democracy at Bay
Satu pembukaan yang manis oleh Jagdish Bhagwati dalam mengutip ungkapan Shakespeare yaitu “integration and world economy (trade with all nations) will give freedom of domestic action.” Globalisasi dan demokrasi merupakan dua konsep yang menimbulkan beragam kompleksitas namun memiliki satu untaian erat. Globalisasi bisa digunakan sebagai alat pengukuran kedaulatan yang akhirnya berujung pada interdependensi positif atau kenyataan pahit yang berbasis pada rezim otoriter. Sedangkan demokrasi pun menimbulkan dua stigma, idealisme untuk menyamaratakan status sosial setiap masyarakat atau fakta hitam berbagai aktor untuk terus ”memperjuangkan” kebebasan individunya.
Keterkaitan globalisasi dan demokrasi bisa terjadi secara langsung maupun tak langsung. Kelangsungan relasi globalisasi dengan demokrasi terlihat pada modernisasi petani rural dalam hal teknologi pangan yang lebih maju sehingga memunculkan aktor-aktor independen untuk mengaspirasikan kebebasan atas nama demokrasi. Dengan dukungan globalisasi teknologi (komputer digital, dsb) serta pasar asing, setiap rakyat mampu mengekspresikan pendapat mereka secara eksplisit.
Sedangkan proses tidak langsung terdapat pada proposisi ilmuwan politik AS yang bernama Seymour Martin Lipset. Argumen Lipset (1959) yaitu dampak dari perkembangan ekonomi akan meningkat secara demokratis melalui aspek sosial (edukasi, kesetaraan sosial, dan perubahan struktur kelas). Hipotesis Bhagwati yang pertama dari argumen Lipset ialah kemakmuran ekonomi memproduksi/menghasilkan variasi kelas menengah. Kehadiran kelas tersebut diyakini mampu membawa efektivitas terhadap demokratisasi politik. Bukti konkritnya ialah sudah banyak kaum borjuis yang menyuarakan aspirasi politik beserta dukungan pasar. Hipotesis kedua ialah globalisasi menurunkan kemiskinan dan mendemokratisasi aspek penting dari kemunculan kelas menengah. Studi kasus perdagangan AS dengan Cina merupakan justifikasi penting dari Presiden Bill Clinton dan George W. Bush, yang menyatakan "trade with China will increase the enterpreneurial class then democracy will come". Selain itu, nampak pula pada konsep Glasnot (kebebasan politik dan demokrasi) sebelum perestroika (restrukturisasi ekonomi) di Rusia.
Banyaknya kelas menengah perlu memperhatikan kebebasan media massa, stabilisasi norma, dan kesehatan, dan keamanan. Negara demokrasi yang ditunjang dengan kelas menengah ialah Cili dan Brazil, sedangkan kasus Indonesia serta Korea Selatan pasca krisis moneter (1997-1998) menggaungkan demokrasi tanpa campur tangan kelas menengah. Namun, konsepsi penting ini sering dibantah oleh kaum otoritarian seperti Barrington Moore yang menyatakan bahwa negara Jepang mampu transisi ke demokrasi dengan munculnya kelas menengah sosial karena ada "kompromi" dengan rezim lama (kuno). Sedangkan Lawrence Kaplan berseru bahwa kelas menengah Cina terkooptasi dengan rezim otoriter yang susah terdemokrasi secara cepat. Andrew Nathan menambahkan, hampir semua organisasi independen (institusi, yayasan, konsultan) punya 'hubungan khusus' dengan parta politik ataupun birokrat. Mismanagement globalisasi pun akhirnya menimbulkan collapse pada India di tahun 1960-1970.
Bhagwati tidak hanya mengangkat sisi liberal dari demokrasi, dia juga menunjukkan keunikan dari sosial dmeokrat dalam konteks pemilihan presiden Salvador Allende di Cili tahun 1973 dan Lula da Silva di Brazil (2003). Mereka punya misi untuk memberhentikan aliran kapital masif, memperkuat ekonomi makro dan reformasi finansial ke arah yang cenderung radikal (sayap kiri atau sosialisme). Revolusi 1917 di Uni Soviet juga menginspirasi E.H. Carr untuk menciptakan "socialism in one country" yang terus menyerukan internasionalisme hingga melahirkan sosok Manley di Jamaika, Soekarno di Indonesia, Nasser di Mesir, dan Nkrumah di Ghana.
Hipotesis penutup menarik untuk disimak secara seksama. Bhagwati menuturkan bahwa keterbukaan ekonomi akan memperkuat postwar liberal levels of total speding dan mendukung penuh social spending. Total spending sukses diberlakukan saat Margareth Thetcher dan Ronald Reagan memimpin. Mereka memelihara progresivitas negara dalam menmprioritaskan anggaran kebutuhan sosial seperti: edukasi, kesehatan, kemakmuran,dll). Semakin tinggi kemampuan untuk memenuhi total dan social spending, semakin besar pula peluang untuk meningkatkan insentif. Hal ini diperkuat dengan konsep liberal international order oleh Karl Polanyi dan John Ruggie yang biasanya disebut dengan embedded liberalism. Embedded liberalism berarti politisi memperkuat social spending untuk memoderat social of economic openess dan domestic spending. Dampak positif berikutnya yakni keterbukaan ekonomi dalam lingkup global mampu memperkaya sektor publik dan pendapatan nasional suatu negara.
Konklusi dari tulisan Democracy at Bay ini tertuju pada kasus World Trade Organization (WTO) as Democratic Deficit. WTO merupakan negosiasi dagang asing, memiliki kantor skretariat yang kecial dan beberapa panitia khusus, serta mempunyai Dispute Settlement Mechanism jika terjadi kerusuhan atau komplain masif. Yang membedakan kondisi WTO saat ini dengan sebelumnya ialah semakin banyaknya nongovernmental organization yang berpartisipasi dan membuat forum khusus dengan negara anggota WTO. Problem yang terus dihadapi WTO di kemudian hari ialah negara maju selalu ribut soal pemberian 'hak eksklusif' pada NGO sementara General Agreement on Trade and Tariffs (GATT), nama kuno WTO, tidak pernah membuat legal binding settlement mechanism untuk menjawab masalah tersebut. Bhagwati memang tidak memberikan justifikasi konkrit dalma konteks ini, dia lebih mendeskripsikan ranah kehidupan liberal WTO dan demokratisasi NGO dalam menanggapinya.
OPINI PRIBADI
Mengacu pada artikel Bhagwati yang berjudul "Democracy at Bay", demokrasi saat ini telah berafiliasi positif dengan globalisasi. Kemajuan teknologi dan informasi menumbuhkan independensi dari setiap individu untuk beraspirasi secara demokratis. Demokrasi sendiri merupakan progress baru yang terbentuk dari adanya ekonomi global yang terbuka dan peningkatan social-total spending. Bhagwati berasumsi dari konsep John Ruggie yang menyatakan bahwa kehadiran liberal international economic order memberikan ruang bebas penuh bagi setiap orang untuk membentuk embedded liberalism (pengambilan keputusan ekonomi domestik dalam ruang lingkup global). Perjanjian multilateral di NAFTA ataupun WTO menunjukkan elemen penting sebuah nonstate actor dalam menanggapi kebijakan ekonomi internaisonal selama ini. (Jagdish Bhagwati, 2004)Namun, kendala yang perlu diperhatikan ketika negara ke-3 mengusung ajaran demokrasi namun tidak dapat bertahan lama setelah intervensi negara kolonial hilang dan terus dilanda krisis.
Globalisasi dapat meningkatkan kualitas demokrasi di saat kerangka ekonomi ditonjolkan. Sesuai dengan argumen Bhagwati, semakin besar linking globalization semakin tinggi peluang mencapai kemakmuran dan mendemokratisasi kelas menengah. Perdagangan bebas dijadikan patokan utama untuk memproduksi aset penting dari demokrasi. Meluasnya jaringan kelas menengah mampu menguatkan suatu negara untuk menjamin stabilitas sosial masyarakat dan kepekaan untuk bersuara. Contoh konkritnya ialah negara bersistem Welfare di daerah Skandinavia (Denmark, Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Eslandia). Pemberian pajak tinggi pada rakyat sebanding dengan jaminan sosial dan fasilitas umum yang sangat memadai,sehingga proses partisipasi dalam demokrasi menjadi kondusif.
Berdasarkan pada artikel Bhagwati, erosi demokrasi belum sepenuhnya terlihat dalam globalisasi. Contoh sistem perdagangan di Cina yang semula tertutup menjadi sangat terbuka dengan ekonomi global dan mempraktikkan aplikasi demokrasi ekonomi. Walaupun Cina masih melakukan pembangunan ekonomi lebih dahulu, proses demokrasi secara lambat laun akan terimplementasi dalam kebijakan politis. Kali ini saya tidak begitu sependapat dengan Bhagwati, melihat banyaknya negara gagal atas nama demokrasi. Kasus Somalia, pelanggaran hak asasi manusia atas nama demokrasi di Myanmar, serta penolakan Jonas Savimbi dalam kekalahan pemilu di Angola merupakan rentetan fakta yang tidak dapat terelakkan dari raksasa demokrasi.
Prospek akuntabilitas dalam globalisasi semakin menantang negara untuk berupaya keras dan lebih berhati-hati mengimplementasikan demokrasi. Zakaria dalam tulisan Marc F. Plattner (2005) mengajukan adanya liberalisme konstitusional melalui pemerintahan yang terpilih secara bebas. Demokrasi ala pemilu atau biasa disebut demokrasi elektoral tidak semata-mata mensukseskan kemajuan dan kesetaraan sosial suatu negara. Partisipasi dan kontestasi politik bagi rakyat kadangkala harus berenturan dengan kepentingan politis elite. Untuk menyiasatinya, Robert A. Dahl memiliki alternatif baru bagi demokrasi yang bernama poliarki. Sebagai demokrasi skala global, sistem poliarki memiliki tiga karakteristik utama, yakni: pemilihan umum yang berlangsung secara bebas, adil, dan frekuentif (1); bebas untuk berekspresi (2); dan tersedianya sumber informasi alternatif dan independen (3). (Robert A. Dahl, 1998) Dengan demikian, globalisasi dan demokrasi dapat terjalin secara konsisten dan strategis, sesuai dengan persepsi masyarakat global. \
Referensi:
Bhagwati, Jagdish. 2004. "Democracy at Ba"y dalam buku In Defense of Globalization. New York: Oxford University Press. Chapter 8. hal 92-105
Dahl, Robert. A. 1998. "On Democracy". Yale University Press
Plattner, Marc. F. 2005. "Liberalisme dan Demokrasi" dalam buku Amerika dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 193-209
Satu pembukaan yang manis oleh Jagdish Bhagwati dalam mengutip ungkapan Shakespeare yaitu “integration and world economy (trade with all nations) will give freedom of domestic action.” Globalisasi dan demokrasi merupakan dua konsep yang menimbulkan beragam kompleksitas namun memiliki satu untaian erat. Globalisasi bisa digunakan sebagai alat pengukuran kedaulatan yang akhirnya berujung pada interdependensi positif atau kenyataan pahit yang berbasis pada rezim otoriter. Sedangkan demokrasi pun menimbulkan dua stigma, idealisme untuk menyamaratakan status sosial setiap masyarakat atau fakta hitam berbagai aktor untuk terus ”memperjuangkan” kebebasan individunya.
Keterkaitan globalisasi dan demokrasi bisa terjadi secara langsung maupun tak langsung. Kelangsungan relasi globalisasi dengan demokrasi terlihat pada modernisasi petani rural dalam hal teknologi pangan yang lebih maju sehingga memunculkan aktor-aktor independen untuk mengaspirasikan kebebasan atas nama demokrasi. Dengan dukungan globalisasi teknologi (komputer digital, dsb) serta pasar asing, setiap rakyat mampu mengekspresikan pendapat mereka secara eksplisit.
Sedangkan proses tidak langsung terdapat pada proposisi ilmuwan politik AS yang bernama Seymour Martin Lipset. Argumen Lipset (1959) yaitu dampak dari perkembangan ekonomi akan meningkat secara demokratis melalui aspek sosial (edukasi, kesetaraan sosial, dan perubahan struktur kelas). Hipotesis Bhagwati yang pertama dari argumen Lipset ialah kemakmuran ekonomi memproduksi/menghasilkan variasi kelas menengah. Kehadiran kelas tersebut diyakini mampu membawa efektivitas terhadap demokratisasi politik. Bukti konkritnya ialah sudah banyak kaum borjuis yang menyuarakan aspirasi politik beserta dukungan pasar. Hipotesis kedua ialah globalisasi menurunkan kemiskinan dan mendemokratisasi aspek penting dari kemunculan kelas menengah. Studi kasus perdagangan AS dengan Cina merupakan justifikasi penting dari Presiden Bill Clinton dan George W. Bush, yang menyatakan "trade with China will increase the enterpreneurial class then democracy will come". Selain itu, nampak pula pada konsep Glasnot (kebebasan politik dan demokrasi) sebelum perestroika (restrukturisasi ekonomi) di Rusia.
Banyaknya kelas menengah perlu memperhatikan kebebasan media massa, stabilisasi norma, dan kesehatan, dan keamanan. Negara demokrasi yang ditunjang dengan kelas menengah ialah Cili dan Brazil, sedangkan kasus Indonesia serta Korea Selatan pasca krisis moneter (1997-1998) menggaungkan demokrasi tanpa campur tangan kelas menengah. Namun, konsepsi penting ini sering dibantah oleh kaum otoritarian seperti Barrington Moore yang menyatakan bahwa negara Jepang mampu transisi ke demokrasi dengan munculnya kelas menengah sosial karena ada "kompromi" dengan rezim lama (kuno). Sedangkan Lawrence Kaplan berseru bahwa kelas menengah Cina terkooptasi dengan rezim otoriter yang susah terdemokrasi secara cepat. Andrew Nathan menambahkan, hampir semua organisasi independen (institusi, yayasan, konsultan) punya 'hubungan khusus' dengan parta politik ataupun birokrat. Mismanagement globalisasi pun akhirnya menimbulkan collapse pada India di tahun 1960-1970.
Bhagwati tidak hanya mengangkat sisi liberal dari demokrasi, dia juga menunjukkan keunikan dari sosial dmeokrat dalam konteks pemilihan presiden Salvador Allende di Cili tahun 1973 dan Lula da Silva di Brazil (2003). Mereka punya misi untuk memberhentikan aliran kapital masif, memperkuat ekonomi makro dan reformasi finansial ke arah yang cenderung radikal (sayap kiri atau sosialisme). Revolusi 1917 di Uni Soviet juga menginspirasi E.H. Carr untuk menciptakan "socialism in one country" yang terus menyerukan internasionalisme hingga melahirkan sosok Manley di Jamaika, Soekarno di Indonesia, Nasser di Mesir, dan Nkrumah di Ghana.
Hipotesis penutup menarik untuk disimak secara seksama. Bhagwati menuturkan bahwa keterbukaan ekonomi akan memperkuat postwar liberal levels of total speding dan mendukung penuh social spending. Total spending sukses diberlakukan saat Margareth Thetcher dan Ronald Reagan memimpin. Mereka memelihara progresivitas negara dalam menmprioritaskan anggaran kebutuhan sosial seperti: edukasi, kesehatan, kemakmuran,dll). Semakin tinggi kemampuan untuk memenuhi total dan social spending, semakin besar pula peluang untuk meningkatkan insentif. Hal ini diperkuat dengan konsep liberal international order oleh Karl Polanyi dan John Ruggie yang biasanya disebut dengan embedded liberalism. Embedded liberalism berarti politisi memperkuat social spending untuk memoderat social of economic openess dan domestic spending. Dampak positif berikutnya yakni keterbukaan ekonomi dalam lingkup global mampu memperkaya sektor publik dan pendapatan nasional suatu negara.
Konklusi dari tulisan Democracy at Bay ini tertuju pada kasus World Trade Organization (WTO) as Democratic Deficit. WTO merupakan negosiasi dagang asing, memiliki kantor skretariat yang kecial dan beberapa panitia khusus, serta mempunyai Dispute Settlement Mechanism jika terjadi kerusuhan atau komplain masif. Yang membedakan kondisi WTO saat ini dengan sebelumnya ialah semakin banyaknya nongovernmental organization yang berpartisipasi dan membuat forum khusus dengan negara anggota WTO. Problem yang terus dihadapi WTO di kemudian hari ialah negara maju selalu ribut soal pemberian 'hak eksklusif' pada NGO sementara General Agreement on Trade and Tariffs (GATT), nama kuno WTO, tidak pernah membuat legal binding settlement mechanism untuk menjawab masalah tersebut. Bhagwati memang tidak memberikan justifikasi konkrit dalma konteks ini, dia lebih mendeskripsikan ranah kehidupan liberal WTO dan demokratisasi NGO dalam menanggapinya.
OPINI PRIBADI
Mengacu pada artikel Bhagwati yang berjudul "Democracy at Bay", demokrasi saat ini telah berafiliasi positif dengan globalisasi. Kemajuan teknologi dan informasi menumbuhkan independensi dari setiap individu untuk beraspirasi secara demokratis. Demokrasi sendiri merupakan progress baru yang terbentuk dari adanya ekonomi global yang terbuka dan peningkatan social-total spending. Bhagwati berasumsi dari konsep John Ruggie yang menyatakan bahwa kehadiran liberal international economic order memberikan ruang bebas penuh bagi setiap orang untuk membentuk embedded liberalism (pengambilan keputusan ekonomi domestik dalam ruang lingkup global). Perjanjian multilateral di NAFTA ataupun WTO menunjukkan elemen penting sebuah nonstate actor dalam menanggapi kebijakan ekonomi internaisonal selama ini. (Jagdish Bhagwati, 2004)Namun, kendala yang perlu diperhatikan ketika negara ke-3 mengusung ajaran demokrasi namun tidak dapat bertahan lama setelah intervensi negara kolonial hilang dan terus dilanda krisis.
Globalisasi dapat meningkatkan kualitas demokrasi di saat kerangka ekonomi ditonjolkan. Sesuai dengan argumen Bhagwati, semakin besar linking globalization semakin tinggi peluang mencapai kemakmuran dan mendemokratisasi kelas menengah. Perdagangan bebas dijadikan patokan utama untuk memproduksi aset penting dari demokrasi. Meluasnya jaringan kelas menengah mampu menguatkan suatu negara untuk menjamin stabilitas sosial masyarakat dan kepekaan untuk bersuara. Contoh konkritnya ialah negara bersistem Welfare di daerah Skandinavia (Denmark, Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Eslandia). Pemberian pajak tinggi pada rakyat sebanding dengan jaminan sosial dan fasilitas umum yang sangat memadai,sehingga proses partisipasi dalam demokrasi menjadi kondusif.
Berdasarkan pada artikel Bhagwati, erosi demokrasi belum sepenuhnya terlihat dalam globalisasi. Contoh sistem perdagangan di Cina yang semula tertutup menjadi sangat terbuka dengan ekonomi global dan mempraktikkan aplikasi demokrasi ekonomi. Walaupun Cina masih melakukan pembangunan ekonomi lebih dahulu, proses demokrasi secara lambat laun akan terimplementasi dalam kebijakan politis. Kali ini saya tidak begitu sependapat dengan Bhagwati, melihat banyaknya negara gagal atas nama demokrasi. Kasus Somalia, pelanggaran hak asasi manusia atas nama demokrasi di Myanmar, serta penolakan Jonas Savimbi dalam kekalahan pemilu di Angola merupakan rentetan fakta yang tidak dapat terelakkan dari raksasa demokrasi.
Prospek akuntabilitas dalam globalisasi semakin menantang negara untuk berupaya keras dan lebih berhati-hati mengimplementasikan demokrasi. Zakaria dalam tulisan Marc F. Plattner (2005) mengajukan adanya liberalisme konstitusional melalui pemerintahan yang terpilih secara bebas. Demokrasi ala pemilu atau biasa disebut demokrasi elektoral tidak semata-mata mensukseskan kemajuan dan kesetaraan sosial suatu negara. Partisipasi dan kontestasi politik bagi rakyat kadangkala harus berenturan dengan kepentingan politis elite. Untuk menyiasatinya, Robert A. Dahl memiliki alternatif baru bagi demokrasi yang bernama poliarki. Sebagai demokrasi skala global, sistem poliarki memiliki tiga karakteristik utama, yakni: pemilihan umum yang berlangsung secara bebas, adil, dan frekuentif (1); bebas untuk berekspresi (2); dan tersedianya sumber informasi alternatif dan independen (3). (Robert A. Dahl, 1998) Dengan demikian, globalisasi dan demokrasi dapat terjalin secara konsisten dan strategis, sesuai dengan persepsi masyarakat global. \
Referensi:
Bhagwati, Jagdish. 2004. "Democracy at Ba"y dalam buku In Defense of Globalization. New York: Oxford University Press. Chapter 8. hal 92-105
Dahl, Robert. A. 1998. "On Democracy". Yale University Press
Plattner, Marc. F. 2005. "Liberalisme dan Demokrasi" dalam buku Amerika dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal 193-209
Bio-Teknologi Global : “Patenisasi” Kekayaan dan Kearifan Lokal
Penyebaran Teknologi Biodiversitas Global dan Realita Kritis Masyarakat India
Teknologi merupakan pintu gerbang globalisasi untuk terus bertumbuh dan berkembang pesat. Tidak hanya informasi, teknologi sosial seperti pangan dan biodiversitas pun turut bersaing ketat dan berusaha me’humanisasi’ sisi lain dari nuansa alam. Namun, progresivitas positif ini akhirnya harus berbenturan dengan kepentingan komoersial suatu ekonomi hingga mengancam ekualitas lokal dan memperebutkan hak kekayaan intelektual setiap orang.
Vandana Shiva merupakan tokoh non-konvensional yang sangat bersentuhan dengan komunitas akar rumput (grassroots). Pemaparan inovatifnya tercermin ketika menggambarkan situasi panas masyarakat India dalam memperjuangkan hak kekayaan intelektual, biodiversitas nasional, dan perkembangbiakan tunas/benih yang dihasilkan pada Dunkel Draft Text, putaran Uruguay, tahun 1993. Sebetulnya, ini merupakan efek multitude yang sudah berakar sejak Mahatma Gandhi mennyerukan ”First Quit India Movement” terhadap kolonialisme Inggris tahun 1942 dan ”Salt Satyagraha (berjuang demi kebenaran)”. Fenomenologi studi India merupakan realita penting dalam memaknai penyebaran teknologi dan globalisasi.
Penyebaran teknologi global dipandang skeptis oleh Shiva, khususnya dalam memprotet kehidupan tragis kaum petani dalam mendapatkan hak kekayaan intelektualitas sesungguhnya. Semenjak globalisasi pertanian dan industrialisasi pangan berkembang pesat, komersialitas komoditas alam dan biodiversitas semakin ditingkatkan. Perusahaan multinasional selalu berupaya monopolistik dan mengeklaim bahwa pengetahuan (dari Barat khususnya) dan intelektualitas harus diprivatisasi, ditunjang dengan perjanjian perdagangan bebas serta proteksi terhadap plant breeder dan patents.
Sejak General Agreement on Trade and Tariffs (GATT) mengumandangkan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs), rakyat India semakin geram akan asumsi ‘konyol’ dari forum global tersebut. Asumsi umumnya ialah hanya kaum ilmuwan yang disponsori perusahaan multinasional yang mendapat hak kekayaan intelektualitas dan kompensasi berkelanjutan. Perdebatan sengit antara belahan Utara-Selatan menimbulkan disparitas opini bahwa area biodiversitas bukan lagi mencakup masalah transfer teknologi (dari Negara maju/Utara ke Negara berkembang/Selatan), tapi sudah menjadi landasan dialog antarkultur.
Sayangnya, dialog interkultur tersebut tidak bersifat win-win solution karena unilateralisasi AS dalam merumuskan Dunkel Draft pasal 27akhir yang berbunyi “…However, parties shall provide for protection of plant varieties either by patent or any effective sui generic system or any combination thereof. This provision shall be reviewed four years after entry into force of this agreement.” Gareth Porter pada studi US and the Biodiversity Convention menyatakan bahwa “adequate and effective protection” dalam Konvensi Biodiversitas AS pasal I6 telah menjadi pengantar untuk perjanjian multilateral TRIPs, putaran Uruguay, GATT. Ciri khas AS dalam bernegosiasi dan perumusan perjanjian, dia selalu lihai mempersuasi negara lain untuk menggunakan istilah “shall, effective, atau appropriate”. Arti sederhananya, AS sebagai negara adikuasa tidak akan berani berjanji dan berkewajiban penuh untuk mempertanggungjawabkan kesepakatan utuh (win-win solution). Apakah globalisasi teknologi sudah berubah menjadi hegemonisasi hak property intelektual AS? Bukankah ini sama saja dengan ’mematenkan’ kematian biodiversitas negara berkembang sehingga terpaksa masuk dalam jerat neraka sistem Intellectual Property Rights ala US-GATT?
Tantangan dan Prospek Aksesibilitas Bio-teknologi
Globalisasi jelas memperluas akses untuk mengembangkan teknologi, termasuk rekayasa genetika. Akan tetapi, rekayasa ini tidak semata-mata menjungjung aspek sustainabilitas yang positif dan cenderung mengejar profit semaksimal mungkin. Biodiversitas dan ilmu pengetahuan yang semula dapat ditukar secara bebas karena intellectual common menjadi terhimpit dalam kerakusan korporat transnasional petani menjadi supplier tunas utama bagi perusahaan multinasional, petani menjadi kompetitor dalam inovasi dan sumber genetik, petani negara berkembang hanya menjadi konsumen (budak) dari industrialisasi produk dan teknologi perusahaan multinasional. Dengan berlimpahnya akses eksploitasi intelektualitas negara belahan Utara terhadap biodiversitas sumber di negara belahan Selatan, maka kebebasan semakin berbalik menjadi kehancuran manusia dan alam. Akibat terpuruknya, kaum elite dari Utara terus menekan kaum primitif-Selatan untuk membayar royalti (utang) intelektualitas mereka.
Permasalahan akses bioteknologi menjadi kronis ketika GATT memberikan 3 kategori ketat tentang IPRs:
a. restriksi perubahan dari hak umum menjadi hak privat hak kekayaan intelektual hanya diakui sebagai hak privat. Pengetahuan, ide, maupun inovasi dari kaum petani akan menjadi deintelektualisasi masyarakat sipil yang nantinya berujung pada sistem monopolistik korporat
b. biodiversitas hanya akan diorganisasikan kembali jika pengetahuan dan inovasi menghasilkan profit (keuntungan)
c. kebijakan TRIPs menegaskan bahwa hanya perusahaan multinasional yang berhak menginovasi biodiversitas untuk meninggikan pembagian pasar global dan perdagangan internasional
Melihat restriksi ’unik’ di atas, tidak bisa diragukan lagi bahwa globalisasi bioteknologi semakin mencekik kreativitas dan investasi petani negara berkembang dalam mendomestikssai, mengembangbiakkna, dan mengkonservasi biodiversitas. Organisasi yang bernama International Protection of New Varities of Plants (UPOV) tahun 1991 telah ‘mendorong’ negara berkembang untuk memberikan royalti khusus terhadap breeder dan patents yang ada di negara belahan Utara. Realita yang menjadi akibat buruk, Peru di tahun 1962 sudah berkontribusi sebesar US $8 juta/tahun ke AS untuk bioteknologi tomat.
Prospek akses teknologi di era globalisasi semakin suram ketika jurang sosial terus terbentuk. Bioteknologi sebagai rekayasa genetika baru menjadi prinsip hukum kebiasaan yang sebenarnya tidak memulai dari nol, melainkan mencuri suatu internalisasi kehidupan, merelokasi satu gen tertentu untuk menjadi ’kehidupan lain’ (sistem organisme baru). Dari 127 sumber genetik, 81 di antaranya dipegang oleh negara industrial (International Agricultural Research Centres) sedangkan 17 lainnya milik negara berkembang petani AS mendapat nilai tambah untuk gandum, padi, dan kacang sebesar US$ 680 juta dari petani negara berkembang, biotek sorgum India diserahkan ke AS sebesar US$ 12 juta/tahun, perlindungan genetik Ethiopia sebesar US$ 150 juta/dekade, dan ladang barley Turki sebesar US$ 150 juta/tahun. Inikah esensi dari globalisasi teknologi? Sampai kapan negara berkembang merengek dan ’berutang’ ke AS?
OPINI PRIBADI
Secara pribadi, saya sepaham dan seperjuangan dengan Vandana Shiva. Banyak argumen-argumen Shiva yang menginspirasi saya untuk terus memperjuangkan keadilan, baik itu keadilan humanisme maupun keadilan ekologis. Prospek globalisasi teknologi, khususnya dalam bio-teknologi semakin menutup masa depan cerah dunia. Menariknya, Shiva menyimpulkan prospek bioteknologi sebagai berikut : “GATT has replaced Church and Dunkel plays the role of the Pope in conferring regimes of rights without consultingthe original custiduans and owners.” Rezim hak kekayaan intelektual memang menjadi duri ekonomi, ekologi, dan social negara-negara berkemabang. Tanggung jawab besar yang seharusnya bisa diminimalisir menyengsarakan kaum petani, herbalist, dan generasi muda di negara belahan Selatan.
Solusi inovatif untuk mnyiasati kesenjangan bioteknologi tersebut ialah diberlakukannya asylum technology (suaka teknologi). Istilah asylum sebenarnya dirintis oleh PBB, dalam 1951 Convention Relating to the Status of Refugees dan 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees. Perjanjian tersebut mendasari legislasi nasional yang berfokus pada suaka politik. Setiap pengungsi/migrant (baik karena peperangan ataupun bencana alam) adalah seseorang yang berada di luar territorial negara mereka (sementara stateless) berhak mendapatkan tempat perlindungan. Tempat perlindungan tersebut bebas dari ras, nasionalisme, religi, opini politik, atau kelompok sosial tertentu. (Peter Fell dan Debra Hayes, 2007) Berangkat dari ide tersebut, penulis memiliki harapan bahwa setiap negara (yang akan dibantu PBB) mampu membuat suaka teknologi dalam bentuk badan hukum kessetaraan bioteknologi. Penulis mengusulkan bahwa anggota yang mendirikan harus berasal dari setiap belahan (baik Utara maupun Selatan) dan dari berbagai pihak (khususnya kaum bawah). Suaka ini bisa bermula dari perjanjian mutualisme antara negara maju dan berkembang kemudian menentukan standard umum dalam menyelaraskan hak kekayaan intelektual dan sumber biodiversitas. Agar pembangunan suaka teknologi berkelanjutan, setiap negara harus menerapkan fungsi 3E (ekonomi, ekologi, dan etika teknologi). Ketiga konsep tersebut tersinspirasi dari konsep ”Seed Satyagraha” yang menjelaskan bahwa perjuangan demi kebenaran harus memberikan informasi jujur tentang perdagangan bebas, anti kekerasan, dan metode demokrasi ala Gandhi. Kepentingan korporat dan penduduk diharapkan mampu berkesinambungan secara efektif dan kondusif.
Referensi:
Fell, Peter dan Hayes, Debra. 2007. What are they doing here? A critical guide to asylum and immigration. Birmingham, Venture Press
Shiva, Vandana .Biodiversity and Intellectual Property Rights
Shiva, Vandana. Intellectual Property Rights, dari http://www.psrast.org/vashipr.htm. Diakses tanggal 29 Mei 2010
Teknologi merupakan pintu gerbang globalisasi untuk terus bertumbuh dan berkembang pesat. Tidak hanya informasi, teknologi sosial seperti pangan dan biodiversitas pun turut bersaing ketat dan berusaha me’humanisasi’ sisi lain dari nuansa alam. Namun, progresivitas positif ini akhirnya harus berbenturan dengan kepentingan komoersial suatu ekonomi hingga mengancam ekualitas lokal dan memperebutkan hak kekayaan intelektual setiap orang.
Vandana Shiva merupakan tokoh non-konvensional yang sangat bersentuhan dengan komunitas akar rumput (grassroots). Pemaparan inovatifnya tercermin ketika menggambarkan situasi panas masyarakat India dalam memperjuangkan hak kekayaan intelektual, biodiversitas nasional, dan perkembangbiakan tunas/benih yang dihasilkan pada Dunkel Draft Text, putaran Uruguay, tahun 1993. Sebetulnya, ini merupakan efek multitude yang sudah berakar sejak Mahatma Gandhi mennyerukan ”First Quit India Movement” terhadap kolonialisme Inggris tahun 1942 dan ”Salt Satyagraha (berjuang demi kebenaran)”. Fenomenologi studi India merupakan realita penting dalam memaknai penyebaran teknologi dan globalisasi.
Penyebaran teknologi global dipandang skeptis oleh Shiva, khususnya dalam memprotet kehidupan tragis kaum petani dalam mendapatkan hak kekayaan intelektualitas sesungguhnya. Semenjak globalisasi pertanian dan industrialisasi pangan berkembang pesat, komersialitas komoditas alam dan biodiversitas semakin ditingkatkan. Perusahaan multinasional selalu berupaya monopolistik dan mengeklaim bahwa pengetahuan (dari Barat khususnya) dan intelektualitas harus diprivatisasi, ditunjang dengan perjanjian perdagangan bebas serta proteksi terhadap plant breeder dan patents.
Sejak General Agreement on Trade and Tariffs (GATT) mengumandangkan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs), rakyat India semakin geram akan asumsi ‘konyol’ dari forum global tersebut. Asumsi umumnya ialah hanya kaum ilmuwan yang disponsori perusahaan multinasional yang mendapat hak kekayaan intelektualitas dan kompensasi berkelanjutan. Perdebatan sengit antara belahan Utara-Selatan menimbulkan disparitas opini bahwa area biodiversitas bukan lagi mencakup masalah transfer teknologi (dari Negara maju/Utara ke Negara berkembang/Selatan), tapi sudah menjadi landasan dialog antarkultur.
Sayangnya, dialog interkultur tersebut tidak bersifat win-win solution karena unilateralisasi AS dalam merumuskan Dunkel Draft pasal 27akhir yang berbunyi “…However, parties shall provide for protection of plant varieties either by patent or any effective sui generic system or any combination thereof. This provision shall be reviewed four years after entry into force of this agreement.” Gareth Porter pada studi US and the Biodiversity Convention menyatakan bahwa “adequate and effective protection” dalam Konvensi Biodiversitas AS pasal I6 telah menjadi pengantar untuk perjanjian multilateral TRIPs, putaran Uruguay, GATT. Ciri khas AS dalam bernegosiasi dan perumusan perjanjian, dia selalu lihai mempersuasi negara lain untuk menggunakan istilah “shall, effective, atau appropriate”. Arti sederhananya, AS sebagai negara adikuasa tidak akan berani berjanji dan berkewajiban penuh untuk mempertanggungjawabkan kesepakatan utuh (win-win solution). Apakah globalisasi teknologi sudah berubah menjadi hegemonisasi hak property intelektual AS? Bukankah ini sama saja dengan ’mematenkan’ kematian biodiversitas negara berkembang sehingga terpaksa masuk dalam jerat neraka sistem Intellectual Property Rights ala US-GATT?
Tantangan dan Prospek Aksesibilitas Bio-teknologi
Globalisasi jelas memperluas akses untuk mengembangkan teknologi, termasuk rekayasa genetika. Akan tetapi, rekayasa ini tidak semata-mata menjungjung aspek sustainabilitas yang positif dan cenderung mengejar profit semaksimal mungkin. Biodiversitas dan ilmu pengetahuan yang semula dapat ditukar secara bebas karena intellectual common menjadi terhimpit dalam kerakusan korporat transnasional petani menjadi supplier tunas utama bagi perusahaan multinasional, petani menjadi kompetitor dalam inovasi dan sumber genetik, petani negara berkembang hanya menjadi konsumen (budak) dari industrialisasi produk dan teknologi perusahaan multinasional. Dengan berlimpahnya akses eksploitasi intelektualitas negara belahan Utara terhadap biodiversitas sumber di negara belahan Selatan, maka kebebasan semakin berbalik menjadi kehancuran manusia dan alam. Akibat terpuruknya, kaum elite dari Utara terus menekan kaum primitif-Selatan untuk membayar royalti (utang) intelektualitas mereka.
Permasalahan akses bioteknologi menjadi kronis ketika GATT memberikan 3 kategori ketat tentang IPRs:
a. restriksi perubahan dari hak umum menjadi hak privat hak kekayaan intelektual hanya diakui sebagai hak privat. Pengetahuan, ide, maupun inovasi dari kaum petani akan menjadi deintelektualisasi masyarakat sipil yang nantinya berujung pada sistem monopolistik korporat
b. biodiversitas hanya akan diorganisasikan kembali jika pengetahuan dan inovasi menghasilkan profit (keuntungan)
c. kebijakan TRIPs menegaskan bahwa hanya perusahaan multinasional yang berhak menginovasi biodiversitas untuk meninggikan pembagian pasar global dan perdagangan internasional
Melihat restriksi ’unik’ di atas, tidak bisa diragukan lagi bahwa globalisasi bioteknologi semakin mencekik kreativitas dan investasi petani negara berkembang dalam mendomestikssai, mengembangbiakkna, dan mengkonservasi biodiversitas. Organisasi yang bernama International Protection of New Varities of Plants (UPOV) tahun 1991 telah ‘mendorong’ negara berkembang untuk memberikan royalti khusus terhadap breeder dan patents yang ada di negara belahan Utara. Realita yang menjadi akibat buruk, Peru di tahun 1962 sudah berkontribusi sebesar US $8 juta/tahun ke AS untuk bioteknologi tomat.
Prospek akses teknologi di era globalisasi semakin suram ketika jurang sosial terus terbentuk. Bioteknologi sebagai rekayasa genetika baru menjadi prinsip hukum kebiasaan yang sebenarnya tidak memulai dari nol, melainkan mencuri suatu internalisasi kehidupan, merelokasi satu gen tertentu untuk menjadi ’kehidupan lain’ (sistem organisme baru). Dari 127 sumber genetik, 81 di antaranya dipegang oleh negara industrial (International Agricultural Research Centres) sedangkan 17 lainnya milik negara berkembang petani AS mendapat nilai tambah untuk gandum, padi, dan kacang sebesar US$ 680 juta dari petani negara berkembang, biotek sorgum India diserahkan ke AS sebesar US$ 12 juta/tahun, perlindungan genetik Ethiopia sebesar US$ 150 juta/dekade, dan ladang barley Turki sebesar US$ 150 juta/tahun. Inikah esensi dari globalisasi teknologi? Sampai kapan negara berkembang merengek dan ’berutang’ ke AS?
OPINI PRIBADI
Secara pribadi, saya sepaham dan seperjuangan dengan Vandana Shiva. Banyak argumen-argumen Shiva yang menginspirasi saya untuk terus memperjuangkan keadilan, baik itu keadilan humanisme maupun keadilan ekologis. Prospek globalisasi teknologi, khususnya dalam bio-teknologi semakin menutup masa depan cerah dunia. Menariknya, Shiva menyimpulkan prospek bioteknologi sebagai berikut : “GATT has replaced Church and Dunkel plays the role of the Pope in conferring regimes of rights without consultingthe original custiduans and owners.” Rezim hak kekayaan intelektual memang menjadi duri ekonomi, ekologi, dan social negara-negara berkemabang. Tanggung jawab besar yang seharusnya bisa diminimalisir menyengsarakan kaum petani, herbalist, dan generasi muda di negara belahan Selatan.
Solusi inovatif untuk mnyiasati kesenjangan bioteknologi tersebut ialah diberlakukannya asylum technology (suaka teknologi). Istilah asylum sebenarnya dirintis oleh PBB, dalam 1951 Convention Relating to the Status of Refugees dan 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees. Perjanjian tersebut mendasari legislasi nasional yang berfokus pada suaka politik. Setiap pengungsi/migrant (baik karena peperangan ataupun bencana alam) adalah seseorang yang berada di luar territorial negara mereka (sementara stateless) berhak mendapatkan tempat perlindungan. Tempat perlindungan tersebut bebas dari ras, nasionalisme, religi, opini politik, atau kelompok sosial tertentu. (Peter Fell dan Debra Hayes, 2007) Berangkat dari ide tersebut, penulis memiliki harapan bahwa setiap negara (yang akan dibantu PBB) mampu membuat suaka teknologi dalam bentuk badan hukum kessetaraan bioteknologi. Penulis mengusulkan bahwa anggota yang mendirikan harus berasal dari setiap belahan (baik Utara maupun Selatan) dan dari berbagai pihak (khususnya kaum bawah). Suaka ini bisa bermula dari perjanjian mutualisme antara negara maju dan berkembang kemudian menentukan standard umum dalam menyelaraskan hak kekayaan intelektual dan sumber biodiversitas. Agar pembangunan suaka teknologi berkelanjutan, setiap negara harus menerapkan fungsi 3E (ekonomi, ekologi, dan etika teknologi). Ketiga konsep tersebut tersinspirasi dari konsep ”Seed Satyagraha” yang menjelaskan bahwa perjuangan demi kebenaran harus memberikan informasi jujur tentang perdagangan bebas, anti kekerasan, dan metode demokrasi ala Gandhi. Kepentingan korporat dan penduduk diharapkan mampu berkesinambungan secara efektif dan kondusif.
Referensi:
Fell, Peter dan Hayes, Debra. 2007. What are they doing here? A critical guide to asylum and immigration. Birmingham, Venture Press
Shiva, Vandana .Biodiversity and Intellectual Property Rights
Shiva, Vandana. Intellectual Property Rights, dari http://www.psrast.org/vashipr.htm. Diakses tanggal 29 Mei 2010
DI BALIK GLOBALISASI KULTUR
Review artikel Robert holton, Globalization’s Cultural Consequences
Sistem globalisasi sejatinya memberi dampak yang sangat berpengaruh terhadap perubahan sosial. Kapitalisme, perkembangna teknologi, masyarakat, dan perluasan ideologi semakin menentukan arus dan batasan kultur. Era globalisasi pada tahun 2000 sendiri mencakup aktivitas lintas batasan dan internaisonalisme, termasuk ekspansi global yang terjadi pada tahun 1913. Titik keunikan dari perubahan global kotemporer terletak pada bentuk-bentuk integrasi baru dna interdependensi. Dimensi dan batasan fundamental pun tidak menentukan masa depan dari perubahan sosial.
Secara epistemologi, Raymond William (1976: 87) menyatakan bahwa culture merupakan salah satu istilah kompleks dalam literatur Inggris. Secara konotatif, kultur berarti ruang lingkup yang menitikberatkan nilai-nilai dan kepercayaan tertentu daripada aktivitas praktis dan disposisi. Sama halnya dengan Clifford Geertz’s, definisi culture memberikan sebuah pedoman/kepercayaan yang melampaui aktivitas khusus dan praktik. Selain itu, culture juga bermakna “an historically transmitted pattern of meanings embodied in symbolic forms by means of which men [sic] communicate, perpetiate, and develop their knowledge about and attitudes towards life”.
Berbicara tentang kultur, proses globalisasi diidentifikasi sebagai usia perubahan dalam suatu tatanan masyarakat. Untuk memudahkan identifikasi pengaruh globalisasi terhadap kultur, Robert Holton telah mengklasifikasi 3 tesis yang memunculkan konsekuensi dari globalisasi kultur, yakni:
a. Homogenisasi
Satu pandangan umum yang melekat antara konsep globalisasi dan kultur adalah dengan meleburkannya ke dalam suatu perangkat praktis sebuah kultur yang bersifat konvergen. Artinya, ada satu nilai kultur yang teradopsi dan terafiliasi dengan sistem globalisasi sehingga terjadi proses keseragaman budaya (standardisasi). Istilah “Coca-Colonization” atau “McDonaldization” menjadi identitas khusus dari homogenitas yang mengakui adanya cerminan antara globalisasi ekonomi dan globalisasi kultur. Homogenisasi akhirnuya disamaartikan dengan Westernisasi maupun Amerikanisasi. Mekanisme dari perubahan ini berawal dari adanya penyebaran eknomi pasar da strategi perusahaan multinasional secara luas dan masif.
Film-film Hollywood pun menjadi magnet tersendiri bagi seluruh masyarakat global.Contoh nyata dari homogenisasi dapat terlihat sejak perkembangan informasi dan teknologi komunikasi mulai berkembang pesat pada tahun 1950. Microsoft, Motorola, Yaoo, ataupun Amazon.com telah menjadi magnet khusus bagi suatu produk tertentu seperti Coca Cola. Komunikasi mengenai produk pun dapat dipahami secara cepat melalui jaringan internet, website yang sudah terkoneksi dengan server. Bahkan, sejarah Nazi sampai Puritanisme dapat dengan mudah dan cepat dicari tanpa harus pergi ke tempat tujuan. Dimensi kedua yang menjadi isu utama homogenitas ialah integrasi kaum elit sedunia mengenai edukasi, ekonomi, dan politik masyarakat Barat. Sejak dahulu sampai saat ini, teori dan filosofi Barat selalu menjadi patokan utama dalam mencari ilmu pengetahuan. Harvard, Oxford, hingga Sorbonne pun menjadi produk nyata pemikiran Barat yang sejalan dengan jaringan fungsional dalam organisasi internasional, seperti: Perserikatan Bangsa-Bangsa, World Bank, dsb.
Namun, dengan adanya dinamika dalam globalisasi kultur, terdapat sejumlah kelemaham. Pertama, asosiasi menngenai globalisasi kultur antar negara Barat slaing tumpang tindih. Pemikiran Barat selama ini selalu diidentikkan dengan kemenangan dan kehebatan negara AS. Padahal perusahan multinasional tidak selamanya menjadi leading sector, sudah disaingi ketat oleh perusahaan seperti Benetton dengan slogan terkenalnya “United colors of Benetton” (menghilangkan standardisasi produk).
b. Polarisasi
Keterbatasan homogenitas dalam globalisasi era kontemporer ini telah memunculkan tanda-tanda polarisasi. Konsep ini menggerakkan adanya pembangunan kultur global secara kondusif. Interkoneksi global dan interdependensi menjadi stigma khas polarisasi yang diberi modifikasi kerjasama silang kultur, urbanisasi, dan toleransi internasional. Perubahan teknologi semakin memicu etnonasionalisme. Bennedict Anderson (1994:326) menyebut istilah penyebaran etnis penduduk sebagai ”long distance nationalism” dan hal itu tidak berpengaruh penting terhadap globalisasi kultur sebagai identitas transnasional.
Lain halnya dengan konsep Samuel Huntington. Menurutnya, polarisasi yang ada dalam globalisasi kultur telah memiliki kurensi yang tersebar luas. Contoh kasus yang digunakan ialah konflik antara kaum Barat dengan kemunculan kaum Islam dan Konfusianis. Sedangkan Benjamin Barber (1995) mengartikan polarisasi sebagai konflik antara McWorld dengna jihad, yang nantinya mampu memicu timbulnya tribalisme dan fundamentalisme kultur. Pendekatan polarisasi terhadap globalisasi kultur menyatakan dua konsep/cerita yang kuat dan saling berhubungan dalam dunia kontemporer.
c. Hybridisasi
Hybridisasi atau sinkrenisasi telah dilatarbelakangi oleh adanya perubahan dan pergerakan kultur yang disebabkan oleh migrasi, pekerjaan lintas batas, kolonisasi, dan kondisi lemah dari antar kultur. Ide dari hybridisasi telah sukses dikembangkan pada aspek musikalitas (jazz atau musik dunia), literatur dan seni kontemporer, kehidupan religius dan spiritual. Namun, skala dan ruang lingkup yang terkandung di dalamnya susah diukur. Hal ini disebabkan oleh adanya ambiguitas antar status orientasi kultur.
Konsep hybridisasi berpijak pada filosofi kosmopolitan yang memiliki asas toloeransi, etika moral, pluralis, universalis, dan kebersamaan.menurut Hannerz, kosmopolitanisme adalah fitur yang merangkum orientasi pluralisme dari kultur-kultur pusat yang siap menyatu/melebur dengan kultur lain dan bersaing dengan divisi kultur lainnya. Sehingga, kultur tidak serta merta diartikan sebagai pedoman nilai, sikap saja tetapi lebih mendalami suatu pemikiran. Kosmopolitanisme juga bermakna adanya pemasukan kultur global yang baru ke dalam kultur nasional tanpa menghilangkan esensi dasar dari kultur tersebut. Dengan demikian, hybridisasi tidak selamanya menguasai kemurnian dari budaya masyarakat yang telah lama diakui dan diyakini.
OPINI PRIBADI
Setelah membaca artikel Robert Holton, saya menyimpulkan bahwa globalisasi tidak serta merta memusnahkan esensi dasar dari suatu budaya. Globalisasi memiliki usia, begitu halnya dengan kultur yang semakin ‘didewasakan secara matang’. Tiga metode yang disajikan oleh Robert Holton seakan memberikan tantangan dan peluang yang mampu menentukan masa depan sebuah budaya. Jika dilihat dari homogenisasi, saya lebih melihatnya sebagai negasi terhadap adanya fundamentalisme budaya. Namun, homogenisasi ini berdampak buruk bagi kreativitas masyarakat yang sudah lama tertanam. Sedangkan polarisasi cenderung bersifat kompleks karena terbentuk polar-polar yang berbeda dan menimbulkan clash of civilization. (Samuel Huntington, 1996) Hybridisasi memang menjadi penengah tapi tidak selamanya menjamin stabilitas budaya lama dan baru.
Saya memposisikan diri bahwa globalisasi tidak meningkatkan ketegangan kultur. Alasan utamanya ialah teori Thomas Friedman (2005) yang menyatakan bahwa arus informasi dan teknologi net yang berkemabang pesat telah menyetarakan status sosial manusia (flatteners). Di dalam bukunya yang berjudul The World is Flat menunjukkan adanya esensi universalisme dan unity yang secara positif mempengaruhi pola pikir masyarakat modern dan terbuka. Bahkan, Emmanuel Kant juga menyatakan dalam bukunya Prepetual Peace bahwa kosmopolitanisme yang tercermin dalam hybridisasi telah memberikan kedamaian bagi seluruh dunia. Kultur merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa seorang manusia. Jika manusia memiliki perspektif positif, nilai humanis yang damai, dan saling berkerjasama, maka konflik kepentingan antar satu kultur dengan kultur lainnya segera terminimalisir. Kehadiran facebook, twitter,ataupun situs jejaring sosial lainnya merupakan bukti adanya internet yang bisa digunakan sebagai aplikasi menarik dalam mempromosikan suatu kultur. Jepang juga menjadi contoh negara yang sangat terbuka dengan perkembangan globalisasi dan modernisasi dari Amerika tanpa menghilangkan identitas dasar kultural dari Dewa Matahari. Ketegangan anatar kultur dapat segera teratasi apabila setiap manusia memiliki kontrol karakteristik yang efektif dan peka (peduli) dengan arah futuristik globalisasi.
REFERENSI:
Anderson, Bennedict. 1994. Exodus. Critical Inquiry.
Barber, Benjamin. 1995. Jihad vs McWorld. New York: Ballantine Books
Friedman, Thomas. 2005. The World is Flat. SAGE Publicaitons
Holton, Robert. 2006. Globalization’s Cultural Cosequences. SAGE Publications
Huntington, Samuel. 1996. The Clash of Civilizations and the Remarking of World Order. New York: Simon and Schuster
Kant, Emmanuel. Perpetual Peace
Sistem globalisasi sejatinya memberi dampak yang sangat berpengaruh terhadap perubahan sosial. Kapitalisme, perkembangna teknologi, masyarakat, dan perluasan ideologi semakin menentukan arus dan batasan kultur. Era globalisasi pada tahun 2000 sendiri mencakup aktivitas lintas batasan dan internaisonalisme, termasuk ekspansi global yang terjadi pada tahun 1913. Titik keunikan dari perubahan global kotemporer terletak pada bentuk-bentuk integrasi baru dna interdependensi. Dimensi dan batasan fundamental pun tidak menentukan masa depan dari perubahan sosial.
Secara epistemologi, Raymond William (1976: 87) menyatakan bahwa culture merupakan salah satu istilah kompleks dalam literatur Inggris. Secara konotatif, kultur berarti ruang lingkup yang menitikberatkan nilai-nilai dan kepercayaan tertentu daripada aktivitas praktis dan disposisi. Sama halnya dengan Clifford Geertz’s, definisi culture memberikan sebuah pedoman/kepercayaan yang melampaui aktivitas khusus dan praktik. Selain itu, culture juga bermakna “an historically transmitted pattern of meanings embodied in symbolic forms by means of which men [sic] communicate, perpetiate, and develop their knowledge about and attitudes towards life”.
Berbicara tentang kultur, proses globalisasi diidentifikasi sebagai usia perubahan dalam suatu tatanan masyarakat. Untuk memudahkan identifikasi pengaruh globalisasi terhadap kultur, Robert Holton telah mengklasifikasi 3 tesis yang memunculkan konsekuensi dari globalisasi kultur, yakni:
a. Homogenisasi
Satu pandangan umum yang melekat antara konsep globalisasi dan kultur adalah dengan meleburkannya ke dalam suatu perangkat praktis sebuah kultur yang bersifat konvergen. Artinya, ada satu nilai kultur yang teradopsi dan terafiliasi dengan sistem globalisasi sehingga terjadi proses keseragaman budaya (standardisasi). Istilah “Coca-Colonization” atau “McDonaldization” menjadi identitas khusus dari homogenitas yang mengakui adanya cerminan antara globalisasi ekonomi dan globalisasi kultur. Homogenisasi akhirnuya disamaartikan dengan Westernisasi maupun Amerikanisasi. Mekanisme dari perubahan ini berawal dari adanya penyebaran eknomi pasar da strategi perusahaan multinasional secara luas dan masif.
Film-film Hollywood pun menjadi magnet tersendiri bagi seluruh masyarakat global.Contoh nyata dari homogenisasi dapat terlihat sejak perkembangan informasi dan teknologi komunikasi mulai berkembang pesat pada tahun 1950. Microsoft, Motorola, Yaoo, ataupun Amazon.com telah menjadi magnet khusus bagi suatu produk tertentu seperti Coca Cola. Komunikasi mengenai produk pun dapat dipahami secara cepat melalui jaringan internet, website yang sudah terkoneksi dengan server. Bahkan, sejarah Nazi sampai Puritanisme dapat dengan mudah dan cepat dicari tanpa harus pergi ke tempat tujuan. Dimensi kedua yang menjadi isu utama homogenitas ialah integrasi kaum elit sedunia mengenai edukasi, ekonomi, dan politik masyarakat Barat. Sejak dahulu sampai saat ini, teori dan filosofi Barat selalu menjadi patokan utama dalam mencari ilmu pengetahuan. Harvard, Oxford, hingga Sorbonne pun menjadi produk nyata pemikiran Barat yang sejalan dengan jaringan fungsional dalam organisasi internasional, seperti: Perserikatan Bangsa-Bangsa, World Bank, dsb.
Namun, dengan adanya dinamika dalam globalisasi kultur, terdapat sejumlah kelemaham. Pertama, asosiasi menngenai globalisasi kultur antar negara Barat slaing tumpang tindih. Pemikiran Barat selama ini selalu diidentikkan dengan kemenangan dan kehebatan negara AS. Padahal perusahan multinasional tidak selamanya menjadi leading sector, sudah disaingi ketat oleh perusahaan seperti Benetton dengan slogan terkenalnya “United colors of Benetton” (menghilangkan standardisasi produk).
b. Polarisasi
Keterbatasan homogenitas dalam globalisasi era kontemporer ini telah memunculkan tanda-tanda polarisasi. Konsep ini menggerakkan adanya pembangunan kultur global secara kondusif. Interkoneksi global dan interdependensi menjadi stigma khas polarisasi yang diberi modifikasi kerjasama silang kultur, urbanisasi, dan toleransi internasional. Perubahan teknologi semakin memicu etnonasionalisme. Bennedict Anderson (1994:326) menyebut istilah penyebaran etnis penduduk sebagai ”long distance nationalism” dan hal itu tidak berpengaruh penting terhadap globalisasi kultur sebagai identitas transnasional.
Lain halnya dengan konsep Samuel Huntington. Menurutnya, polarisasi yang ada dalam globalisasi kultur telah memiliki kurensi yang tersebar luas. Contoh kasus yang digunakan ialah konflik antara kaum Barat dengan kemunculan kaum Islam dan Konfusianis. Sedangkan Benjamin Barber (1995) mengartikan polarisasi sebagai konflik antara McWorld dengna jihad, yang nantinya mampu memicu timbulnya tribalisme dan fundamentalisme kultur. Pendekatan polarisasi terhadap globalisasi kultur menyatakan dua konsep/cerita yang kuat dan saling berhubungan dalam dunia kontemporer.
c. Hybridisasi
Hybridisasi atau sinkrenisasi telah dilatarbelakangi oleh adanya perubahan dan pergerakan kultur yang disebabkan oleh migrasi, pekerjaan lintas batas, kolonisasi, dan kondisi lemah dari antar kultur. Ide dari hybridisasi telah sukses dikembangkan pada aspek musikalitas (jazz atau musik dunia), literatur dan seni kontemporer, kehidupan religius dan spiritual. Namun, skala dan ruang lingkup yang terkandung di dalamnya susah diukur. Hal ini disebabkan oleh adanya ambiguitas antar status orientasi kultur.
Konsep hybridisasi berpijak pada filosofi kosmopolitan yang memiliki asas toloeransi, etika moral, pluralis, universalis, dan kebersamaan.menurut Hannerz, kosmopolitanisme adalah fitur yang merangkum orientasi pluralisme dari kultur-kultur pusat yang siap menyatu/melebur dengan kultur lain dan bersaing dengan divisi kultur lainnya. Sehingga, kultur tidak serta merta diartikan sebagai pedoman nilai, sikap saja tetapi lebih mendalami suatu pemikiran. Kosmopolitanisme juga bermakna adanya pemasukan kultur global yang baru ke dalam kultur nasional tanpa menghilangkan esensi dasar dari kultur tersebut. Dengan demikian, hybridisasi tidak selamanya menguasai kemurnian dari budaya masyarakat yang telah lama diakui dan diyakini.
OPINI PRIBADI
Setelah membaca artikel Robert Holton, saya menyimpulkan bahwa globalisasi tidak serta merta memusnahkan esensi dasar dari suatu budaya. Globalisasi memiliki usia, begitu halnya dengan kultur yang semakin ‘didewasakan secara matang’. Tiga metode yang disajikan oleh Robert Holton seakan memberikan tantangan dan peluang yang mampu menentukan masa depan sebuah budaya. Jika dilihat dari homogenisasi, saya lebih melihatnya sebagai negasi terhadap adanya fundamentalisme budaya. Namun, homogenisasi ini berdampak buruk bagi kreativitas masyarakat yang sudah lama tertanam. Sedangkan polarisasi cenderung bersifat kompleks karena terbentuk polar-polar yang berbeda dan menimbulkan clash of civilization. (Samuel Huntington, 1996) Hybridisasi memang menjadi penengah tapi tidak selamanya menjamin stabilitas budaya lama dan baru.
Saya memposisikan diri bahwa globalisasi tidak meningkatkan ketegangan kultur. Alasan utamanya ialah teori Thomas Friedman (2005) yang menyatakan bahwa arus informasi dan teknologi net yang berkemabang pesat telah menyetarakan status sosial manusia (flatteners). Di dalam bukunya yang berjudul The World is Flat menunjukkan adanya esensi universalisme dan unity yang secara positif mempengaruhi pola pikir masyarakat modern dan terbuka. Bahkan, Emmanuel Kant juga menyatakan dalam bukunya Prepetual Peace bahwa kosmopolitanisme yang tercermin dalam hybridisasi telah memberikan kedamaian bagi seluruh dunia. Kultur merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa seorang manusia. Jika manusia memiliki perspektif positif, nilai humanis yang damai, dan saling berkerjasama, maka konflik kepentingan antar satu kultur dengan kultur lainnya segera terminimalisir. Kehadiran facebook, twitter,ataupun situs jejaring sosial lainnya merupakan bukti adanya internet yang bisa digunakan sebagai aplikasi menarik dalam mempromosikan suatu kultur. Jepang juga menjadi contoh negara yang sangat terbuka dengan perkembangan globalisasi dan modernisasi dari Amerika tanpa menghilangkan identitas dasar kultural dari Dewa Matahari. Ketegangan anatar kultur dapat segera teratasi apabila setiap manusia memiliki kontrol karakteristik yang efektif dan peka (peduli) dengan arah futuristik globalisasi.
REFERENSI:
Anderson, Bennedict. 1994. Exodus. Critical Inquiry.
Barber, Benjamin. 1995. Jihad vs McWorld. New York: Ballantine Books
Friedman, Thomas. 2005. The World is Flat. SAGE Publicaitons
Holton, Robert. 2006. Globalization’s Cultural Cosequences. SAGE Publications
Huntington, Samuel. 1996. The Clash of Civilizations and the Remarking of World Order. New York: Simon and Schuster
Kant, Emmanuel. Perpetual Peace
Senin, Mei 24, 2010
LESTARIKAN TAMAN FLORA SURABAYA!
Taman Flora Bratang Milik Surabaya???
Surabaya- Taman Flora Bratang atau Cyber Park Bratang atau juga dikenal dengan Kebun Bibit Bratang, telah menjadi taman kebanggaan warga Surabaya. Akses masuknya yang gratis alias tak berbiaya; guru bisa mengajak jalan-jalan para siswanya; mau outbound tidak perlu ke luar kota; yang mau berkemah tidak perlu ke hutan di luar kota dengan menambah banyak polusi udara; tukang becak bisa beristirahat melepas lelah di bawan rimbunnya pepohonan yang sangat banyak jumlahnya; mau belajar aneka jenis tanaman tidak perlu ke kebun raya; yang mau internetan cukup menyalakan wireless saja; mau belajar pengomposan cukup menambah beberapa langkah ke sebelah; mau melihat rusa dan aneka satwa bebas lainnya juga bisa.
Namun, kini taman kebanggaan itu berada di ujung tanduk. Bisa dibilang umur taman ini hanya tinggal hitungan hari saja. Pemerintah Kota Surabaya yang beberapa tahun terakhir menjadikannya sebagai paru-paru kota atau bahkan paru-paru warga Kota Surabaya dinyatakan tidak berhak mengelolanya. Alasannya, ada oknum yang mengatasnamakan Pemerintah Kota Surabaya menjual atau menyewakannya untuk kepentingan pribadinya/kelompoknya kepada pihak swasta. Pemerintah Kota Surabaya kini mati-matian berjuang mempertahankan eksistensi taman flora.
Bagaimana tanggapan Anda yang bisa jadi telah banyak menghirup Oksigen gratis yang dihasilkan pepohonan di taman flora? Setujukah Anda dengan upaya yang telah dilakukan Pemerintah Kota Surabaya untuk mempertahankannya? Setujukah Anda bahwa Taman Flora Bratang Milik Surabaya dan bukan milik swasta yang cenderung mengedepankan komersial saja?? (roni)
Surabaya- Taman Flora Bratang atau Cyber Park Bratang atau juga dikenal dengan Kebun Bibit Bratang, telah menjadi taman kebanggaan warga Surabaya. Akses masuknya yang gratis alias tak berbiaya; guru bisa mengajak jalan-jalan para siswanya; mau outbound tidak perlu ke luar kota; yang mau berkemah tidak perlu ke hutan di luar kota dengan menambah banyak polusi udara; tukang becak bisa beristirahat melepas lelah di bawan rimbunnya pepohonan yang sangat banyak jumlahnya; mau belajar aneka jenis tanaman tidak perlu ke kebun raya; yang mau internetan cukup menyalakan wireless saja; mau belajar pengomposan cukup menambah beberapa langkah ke sebelah; mau melihat rusa dan aneka satwa bebas lainnya juga bisa.
Namun, kini taman kebanggaan itu berada di ujung tanduk. Bisa dibilang umur taman ini hanya tinggal hitungan hari saja. Pemerintah Kota Surabaya yang beberapa tahun terakhir menjadikannya sebagai paru-paru kota atau bahkan paru-paru warga Kota Surabaya dinyatakan tidak berhak mengelolanya. Alasannya, ada oknum yang mengatasnamakan Pemerintah Kota Surabaya menjual atau menyewakannya untuk kepentingan pribadinya/kelompoknya kepada pihak swasta. Pemerintah Kota Surabaya kini mati-matian berjuang mempertahankan eksistensi taman flora.
Bagaimana tanggapan Anda yang bisa jadi telah banyak menghirup Oksigen gratis yang dihasilkan pepohonan di taman flora? Setujukah Anda dengan upaya yang telah dilakukan Pemerintah Kota Surabaya untuk mempertahankannya? Setujukah Anda bahwa Taman Flora Bratang Milik Surabaya dan bukan milik swasta yang cenderung mengedepankan komersial saja?? (roni)
Rabu, April 07, 2010
Pembangunan “Anarki” Berkelanjutan
Pembangunan “Anarki” Berkelanjutan
Gracia Paramitha, 070710415
Review Artikel The Coming Anarchy (Februari 1994)
Kekacauan dan inekuivalensi merupakan dua gambaran umum yang mencermikan realita dunia saat ini. Kondisi nasional yang semakin terpuruk menimbulkan adanya tindakan kriminal dari setiap individu membuat sistem anarkis semakin telanjang. Berdasarkan artikel The Coming Anarchy, balas dendam antara kaum miskin terhadap kelas konglomerat semakin menguat dan kegagalan sosial pun semakin membawa anak-anak keapada dunia modernitas. Contoh kasus yang ditunjukkan ialah negara Sierra Leone yang terletak di Afrika Barat. Generasi muda semakin berani melawan dan brutal dalam menghadapi kebijakan pemerintah. Tak tanggung-tanggung, sikap perusakan mobil pejabat dan vandalisme pun terus dilakukan demi menjunjung tinggi keberadaan kelas menengah dan bawah.
Tak dapat dipungkiri bahwa negara-negara di Afrika Barat, khususnya Sierra Leone, sudah terbiasa dengan kondisi tirani dan anarkis. Pemberontakan, kudeta, dan pembangunan demokrasi semu terus bergejolak di dalam negeri. Konflik struktural, kriminalitas, dan perang merupakan tanda natural dari perpolitikan abad 21. Di kota Abidjan (seperti Parisnya Afrika Barat), Ivory Coast, dan sejumlah kota lainnya termasuk simbol demografi dan lingkungan global di mana tekanan sosial dan ancaman strategis terus menerkam. Keadaan paradoks tersebut dipengaruhi oleh keanekaragaman budaya dan kepercayaan. Islam dan Kristen memang nyata di kehidupan sosial Afrika. Namun, formalitas tersebut terbungkus rapi oleh nilai luhur animisme yang selama ini lebih diyakini secara utuh.
Selain itu, faktor poligami pun turut mendorong «common sense» masyarakat setempat. Buruknya lagi, banyak kaum perempuan dan anak-anak yang dirugikan dengan meningkatnya penderita HIV serta hilangnya silsilah keluarga. Efek populasi berlebihan yang disertai dengan kemiskinan akut juga memperparah kondisi kritis masyarakat Afrika. Maka tidak heran jika kasus penjarahan transportasi, kawasan territorial yang berbahaya, serta migrasi berkelanjutan terus terjadi hingga merenggut keselamatan individu.
Prospek keamanan semakin terbelenggu oleh sejumlah hambatan dan tantangan globalisasi. Secara sistematis, ada empat perubahan kontur keamanan dalam proses globalisasi, di antaranya:
a. Degradasi lingkungan hidup karena adanya hostile power
Jika dikaitkan dengan konsep kebijakan luar negeri, isu lingkungan global diibaratkan seperti donat. Lingkaran interaktif antara satu kepentingan individu dengn individu lainnya memang tersiklus, tapi tidak berfokus pada satu tujuan bersama. Akibatnya, rantai kepentingan bersama berlubang di tengah-tengah tanpa arah dan tindakan ekologis yang pasti. Tak mengherankan bila kapitalisme global membawa satu pemahaman bahwa lingkungan hidup merupakan hostile power, isu berbahaya yang tidak perlu diprioritaskan keretakan sosial semakin menyebar.
Thomas Fraser Homer-Dixon menganalisis pengaruh studi konflik militer terhadap lingkungan fisik, yang pada akhirnya mengemukakan bahwa keamanan internasional tidak dapat tercipta tanpa adanya efisiensi sumber natural bumi. Artinya, perang militeristik dan kekerasan sipil yang terjadi secara terus menerus akan menenggelamkan kapasitas logistic alam yang sangat penting bagi siklus kehidupan manusia. Kasus nyata sudah terjadi pada kondisi perubahan iklim yang unpredictable di negara Mesir, Pakistan, India, Afrika Barat, Asia Timur, sampai belahan Eropa dan Amerika.
Thomas Malthus, filsuf environmentalis sekaligus ‘nabi’ rakyat Afrika Barat, mengatakan bahwa implikasi ledakan demografi berdampak negatif terhadap masa depan ekologis. Semakin banyak kebutuhan dan kepentingan manusia, semakin punah kekayaan alam dan distribusi positif yang dihasilkan oleh suatu ekosistem. Sedangkan Ali A. Marzui, direktur Institute of Global Cultural Studies at the State University of New York, memprediksi bahwa masa depan Afrika Barat (terutama untuk kondisi futuristik dunia) akan berada pada posisi disturbasi skala besar. Artinya, globalisasi teknologi dan informasi mampu merubah semua sistem politik, sosial, dan ekonomi suatu pemerintahan secara serentak dan cepat.
b. Penyebarluasan berbagai macam penyakit (tubercolois, HIV, malaria, dsb)
Dampak kompleks yang dihasilkan oleh peperangan semakin menyiksa kondisi fisik manusia. Teknologi canggih pun belum bisa menyembuhkan penyakit-penyakit baru yang terus bermunculan. Sejumlah 10% penduduk Ivory Coast positiv mengidap penyakit HIV begitu pula dengan 45% penduduk Abidjan. Sementara itu, nyamuk malaria terus bertebaran di seluruh belahan tropis dan mencekik nyawa insan manusia. Virus-virus lainnya seperti flu burung, flu babi, SARS, dsb juga bergerilya untuk mencari mangsa baru.
c. Konflik kultural oleh karena rapuhnya pembangunan nation-state
Di dalam karyanya yang berjudul “The Clash of Civilization”, Samuel P. Huntington mengemukakan bahwa perubahan zaman semakin menimbulkan adanya konflik antar bangsa yang berdampak pada perselisihan ideologis dan konflik kultur. Setidaknya, ada dua tesis yang dirumuskan Huntington, yakni: perbedaan peradaban bukanlah suatu nyata tapi bersifat fundamental (dasar) yang saling berkaitan dengan sejarah, bahasa, dan religi (1); interaksi antar masyarakat atau perbedaan komunitas semakin meningkat hingga menambah intensifikasi kesadaran bersosialisasi (2). Contoh kasusnya ialah perbenturan agama Hindu dengan Islam di India, Muslim di Turki bertabrakan dengan ajaran Ortodoks Rusia, serta perselisihan antara dunia Barat dengan negara Asia.
d. Variasi perang di era posmodernisme
Perang yang bermunculan saat ini tidak lagi dihadirkan dalam suasan tradisionalisme militeristik. Perang nuklir terus diwacanakan, terutama ketika Iran menantang pengayaan nuklirnya terhadap Amerika dan AS mengutuk tindakan Korea Utara dalam pelucuran roket Taepodong II bulan April 2009. Tidak berhenti di situ saja, perang virtual seperti perang dunia maya (hijack, hacker, dll) terus berdatangan. Semenjak isu War on Terrorism dikumandangkan oleh Presiden Bush pasca tragedy 9/11 2001, isu terorisme terus menjadi perang ‘anarki’ secara berkesinambungan. Menurut pernyataan Martin van Creveld dalam karyanya yang berjudul The Transformation of War, berkelahi atau berperang dengan cara apa pun bukanlah suatu metode/tujuan melainkan berupa hasil akhir. Dengan demikian, setiap manusia tidak lepas dari realita anarkis yang membawa suatu kekerasan pada bentuk konkrit yang diinginkan.
OPINI PRIBADI, POSISI, dan KESIMPULAN
Berdasarkan artikel The Coming Anarchy, saya memposisikan diri bahwa globalisasi turut menegangkan bahaya ancaman global. Peperangan dan keamanan merupakan kondisi anarkis yang selalu berkelanjutan. Artinya, perang secara strategis bergejolak hingga akhirnya mengancam keamanan setiap manusia bahkan relasi manusia terhadap alam. Untuk memperkuat argument tersebut, saya menggunakan dua pendekatan, yakni: neorealisme dan green theory. Di dalam buku Man, State, and War, Kenneth Waltz (1959) menyatakan bahwa sistem anarkis internasional tidak akan pernah pudar karena kekuasaan negara terstruktur secara strategis, memiliki legitimasi dan kedaulatan penuh. Kondisi alamiah manusia selalu diliputi oleh rasa egois, jahat, dan menggunakan segala cara untuk menaklukkan musuh.
Institusi global seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun masih didominasi oleh politisasi dan kepentingan nasional setiap negara. Konsep intervensi humaniter pun semakin kabur ketika pemberontakan Kosovo dibendung oleh supramiliterisme NATO, atau bahkan invasi AS ke Irak. Apakah rasio humanisme seorang individu berumus positif? Mengapa legitimasi PBB ‘dinodai’ oleh sejumlah sekutu/aliansi negara-negara maju?
Green theory sangat menjungjung tinggi konsep pembangunan berkelanjuta (sustainable environment) yang sudah terlahir sejak Earth Summit diadakan di Rio de Janeiro, tahun 1992, yang menghasilkan Agenda 21 dan Montreal Protocol. (Hazel Handerson, 2002). Namun, konsep tersebut dapat bergeser menjadi pembangunan ‘anarki’ berkelanjutan karena adanya eksploitasi manusia dan kepentingan rakus setiap individu. Stabilitas ekologis tidaklah tercapai, justru alam yang semula miskin langsung murka hingga mengutuk manusia dengan berbagai bencana alam. Isu deforestasi, menipisnya hutan hujan tropis (di Ivory Coast : dari 38% hanya 8% hutan yang tersisa, sedangkan keadaan hutan hujan di Sierra Leone menurun drastis: 60% 6%), kelangkaan air, tanah longsor, banjir, hingga terbakarnya semak-semak menjadi problem komplikatif masyarakat Afrika sampai pada masa depan masyarakat dunia. (The Coming Anarchy hal 9)
Oleh karena itu, negara perlu menjadi agen konstruktif dalam menangani kompleksitas peperangan akan kelangkaan sumber daya alam. Distribusi kekuasaan (balance of power) diukur dari stabilitas militerisme dan proposisi dalam mempertahankan kapasitas domestik. Pembangunan anarki berkelanjutan memang tidak dapat terhindarkan, namun dapat diminimalisir dengan kedaulatan otoriter pemerintah dan perangkatnya. Semenjak tahun 2000, akan muncul sekitar 1300 negara. (John Naisbitt, 1994) Kesimpulan yang bisa diambil ialah negara tetap berkewenangan untuk menguasai kapabilitas masyarakat sekaligus kemakmuran ekologis melalui kontrol militeristik dan rasionalitas kebijakan.
REFERENSI:
Artikel The Coming Anarchy. 1994
Handerson, Hazel. 2002. Building a Win-Win World. Diterjemahkan oleh Ir. Hari Suminto yang berjudul “Membangun Suatu Dunia yang Saling Menguntungkan”. Batam: Interaksara
Naisbitt, John. 1994. Global Paradox: The Bigger the World Economy, the More Powerful Its Smallest Players. New York: Morrow
Waltz, K. (1959). Man, The State, and Wars. A Theoretical Analysis. New York: Columbia University Press
Area Kosmopolitanisme: Multikulturalisme Idealis dan Kode Etik Budaya Baru
Area Kosmopolitanisme: Multikulturalisme Idealis dan Kode Etik Budaya Baru
Gracia Paramitha
Momen pucak kosmopolitanisme sebagai city life style
Secara historis, filosofi kosmopolitanisme terlahir sejak zaman Yunani kuno, pada masa Dark Age (sekitar abad 6 sebelum Masehi). Ide kosmopolitan berpijak pada istilah “polis” yang artinya kota dan “cosmo” bermakna seluruh belahan dunia. Cynic Diogene merupakan pencetus kosmopolitanisme yang mengumandangkan “I am the citizen of the world” yang pada akhirnya berkembang pesat sampai masa Pencerahan bahkan era globalisasi abad 20 ini. (Cynics, 1990)
Pada umumnya, area kosmopolitan hanya bisa dijangkau oleh kelompok atau komunitas berkelas tinggi. Ukuran mikro kosmo terlihat dari tiga kota kosmopolitan terbesar di dunia, yakni: Paris, London, dan New York. Parameter yang mengakui kesahihan kosmopolitan mereka berasal dari: kekuasaan politik, media, masyarakat edukatif (banyak ilmuwan ternama), ekonomi dan keuangan, serta kesenian. (slide madam Anne) Tidak bisa dipungkiri bahwa kota Paris sangat terkenal dengan sebutan kota mode, yang mampu memberikan nuansa hedonis mengenai fashion artistik.Selain itu, Paris juga diakui masyarakat dunia sebagai salah kota global terbesar di dunia, dibuktikkan dengan kehadiran 30 juta turis per tahunnya.
Sedangkan London merupakan kumpulan berbagai komunitas bangsa di seluruh dunia. Adanya Oxford University, Cambridge University, London School of Economics mampu mencengangkan komunitas global dalam meraih cita-cita akademis yang spektakuler. Greenwich, salah satu daerah di London, juga termasuk pusat penghitungan waktu dunia. Sejak zaman revolusi industri hingga dekolonisasi, kota London merupakan urat nadi perkembangan ekonomi dan teknologi mutakhir.
Lain halnya dengan New York, kota yang menjadi pintu gerbang para imigran ini menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum traveler. Casino menjadi magnet pebisnis dari berbagai negara yang ingin menggelembungkan aset mereka. Berbagai film menarik dari Hollywood pun telah mengangkat kebesaran kota New York sebagai kota multikultural. Tak hanya itu, CNN menjadi pesaing keras bagi British Broadcasting Company (BBC) maupun Agence France Press (AFP).
Hyper Mobile Planet: Stigma Hotel, Transportasi, dan Masyarakat Kosmopolit
Ruang lingkup kosmopolitanisme tidak hanya tersudutkan pada sebuah kota indah nan megah. Mobilitas individu dan perubahan strukturlah yang menjadi sensor motorik ideologi kosmopolitanisme. Semakin berkembangnya zaman, semakin cepat pula peradaban masyarakat dan stuktur yang mempengaruhinya. Hyper mobile planet merupakan istilah khas yang terafiliasi dengan kosmopolitanisme oleh karena adanya daya aktualisasi dan mobilisasi yang berlebihan dari seorang individu. Migrasi yang terjadi secara masif, akumulasi kapital, asimilasi budaya, serta kecanggihan teknologi informasi dan prediksi moneter secara fluktuatif turut menbentuk sistem kosmopolitan tersendiri bagi dunia perhotelan, transportasi, dan profesi.
Hotel Sheraton, Hilton, serta Accor Group dapat dikategorikan sebagai hotel kosmopolit, karena banyaknya cabang hotel yang tersebar di ratusan negara, sistem manajemen interaktif (perpaduan tenaga kerja lokal dan tenaga kerja asing), adanya fasilitas ‘mobile tourism resort’ yang berstandard internasional, serta kualitas tinggi pelayanan terhadap para tamu yang datang. Kriteria tersebut dapat dikatakan sebagai indikasi utama dalam memasarkan kosmopolitanisme perhotelan.
Berbeda dengan transportasi, sistem mobilitas ini sangat bergantung pada perkembangan alat angkutan. Sejak PBB mendeklarasikan Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1948, salah satu butir yang berkaitan dengan sistem transportasi ialah freedom of movement. Pergerakan dan aktivitas manusia tidak terbatas dan didukung dengan adanya pesawat terbang, kereta api, mobil, sepeda, kapal pesiar, dsb. Dengan adanya pesawat terbang atau turbo jet, maka perjalanan jarak jauh terasa lebih mudah dilakukan. Maskapai penerbangan pun memiliki brand tersendiri yang mampu menanamkan nilai keragaman yang menjadi satu (united indiversity).
Profesi kosmopolit sendiri dipengaruhi oleh multikuturalisme identitas. Oleh karena itu, etika dan moral perlu dipelihara secara profesional agar universalisme tetap terjaga. Mayoritas aktor yang identik dengan kosmopolitanisme ialah para diplomat, artis, atlit, dan pelaku bisnis. Alasan utama yang mendasari yaitu adanya loyalitas penuh dalam menciptakan komunitas dunia yang damai, kegemaran menjelajah dan mempelajari beragam budaya, keterbukaan sikap dalam memahami sudat pandang tertentu. (Martha Nussbaum, 1996) Sayangnya, predikat orang kosmopolit hanya diraih oleh sekelompok orang tertentu di mana memiliki kapasitas ekonomi yang baik, profil tinggi, gaya hidup mewah, tuntutan berbahasa asing yang majemuk, dan jaringan global. Dengan kata lain, masyarakat kelas bawah (budak ataupun buruh) sulit sekali mencapai gelar ”kosmopolit”.
OPINI PRIBADI
Dalam memahami kosmopolitanisme secara komprehensif, terdapat kata kunci yang harus diperhatikan, antara lain: etika moral, toleransi terhadap perbedaan atau keberagaman, dan kebersamaan. Berangkat dari ide dasar liberalisme yang tertuang dalam karya Emmanuel Kant Prepetual Peace, kosmopolitanisme dipandang sebagai pedoman hidup dalam menyatukan seluruh masyarakat dunia dengan menjunjung tinggi perdamaian abadi. Namun, konteks idealis ini masih bersifat utopia dan jauh dari kenyataan. Ketika Will Kymlicka berpendapat bahwa multikulturalisme terdapat dalam sistem kosmopolitan yang interaktif, tatanan keadilan pun semakin kabur (bias).
Menurut Benhabib (2006), ada tiga tantangan besar yang harus dihadapi kaum kosmopolit. Pertama, tercipta masyarakat yang nonagregatif (tidak berbaur) layaknya salad di dalam mangkuk. Keberagaman yang ada bersifat semu dan tidak menunjukkan relasi yang dinamis di antara mereka. Kedua, jurang pemisah antara hak asasi manusia dengan kultur partikularistik dan indetitas nasional yang terlegitimasi oleh sistem demokrasi. Artinya, konflik antara kepentingan politis sistem demokrasi masih belum bisa memfasilitasi kebutuhan individu dan persatuan budaya. Ketiga, terbentuknya homogenisasi kultur. Westernisasi atau pencontohan budaya Barat ke berbagai negara merupakan realitas yang tidak dapat terhindarkan. Setiap orang pasti bersahabat dengan makanan Mc Donald, Coca Cola, musik pop, dsb.
Saya berkesimpulan bahwa migrasi yang dilakukan masyarakat modern saat ini belum mampu mewujudkan konsep kosmopolitanisme yang sebenarnya. Seperempat dari jumlah anak-anak di dunia yang berumur antara lima sampai empatbelas tahun, 250 juta secara keseluruhan harus bekerja di luar rumah untuk mendapatkan upah, seringkali harus mengalami kondisi yang sangat sulit, baik dalam pertanian, konstruksi, tekstile, atau produksi karpet, misalnya, atau sebagai tentara, pekerja seks, atau pembantu rumah tangga (World Bank, 1999). Dengan adanya data statistik tersebut serta tantangan Benhabib, maka kosmopolitanisme perlu membentuk kode etik baru yang memadai dan diterima oleh seluruh masyarakat dunia. Selain itu, esensi multikulturalisme idealis dapat terminimalisir dengan adanya reformasi struktural (ada otonomi negara yang diikat secara institusional) mengenai multikulturalisme dan interaksi masyarakat global.
REFERENSI:
Benhabib,Seyla et al. 2006. Another Cosmopolitanism.Robert Post ed.Oxford: Oxford University Press. page 16
Cynics. 1990. In Socratis et Socraticorum Reliquiae, Ed. G. Giannantoni, vol. 2. Naples: Bibliopolis
Nussbaum, Martha. 1996. “Patriotism and Cosmopolitanism,” in For Love of Country: Debating the Limits of Patriotism, ed. Joshua Cohen. Beacon Press: Boston.
World Bank, World Development Report 1999/2000, New York, Oxford University Press, juga tersedia dalam http://www.worldbank.org/wdr/2000/fullreport.htm.
Gracia Paramitha
Momen pucak kosmopolitanisme sebagai city life style
Secara historis, filosofi kosmopolitanisme terlahir sejak zaman Yunani kuno, pada masa Dark Age (sekitar abad 6 sebelum Masehi). Ide kosmopolitan berpijak pada istilah “polis” yang artinya kota dan “cosmo” bermakna seluruh belahan dunia. Cynic Diogene merupakan pencetus kosmopolitanisme yang mengumandangkan “I am the citizen of the world” yang pada akhirnya berkembang pesat sampai masa Pencerahan bahkan era globalisasi abad 20 ini. (Cynics, 1990)
Pada umumnya, area kosmopolitan hanya bisa dijangkau oleh kelompok atau komunitas berkelas tinggi. Ukuran mikro kosmo terlihat dari tiga kota kosmopolitan terbesar di dunia, yakni: Paris, London, dan New York. Parameter yang mengakui kesahihan kosmopolitan mereka berasal dari: kekuasaan politik, media, masyarakat edukatif (banyak ilmuwan ternama), ekonomi dan keuangan, serta kesenian. (slide madam Anne) Tidak bisa dipungkiri bahwa kota Paris sangat terkenal dengan sebutan kota mode, yang mampu memberikan nuansa hedonis mengenai fashion artistik.Selain itu, Paris juga diakui masyarakat dunia sebagai salah kota global terbesar di dunia, dibuktikkan dengan kehadiran 30 juta turis per tahunnya.
Sedangkan London merupakan kumpulan berbagai komunitas bangsa di seluruh dunia. Adanya Oxford University, Cambridge University, London School of Economics mampu mencengangkan komunitas global dalam meraih cita-cita akademis yang spektakuler. Greenwich, salah satu daerah di London, juga termasuk pusat penghitungan waktu dunia. Sejak zaman revolusi industri hingga dekolonisasi, kota London merupakan urat nadi perkembangan ekonomi dan teknologi mutakhir.
Lain halnya dengan New York, kota yang menjadi pintu gerbang para imigran ini menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum traveler. Casino menjadi magnet pebisnis dari berbagai negara yang ingin menggelembungkan aset mereka. Berbagai film menarik dari Hollywood pun telah mengangkat kebesaran kota New York sebagai kota multikultural. Tak hanya itu, CNN menjadi pesaing keras bagi British Broadcasting Company (BBC) maupun Agence France Press (AFP).
Hyper Mobile Planet: Stigma Hotel, Transportasi, dan Masyarakat Kosmopolit
Ruang lingkup kosmopolitanisme tidak hanya tersudutkan pada sebuah kota indah nan megah. Mobilitas individu dan perubahan strukturlah yang menjadi sensor motorik ideologi kosmopolitanisme. Semakin berkembangnya zaman, semakin cepat pula peradaban masyarakat dan stuktur yang mempengaruhinya. Hyper mobile planet merupakan istilah khas yang terafiliasi dengan kosmopolitanisme oleh karena adanya daya aktualisasi dan mobilisasi yang berlebihan dari seorang individu. Migrasi yang terjadi secara masif, akumulasi kapital, asimilasi budaya, serta kecanggihan teknologi informasi dan prediksi moneter secara fluktuatif turut menbentuk sistem kosmopolitan tersendiri bagi dunia perhotelan, transportasi, dan profesi.
Hotel Sheraton, Hilton, serta Accor Group dapat dikategorikan sebagai hotel kosmopolit, karena banyaknya cabang hotel yang tersebar di ratusan negara, sistem manajemen interaktif (perpaduan tenaga kerja lokal dan tenaga kerja asing), adanya fasilitas ‘mobile tourism resort’ yang berstandard internasional, serta kualitas tinggi pelayanan terhadap para tamu yang datang. Kriteria tersebut dapat dikatakan sebagai indikasi utama dalam memasarkan kosmopolitanisme perhotelan.
Berbeda dengan transportasi, sistem mobilitas ini sangat bergantung pada perkembangan alat angkutan. Sejak PBB mendeklarasikan Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1948, salah satu butir yang berkaitan dengan sistem transportasi ialah freedom of movement. Pergerakan dan aktivitas manusia tidak terbatas dan didukung dengan adanya pesawat terbang, kereta api, mobil, sepeda, kapal pesiar, dsb. Dengan adanya pesawat terbang atau turbo jet, maka perjalanan jarak jauh terasa lebih mudah dilakukan. Maskapai penerbangan pun memiliki brand tersendiri yang mampu menanamkan nilai keragaman yang menjadi satu (united indiversity).
Profesi kosmopolit sendiri dipengaruhi oleh multikuturalisme identitas. Oleh karena itu, etika dan moral perlu dipelihara secara profesional agar universalisme tetap terjaga. Mayoritas aktor yang identik dengan kosmopolitanisme ialah para diplomat, artis, atlit, dan pelaku bisnis. Alasan utama yang mendasari yaitu adanya loyalitas penuh dalam menciptakan komunitas dunia yang damai, kegemaran menjelajah dan mempelajari beragam budaya, keterbukaan sikap dalam memahami sudat pandang tertentu. (Martha Nussbaum, 1996) Sayangnya, predikat orang kosmopolit hanya diraih oleh sekelompok orang tertentu di mana memiliki kapasitas ekonomi yang baik, profil tinggi, gaya hidup mewah, tuntutan berbahasa asing yang majemuk, dan jaringan global. Dengan kata lain, masyarakat kelas bawah (budak ataupun buruh) sulit sekali mencapai gelar ”kosmopolit”.
OPINI PRIBADI
Dalam memahami kosmopolitanisme secara komprehensif, terdapat kata kunci yang harus diperhatikan, antara lain: etika moral, toleransi terhadap perbedaan atau keberagaman, dan kebersamaan. Berangkat dari ide dasar liberalisme yang tertuang dalam karya Emmanuel Kant Prepetual Peace, kosmopolitanisme dipandang sebagai pedoman hidup dalam menyatukan seluruh masyarakat dunia dengan menjunjung tinggi perdamaian abadi. Namun, konteks idealis ini masih bersifat utopia dan jauh dari kenyataan. Ketika Will Kymlicka berpendapat bahwa multikulturalisme terdapat dalam sistem kosmopolitan yang interaktif, tatanan keadilan pun semakin kabur (bias).
Menurut Benhabib (2006), ada tiga tantangan besar yang harus dihadapi kaum kosmopolit. Pertama, tercipta masyarakat yang nonagregatif (tidak berbaur) layaknya salad di dalam mangkuk. Keberagaman yang ada bersifat semu dan tidak menunjukkan relasi yang dinamis di antara mereka. Kedua, jurang pemisah antara hak asasi manusia dengan kultur partikularistik dan indetitas nasional yang terlegitimasi oleh sistem demokrasi. Artinya, konflik antara kepentingan politis sistem demokrasi masih belum bisa memfasilitasi kebutuhan individu dan persatuan budaya. Ketiga, terbentuknya homogenisasi kultur. Westernisasi atau pencontohan budaya Barat ke berbagai negara merupakan realitas yang tidak dapat terhindarkan. Setiap orang pasti bersahabat dengan makanan Mc Donald, Coca Cola, musik pop, dsb.
Saya berkesimpulan bahwa migrasi yang dilakukan masyarakat modern saat ini belum mampu mewujudkan konsep kosmopolitanisme yang sebenarnya. Seperempat dari jumlah anak-anak di dunia yang berumur antara lima sampai empatbelas tahun, 250 juta secara keseluruhan harus bekerja di luar rumah untuk mendapatkan upah, seringkali harus mengalami kondisi yang sangat sulit, baik dalam pertanian, konstruksi, tekstile, atau produksi karpet, misalnya, atau sebagai tentara, pekerja seks, atau pembantu rumah tangga (World Bank, 1999). Dengan adanya data statistik tersebut serta tantangan Benhabib, maka kosmopolitanisme perlu membentuk kode etik baru yang memadai dan diterima oleh seluruh masyarakat dunia. Selain itu, esensi multikulturalisme idealis dapat terminimalisir dengan adanya reformasi struktural (ada otonomi negara yang diikat secara institusional) mengenai multikulturalisme dan interaksi masyarakat global.
REFERENSI:
Benhabib,Seyla et al. 2006. Another Cosmopolitanism.Robert Post ed.Oxford: Oxford University Press. page 16
Cynics. 1990. In Socratis et Socraticorum Reliquiae, Ed. G. Giannantoni, vol. 2. Naples: Bibliopolis
Nussbaum, Martha. 1996. “Patriotism and Cosmopolitanism,” in For Love of Country: Debating the Limits of Patriotism, ed. Joshua Cohen. Beacon Press: Boston.
World Bank, World Development Report 1999/2000, New York, Oxford University Press, juga tersedia dalam http://www.worldbank.org/wdr/2000/fullreport.htm.
Selasa, Maret 30, 2010
KEAMANAN: SINERGI KONTEMPORER ANTARA LINGKUNGAN DAN MANUSIA
JURNAL THI XII, 10 Juni 2009
KEAMANAN: SINERGI KONTEMPORER ANTARA LINGKUNGAN DAN MANUSIA
Gracia Paramitha, 070710415
Konsep keamanan yang ada saat ini tidak lagi menjelaskan konsep tradisional, tapi lebih kontemporer dan kompleks. Keamanan yang dulunya bersifat militerisme, telah mendapat perluasan makna menjadi keamanan manusia (human security) dan keamanan lingkungan (environmental security). Keterkaitan manusia dengan lingkungan sangat penting dalam menciptakan keamanan dan perdamaian dunia. Tentunya, kedua elemen tersebut harus dapat dimasukkan ke dalam pembuat kebijakan dan kekuasaan antar negara yang biasa disebut green politics. Politik hijau muncul dan berkembang dalam teori hubungan internasional tidak hanya menjadi ‘pajangan’ belaka, tetapi juga harus dimaksimalkan potensinya, mengingat bahwa krisis global yang terjadi saat ini berdampak buruk bagi ketahanan lingkungan. Pertanyaan besar yang menjadi acuan essay ini adalah sejauh mana isu keamanan lingkungan dan manusia ini berkembang di dalam studi hubungan internasional? Bagaimana sistem internasional mempengaruhi politik lingkungan di setiap negara? Mengapa keamanan lingkungan bersinergi dengan ketahanan lingkungan hidup?
Konsep Human Security dan Perkembangannya
Pasca perang dingin, human security lahir dalam perluasan konsep dari kemanan militer, diperkuat oleh gelombang globalisasi yang melahirkan arus balik karena beberapa efek negatifnya terhadap negara-negara lemah, kelompok, dan individu tertentu. Upaya memperjuangkan human security merupakan reaksi terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang melanda dunia saat ini, mulai dari pengungsi akibat konflik dan kekerasan fisik, penjualan anak-anak dan wanita, masalah pangan, terorisme, perdagangan senjata ilegal, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya. Tokoh-tokoh yang telah mempopulerkan konsep tersebut adalah Caroline Thomas, Sorensen, J.T. Matthew, Norman Myers, Neville Brown.
Namun, gagasan mengenai human security sebenarnya membangkitkan kembali definisi keamanan dan bagaimana cara mendapatkan keamanan itu. Tiga kontroversi yang masih diperdebatkan dala konsep keamanan manusia ialah : human security merupakan gagasan negara Barat dalam bungkus yang baru untuk menyebarkan kembali nilai HAM mereka; human security bukanlah hal baru melainkan konsep yang secara luas mencakup isu nonmiliter; definisi dan upaya mencapai human security tiap negara berbeda karena disparitas sudut pandang dan pengalaman. (Edy Prasetyono : 2003)
Menurut UNDP, definisi human security ialah : “first, safety from such chronic threats such as hunger, disease, and repression. And, second, ...protection from sudden and hurtful disruptions in the patterns of daily life --- whether in homes, in jobs or in communities”. (United Nations Development Programme 1994: Human Development Report) Dengan kata lain, konsep yang mencakup “freedom from fear and freedom from want” ini menandai pergeseran hubungan internasional: perubahan norma tentang hubungan antara kedaulatan negara dan hak azasi manusia yang kemudian melahirkan konsep Responsibility to Protect. Sementara itu, Kanada mengkritik konsep human security UNDP yang mengabaikan “human insecurity resulting from violent conflict”. Kanada menganggap bahwa keamanan manusia secara doktrinal harus berdasarkan pada Piagam PBB, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, dan Konvensi Jenewa.
Terlepas dari perdebatan tersebut, hal yang harus ditekankan dalam konsep human security ialah aspek politik dan operasional yang biasa disebut dengan degree of human agency dan control. Arti dari human agency and control yaitu pencegahan aksi kekerasan yang mungkin dilakukan oleh berbagai aktor terhadap manusia, mungkin negara, kelompok, individu-individu, dan sebagainya. Implementasi dari konsep human security sudah dilakukan ketika kasus Gerakan Aceh Merdeka terjadi. Pentingnya penerapan human security dan peace building dalam kasus Aceh dilatarbelakangi oleh : respon pemerintah menggunakan kekuatan militer berlebihan dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) terhadap gerakan milisi di Aceh telah terbukti gagal dalam menyelesaikan konflik dan perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM); pengiriman kekuatan militer yang berlebihan dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) tersebut telah menyebabkan timbulnya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pihak militer terhadap masyarakat Aceh.
Semangat Politik Hijau dalam Menjaga Stabilitas Environmental Security
Sejarah yang menjelaskan tentang lingkungan hidup sebenarnya telah diwariskan sejak abad 12. Hal ini dibuktikkan dengan kasus penebangan kayu hutan Babilonia, Yunani, dan Italia ketika peradaban manusia baru berkembang serta adanya konservasi minyak di Mediterania dan peradaban Cina. (Hughes: 1975) Filsuf yang berkontribusi terhadap konsep-konsep lingkungan hidup bernama Rosseau dari Prancis dan Henry David Thoreau dari Amerika. Mereka mulai menggencarkan aspek lingkungan hidup pada masa pencerahan, yang pada akhirnya memunculkan istilah green politics.
Green politics sendiri bermakna ideologi politis, yang sangat kental dengan nuansa ekologis, kelestarian lingkungan hidup, dan demokrasi partisipatoris. Konsep green politics mulai dibangun dalam bentuk gerakan konservatif sejak lahrinya Sierra Club di San Fransisco, tahun 1892. Klub tersebut menitikberatkan pada upaya-upaya konservasi dan preservasi alam. Politik lingkungan juga tak terlepas dari gerakan environementalis dari Jerman, ditandai dengan berdirinya German Green Party (GGP) tahun 1980. Sebagai partai yang sangat atraktif pada masa itu, GGP yang bersimbol bunga matahari di benderanya memiliki 4 pilar prinsipil, yakni: Ecological wisdom, Social justice, Grassroots democracy, Nonviolence. (John Willey : 1995)
Kemunculan rezim lingkungan internasional ditandai oleh pelaksanaan Stockholm Conference pada tahun 1972. Dua puluh tahun kemudian isu lingkungan hidup kembali dengan adanya konferensi di Rio de Janeiro tahun 1992, membahas tentang kemerosotan lingkungan hidup karena pembangunan yang tidak berkelanjutan. Hasil keputusan sidang tersebut bernama ‘Agenda 21’, menghasilkan kesepakatan berupa rencana tindak kegiatan yang disepakati dunia untuk memecahkan lingkungan dan pembangunan. Sejak saat itu pula, konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) berkembang secara pesat, di Indonesia sendiri dipopulerkan oleh Prof. Emil Salim.
Pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi. (Emil Salim : 2003)
Pendekatan green politics terdiri dari dua bagian utama, yakni : ecocentrism dan anthropocentrism. Ekosentrisme dikemukakan oleh Aldo Leopold, berfokus pada komunitas biotik sebagai satu keseluruhan biosfer dan stabilitas komposisi ekologis. Land ethic dan good environmental management telah menjadi kunci utama dalam pandangan filosofis ini. (Leopold : 1949) Ekosentrisme juga sering disebut life-centered, atau deep ecology system. Sedangkan antroposentrisme dikemukakan oleh Arn Naess, yang berfokus pada kewajiban moral manusia untuk menghargai alam karena didasarkan atas kewajiban untuk menghargai sesama sebagai manusia. (Naess:1984) Konsep antroposentris juga biasa disebut dengan human-centered. Dua perspektif tersebut termasuk dalam teori etika lingkungan hidup, yang diartikan sebagai sebuah usaha untuk membangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip-prinsip moral yang dapat dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem alam dan lingkungan sekitarnya. (Taylor: 1999)
Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi isu utama bagi kelestarian lingkungan hidup. Dampak yang terjadi pun meluas sampai ke permasalahan krisis energi, krisis pangan, tentunya juga degradasi lingkungan. Sejak dicanangkannya Protokol Kyoto tahun 1997, Amerika Serikat termasuk negara penentang dan tidak meratifikasi kesepakatan tersebut. AS merasa dirugikan dengan adanya usulan mereduksi emisi karbon dioksida sebesar 30%-50%, perusahaan domestik pun akan bangkrut. Sebaliknya, AS menuduh negara berkembang yang tidak memiliki manajemen sampah yang baik, sehingga menghasilkan gas metana (gas paling berbahaya bagi kerusakan ozon, di atas C02). Titik penyebab utama permasalahan tersebut adalah dominasi penggunaan perspektif antroposentrisme dalam melestarikan lingkungan hidup. Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan United Nations Framework on Climate Change Conference 2007 telah menganjurkan adanya preferensi ekosentrisme sebagai strategi kebijakan nasional setiap negara. Implementasi green politics dalam menstabilkan environmental security tidak harus dari kalangan birokrat, tetapi semua lapisan bertanggung jawab atasnya. Sebagai generasi muda, sudah sepatutnya melestarikan lingkungan hidup dimulai sejak dini dan dari lingkup paling kecil (keluarga).
Lingkungan hidup memang menjadi isu area utama ketiga setelah keamanan internasional dan ekonomi global. (Porter dan Brown : 1996) Meskipun cenderung bersifat low political issues, lingkungan hidup dan intervensi humanisme mampu membawa pengaruh besar bagi sistem hubungan internasional. Pembuat kebijakan dan pengambil keputusan senantiasa memprioritaskan unsur sosial humanis dan keamanan bersama (collective security) di atas kepentingan yang hanya bersifat power politics. Salah satu cara paling sederhana untuk menjaga kelestarian lingkungna hidup ialah sosialisasi penghematan energi dan penerapan hemat listrik dan air di rumah, membuang sampah di tempatnya, dan melakukan penghijauan satu jiwa satu pohon (minimal). Keamanan internasional telah mengkorelasi aspek humanisme (manusia) dan ekologis (lingkungan) secara komprehensifdan sinergis. Semakin intensif kebijakan tersebut berlaku di sektor domestik, semakin cepat perdamaian keberlanjutan tercapai.
REFERENSI :
Buku
Banyu, Anak Agung Perwita dan Yanyan Mochamad Yani. Pengantar Ilmu HubunganInternasional. 2006. Bandung : PT Remaja ROSDAKARYA. hal 144
Jackson, Robert dan Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. 2005. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. hal 322-328
Mc Cormick, John. The Global Environmental Movement. 1995. London
Salim, Emil. “Membangun Paradigma Pembangunan” dalam makalah Peluncuran Buku dan
Forum Diskusi Mengenai Hasil-Hasil dan Tindak Lanjut KTT Pembangunan Berkelanjutan. 2003. Jakarta
Taylor, Paul W. Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics. 1998 New Jersey : Princenton Press University:, page. 13
Internet
www.propatria.or.id/download/Paper%20Diskusi/human_security_ep.pdf , diakses tanggal 9 Juni 2009 www.thebreakthrough.org/images/Death_of_Environmentalism.pdf, diakses tanggal 9 Juni 2009
www.runet.edu/~wkovarik/envhist/ Diakses tanggal 9 Juni 2009
www.demosindonesia.org/pdf/Sasgart_Green%20Politics%20dan%20Gerakan%20Demokrasi.pdf, diakses tanggal 9 Juni 2009
www.humansecurityreport.info/HSR2005_PDF/What_is_HS.pdf, diakses tanggal 9 Juni 2009
www.akaldankehendak.com/?p=59, diakses tanggal 9 Juni 2009
KEAMANAN: SINERGI KONTEMPORER ANTARA LINGKUNGAN DAN MANUSIA
Gracia Paramitha, 070710415
Konsep keamanan yang ada saat ini tidak lagi menjelaskan konsep tradisional, tapi lebih kontemporer dan kompleks. Keamanan yang dulunya bersifat militerisme, telah mendapat perluasan makna menjadi keamanan manusia (human security) dan keamanan lingkungan (environmental security). Keterkaitan manusia dengan lingkungan sangat penting dalam menciptakan keamanan dan perdamaian dunia. Tentunya, kedua elemen tersebut harus dapat dimasukkan ke dalam pembuat kebijakan dan kekuasaan antar negara yang biasa disebut green politics. Politik hijau muncul dan berkembang dalam teori hubungan internasional tidak hanya menjadi ‘pajangan’ belaka, tetapi juga harus dimaksimalkan potensinya, mengingat bahwa krisis global yang terjadi saat ini berdampak buruk bagi ketahanan lingkungan. Pertanyaan besar yang menjadi acuan essay ini adalah sejauh mana isu keamanan lingkungan dan manusia ini berkembang di dalam studi hubungan internasional? Bagaimana sistem internasional mempengaruhi politik lingkungan di setiap negara? Mengapa keamanan lingkungan bersinergi dengan ketahanan lingkungan hidup?
Konsep Human Security dan Perkembangannya
Pasca perang dingin, human security lahir dalam perluasan konsep dari kemanan militer, diperkuat oleh gelombang globalisasi yang melahirkan arus balik karena beberapa efek negatifnya terhadap negara-negara lemah, kelompok, dan individu tertentu. Upaya memperjuangkan human security merupakan reaksi terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang melanda dunia saat ini, mulai dari pengungsi akibat konflik dan kekerasan fisik, penjualan anak-anak dan wanita, masalah pangan, terorisme, perdagangan senjata ilegal, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya. Tokoh-tokoh yang telah mempopulerkan konsep tersebut adalah Caroline Thomas, Sorensen, J.T. Matthew, Norman Myers, Neville Brown.
Namun, gagasan mengenai human security sebenarnya membangkitkan kembali definisi keamanan dan bagaimana cara mendapatkan keamanan itu. Tiga kontroversi yang masih diperdebatkan dala konsep keamanan manusia ialah : human security merupakan gagasan negara Barat dalam bungkus yang baru untuk menyebarkan kembali nilai HAM mereka; human security bukanlah hal baru melainkan konsep yang secara luas mencakup isu nonmiliter; definisi dan upaya mencapai human security tiap negara berbeda karena disparitas sudut pandang dan pengalaman. (Edy Prasetyono : 2003)
Menurut UNDP, definisi human security ialah : “first, safety from such chronic threats such as hunger, disease, and repression. And, second, ...protection from sudden and hurtful disruptions in the patterns of daily life --- whether in homes, in jobs or in communities”. (United Nations Development Programme 1994: Human Development Report) Dengan kata lain, konsep yang mencakup “freedom from fear and freedom from want” ini menandai pergeseran hubungan internasional: perubahan norma tentang hubungan antara kedaulatan negara dan hak azasi manusia yang kemudian melahirkan konsep Responsibility to Protect. Sementara itu, Kanada mengkritik konsep human security UNDP yang mengabaikan “human insecurity resulting from violent conflict”. Kanada menganggap bahwa keamanan manusia secara doktrinal harus berdasarkan pada Piagam PBB, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, dan Konvensi Jenewa.
Terlepas dari perdebatan tersebut, hal yang harus ditekankan dalam konsep human security ialah aspek politik dan operasional yang biasa disebut dengan degree of human agency dan control. Arti dari human agency and control yaitu pencegahan aksi kekerasan yang mungkin dilakukan oleh berbagai aktor terhadap manusia, mungkin negara, kelompok, individu-individu, dan sebagainya. Implementasi dari konsep human security sudah dilakukan ketika kasus Gerakan Aceh Merdeka terjadi. Pentingnya penerapan human security dan peace building dalam kasus Aceh dilatarbelakangi oleh : respon pemerintah menggunakan kekuatan militer berlebihan dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) terhadap gerakan milisi di Aceh telah terbukti gagal dalam menyelesaikan konflik dan perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM); pengiriman kekuatan militer yang berlebihan dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) tersebut telah menyebabkan timbulnya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pihak militer terhadap masyarakat Aceh.
Semangat Politik Hijau dalam Menjaga Stabilitas Environmental Security
Sejarah yang menjelaskan tentang lingkungan hidup sebenarnya telah diwariskan sejak abad 12. Hal ini dibuktikkan dengan kasus penebangan kayu hutan Babilonia, Yunani, dan Italia ketika peradaban manusia baru berkembang serta adanya konservasi minyak di Mediterania dan peradaban Cina. (Hughes: 1975) Filsuf yang berkontribusi terhadap konsep-konsep lingkungan hidup bernama Rosseau dari Prancis dan Henry David Thoreau dari Amerika. Mereka mulai menggencarkan aspek lingkungan hidup pada masa pencerahan, yang pada akhirnya memunculkan istilah green politics.
Green politics sendiri bermakna ideologi politis, yang sangat kental dengan nuansa ekologis, kelestarian lingkungan hidup, dan demokrasi partisipatoris. Konsep green politics mulai dibangun dalam bentuk gerakan konservatif sejak lahrinya Sierra Club di San Fransisco, tahun 1892. Klub tersebut menitikberatkan pada upaya-upaya konservasi dan preservasi alam. Politik lingkungan juga tak terlepas dari gerakan environementalis dari Jerman, ditandai dengan berdirinya German Green Party (GGP) tahun 1980. Sebagai partai yang sangat atraktif pada masa itu, GGP yang bersimbol bunga matahari di benderanya memiliki 4 pilar prinsipil, yakni: Ecological wisdom, Social justice, Grassroots democracy, Nonviolence. (John Willey : 1995)
Kemunculan rezim lingkungan internasional ditandai oleh pelaksanaan Stockholm Conference pada tahun 1972. Dua puluh tahun kemudian isu lingkungan hidup kembali dengan adanya konferensi di Rio de Janeiro tahun 1992, membahas tentang kemerosotan lingkungan hidup karena pembangunan yang tidak berkelanjutan. Hasil keputusan sidang tersebut bernama ‘Agenda 21’, menghasilkan kesepakatan berupa rencana tindak kegiatan yang disepakati dunia untuk memecahkan lingkungan dan pembangunan. Sejak saat itu pula, konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) berkembang secara pesat, di Indonesia sendiri dipopulerkan oleh Prof. Emil Salim.
Pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi. (Emil Salim : 2003)
Pendekatan green politics terdiri dari dua bagian utama, yakni : ecocentrism dan anthropocentrism. Ekosentrisme dikemukakan oleh Aldo Leopold, berfokus pada komunitas biotik sebagai satu keseluruhan biosfer dan stabilitas komposisi ekologis. Land ethic dan good environmental management telah menjadi kunci utama dalam pandangan filosofis ini. (Leopold : 1949) Ekosentrisme juga sering disebut life-centered, atau deep ecology system. Sedangkan antroposentrisme dikemukakan oleh Arn Naess, yang berfokus pada kewajiban moral manusia untuk menghargai alam karena didasarkan atas kewajiban untuk menghargai sesama sebagai manusia. (Naess:1984) Konsep antroposentris juga biasa disebut dengan human-centered. Dua perspektif tersebut termasuk dalam teori etika lingkungan hidup, yang diartikan sebagai sebuah usaha untuk membangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip-prinsip moral yang dapat dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem alam dan lingkungan sekitarnya. (Taylor: 1999)
Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi isu utama bagi kelestarian lingkungan hidup. Dampak yang terjadi pun meluas sampai ke permasalahan krisis energi, krisis pangan, tentunya juga degradasi lingkungan. Sejak dicanangkannya Protokol Kyoto tahun 1997, Amerika Serikat termasuk negara penentang dan tidak meratifikasi kesepakatan tersebut. AS merasa dirugikan dengan adanya usulan mereduksi emisi karbon dioksida sebesar 30%-50%, perusahaan domestik pun akan bangkrut. Sebaliknya, AS menuduh negara berkembang yang tidak memiliki manajemen sampah yang baik, sehingga menghasilkan gas metana (gas paling berbahaya bagi kerusakan ozon, di atas C02). Titik penyebab utama permasalahan tersebut adalah dominasi penggunaan perspektif antroposentrisme dalam melestarikan lingkungan hidup. Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan United Nations Framework on Climate Change Conference 2007 telah menganjurkan adanya preferensi ekosentrisme sebagai strategi kebijakan nasional setiap negara. Implementasi green politics dalam menstabilkan environmental security tidak harus dari kalangan birokrat, tetapi semua lapisan bertanggung jawab atasnya. Sebagai generasi muda, sudah sepatutnya melestarikan lingkungan hidup dimulai sejak dini dan dari lingkup paling kecil (keluarga).
Lingkungan hidup memang menjadi isu area utama ketiga setelah keamanan internasional dan ekonomi global. (Porter dan Brown : 1996) Meskipun cenderung bersifat low political issues, lingkungan hidup dan intervensi humanisme mampu membawa pengaruh besar bagi sistem hubungan internasional. Pembuat kebijakan dan pengambil keputusan senantiasa memprioritaskan unsur sosial humanis dan keamanan bersama (collective security) di atas kepentingan yang hanya bersifat power politics. Salah satu cara paling sederhana untuk menjaga kelestarian lingkungna hidup ialah sosialisasi penghematan energi dan penerapan hemat listrik dan air di rumah, membuang sampah di tempatnya, dan melakukan penghijauan satu jiwa satu pohon (minimal). Keamanan internasional telah mengkorelasi aspek humanisme (manusia) dan ekologis (lingkungan) secara komprehensifdan sinergis. Semakin intensif kebijakan tersebut berlaku di sektor domestik, semakin cepat perdamaian keberlanjutan tercapai.
REFERENSI :
Buku
Banyu, Anak Agung Perwita dan Yanyan Mochamad Yani. Pengantar Ilmu HubunganInternasional. 2006. Bandung : PT Remaja ROSDAKARYA. hal 144
Jackson, Robert dan Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. 2005. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. hal 322-328
Mc Cormick, John. The Global Environmental Movement. 1995. London
Salim, Emil. “Membangun Paradigma Pembangunan” dalam makalah Peluncuran Buku dan
Forum Diskusi Mengenai Hasil-Hasil dan Tindak Lanjut KTT Pembangunan Berkelanjutan. 2003. Jakarta
Taylor, Paul W. Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics. 1998 New Jersey : Princenton Press University:, page. 13
Internet
www.propatria.or.id/download/Paper%20Diskusi/human_security_ep.pdf , diakses tanggal 9 Juni 2009 www.thebreakthrough.org/images/Death_of_Environmentalism.pdf, diakses tanggal 9 Juni 2009
www.runet.edu/~wkovarik/envhist/ Diakses tanggal 9 Juni 2009
www.demosindonesia.org/pdf/Sasgart_Green%20Politics%20dan%20Gerakan%20Demokrasi.pdf, diakses tanggal 9 Juni 2009
www.humansecurityreport.info/HSR2005_PDF/What_is_HS.pdf, diakses tanggal 9 Juni 2009
www.akaldankehendak.com/?p=59, diakses tanggal 9 Juni 2009
GERAK-GERIK FEMINISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
Jurnal THI XI, 3 Juni 2009
GERAK-GERIK FEMINISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
Gracia Paramitha, 070710415
Wanita merupakan mahkota terindah di dalam sebuah kehidupan. Ungkapan tersebut melekat dengan prinsip-prinsip yang tertera dalam feminisme. Berbicara mengenai feminisme Indonesia, tak lupa oleh kiprah R.A. Kartini yang berjuang kuat untuk memajukan emansipasi wanita. Tak mengherankan bila momen Kartini diabadikan dan dikenang setiap tanggal 21 April. Di era globalisasi seperti ini, peran dan kontribusi wanita mulai diperhitungkan secara intensif. Tanggal 12 Februari 2003 bisa jadi merupakan salah satu tonggak bersejarah bagi perkembangan feminisme di Indonesia, karena Sidang Paripurna DPR berhasil mengesahkan RUU Pemilu terkait kuota 30% bagi perempuan dalam Dewan Perwakilan tingkat II hingga pada tingkat pusat.(al-Wa’ie,1-30/04/2003) Dengan adanya tindakan semacam ini, feminisme telah menjadi wadah emansipatoris dan mampu menunjukkan sentuhan pluralitas baru di dalam studi hubungan internasional. Tentunya, feminisme memiliki harapan terbaik bagi perdamaian dunia, yang dapat diterapkan melalui berbagai kerjasama. Seperti apa perkembangan teori feminisme dalam studi hubungan internasional? Mengapa feminisme mampu menjadi ‘sensor motorik’ bagi perkembangan negara dalam dunia internasional?
Overview Feminisme
Kajian feminisme terkandung dalam filsafat humaniora dan mencerminkan sifat dasar seorang wanita. Lahirnya gerakan feminisme berawal dari era Pencerahan yang dicetus oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan perempuan dalam forum ilmiah pertama kali diadakan di Middleburg, kota selatan Belanda, pada tahun 1785. menjelang abad 19, mulai banyak kaum hawa Eropa yang memperjuangkan hak-haknya dalam berbagai bidang, yang memegang prinsip visioner : universal sisterhood.
Gerakan feminisme dipelopori oleh aktivis sosial utopis yang bernama Charles Fourier pada tahun 1837. Tak hanya orang Eropa, feminisme dipublikasikan dengan pesat di Amerika karena hasil pemikiran konstruktif John Stuart Mill dalam tulisannya Subject of Women (1869). Feminisme sendiri didefinisikan sebagai gerakan emansipatoris dari kaum wanita yang berusaha memperjuangkan keadilan HAM, baik dalam berpolitik, melakukan kegiatan ekonomi, maupun berprofesi di bidang pertahanan dan keamanan. Derajat dan martabat wanita setidaknya mendapat kedudukan yang sama, termasuk menjadi seorang pemimpin dalam sebuah komunitas kelompok.(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0407/24/pustaka/1165409.htm, diakses tanggal 2 Juni 2009) Wanita mampu menjadi subyek terhadap aspek kehidupan yang dikerjakan, bukan sebagai obyek statis belaka.
Feminisme mulai masuk dalam ranah hubungan internasional sejak tahun 1900an, dalam beberapa pertemuan atau konferensi di Amerika Serikat dan Inggris. Pada tahun 1988, sebuah makalah dipublikasikan oleh London School of Economics yang berjudul Gender and International Relations. Tulisan tersebut diedit oleh Rebecca Grant dan Kathleen Newland, tokoh revolusioner yang membawa studi feminisme ke dalam kerangka teoritik hubungan internasional.(J. Ann Ticker, 2002 : 277) Rebecca Grant menyatakan pula bahwa teori feminis mulai masuk dalam studi hubungan internasional pada abad 20, sejak akhir Perang Dunia I dan berhasilnya gerakan wanita dalam memberikan suara melalui hak pilih Pemilihan Umum di AS dan Inggris. (Goal utama yang dicapai kaum feminis berkaitan erat dengan tatanan sosial, yang sensitif terhadap diskriminasi, penindasan, dan ketidaksetaraan gender secara represif. Sebagai salah satu pendekatan mutakhir di hubungan internasional, teoritisi feminisme memprioritaskan studi gender yang selama ini bersifat marginal. Hierarkhi wanita dan dan ‘negara bergender’dalam feminisme saat ini benar-benar mendapat pengakuan proporsional dalam politik dunia.
Asumsi yang mendasari feminisme ialah adanya perlakuan diskriminatif dan marginalitas kaum wanita dalam menentukan langkah hidupnya. Bahkan, hak asasi wanita tidak sebanding dengan lelaki, kaum lelaki seringkali mendapat posisi tertinggi dan diunggulkan dalam setiap bidang. Dengan adanya teori feminisme di dalam studi hubungan internasional, kedudukan komparatif gender dapat berjalan dinamis dalam heterogenitas aspek seperti : perbandingan kelas atau strata, kelas, etnis, nasionalisme, seksualitas, dan menyatu dengan struktur global. (J.Ann Ticker, 2002 : 278)
Gerakan Emansipatoris Feminisme : Kerangka Politis?
Ketika teori feminisme memasuki ranah hubungan internasional, konsep emansipatoris pun mewakili kiprah dan gerakan kritisnya tentang politik dunia. Bila kaum realisme selalu menjunjung tinggi konsep negara dan “lelaki”, feminisme justru melepas belenggu formal tersebut dengan bersikap skeptis dan menunjukkan kontribusi wanita dalam membahas politik. Tindakan nyata dalam mengimplementasikan gerakan feminisme ialah demonstrasi progresif dari kaum wanita Eropa dan Amerika untuk mendapat hak suara dalam lembaga pemerintah, perjuangan R. A. Kartini hingga terpilihnya Presiden Megawati sebagai presiden wanita pertama di Indonesia. (http://id.shvoong.com/social-sciences/1697021-sejarah-dan-emansipasi-politik/ - 66k -, diakses tanggal 2 Juni 2009)
Selama ini, kerangka konseptual feminisme sulit mendapat pengakuan pantas dalam studi hubungan internasional karena adanya sistem patriarki yang mutlak diunggulkan. Kekuasaan, kedaulatan, otonomi, keamanan, dan anarki yang selalu ditujukan pada peran statemen belum cukup berhasil menciptakan stabilitas sistem internasional. R. B. Walker menyarankan bahwa teori hubungan internasional harus menjadi praktik politik konstituif, sistem internasional mampu bertransformasi menjadi masyarakat internasional yang lebih mengutamakan keadilan, legitimasi, kebebasan, dan komunitas. (Scoot Burchill, 2001)
Akan tetapi, yang menjadi kendala setelah feminisme mendapat ruang gerak dalam hubungan internasional adalah adanay kepentingan politis untuk ’memaksakan’ kehendak dalam menyetujui posisi efektif feminisme. Apakah teori feminisme dihasilkan dari kerangka politis para elite politik? Jika memang feminisme bergerak secara emansipatif, bagaimana langkah pemerintah sebuah negara dalam menentukan presentase gender dan membendung kepentingan politis statemen untuk meraih kekuasaan?
Feminisme : Pluralitas Aktor Hubungan Internasional
Gerakan pluralisme menjadi landasan krusial bagi studi internasional. Ketika realisme mengutamakan negara sebagai aktor utama hubungan internasional, pluralis bersikap skeptis dan menentang opini realis. Smith (dalam Vogler, 1996: 10) pun berpendapat bahwa pluralisme mengandung pengertian tentang pluralnya isu dalam lingkup hubungan internasional dimana para aktornya pun tidak hanya didominasi oleh negara yang bertujuan memperbesar kekuasaan mereka an sich. Dengan adanya teori feminisme, aktor yang berperan dalam hubungan internasional menjadi lebih variatif dan plural. Aktor tersebut tidak diukur berdasarkan negara dan non-negara saja, tetapi juga mempertimbangkan unsur gender dalam menentukan sikap politiknya. Apakah pria dan wanita mendapat pengakuan, kontribusi, dan apresiasi yang adil dalam membuat kebijakan? Sejauh mana peran mereka sebagai pengambil keputusan negara?
Pesona Gender dalam Membangun Perdamaian
Secara metodologis, paham feminisme ini menciptakan perdebatan tersendiri antara feminisme radikal, feminisme postmodernisme, feminisme sosial, dan jenis feminisme lainnya. Isu utama yang sangat kontradiktif dibahas adalah peran feminis dalam menjaga stabilitas perdamaian dan membentuk kerjasama yang sinergis antar negara. Terlepas dari perdebatan mereka, perdamaian dan kooperasi memang menjadi landasan darsar dalam memahami sistem anarki interansional yang didiidentikkan sebagai peperangan.
Dalam segi perdamaian, gerakan feminisme nyata terwujud dari salah satu gerakan wanita Amerika yang bernama Women’s Strike for Peace di awal 1960 . Gerakan ini memberikan perhatian pada saat peperangan ideologi AS berbenturan dengan ideologi komunisme Uni Soviet. Peran keibuan dari naluri seorang wanita diharapkan mampu memperkuat politik pembendungan senjata nuklir, yang seharusnya menuju stabilitas kooperatif dan integrasi sistem internasional. (J. Ann Ticker, 2002 : 285)
Sedangkan di dalam bentuk kooperasi, kontribusi feminisme dapat diimplementasikan ke dalam tindakan negosiasi atau diplomasi. Secara epistemologis, tindakan tersebut merupakan sikap utama kaum feminis dalam mendukung pandangan liberalisme yang berkaitan dengan kebebasan dan keadilan. Wanita yang secara biologis memiliki esensi psikologis dan emosi lebih dominan daripada lelaki justru mampu menumbuhkan politik etis dan moral yang baik bagi hubungan internasional yang berkelanjutan. Namun, yang perlu diwaspadai ialah intuisi emosional yang melebihi kepentingan nasional dalam bernegosiasi. . Ketika emosi substantif menjadi nilai strategis, motivasi dan kepercayaan sangat mempengaruhi tatanan kerjasama yang terbentuk. Nilai sosial humanis dan psikologis tak dapat terhidar dari strategi kebijakan kooperatif suatu negara. Contohnya saja : kebijakan Corazon Aquino di Filipina yang menjunjung tinggi etika moral dan falsafah feminisme dalam menciptakan hubungan diplomatik secara bilateral, multilateral serta regionalisme ASEAN. (Presentasi Asia Tenggara tentang Filipina, tanggal 30 April 2009)
REFERENSI :
Buku
1. Scott Burchill.2001. Theories of International Relations : Feminism. New York : Palgrave
2. Ticker, Aann.2002. Feminist Perspective on International Relations. London : SAGE Publications
Internet
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0407/24/pustaka/1165409.htm - 56k - , diakses tanggal 2 Juni 2009
http://id.shvoong.com/social-sciences/1697021-sejarah-dan-emansipasi-politik/ - 66k -, diakses tanggal 2 Juni 2009
http://www.ccde.or.id/index.php/bingaki-perempuan/53-perjuangan-emansipasi-perempuan-dalam-politik, diakses tanggal 2 Juni 2009
GERAK-GERIK FEMINISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
Gracia Paramitha, 070710415
Wanita merupakan mahkota terindah di dalam sebuah kehidupan. Ungkapan tersebut melekat dengan prinsip-prinsip yang tertera dalam feminisme. Berbicara mengenai feminisme Indonesia, tak lupa oleh kiprah R.A. Kartini yang berjuang kuat untuk memajukan emansipasi wanita. Tak mengherankan bila momen Kartini diabadikan dan dikenang setiap tanggal 21 April. Di era globalisasi seperti ini, peran dan kontribusi wanita mulai diperhitungkan secara intensif. Tanggal 12 Februari 2003 bisa jadi merupakan salah satu tonggak bersejarah bagi perkembangan feminisme di Indonesia, karena Sidang Paripurna DPR berhasil mengesahkan RUU Pemilu terkait kuota 30% bagi perempuan dalam Dewan Perwakilan tingkat II hingga pada tingkat pusat.(al-Wa’ie,1-30/04/2003) Dengan adanya tindakan semacam ini, feminisme telah menjadi wadah emansipatoris dan mampu menunjukkan sentuhan pluralitas baru di dalam studi hubungan internasional. Tentunya, feminisme memiliki harapan terbaik bagi perdamaian dunia, yang dapat diterapkan melalui berbagai kerjasama. Seperti apa perkembangan teori feminisme dalam studi hubungan internasional? Mengapa feminisme mampu menjadi ‘sensor motorik’ bagi perkembangan negara dalam dunia internasional?
Overview Feminisme
Kajian feminisme terkandung dalam filsafat humaniora dan mencerminkan sifat dasar seorang wanita. Lahirnya gerakan feminisme berawal dari era Pencerahan yang dicetus oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan perempuan dalam forum ilmiah pertama kali diadakan di Middleburg, kota selatan Belanda, pada tahun 1785. menjelang abad 19, mulai banyak kaum hawa Eropa yang memperjuangkan hak-haknya dalam berbagai bidang, yang memegang prinsip visioner : universal sisterhood.
Gerakan feminisme dipelopori oleh aktivis sosial utopis yang bernama Charles Fourier pada tahun 1837. Tak hanya orang Eropa, feminisme dipublikasikan dengan pesat di Amerika karena hasil pemikiran konstruktif John Stuart Mill dalam tulisannya Subject of Women (1869). Feminisme sendiri didefinisikan sebagai gerakan emansipatoris dari kaum wanita yang berusaha memperjuangkan keadilan HAM, baik dalam berpolitik, melakukan kegiatan ekonomi, maupun berprofesi di bidang pertahanan dan keamanan. Derajat dan martabat wanita setidaknya mendapat kedudukan yang sama, termasuk menjadi seorang pemimpin dalam sebuah komunitas kelompok.(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0407/24/pustaka/1165409.htm, diakses tanggal 2 Juni 2009) Wanita mampu menjadi subyek terhadap aspek kehidupan yang dikerjakan, bukan sebagai obyek statis belaka.
Feminisme mulai masuk dalam ranah hubungan internasional sejak tahun 1900an, dalam beberapa pertemuan atau konferensi di Amerika Serikat dan Inggris. Pada tahun 1988, sebuah makalah dipublikasikan oleh London School of Economics yang berjudul Gender and International Relations. Tulisan tersebut diedit oleh Rebecca Grant dan Kathleen Newland, tokoh revolusioner yang membawa studi feminisme ke dalam kerangka teoritik hubungan internasional.(J. Ann Ticker, 2002 : 277) Rebecca Grant menyatakan pula bahwa teori feminis mulai masuk dalam studi hubungan internasional pada abad 20, sejak akhir Perang Dunia I dan berhasilnya gerakan wanita dalam memberikan suara melalui hak pilih Pemilihan Umum di AS dan Inggris. (Goal utama yang dicapai kaum feminis berkaitan erat dengan tatanan sosial, yang sensitif terhadap diskriminasi, penindasan, dan ketidaksetaraan gender secara represif. Sebagai salah satu pendekatan mutakhir di hubungan internasional, teoritisi feminisme memprioritaskan studi gender yang selama ini bersifat marginal. Hierarkhi wanita dan dan ‘negara bergender’dalam feminisme saat ini benar-benar mendapat pengakuan proporsional dalam politik dunia.
Asumsi yang mendasari feminisme ialah adanya perlakuan diskriminatif dan marginalitas kaum wanita dalam menentukan langkah hidupnya. Bahkan, hak asasi wanita tidak sebanding dengan lelaki, kaum lelaki seringkali mendapat posisi tertinggi dan diunggulkan dalam setiap bidang. Dengan adanya teori feminisme di dalam studi hubungan internasional, kedudukan komparatif gender dapat berjalan dinamis dalam heterogenitas aspek seperti : perbandingan kelas atau strata, kelas, etnis, nasionalisme, seksualitas, dan menyatu dengan struktur global. (J.Ann Ticker, 2002 : 278)
Gerakan Emansipatoris Feminisme : Kerangka Politis?
Ketika teori feminisme memasuki ranah hubungan internasional, konsep emansipatoris pun mewakili kiprah dan gerakan kritisnya tentang politik dunia. Bila kaum realisme selalu menjunjung tinggi konsep negara dan “lelaki”, feminisme justru melepas belenggu formal tersebut dengan bersikap skeptis dan menunjukkan kontribusi wanita dalam membahas politik. Tindakan nyata dalam mengimplementasikan gerakan feminisme ialah demonstrasi progresif dari kaum wanita Eropa dan Amerika untuk mendapat hak suara dalam lembaga pemerintah, perjuangan R. A. Kartini hingga terpilihnya Presiden Megawati sebagai presiden wanita pertama di Indonesia. (http://id.shvoong.com/social-sciences/1697021-sejarah-dan-emansipasi-politik/ - 66k -, diakses tanggal 2 Juni 2009)
Selama ini, kerangka konseptual feminisme sulit mendapat pengakuan pantas dalam studi hubungan internasional karena adanya sistem patriarki yang mutlak diunggulkan. Kekuasaan, kedaulatan, otonomi, keamanan, dan anarki yang selalu ditujukan pada peran statemen belum cukup berhasil menciptakan stabilitas sistem internasional. R. B. Walker menyarankan bahwa teori hubungan internasional harus menjadi praktik politik konstituif, sistem internasional mampu bertransformasi menjadi masyarakat internasional yang lebih mengutamakan keadilan, legitimasi, kebebasan, dan komunitas. (Scoot Burchill, 2001)
Akan tetapi, yang menjadi kendala setelah feminisme mendapat ruang gerak dalam hubungan internasional adalah adanay kepentingan politis untuk ’memaksakan’ kehendak dalam menyetujui posisi efektif feminisme. Apakah teori feminisme dihasilkan dari kerangka politis para elite politik? Jika memang feminisme bergerak secara emansipatif, bagaimana langkah pemerintah sebuah negara dalam menentukan presentase gender dan membendung kepentingan politis statemen untuk meraih kekuasaan?
Feminisme : Pluralitas Aktor Hubungan Internasional
Gerakan pluralisme menjadi landasan krusial bagi studi internasional. Ketika realisme mengutamakan negara sebagai aktor utama hubungan internasional, pluralis bersikap skeptis dan menentang opini realis. Smith (dalam Vogler, 1996: 10) pun berpendapat bahwa pluralisme mengandung pengertian tentang pluralnya isu dalam lingkup hubungan internasional dimana para aktornya pun tidak hanya didominasi oleh negara yang bertujuan memperbesar kekuasaan mereka an sich. Dengan adanya teori feminisme, aktor yang berperan dalam hubungan internasional menjadi lebih variatif dan plural. Aktor tersebut tidak diukur berdasarkan negara dan non-negara saja, tetapi juga mempertimbangkan unsur gender dalam menentukan sikap politiknya. Apakah pria dan wanita mendapat pengakuan, kontribusi, dan apresiasi yang adil dalam membuat kebijakan? Sejauh mana peran mereka sebagai pengambil keputusan negara?
Pesona Gender dalam Membangun Perdamaian
Secara metodologis, paham feminisme ini menciptakan perdebatan tersendiri antara feminisme radikal, feminisme postmodernisme, feminisme sosial, dan jenis feminisme lainnya. Isu utama yang sangat kontradiktif dibahas adalah peran feminis dalam menjaga stabilitas perdamaian dan membentuk kerjasama yang sinergis antar negara. Terlepas dari perdebatan mereka, perdamaian dan kooperasi memang menjadi landasan darsar dalam memahami sistem anarki interansional yang didiidentikkan sebagai peperangan.
Dalam segi perdamaian, gerakan feminisme nyata terwujud dari salah satu gerakan wanita Amerika yang bernama Women’s Strike for Peace di awal 1960 . Gerakan ini memberikan perhatian pada saat peperangan ideologi AS berbenturan dengan ideologi komunisme Uni Soviet. Peran keibuan dari naluri seorang wanita diharapkan mampu memperkuat politik pembendungan senjata nuklir, yang seharusnya menuju stabilitas kooperatif dan integrasi sistem internasional. (J. Ann Ticker, 2002 : 285)
Sedangkan di dalam bentuk kooperasi, kontribusi feminisme dapat diimplementasikan ke dalam tindakan negosiasi atau diplomasi. Secara epistemologis, tindakan tersebut merupakan sikap utama kaum feminis dalam mendukung pandangan liberalisme yang berkaitan dengan kebebasan dan keadilan. Wanita yang secara biologis memiliki esensi psikologis dan emosi lebih dominan daripada lelaki justru mampu menumbuhkan politik etis dan moral yang baik bagi hubungan internasional yang berkelanjutan. Namun, yang perlu diwaspadai ialah intuisi emosional yang melebihi kepentingan nasional dalam bernegosiasi. . Ketika emosi substantif menjadi nilai strategis, motivasi dan kepercayaan sangat mempengaruhi tatanan kerjasama yang terbentuk. Nilai sosial humanis dan psikologis tak dapat terhidar dari strategi kebijakan kooperatif suatu negara. Contohnya saja : kebijakan Corazon Aquino di Filipina yang menjunjung tinggi etika moral dan falsafah feminisme dalam menciptakan hubungan diplomatik secara bilateral, multilateral serta regionalisme ASEAN. (Presentasi Asia Tenggara tentang Filipina, tanggal 30 April 2009)
REFERENSI :
Buku
1. Scott Burchill.2001. Theories of International Relations : Feminism. New York : Palgrave
2. Ticker, Aann.2002. Feminist Perspective on International Relations. London : SAGE Publications
Internet
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0407/24/pustaka/1165409.htm - 56k - , diakses tanggal 2 Juni 2009
http://id.shvoong.com/social-sciences/1697021-sejarah-dan-emansipasi-politik/ - 66k -, diakses tanggal 2 Juni 2009
http://www.ccde.or.id/index.php/bingaki-perempuan/53-perjuangan-emansipasi-perempuan-dalam-politik, diakses tanggal 2 Juni 2009
Langganan:
Postingan (Atom)