Selasa, Maret 30, 2010

Keterkaitan Power, Balance of Power, dan Hegemonic Stability

`Jurnal THI IV, 8 April 2009
Keterkaitan Power, Balance of Power, dan Hegemonic Stability
Oleh : Gracia Paramitha, 070710415

Berbicara tentang politik, selalu berhubungan erat dengan konsep yang bernama power. Sebagai bagian dari proses politik, power dianggap mampu membawa dampak yang begitu dahsyat bagi kehidupan suatu masyarakat. Namun, banyak permasalahan yang timbul dalam mendefinisikan power. Di antara sekian ilmuwan politik, tidak ditemukan titik kesepakatan sehingga konsep ini semakin bersifat kabur dan berkonotasi emosional. Yang paling krusial diperdebatkan adalah apakah power dipandang sebagai atribut perorangan , kelompok, atau negara-bangsa? Atau hanya dijadikan hubungan antara dua aktor politik yang memiliki keinginan untuk berbeda dan independen?
Secara harfiah, power bermakna kekuatan. Seiring dengan perkembangan politik, makna power mengalami perluasan, dari kekuasaan menjadi: pengaruh, persuasi, manipulasi, koersi, force, dan otoritas. Kekuasaan merupakan konsep kekuasaan yang juga berhubungan dengan perilaku. Menurut Robert Dahl (1957), A dikatakan memiliki kekuasaan atas B apabila A dapat mempengaruhi B untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendaki B.
Ada usaha menarik yang telah dilakukan untuk mengukur kemampuan atau kapabilitas dari konsep kekuasaan. Salah satu penstudi politik internasional yang bernama Ray S. Cline mampu mengemukakan metode efektif kekuasaan. Secara ilmiah, ia telah mengembangkan formula sederhana yang tidak bisa disebut sebagai pengukuran yang ”eksak” terhadap power, namun dapat dipertanggungjawabkan dalam kuantifikasi. Rumusan yang dibuat yaitu:
Pp = (C+E+M) x (S+W)
Keterangan :
Pp = Persepsi kekuatan, C = critical mass (populasi dan wilayah), E = Kapabilitas ekonomi,
M = Kapabilitas militer, S = Tujuan-tujuan strategis, W = keinginan untuk mencapai tujuan nasional.
Dalam rumus tersebut jelas bahwa Cline menempatkan nilai yang sangat penting pada unsur yang sulit diukur seperti “tujuan-tujuan strategis” dan keinginan untuk mencapai tujuan nasional. Cline mencotohkan seperti Amerika Serikat memperoleh nilai tinggi dalam kapabilitas ekonomi dan militer, namun Uni Soviet memiliki nilai tinggi di kemampuan mendefinisikan tujuan-tujuan strategisnya dan cara untuk mencapainya secara sistematis dan gigih.
Sebagai unit multidimensional, power memiliki lima dimensi utama, antara lain :
a. Scope (ruang lingkup)  adanya dimensi skup, Deustch ingin menunjukkan “kumpulan atau koleksi semua perilaku kelas-kelas tertentu, hubungan dan pergaulan yang secara efektif tunduk kepada power pemerintah”. Kumpulan tersebut meliputi semua jenis aktivitas pemerintah dalam lingkup internal dan eksternal.
b. Domain  membahas tentang apa dan siapa power tersebut dilaksanakan. Biasanya, power dilaksanakan terhadap rakyat, teritorial,dan kekayaan. Deutsch membagi domain menjadi dua bagian: domain internal (wilayah dan populasi dalam batas-batas suatu negara) dan domain eksternal (wilayah dan populasi di luar batas negara tapi masih termasuk ke dalam “wilayah pengaruh”)
c. Weight  Deutsch mendefinisikan weight atau range sebagai perbedaan antara imbalan yang tertinggi (keikutsertaan) dengan hukuman terburuk (pencabutan hak) yang bisa dilimpahkan oleh pemegang kekuasaan kepada beberapa orang di dalam domainnya. Range power sendiri juga dapat dibagi dua komponen : komponen range internal (menggunakan statistik anggaran belanja pemerintah dan menentukan berapa banyak pengeluaran pemerintah untuk keamanan umum dan kesejahteraan sosial) dan komponen range eksternal (secara logis mengikuti bahasan range internal power).
d. Costs  Biaya yang dikeluarkan A dan B sama-sama relevan terhadap penilaian pengaruh. (Baldwin,1989) Artinya, besar kecilnya biaya yang dianjurkan salah satu pihak berbanding lurus dengan penentuan pengaruh yang dijalankan.
e. Means  Menurut Baldwin (1985), ada beberapa kategori yang mampu mengklasifikasi jalur suatu pengaruh dalam hubungan internasional, yakni: jalur simbolik, jalur ekonomis, jalur militer, dan jalur diplomatis

Balance of Power
Dalam teori hubungan internasional : realisme, konsep balance of power merupakan perkembangan ide dasar dari sebuah konsep power. Thucydides menggunakan konsep tersebut untuk menjelaskan serangan Peloponnesian War pada abad 18. Sementara Ernst Haas mengemukakan bahwa ada 4 syarat badi eksistensi sistem ”balance of power”, yaitu :
a. suatu multiplisitas aktor-aktor politik yang berdaulat yang muncul karena tidak adanya satu otoritas
b. distribusi kekuatan yang relatif tidak seimbang (status, kekayaan, ukuran dan kapabilitas militer) di antara aktor-aktor politik yang membentuk sistem
c. persaingan dan konflik yang berkesinambungan karena adanya persepsi dunia merupakan sumber langka
d. pemahama implisit di antara para pemimpin negara besar bahwa kesinambungan distribusi kekuatan yang ada akan menguntungkan mereka.
Terlepas dari perbedaan teori ”balance of power”, ada satu implikasi bahwa perubahan relatif kekuasaan politik dapat diamati dan diukur. (Wright, 1965: 743)
Secara kondisional, sistem balance of power dianggap berada di antara keteraturan dunia (world order) dan kekacauan internasional (international chaos). Dalam tatanan dunia, membutuhkan suatu otoritas pusat yang mampu menetapkan suatu tata tertib bagi aktor politik. Ketidakteraturan dunia berarti aktor politik dapat survive berdasarkan hukum rimba, istilah yang terkuat berlaku di sini. Kurangnya lembaga global yang kuat bisa lebih meningkatkan perlindungan terhadap kedaulatan para partisipan sekaligus melemahkannya. Contoh konkrit : adanya bipolaritas perebutan kekuasaan antara AS dan Uni Soviet era perang dingin (1945) yang berakhir unsur unilateral AS sebagai pemenang. Namun, jika direlevansikan keadaan saat ini, balance of power yang terjadi cenderung multipolar di mana AS sudah tidak dianggap sebagai negara adikuasa atau negara penguasa tunggal. Adanya perkembangan teknologi nuklir di Iran, roket di Korea Utara, dan perkembangan ekonomi pesat Cina telah membuktikan bahwa setiap negara berusaha untuk bersaing ketat dan terus melangkah maju. Dari pihak lembaga internasional sendiri, PBB kurang menjangkau seluruh permasalahan negara karena adanya organisasi regional dan tumbuhnya regionalisme dalam merintangi era globalisasi.
Dari serangkaian realita yang muncul, dapat disimpulkan bahwa adanya perkembangan teknologi mutakhir, globalisasi melalui arus internet yang kuat, weapons of mass destruction telah menggeser kekuasaan mutlak militer sehingga negara kecil ataupun nonstate actor mampu memiliki kekuasaan signifikan. Perubahan yang tak terduga ini telah menjadi kelemahan krusial bagi sistem balance of power. Konsep keseimbangan yang dihasilkan seringkali konseptual idealis dan mampu terhapus dengan mudah oleh adanya peristiwa mencekam layaknya serangan teroris tanggal 11 September 2001di gedung WTC, New York.

Hegemonic Stability Theory
Adanya teori hegemoni stabilitas ini telah berkembang pesat seiring berkembangnya penerapan teori neorealisme. Adapun latar belakang teori hegemoni stabilitas ini disebabkan karena adanya sistem anarki internasional yang sangat diagungkan oleh kaum neorealis. Anarki yang dimaksud ialah kompleksitas sistem kedaulatan negara yang memicu munculnya dilema keamanan (security dilemma). Keadaan ini menitikberatkan pada kemakmuran dan kekuasaan yang bersifat relatif di mana sistem politik dunia melambangkan zero-sum game.Asumsi dasar terbentuknya teori ini adalah adanya stabilitas sistem internasional yang membutuhkan dominasi tunggal sebuah negara dengan tujuan memperkuat aturan interaksi antar anggota yang paling penting dalam satu sistem internasional. Untuk menjadi hegemon, setiap negara harus memiliki 3 atribut utama, yaitu :
a. kapabilitas untuk memperkuat peraturan sistem  pengendalian bahan mentah, sumber kapital, pasar and keunggulan bersaing dalam produksi barang-barang berkualitas baik
b. kehendak untuk melaksanakan praktik hegemoni (karakterisitk internal negara)  sikap domestik, struktur politik, pendapatan tetap
c. komitmen terhadap sistem yang dianggap sebagai keuntungan timbal balik dari negara-negara maju
Kapabilitas yang diperlukan dalam teori stabilitas hegemoni ialah pesatnya pertumbuhan ekonomi, dominasi kecanggihan teknologi atau sektor ekonomis, kekuasaan politik yang didukung oleh proyek-proyek atau aktivitas kekuasaan militer.
Yang dilakukan oleh para hegemon biasanya menjadikan negara mereka sebagai “free rider”.
Sindrom ini memicu para hegemon untuk terus mempengaruhi bahkan memaksa negara lain dalam mendukung suatu sistem yang sudah disepakati bersama. Sistem Amerika Serikat mencoba untuk memproduksi demokrasi dan kapitalisme, yang memperjuangkan hak asasi manusia dan perdagangan bebas. Bangsa lain akan berusaha menikmati keuntungan dari insitusi tersebut, tapi akan menghindari pembayaran biaya produksi mereka. Dengan demikian, Amerika Serikat harus menetapkan persetujuan terhadap perdagangan bebas meskipun pasangan dagang utama memutuskan adanya batasan dagang. Amerika Serikat bisa saja meluruskan batasan itu, namun kemudian sistem yang terbentuk akan collapse.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perluasan konsep kekuasaan tidak selamanya berhasil untuk dikembangkan. Definisi konsep power yang beranekaragam dan diperdebatkan oleh para ilmuwan politik telah menimbulkan kompleksitas pemahaman tentang balance of power maupun hegemonic stability theory. Namun, adanya perkembangan konsep power ini mampu menunjukkan signifikansi kemajuan implementasi teoritis yang terkandung dalam pemikirin realisme dan neorealisme. Power yang sangat krusial bagi sistem politik telah menjadi kunci utama penggerak perubahan hidup yang terjadi di masyarakat dan negara.

REFERENSI :
Baldwin, David A. 2002. Power and International Relations. Handbook of IR. London :SAGE Publication Ltd. Hlm 178-179
Cline, Ray S. 1975. World Power Assesment : A Calculus of Strategic Drift. Washington DC: Georgetown University. Hlm11
Dahl, Robert. 1977.Modern Political Analysis.New Delhi : Prentice-Hall of India Private.Ltd. Hlm 29
Deutsch. The Analysisi of International Relations, hlm 34
Haas,Ernst. 1953.”The Balance of Power : Prescription Concept or Propaganda?”,
World Politics. Hlm 442-477
Surbakti, Ramlan .1992. Kekuasaan Politik. Memahami Ilmu Politik. Jakarta :PT
Gramedia. Hlm 57
http://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/pol116/hegemony.htm. The Theory of
Hegemonic Stability. akses 7 April 2009 pk 05.00 WIB
http://falcon.arts.cornell.edu/Govt/courses/F05/685/Week%205%20Keohane%20
nd%20McKeown.doc. Political Economy of International Trade : International Influence. akses 7 April 2009 pk 5.00
http://faculty.maxwell.syr.edu/merupert/Teaching/Hegemonic%20Stability%20Theory. Htm. Diakses pada tanggal 7 April 2009 pk 05.00 WIB

2 komentar: